This is default featured slide 1 title

Majalah Bersuara LAPMI Cabang Semarang

This is default featured slide 2 title

Foto Majalah Bersuara LAPMI Cabang Semarang

This is default featured slide 3 title

Majalah Bersuara LAPMI Cabang Semarang

This is default featured slide 4 title

Majalah Bersuara LAPMI Cabang Semarang

This is default featured slide 5 title

Majalah Bersuara LAPMI Cabang Semarang

Rabu, 29 Januari 2014

POTENSI ALAM DI SEKITAR MAKAM SUNAN MURIA


            Sunan Muria merupakan salah satu sunan yang ikut menyebarkan agama islam, khususnya di daerah kudus dan jawa tengah. Makam Sunan Muria ini terletak dipegunungan muria tepatnya di daerah kudus. Meskipun Sunan Muria sudah wafat, namun masih membawa rezeki dan karomah bagi para masyarakat sekitar dan para peziarah yang selalu datang berbondong-bondong dari berbagai daerah.
            Fenomena alam yang ada disekitar makam Sunan Muria menambah suasana pengunjung semakin ramai. Di sekitar Makam Sunan muria terdapat air terjun yang diberi nama air terjun monthel, air tiga rasa, dan juga terdapat  makam seorang Ulama besar yang konon katanya merupakan seorang Guru dari Sunan Muria yaitu Syeikh Sadzali.
Syekh Sadzali dahulu datang dari Arab, beliau merupakan salah seorang yang juga berkontribusi besar terhadap peperangan Sam Po Kong, yang memberikan wasilah kepada Sunan Muria sehingga memenangkan peperngan tersebut. Disekitar makampun terdapat banyak makam yang dahulunya merupakan pengikut Syekh Sadzali, diantaranya Syeh Ali Murtadha, dan Abu Sulam, Syeh Abdul Rohman dan masih banyak lagi.
            Keistimewaan yang diatawarkan bukan hanya sebatas sejarah dan unsure religiusitas, tetapi juga sterdapat keindahan alam yang begitu menakjubkan, yang memiliki nilai lebih tersendiri sehingga bisa dikatakan merupakan sebuah potensi yang perlu dikembangkan. Air Terjun Monthel, Air Tiga Rasa, merupakan beberapa tempat yang menjadi focus pembahasan kali ini. untuk menuju kesana hanya memerlukan waktu ± 2 jam ditempuh dengan berjalan kaki. Mari coba kita telaah secara seksama dan bersama.

Air Terjun Monthel
Air terjun Monthel terletak tidak jauh dengan makam Sunan Muria. Biasanya para peziarah setelah selesai berziarah ke makam Sunan Muria mereka tidak langsung pulang, akan tetapi menikmati suasana keindahan obyek wisata yang tidak jauh dengan Makam Sunan Muria. Air terjun Monthel merupakan salah satu obyek wisata tambahan yang berada di sekitar Makam Sunan Muria. Dengan adanya obyek wisata tersebut, para pengunjung dan para peziarah dapat melepaskan rasa capeknya setelah perjalanan yang sangat melelahkan, biasanya mereka menikmati air tejun montel dengan mandi di bawah air terjun atau hanya berfoto-foto untuk mengabadikan keindahanya.
Begitu sangat disayangkan ketika keindahan bisa kita peroleh dengan mudah dan murah tetapi kadar keindahannya berkurang untuk tiap tahunnya. Debit air yang di air terjun tersebut merupakan salah satu daya tarik pengunjung tiap tahunnya mengalami penurunan, apalagi di musim kemarau debit air Montel semakin sedikit dan bahkan hampir kering, ini sungguh ironis ditengah makin populernya air terjun montel sebagai salah satu tujuan wisata di kabupaten Kudus. Pembalakan liar dan alih fungsi hutan sebagai lahan pertanian disinyalir menjadi sebab atas fenomen ini. sehingga tidak menjadi hal yang mustahil jika pada tahun-tahun yang akan datang pesona keindahan alam air terjun montel tidak bisa dinikmati oleh genersi mendatang.

Air tiga rasa dan makam Syekh Sadzali beserta pengikutnya
Obyek wisata air tiga rasa, sebagai bagian dari situs rejenu peninggalan dari Syekh Sadzali menjadi daya tarik bagi pengunjung untuk mengunjungi obyek wista tersebut. Pada umumnya pengunjung meyakini bahwa air ini bermanfaat sebagai maun al syifa’ ( obat), maun al hayat (penghidupan atau keabadian) , maun ilmi (kepandaian), melamcarkan usaha dsb. Air tiga rasa ini bersumber dri tiga buah sendang yang memiliki rasa air yang berbeda-beda. Menurut kepercayaan pengunjung dan masyarakat sekitar rasa air tiga rasa tergantung akan amal ibadah orang yang meminumnya, dan terkadang rasanya berubah ubah. Sedangkan menurut kami yang menggunakan penelitian yang lebih ilmiah rasa air yang berbeda-beda ini disebabkan oleh tanaman-tanam obat yang ada disekitar ketiga sendang tersebut.
Obyek wisata air tiga rasa dan makam Syekh Sadzali terletak dibalik bukit air terjun Monthel. Suasana di obyek wisata tersebut tidak seramai Makam Sunan Muria, karena letaknya yang sangat jauh dan melewati jalan yang menanjak dan menurun. Sehingga para peziarah dan para pengunjung jarang yang datang untuk berziarah dan merasakan air tiga rasa. Dan mungkin dengan jarak yang jauh, para pengunjung tidak mengetahui jika dibalik bukit air terjun menthol terdapat sebuah makam dan air tiga rasa.
Peziarah yang datang di obyek wisata ini, setelah mereka melakukan ziarah ke makam Syekh Sadzali, biasanya mampir ketiga sendang yang tidak jauh dari makam. Mereka mencoba merasakan air dan membasuh wajah mereka dari sendang satu ke sendang lainya , karena ketiga tersebut mempunyai rasa yang berbeda dan kebanyakan mereka sengaja membawa botol dan mengisinya dengan air tiga rasa untuk dibawa pulang.
Namun amat disayangkan kondisi situs sejarah rejenu sudah mengalami banyak kerusakan , sisa-sisa peninggaln syekh sadzali dan pengikutnya seperti bekas pondasi bangunan, dan gerabah-gerabah seperti keramik dsb, sudah banyang hilang dan musnah.
Team Reporter (Potensi Alam)
Rinwantin, Edy, Ulil, Irna, dan Mas Tian PY.



Jumat, 24 Januari 2014

KONDISI DAN POTENSIAL SOSIAL EKONOMI KAWASAN SUNAN MURIA

Kawasan makam muria terletak didesa Colo, Kudus dengan potensi alam serta terdapat salah satu makam dari walisongo penyebar agama islam yang terkenal dijawa yang disebut dengan sunan muria, menjadikan kawasan ini menarik minat bagi para peziarah dan sekaligus sebagai objek wisata dimana terdapat keindahan air terjun montel.
Dengan adanya pemakaman sunan muria dan objek wisata air terjun montel, menjadikan desa Colo sebagai tempat ziarah dan kawasan wisata sehingga desa ini lebih produktif dalam hal ekonomi daripada desa-desa yang lain, karena sebagaian dari mereka bekerja sebagai pedagang dan tukang ojek. Dari profesi ini warga sekitar dapat meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan kegiatan sosial dengan para pengunjung tidak hanya dalam kota tapi juga berasal dari luar kota kudus.
Berawal dari warung kopi depan pintu makam Sunan Muria yang kami sambangi, kami menemukan fakta menarik atas kawasan tersebut yang memang perlu untuk di ekspose lebih dalam. Obrolan kami mebahas tentang keberadaan pedagang yang ternyata diharuskan dari warga sekitar atau pendatang yang mukim lama di daerah itu. Meski pedagang adalah orang lokal namun untuk beberapa item barang yang dijual di daerah itu didatangkan dari kota lain, seperti; kerajinan ukir dari Bojonegoro, blangkon dari demak, batik dari pekalongan dan barang serta kota lainnya.
Medan jalan selain dimanfaatkan warga sekitar untuk mengantar peziarah ketempat ziarah juga dimanfaatkan sebagai tempat untuk berdagang. Adapun hasil alam yang paling banyak dijajakan oleh pedagang asongan dan warung-warung yang ada di sekitar tempat makam, diantaranya; pisang tanduk, alpukat, delima, jeruk bali, tales, ganyong, petai dan sirsak.
Semakin kami korek data dari mereka banyak hal yang akhirnya kami dapat dari sana, pedagang tersebut mengakui bahwa memang kawasan tersebut telah di atur sedemikian rupa oleh pihak yayasan sunan muria, sehingga tak dapat kami temui kesenjangan antar pedagang. Untuk menejemen para pedagang, yayasan memberi kewajiban kepada para pedagang dengan harga variatif, untuk warung seluas 2,5 x 4 meter yang kami kunjungi, pedagang warung makan dan snack mengaku dibebani harga Rp. 450ribu untuk sewa kios, sedangkan daerah dibawah kawasan merupakan hak milik pribadi hingga tidak ada biaya beban bagi mereka.
Untuk waktu dagang sendiri pedagang mengakui mulai membuka warung dari pagi hingga sekuat tenaga mereka, namun biasanya sampai sekitar jam 21.30wib mereka menututup warung. Apabila menuruti pengunjung maka pedagang dapat membuka warungnya selama 24jam. Dengan demikian pendapatan pedagang satu dengan yang lain berbeda karena dipengaruhi oleh jumlah pengunjung. Pengunjung meningkat terjadi pada saat hari libur dan hari besar keagamaan.
Lebih menariknya mereka mempunyai organisasi untuk pedagang kawasan tersebut, dari beberapa agenda mereka adalah ziarah bersama yang dilakukan rutin selama satu tahun sekali guna mempererat hubungan antar warga yang menjadi pedagang disana.

Reporter: Nafis, Ibnu, Anis

Selasa, 21 Januari 2014

FOLLOW UP PERTAMA SEBAGAI SEMANGAT UNTUK BERPROSES DALAM HMI





Forum Komunikasi Komisariat Walisongo Semarang mengadakan follow up pertama pada hari Ahad, tanggal 5 Januari 2014 di taman Fakultas Dakwah dan Komunikasi IAIN Walisongo Semarang. Follow up pertama ini bertujuan untuk merefres kembali materi-materi yang sudah disampaikan pada LK 1 ke-184 yang diadakan FKKWS.
Wawasan sosial merupakan tema yang telah disepakati dan ditentukan oleh para peserta LK 1 untuk dikaji kembali dalam follow up pertama, para peserta memilih tema Wawasan sosial dikarenakan, mereka ketika mengikuti materi wawasan sosial merasa asyik dan ingin memperdalam lagi.
 Materi wawasan Sosial ini disampaikan oleh kanda Musthofa (mantan Ketua Umum HMI Cabang Semarang), beliau menyampaikan “pada zaman sekarang para ustadz, kyai dan ulama, mereka menyebarkan dakwahnya kepada kaumnya untuk selalu berbuat baik (amar ma’ruf), yang ditekankan oleh para ustadz atau kyai, mereka hanya mengajak untuk berbuat baik saja, tetapi dalam mencegah yang mungkar (nahi mungkar) mereka tidak menyerukan kepada kaumnya. Namun menurut saya yang harus dilakukan oleh masyarakat sekarang adalah bukan berbuat baik dahulu, akan tetapi kita harus mencegah yang mungkar dahulu, karena dengan mencegah kemungkaran secara otomatis kita sudah berbuat kebaikan”, kata kanda Musthofa untuk mengawali materi wawasan sosial.
Follow up pertama ini dihadiri oleh para peserta LK ke-184, pemandu, ketua KPC, tamu undangan dan pengurus komisariat Syariah dan komisariat Tarbiyah. Follow up berjalan dengan seru setelah para peserta yang hadir bertanya kepada pemateri dan pemateri menjawab dengan detail, sehingga peserta betul-betul memahaminya.
Usai follow up pertama, peserta dan tim pemandu malakukan rapat- kecil-kecilan mengenai pelaksanaan follow up kedua. Semoga dengan berhasilnya mengadakan follow up pertama ini, peserta lebih semangat untuk mengikuti follow up kedua dan mengikuti agenda-agenda yang ada di HMI. (U.A.94)

Reporter: Ulil Albab (Syariah)

Sabtu, 18 Januari 2014

BUDAYA ISLAM DAN ISLAMISASI BUDAYA NUSANTARA


Wawancara dengan Kanda Supardi tentang Budaya Islam dan Islamisasi Budaya Nusantara*

 

Budaya Islam di Nusantara khususnya di Jawa adalah budaya  yang unik. Maka untuk memperdalam kajian tentang Budaya Islam dan Islamisasi Budaya di Nusantara khususnya di Jawa, redaksi Majalah Bersuara, melakukan wawancara, serta diskusi secara mendalam terkait tema tersebut dengan Narasumber utama yakni Kanda Supardi pada 3/12/2013 lalu. Berikut petikan wawancara kami dengan beliau.


Apakah ada budaya islam yang otentik di Nusantara?
Tidak ada budaya islam di nusantara yang otentik, seperti budaya islam di timur tengah juga merupakan asimilasi dari budaya paganisme yang berkembang di masyarakat arab sebelum masuknya islam. Islam di nusantara adalah pertemuan dua budaya islam yakni islam timur tengah dan islam china. Islam timur tengah adalah islam syariah berdasarkan hukum dan akal, sedangkan islam china adalah islam tasawuf berdasarkan hati. Islam masuk di nusantara melalui jalur perdagangan atau yang disebut jalur sutra, yakni jalur sutra darat dan jalur sutra laut. Jalur sutra darat berawal dari budaya islam timur tengah kemudian mendarat sampai ke china, sedangkan jalur sutra laut adalah jalur masuknya islam ke nusantara melalui laut yang berasal dari timur tengah dan islam yang berasal dari china masuk ke nusantara. Islam timur tengah masuk lewat bagian barat nusantara, sedangkan islam china masuk lewat bagian timur indonesia. Pertemuan antara islam timur tengah dan islam china berpusat di Jawa, maka islam Jawa disebut sebagai islam yang unik.

Apakah budaya wayang, gamelan, peringatan 1 suro (muharram) di nusantara adalah budaya islam atau islamisasi budaya yang ada di indonesia?
Untuk mengatakan budaya islam atau islamisasi budaya harus bisa membedakan antara simbol dan nilai dalam budaya tersebut. Budaya selalu terdiri simbol dan nilai. Kalau berbicara budaya islam berdasarkan konteks/simbolnya, sedangkan islamisasi budaya berdasarkan nilainya.Budaya Jawa seperti wayang, gamelan, dll. hanya merupakan simbol yang sudah ada sebelum masuknya islam di nusantara, yang kemudian simbol tersebut tetap digunakan oleh para wali untuk menanamkan nilai-nilai islam. Budaya islam Jawa lahir pada abad ke 15 pada masa kepemimpinan sultan agung dari mataram. Pada masa Sultan Agung tersebut budaya islam mulai berkembang dan kemudian bertemu dengan budaya Jawa, untuk menghindari benturan dua budaya tersebut, dan untuk menjaga agar “orang Jawa tidak kehilangan Jawanya” maka Sultan Agung memadukan islam dengan budaya Jawa sebagai upaya pemersatu rakyat mataram yang pada waktu sudah banyak yang beralih ke islam maka kemudian tercipta budaya Jawa islam seperi kalender Jawa islam yang dipadukan dari kalender hijriyah dengan kalender saka saat itu masih dipakai. Artinya tetap mempertahankan simbol budaya Jawa tetapi nilainya adalah nilai islam.

Apa yang dimaksud orang Jawa kehilangan keJawaannya?
Kata kanjeng sultan HB IX “wong jowo ilang Jawane” maksudnya “wong jowo wes ora islami” seperti yang dikatakan muhammad abduh, “aku melihat mesir itu islam, tetapi tidak islami, sebaliknya saya melihat di perancis itu islami walaupun bukan islam”. Wong jowo ilang islami, orang Jawa sudah ndak islami, artinya lebih mengarah pada nilai bukan simbol. Islam itu nilai, kata islam itu simbol sedang kata islami itu nilai. Di mesir muslim mayoritas tetapi tidak islami, sementara di perancis islami tetapi tidak muslim. Wong jowo ilang islame, maka jangan mengaku orang Jawa kalau ndak islami.

Tetapi masyarakat umum, menganggap jika ingin memperdalam islam maka hilangkan Jawanya, bagaimana?
Itu salah, masyarakat awan menganggap ada dikotomi antara islam dan Jawa, itu dikotomi face to face atau bipolar yang bertolakbelakang. Islam itu Jawa, Jawa itu islam. Lebih utama mana, islamisasi Jawa atau Jawanisasi islam? Jawabannya bukan seperti itu, Jawa dan islam ibarat mata uang tidak bisa pisah. Dalam sisi mata uang, islam itu Jawa, Jawa itu islam. Saya juga pengagum budaya Jawa karena bagi saya itu juga islami. Sang hyang sidojati, sebutan tuhan yang maha, dalam istilah Jawa sedangkan dalam islam itu disebut esa dalam bahasa arab itu Allah. Kata “Jawa” itu dari kata “dJawa dwipara” kemudian orang dulu menyebutnya “dJawa dwipa” dari kata yahuwa, ehad, atau dari bahasa ibrani jahuva, ehaq, yahuweh, itu artinya tuhan. Yahuweh, bahasa arabnya yahuwa atau ahad, sedangkan bahasa Jawanya jahuwa dwipara. Istilah sederhana, Jawa juga berasal dari ojo nanggo howo atau jangan pakai nafsu artinya tansah eling. Berarti antara kata Jawa, islam, ibrani atau arab satu rumpun, artinya Jawa tidak mungkin pisah dengan islam karena akar katanya saja sama dari kajian semantik. Orang dulu menyebut tanah Jawa dengan istilah dJawa dwipa. Jadi, jika Jawa dilepaskan dari islam itu mau memutus akar sejarah, kemudian nanti akan ada missing link, pemutusan tali, nantinya bisa menjadi tuna budaya.

Aneh, jika ada kelompok-kelompok ingin memutus atau mengarabkan Jawa karena dia tidak paham akar sejarahnya. Contohnya di kraton surakarta ada tradisi mengikuti kebo kyai slamet (kerbau bule) itu karena orang dulu pingin ibtida’ nabi, sama seperti waktu dulu nabi masuk kota madinah nabi ingin mencari tempat tinggal yang dilakukan adalah mengikuti unta. Masyarakat madinah pada saat itu berlomba-lomba untuk minta disinggahi rasulullah untuk tinggal ditempat mereka. Kemudian nabi menyerahkan kepada unta untuk memilih tempat tinggalnya, dengan cara nabi mengikuti unta, dimana dia berhenti disitulah tempat tinggalnya, keputusan dilakukan agar tidak ada pihak yang kecewa. Hal itu kemudian diasimilasi orang Jawa yaitu sekarang mengikuti kerbau, tetapi kemudian ada anggapan salah yang mengkafirkan dan dibid’ahkan yang tidak mengerti alur logika orang Jawa. Kerbau adalah simbol yang digunakan masyarakat Jawa untuk mengikuti sunah nabi. Karena di Jawa tidak ada unta, maka disimbolkan dengan kerbau, tetapi nilainya adalah untuk ibtida’ nabi. 

Apakah dalam simbol huruf aksara Jawa ada nilai ketuhanan atau islam?
Pusatnya huruf Jawa atau aksara Jawa itu ada di huruf “dha”, maka tidak aneh jika orang, wujudnya sami’na watho’na, dha itu artinya dhawuh atau sendiko dhawuh artinya menghamba. Maka secara naluriah orang Jawa itu, suka mengabdi kepada yang agung artinya mengabdi kepada tuhan, maka dengan sendirinya orang Jawa itu ahli ibadah. Orang Jawa menyebut “aku” saja tidak berani, tetapi menyebutnya dengan kulo, kawulo atau dhalem yang artinya budak. Jadi, selalu melihat diri sendiri itu budak, artinya orang Jawa itu tidak berani untuk merendahkan orang lain karena selalu melihat diri sendiri sebagai budak. Dari bahasa saja orang Jawa itu halus, selalu menghormati orang dengan menyebut diri sebagai kulo atau aku olo artinya saya jelek, maka tidak berani untuk merendahkan orang lain. Semua yang ada dihadapan orang Jawa itu majikan dan orang Jawa menyembut dirinya budak, maka yang dia lakukan akan selalu menjunjung menghormati mengangkat derajat apa yang ada hadapan. Makanya di Jawa ada istilah hamewayu hayuning jagad bawono, hamewayu itu memayungi, jagad bawono itu jagat dunia, karena sebagai budak harus memayungi alam, atau dalam bahasa arab disebut khalifah, sedangkan di Jawa namanya hamengku bumi atau hamengku bowono, mangku negoro, paku alam, samaratungga, atau tribuana tungga dewi, sebagai nama raja di Jawa yang mengagungkan jagat, penyangga dunia atau sangga buwana. Jadi pusatnya islam itu adalah ibadah, mengabdi seperti dalam Al Quran “wa ma khalaqna al-jinna wa al-insa illa liya`budun”, sesungguhnya tidak Ku ciptakan jin dan manusia selain untuk beribadah, begitupula pusatnya di Jawa mengabdi juga “dhawuh”. 

Mengapa raja-raja Jawa sangat menaruh perhatian pada jagat dunia? Karena dari faktor penghayatan orang-orang dulu, maka mereka sudah memahami peta kosmologis, karena gelarnya pun hamengku buwono maka mereka memahami peta jagat. Coba lihat peta dunia centrumnya adalah di Jawa, di peta dunia centrumnya terletak di asia tenggara, asia tenggara paling ujung itu nusantara, sedangakan nusantara paling ujung di Jawa. Dalam teori geologi bahwa ternyata jagat ini ada benturan, antara lapisan austronesia dan eurosia, maka wilayah Afrika, India, Jawa pasti akan ada gempa karena ada pertemuan dua lapisan yang setiap tahun selalu maju 7cm. Lapisan austronesia dan eurosia maju terus setiap tahun, entah pada tahun berapa terjadi benturan gempa, gempa paling ujung selatan itu Jawa laut samudra india Jawa artinya dari geologi saja ternyata memangku jagat, Jawa melindungi eropa dan asia maka ndak aneh ada hamengku buwono. Artinya yang pertama melawan benturan dengan australia itu Jawa. Dari geologis sangat logis kenapa Jawa dijadikan pusat. Peradaban-peradaban yang lahir seperti di Eropa ada Yunani, peradaban Islam di Timur Tengah, peradaban Cina dan India karena mereka tidak terkena benturan langsung. Peradaban besar ada di Arab, India, Cina juga tidak ada di Australia, karena ternyata yang memangku jagat atau yang memangku peradaban besar ini Jawa, maka simbolnya keraton-keraton Jawa itu menghadap ke utara, artinya raja Jawa itu menghadap ke utara, disimbolkan seolah-olah memandang jagat, karena peradaban-peradaban besar itu di utara. Posisi Raja Jawa adalah memangku, hamewayu hayuning jagad, khalifatullah fil ardh, disimbolkan di Jawa, maka untuk menyebut kerajaan Jawa itu bukan kerajaan tetapi keraton dari kata keratuan bukan raja, dan orang Jawa cenderung feminim bukan maskulin seperti Eropa. Khalifatullah fil ardh di timur tengah diwujudkan di Jawa dengan sistem hamewayu hayuning jagad  yang diistilahkan khilafah di Jawa. Raja-raja Jawa adalah model islamisasi, walaupun ada raja yang namanya “hayam wuruk” berasal dari kata “hayam warok” artinya prihatin, maka Raja Hayam Wuruk itu gambarannya orangnya kecil karena prihatin, walaupun hindu tetapi islami karena nilainya islam. Ratu Shima, juga dianggap sebagai hindu tetapi islami, dia memperlakukan hukum qishas, pencurian yang dipotong tangan. Contoh lain, Raja Purnawarman, mengorbankan 1000 ekor sapi kepada ulama, dapat dikatakan islami karena berlawanan dengan ajaran hindu yang melarang memotong sapi. Jadi kalau kita mengkaji Jawa, maka tujuan akhirnya adalah islam dalam artian nilai-nilainya. Kalau mempelajari candi-candi borobudur juga menunjukkan relief-relief yang islami, disana ada gambaran perahu, ada gambaran ratu bilqis, ratu saba yang diceritakan dalam quran. Kesimpulannya ternyata kalau kita mempelajari Jawapun tujuannya kita mendalami islam.

Tulisan dimuat dalam Majalah Ber-SUARA LAPMI Cabang Semarang Edisi XXVI Desember 2013M/1435 H

Info & Berlangganan : 085640281855

Kamis, 09 Januari 2014

PELANTIKAN HMI KOMISARIAT FIP IKIP PGRI SEMARANG




“ Mari kita bentuk kepengurusan HMI Komisariat FIP yang solid!”
Pelantikan pengurus komisariat HMI FIP IKIP PGRI Semarang berlangsung dengan khidmat. Acara yang berlangsung di Masjid Nurul Huda  IKIP PGRI Semarang ini dihadiri oleh kurang lebih 30 tamu undangan dari perwakilan Komisariat HMI se-Semarang.  Tampak pula hadir di tengah-tengah kebersamaan HMI Komisariat FIP akhina Anton dan akhina Baihaqi yang merupakan pastur (Pasca struktur dari HMI Komisariat FIP) sehingga menjadikan suasana  kekeluargaan di HMI  komisariat FIP terlihat begitu hangat.
Acara ini direncanakan akan melantik sebanyak 9 orang anggota  pengurus HMI Komisariat FIP periode 1435-1436H/2014-2015 M dengan susunan pengurus yaitu  ukhtina Ismawati sebagai Ketua Umum, ukhtina Septi Dewi Sartika sebagai Sekretaris Umum dan ukhtina Ela sebagai Staff Sekretaris, ukhtina Maula sebagai Bendahara Umum, akhina Riski sebagai Ketua Unit Aktivitas Perkaderan, akhina Nafi dan akhina Stevy  sebagai Staf Perkaderan, akhina Khozin sebagai Ketua Unit Aktivitas Keislaman, serta akhina Wiwit dan ukhtina Novi sebagai Staff Keislaman. Namun dalam pelantikan kali ini ada beberapa pengurus yang tidak bisa hadir sehingga acara ini hanya melantik sebanyak 4 orang pengurus saja yaitu, ukhtina Isma, ukhtina Septi, ukhtina Maula dan akhina Nafi.
Ikrar yang dibacakan oleh akhina Nur Khasan selaku Ketua Umum HMI Cabang Semarang diikuti dengan penuh keyakinan oleh para pengurus komisariat FIP. Susasana haru tampak terasa tatkala ikrar selesai dibacakan, tampak beberapa pengurus dan tamu undangan hampir menitikan air mata. Bagaimana tidak setelah vakum hampir 2 tahun alhamdulilah HMI Komisariat FIP dengan kepemimpinan baru, dengan suasana baru sudah siap kembali berjuang bersama kawan-kawan lainnya dalam perjuangan islam. Dengan diiringi tepuk tangan para tamu undangan yang memberi selamat kepada anggota kepengurusan baru di HMI Komisariat FIP  maka telah resmi bahwa mulai detik tersebut sebuah amanah besar sudah siap mereka emban.
Setelah pembacaan ikrar, serah terima jabatan pun resmi diberikan kepada formatur terpilih HMI Komisariat FIP. Ukhtina Septi sebagai perwakilan Pastur memberikan berita acara  serah terima jabatan kepada ukhtina Ismawati. Dalam pidatonya setelah dilantik, Ketua Umum HMI Komisariat FIP, Ukhtina  Ismawati menceritakan tentang betapa pentingya menjaga amanah yang telah diberikan kepada kita, amanah merupakan tanggung jawab besar di dunia maupun di akhirat, dengan tegas ia menghimbau agar kita semua tidak menjadi orang munafik yang mempunyai ciri-ciri  jika berbicara ia bohong, jika berjanji ia mengingkari dan jika dipercaya dia khianat. Ukhtina Ismawati juga meminta kepada seluruh jajaran pengurus HMI Komisariat FIP agar semakin solid dan dapat membangun kerjasama yang baik dalam memperjuangkan islam melalui HMI. Meskipun ada beberapa pengurus yang tidak bisa ikut pelantikan bukan berati mereka dapat seenaknya dalam mengemban amanah ini, karena dalam pembentukannya para calon pengurus telah diminta komitmennya untuk bergabung dalam kepengurusan HMI komisariat FIP.

Akhirnya pelantikan pun ditutup dengan bacaan hamdalah dari pengurus HMI Komisariat FIP serta seluruh tamu undangan. Semoga HMI Komisariat FIP dapat semakin solid dalam meningkatkan ukhuwah baik diantara pengurus, kader, serta masyarakat kampus di sekitarnya sehingga harapan untuk mendakwahkan syiar islam lewat HMI dapat terwujud. YAKUSA. (Reporter: Septi)

Minggu, 05 Januari 2014

KUNJUNGAN MEDIA KE NEWS ROOM JATENG POS




Menjadi seorang jurnalis tidaklah mudah karena untuk menjadi jurnalis yang mumpuni membutuhkan kerja keras. Tidak hanya keras saja yang dibutuhkan akan tetapi mental yang kuat juga harus dimiliki. Hal tersebut disampaikan oleh kepala redaksi JATENG Pos, Bapak Bedjan Syaidan kepada peserta training Jurnalistik yang diadakan oleh Lembaga Pers Mahasiswa Islam (LAPMI) HMI MPO Cabang Semarang ketika melakukan kujungan pada pukul 23.30 (30/12/13) kemarin.

Kunjungan tersebut berlangsung cukup lama yang dihiasi dengan pertanyaan-pertanyaan seputar jurnalistik dan manajemen news room yakni proses pembuatan koran mulai dari mendapatkan berita, pemilihan berita, lay out, hingga proses percetakan. Peserta training mengakui bahwa banyak hal menarik yang didapatkan pada kunjungan tersebut dan memberi pengalaman baru karena dapat melihat aktivitas news room di malam hari.

Kegiatan kunjungan tersebut diakhiri dengan foto bersama peserta training jurnalistik dengan kepala redaksi JATENG Pos, Bapak Bedjan Syaidan.

Kamis, 02 Januari 2014

Refleksi M. Chaeron tentang HMI

*(disunting oleh: Noor Rochman, Direktur Lapmi HMI Cabang Semarang)

Dikabari saudara saya di Jakarta mengenai kericuhan yang terjadi di forum Kongres ke 28 HMI (Dipo) di Pondok Gede saat ini saya tidak heran dan tidak menanggapi karena sudah mahfum akan hal yang biasa terjadi di forum HMI. Tapi dikabari mengenai adanya banyak kerusakan dan anarchisme yang terjadi serta dugaan banyaknya uang yang beredar di (panitia) Kongres HMI saat ini pikiranku “tersentak” terpancing untuk komentar dan tanganku jadi gatal untuk segera menulis (padahal saya tidak bisa menulis dan tanganku masih sakit) lalu mengirimkannya via messenger kepada orang yang mengabari saya tentang peristiwa yang terjadi di Kongres HMI (Dipo) saat ini. (Berikut ini akan saya kirimkan tembusan jawaban-jawabanku mudah-mudahan dapat diinventarisir sebagai bahan diskusi/kajian),1.
HMI Hendak dibawa Kemana?
Firman Tuhan dalam Alqur’an Surah Al Inshiroh (Alamnasroh) berbunyi “Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan” (diterjemahkan oleh Depag “dibalik kesulitan ada kemudahan”) bagi saya mengandung makna pula (sebaliknya) bahwa “bersama kemudahan itu ada kesulitan (ujian) nya”, atau dapat pula dimaknai “pada kelebihan seseorang (sesuatu) itu tentu ada kekurangan/kelemahannya”. Data tekstual (ayat Qouliyah) ini jika dipahami dalam sudut pandang kader HMI, bagi saya, faktualnya (ayat Kauniyah) justru dijumpai (terbaca) pada kenyataan heterogenitas keanggotaan/kader HMI. Yaitu bahwa raw material input perkaderan (keanggotaan) HMI yang sangat beragam latar belakangnya (pendidikan, pemahaman keagamaan, sosial, ekonomi, politik, budaya, dan sebagainya) adalah kelebihan (kekayaan resourch dan khasanah pemikiran) HMI namun sekaligus merupakan kelemahannya (potensi/sumber/ konflik/perpecahan/adu domba).
Itulah fakta keberadaan (fitrah, potensi) HMI. Akan menjadi apa/dijadikan apa kemudian/kedepannya fakta itu, tergantung orientasi orang yang melihatnya/memandang fakta itu. Kalau ia berorientasi pada KEWAJIBAN maka akan lahir (muncul sikap dan perbuatan yang ber) tanggung jawab untuk mengelola fakta itu menjadi kekuatan yang mendukung tercapainya tujuan/misi HMI. Implikasinya: heterogenitas menjadi alasan/modal untuk saling memberi (mengamankan dan mengawal konstitusi organisasi), dan hasilnya adalah kehidupan yang harmonis (perbedaan menjadi rahmat). Sebaliknya apabila orang yang melihatnya (memandang fakta heterogenitas itu) berangkat dari sudut pandang dan beroirentasi kepada HAK maka yang akan muncul adalah (lahirlah) kepentingan orang itu yang berimplikasi pada lahirnya sikap dan perbuatan saling menuntut (mengakali, mencari dan menggali serta mengamankan HAKnya sendiri, kepentingan sendiri) dan buntutnya adalah perpecahan/perceraian. (perbedaan menjadi laknat).
Kader HMI yang taat asas (konsisten dan konsekuen) harus wajib memandang fakta-fakta dan kejadian yang ada/terjadi (khususnya di HMI) berdasar pandangan yang berorientasi kepada kewajiban (bukan orientasi kepada hak). Kewajiban apa? Kewajiban dirinya (kader) untuk memenuhi janji/menepati sumpah/menjalankan bai’ah sebagai Muslim/anggota HMI yang telah diikrarkannya pada saat dilantik menjadi anggota  HMI, sebagai “insan cita” yang bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridloi Allah SWT.
Sekali lagi wajib berorientasi kepada kewajiban (sikap bertanggung-jawab) bukan orientasi kepada hak (kepentingan). Karena dengan berorientasi kepada kewajiban (mengutamakan/mendahulukan kewajiban tidak berarti meninggalkan hak), justru akan menjamin terpenuhinya hak-hak anggota dan terpeliharanya konstitusi organisasi. Dengan berorientasi pada kewajiban maka situasi konflik dan perbedaan pendapat setajam apapun akan tetap disikapi secara bertanggungjawab dan dipandang sebagai bagian dari dinamika dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Dan oleh karena itu muara penyelesaiannya pasti tetap melalui konstitusi/mekanisme organisasi yang telah disepakati.
Tindakan Harry Azhar Azis, Cs (PB HMI hasil kongres 15 di Medan). Mengganti asas organisasi (merubah pasal AD HMI) di luar Kongres HMI, apapun alasannya, ditinjau dari sudut pandang konstitusi/mekanisme organisasi, adalah salah (inkonstitusional, curang/tidak amanah). Karena perubahan pasal-pasal AD HMI (terlebih mengenai hal yang prinsip, asas) hanya boleh/bisa dilakukan oleh dan di dalam pleno Kongres HMI, adapun tugas dan tanggungjawab PB HMI adalah melaksanakan apa yang telah ditetapkan dan diputuskan oleh Kongres itu (mengemban amanah, bukan merubahnya). Tetapi mengapa sampai terjadi penggantian pasal AD organisasi di luar Kongres HMI?
Apakah PB HMI tidak tau/tidak paham kontitusi organisasi? Tentu tidak demikian! Melainkan karena PB HMI telah salah orientasi! PB HMI tidak berorientasi pada kewajiban (memenuhi tanggungjawab menjalankan putusan/hasil kongres) tetapi berorientasi pada kepentingan, atau mengamankan kepentingan tertentu. Itu bisa dibuktikan dari keterangan resmi Ketum PB HMI baik yang disampaikan melalui media masa (press release) maupun forum-forum HMI, bahwa “apa yang telah diputuskan dalam rapat Pleno IV PB HMI di Ciloto (perubahan atau penggantian pasal 3 AD tentang asas HMI) adalah merupakan langkah taktis (istilah Harry: langkah cerdas) dan kebijakan politik PB HMI”, adalah bukti nyata bahwa PB HMI telah menformat/setidaknya memperlakukan organisasi sosial ini (yang didirikan atas motive kepedulian dan tanggungjawab sosial) menjadi organisasi politik (yang didirikan atas motif kepentingan, vested oriented, orientasi pada hak).
Maka bukan suatu kebetulan jika kemudian terjadi semacam “hubungan yang saling menguntungkan” (osimbiose mutualistis) antara kepentingan external diluar HMI dengan kepentingan internal PB HMI, di tengah ranah yang disebut “kebijakan politik”,2. Celakanya pernyataan Harry mengenai adanya kebijakan politik PB HMI itu didengar oleh publik (khususnya segmen interest) seolah sebagai pengumuman resmi bahwa telah dibukanya “ruang bermain” di dalam HMI, maka mulailah para “pencari peluang” itu (di luar maupun di dalam HMI) mencari celah atau pintu masuknya ke “ruang bermain” itu. Hasilnya nyata, tidak lama sesudah itu dari kongres ke kongres selalu terdengar berita bahwa politik uang telah mewarnai proses pemilihan Ketum PB HMI. Misi politik berhasil, kebijakan politik PB HMI telah melahirkan konvensi organisasi. Adik-adik kader HMI mulai ikut (latihan?) bermain di ruang yang telah dibangun oleh kakaknya sendiri. Apa yang semula tabu (terlarang) sekarang diperebutkan secara terbuka (bertemu di ranah kebijakan).
Hari ini Kongres 28 HMI (Dipo) di Pondok Gede telah mencatat sebanyak 30 orang kandidat calon Ketum PB HMI. Hebat HMI, punya banyak stock kader calon pemimpin. Tapi tunggu dulu, coba renungkan, gejala apa itu? Dulu, sebelum masa astung, mencari calon ketum begitu susahnya, konon karena mengemban amanah itu betapa beratnya dan Nabi SAW melarang memberikan jabatan kepada orang yang minta, kok sekarang kandidat ketum begitu banyaknya? Apakah karena tugas pemegang amanat kongres HMI sekarang itu lebih enteng/begitu ringannya, artinya kalo terasa berat gampang diubah/boleh direvisi seperti yang dicontohkan Harry (konvensi organisasi). Atau apakah banyaknya calon Ketum itu ada hubungannya dengan jumlah uang yang ditengarai banyak beredar di sekitar kongres HMI saat ini? Jika benar, maka siapa yang bermain di ranah ini? Mari kita teliti dan kita kaji .....

                                                                                                                                                      
Catatan:
1 Kutipan contoh dialog massanger:
Kalau Pilkada  Bupati misalnya, kandidat stap dengan dananya milyaran. Lha kalau kandidat Ketum HMI kok ya sama, kok ya mahasiswa kaya-kaya ya. Uang yang beredar di Kongres juga miliyaran. We lha masa depan Indonesia mau jadi apa? Terus masa depan pemimpin Islam kayak apa?. Ini jawaban saya atas sms saudara saya tadi: wah saya sudah tidak bisa komentar mengenai hal itu. Kayaknya hal yang sama dipikirkan pak Lafran, dkk. saat menghadapi sekulerisasi di perguruan tinggi, makanya beliau dirikan  HMI (Harapan Masyarakat Indonesia). Tapi kalo HMInya saja sudah begitu, ya mau bilang apa? Independensi sebagai menivestasi sikap tauhid yang dijadikan ciri HMI, sebagai benteng pertahanan, sudah dijebol, sudah tergadaikan (sejak) kepemimpinan Harry Azhar Azis (yang akhirnya ditiru adik-adiknya, menjadi konvensi, hingga sekarang, maka saya tidak heran dengan kelakukan kader-kader HMI astung saat ini); saya sudah coba ingatkan dengan berkata “tidak” pada tahun 80-an (tentu ada resikonya, diuber uber intel, kegiatannya dilarang, ditahan Korem dan Laksus dan sebagainya, sementara itu Harry disekolahkan ke Amerika sampai Doktor dan ditampung Golkar terus jadi Ketua Banggar DPR RI). Terus mau gimana lagi? Lagipula itu domain publik (fardlu kifayah), ya tawakkal saja, biar Tuhan yang “turun tangan”.
Dalam proses pencarian jati diri (subyektifus genetifus) kader HMI tentu melewati fase identifikasi diri (penokohan) dimana contoh yang terdekat adalah seniornya (alumni). Nah, ketika dilihatnya mantan-mantan Ketum PB HMI rata-rata hidupnya mentereng, rumahnya besar-besar, kursinya tinggi-tinggi dan empuk, dan sebagainya, tentu yang dipikirnya adalah jabatan Ketum PB itulah tiket gratis menuju kehidupan yang penuh gemerlapan itu ..... lain lagi (coba dibandingkan) jika rata-rata kehidupan mantan Ketum PB seperti bang Dullah Hehamahua? (dikejar rejim yang berkuasa sampai kabur ke Malaysia, hidup pas-pasan). Maka cuma kader yang mewakafkan diri yang bersedia dicalonkan menjadi Ketum PB HMI. (tidak bakal nyampe jumlah 30 orang). Wallohu’a’lam…

2 Kutipan rekaman forum Simposium Nasional Tafsir-tafsir HMI, di Mataram, 1986:
Memang tidak mudah mengambil keputusan dalam situasi sulit, mental tertekan/tidak merdeka (tidak independen) seperti yang konon dialami oleh PBHMI (Harry Azhar Azis, Cs) pada saat menghadapi kebijakan pemerintah orde baru terkait UU No. 8/1985 mengenai asas tunggal Pancasila (katanya ada tekanan dari pihak eksternal HMI).
Dalam situasi seperti itu (jika benar demikian) orang cenderung ingin cepat-cepat keluar dari masalah yang sedang dihadapi, tidak mau/tidak mampu berfikir panjang-panjang apalagi njlimet menghitung dampak yang kecil-kecil. Itu tampak dari pernyataan PBHMI di forum Simposium Nasional Tafsir-tafsir HMI di Mataram, 1986, (paska penerimaan astung oleh PBHMI dalam Pleno IV di Ciloto), yang kabarnya forum simposium tersebut sedianya akan dijadikan media bagi PBHMI untuk mensosialisir kebijakan politik PBHMI agar Cabang-cabang HMI beraklamasi mendukung kebijakan politik PB HMI mengenai astung, namun gagal karena ketika PBHMI ditanya :"bagaimana konsep/sistem penjelasan PBHMI dalam mengelola HMI sebagai organisasi kader dan perjuangan islam dengan asas PS?, bagaimana menyusun sistem perkaderan dan strategi perjuangan bagi organisasi mahasiswa islam dalam wadah yang tidak berlandaskan Islam? Atau, bagaimana men-derivasi Pancasila sebagai asas organisasi dalam sistem perkaderan dan perjuangan bagi organisasi islam seperti HMI?", PBHMI tidak bisa menjawab, kecuali (setelah didesak berkali-kali, baru kemudian dijawab oleh Yamin Tawari, Kabid Kader PBHMI) bahwa PBHMI belum melakukan kajian sejauh itu, seperti yang dipertanyakan cabang Yogya, tapi baru sebatas kajian politik dan taktik menghadapi UU keormasan".
Mendengar penjelasan PB HMI seperti itu forum yang dihadiri pimpinan Cabang HMI dari berbagai daerah di Indonesia itu menjadi resah dan kecewa, karena ternyata PBHMI sama sekali belum memikirkan/tidak mau (atau tidak mampu?) menghitung atau setidaknya menyadari dampak atau implikasi-implikasi apa yang bakal terjadi (terutama ke dalam sistem-sistem internal organisasi) atas putusannya itu. Artinya PBHMI semata hanya mau amannya sendiri (mau cepet-cepet melepaskan amanah Kongres), tanpa menghitung keamanan dan keselamatan wadah dan isi organisasi secara keseluruhan dalam jangka panjang. Melihat situasi forum yang kritis saat itu maka spontan Ketua Delegasi HMI Cabang Yogya maju ke forum untuk mempresentasikan konsep KHITTAH Perjuangan HMI yang memuat sistem penjelasan yang integreted antara (tafsir): Asas, Tujuan dan Independensi (sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan) sebagai alternatif sistem penjelasan atau kerangka ideologi HMI. Bahwa sikap independensi tiada lain harus ditafsirkan dan dilaksanakan dalam rangka asas dan tujuan, tidak bisa ditefsirkan lain dan dijalankan sendiri-sendiri secara terpisah, melainkan harus konsisten dan integreted.
Makalah HMI Cabang Yogya tidak dibantah, bahkan mengundang simpati forum, akhirnya forum simposium deadlock karena diskusi berubah menjadi sikap dukung mendukung antara kebijakan politik PBHMI dengan pemikiran cabang-cabang seperti yang dipresentasikan oleh delegasi HMI Cabang Yogya. PBHMI gusar, forum yang dipimpin oleh Yassin Kara (kabid aparat PBHMI) serta merta menawarkan opsi kepada peserta: “siapa yang setuju kepada kebijakan politik PBHMI dipersilakan tetap tinggal didalam forum ini, dan siapa yang tidak setuju dengan kebijakan politik PBHMI dipersilakan meninggalkan forum ini”. Spontan forum bubar, para peserta meninggalkan forum kecuali yang tinggal hanya beberapa peserta delegasi Cabang HMI termasuk Cabang Mataram selaku tuan rumah.
Peserta (para delegasi) bersedia masuk forum kembali setalah dinegosiasi dan disetujui tuntutannya oleh PBHMI bahwa untuk menjaga keselamatan dan keutuhan organisasi maka PBHMI harus bersedia masuk forum kembali setelah dinegosiasi dan disetujui tuntutannya oleh PBHMI bahwa untuk menjaga keselamatan dan keutuhan organisasi maka PBHMI harus bersedia/berjanji mempertemukan pimpinan cabang HMI seluruh Indonesia sebelum pelaksanaan Kongres 16 yang direncanakan di Padang, guna mendengar aspirasi mereka terkait astung. Janji mana tidak pernah ditepati oleh PBHMI, sebaliknya PBHMI malah “membekukan” cabang-cabang yang tidak sependapat dengan kebijakan politik PBHMI, dengan cara membentuk pengurus cabang transitip HMI.
Berdasar kenyataan-kenyataan demikian maka wajar jika kemudian muncul sikap keprihatian dan keberatan dari para pimpinan Cabang HMI yang kemudian membentuk forum yang disebut Majelis Penyelamat Organisasi (MPO) HMI dengan SKB (Surat Keputusan Bersama) yang ditandatangani oleh 9 Pimpinan Cabang besar HMI (Cabang: Yogayakarta, Semarang, Jakarta, Bandung, Bogor, Purwokerto, Pekalongan, Bandarlampung, Ujung Pandang).

*Tulisan pernah dimuat di Majalah "BerSUARA" Lapmi Cabang Semarang Edisi XXV Oktober 2013/1434


PROFIL


H. MOHAMMAD CHAERON, S.H.

·         Lahir : Tanjungsari-Kajen-Kab. Pekalongan, 23 September 1959
·         Keluarga : 1 istri, 7 anak
·         Pendidikan : Sarjana Hukum Ketatanegaraan, Fakultas Hukum UGM
·         Training di HMI yang pernah diikuti:
-          Basic Training/LK I tahun 1980
-          Intermediate Training/LK II tahun 1983
-          Senior Course tahun 1984
-          Advance Training/LK III tahun 1984
-          Training Pers Lapmi
-          Training Kebendaharaan tahun 1981
-          Training Kesekretariatan tahun 1982
-          Lokakarya Pengader Nasional di Purwokerto tahun 1984/85
·         Pengalaman Organisasi di HMI:
-          Bendahara Umum HMI Komisariat FH UGM tahun 1981-1982
-          Ketua Umum HMI Komisariat FH UGM tahun 1982-1983
-          Staff Pembinaan Anggota Badko Jabagteng tahun 1984-1985
-          Ketua Umum HMI Cabang Yogyakarta tahun 1985-1986
-          Mejelis Pekerja Kongres PB HMI tahun 1986-1988
-          LPL (Korps Pengader)
-          Tim Perumus Khittah Perjuangan


sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com