This is default featured slide 1 title

Majalah Bersuara LAPMI Cabang Semarang

This is default featured slide 2 title

Foto Majalah Bersuara LAPMI Cabang Semarang

This is default featured slide 3 title

Majalah Bersuara LAPMI Cabang Semarang

This is default featured slide 4 title

Majalah Bersuara LAPMI Cabang Semarang

This is default featured slide 5 title

Majalah Bersuara LAPMI Cabang Semarang

Senin, 31 Maret 2014

SINDIKASI WAWASAN SOSIAL: ISLAM DAN NEGARA BANGSA Oleh: Lukman Hakim Hasan


Korps Pengader HMI Cab. Semarang adakan Sindikasi materi Wawasan Sosial, pembicara kanda Lukman Hakim Hasan (Dosen UNS, Mantan Ketua PB HMI (MPO) tahun 1997) di rumah Kanda Sapto Widodo (Semarang, 9/2/14).  Berikut ini ulasan materi Sindikasi Wawasan Sosial oleh Kanda Lukman Hakim Hasan.

Islam adalah agama lintas bangsa, islam lebih dulu dari pada negara bangsa dia muncul pada masa awal, dan mengembangkan sebuah paham yang kita kenal dengan paham islam. Islam menyediakan lebih banyak instrumen dari pada negara bangsa. Selama kira-kira dari abad ke 8 masehi sampai 600-700 tahun islam sudah bisa membangun sebuah kode konstitusi, negara islam sudah mampu membuat  undang-undang, membuat struktur tata negara meskipun memang harus diakui bahwa interaksi sejarah islam kemudian membuat islam sangat akomodatif, dengan paham-paham yang sudah ada sebelumnya yakni paham monarki. Jadi kalau kita lihat dan refleksikan sejarah islam pada awalnya islam lahir dalam sebuah masyarakat yang bukan monarki. Ini adalah pesan awal dari lahirnya islam.

Islam di Timur Tengah dan Arab Saudi pada masa itu, tidak ada yang namanya monarki yang ada adalah kabilah-kabilah yang dia mengandalkan kekuatan ekonomi dan politik keluarga. Kabilah adalah kelompok-kelompok keluarga bukan monarki, maka tidak ada kerajaan di sana. Jadi, di Arab Saudi ketika itu tidak ada yang namanya kerajaan, yang ada adalah kekuatan ekonomi yang berhimpit dengan politik, contohnya adalah keluarga Bani Hasyim yang merupakan keluarga nabi Muhammad dikenal sebagai keluarga yang sejak dulu dekat dengan agama. Di dalam tradisi islam, keluarga nabi muhammad dikenal sebagai keluarga santri karena turun-temurun menjaga ka’bah. Sementara, keluarga yang lain yakni keluarga Siti Khodijah adalah keluarga ekonomi, juga keluarga Abu Sufyan dikenal dengan keluarga ekonomi. Keluarga-keluarga itu tidak membentuk sebuah sistem monarki, nanti monarki muncul ketika islam mulai merambah ke Persia, Romawi dan kenegara lain sehingga menyerap sistem monarki.

Maka, kalau kita melihat sejarah awal peradaban islam substansinya adalah musyawarah, seperti pemilihan khalifah setelah rasulullah meninggal dunia naiknya Abu Bakar As Shidiq adalah dengan musyawarah. Paling tidak disitulah orang-orang syiah mengklaim peristiwa bani saqifah yang menjadi titik tolak pertama munculnya konflik antara Ansor dan Muhajirin yang membuat orang-orang syiah kemudian tersingkir karena sebagian besar umat islam ketika itu justru cenderung membicarakan mengenai siapa pengganti rasulullah dan tidak mencoba untuk  merawat rasulullah ketika setelah sampai kemudian dimakamkan.  Jadi, yang memakamkan rasulullah adalah ahlul baits, yakni Ali dan Fatimah. Sehingga Ali tidak sempat ikut berdebatan di balik bani saqifah ketika kaum Ansor dan Muhajirin berebut kekuasaan, sehingga munculah Abu Bakar. Dan ada juga orang-orang yang datang disitu harus berbaiat dengan Abu Bakar termasuk orang-orang yang non arab yakni salman al farizi, abu dadh al ghifari, di klaim oleh orang syiah mereka adalah pengikut-pengikut syiah. Kemudian, malam harinya setelah rasulullah dimakamkan, orang-orang ini ditanya oleh Fatimah, kenapa anda mau baiat? Mereka menjawab karena tidak enak. Ini adalah simbol musyawarah ketika itu.

Jadi, naiknya Abu Bakar adalah musyawarah sedangkan Umar Bin Khattab itu ada formatur, begitu pula naiknya Usman ada formatur. Tetapi untuk naiknya Ali sudah ada tarik menarik antara kelompok-kelompok Usmani dan kelompok ahli baits yang akhirnya dimenangkan oleh Ali itu pun juga kemudian musyawarahnya di masjid. Hal ini mencontohkan sebenarnya islam sejak masa rasulullah sampai empat khalifah ini adalah sistem musyawarah, tetapi kemudian setelah islam meluaskan wilayahnya kemana-mana, islam mungkin dengan sangat terpaksa ataupun tidak terpaksa harus berbenturan dengan sebuah paham yang kemudian lebih besar yang namannya monarki. Misalnya seperti Muawiyah yang bertempat di beberapa daerah seperti Syriah, Syam, dia akhirnya mengadopsi sistem ini yang cenderung lebih mudah sehingga berlaku sampai masa Bani Ummayah 100 tahun dan Bani Abassiyah 400 tahun. Jadi, sebenarnya basis islam adalah musyawarah seperti yang dicontohkan pada masa khulafaurrasyidin dari Abu Bakar sampai Ali sekitar seperempat abad atau 25 tahun. Mungkin saja, demokrasi yang dikatakan oleh barat sudah ada sejak masa khulafaurrasyidin.

Jadi, sumbangan islam terhadap dunia sampai saat ini adalah musyawarah dengan segala macam modelnya yang kemudian orang mengklaim namanya demokrasi.
Tetapi kemudian dalam perjalanan sejarah, islam kalah dengan paham-paham yang sudah besar yang namanya monarki sehingga Ummayah dengan Muawiyah, Abu Sufyan berkuasa 100 tahun, dan kemudian Abbasiyah dari kata abdul abbas yang merupakan pamannya rasulullah, Abbas Assafah karena mengkudeta Bani Ummayah dengan perang yang sangat getir, pembunuhan semua orang Ummayah, inilah yang merupakan kemunduran islam khususnya dalam sistem birokrasi. Sehingga hal ini sampai sekarang masih terwariskan di jazirah arab yang dikenal dengan Arab Spring sekarang ini yang korbannya berjatuhan dimana-mana warisan monarki. Jadi, arab yang menjatuhkan korban berjatuhan sekarang ini adalah perpaduan dua hal yakni monarki dan sosialis. Ini buktinya kalau islam kalah, karena tidak kembali pada ajaran islam seperti yang dilakukan oleh tokoh-tokoh islam seperti Sadam Husain, Husni Mubarak ini mencoba memadukan sosialisme dengan islam ala Sadam Husain. Oleh karena itu muncul keinginan kita ada sebuah sistem yang akan kita bawa dan itu orisinil.

Islam diturunkan di Mekkah karena sistemnya kompatibel dengan islam ketika itu tidak ada sistem monarki. Jika kita banding era Muhammad dan Musa menunjukkan perbedaan yakni era Muhammad lebih kompetibel dengan era ekonomi seperti sekarang ini, era bebas atau era munculnya WTO, sedangkan era Musa berhadapan dengan fir’aun, seperti masa rezim Soeharto di Indonesia karena ada satu sosok yang memang dimusuhi. Dalam sejarah peradaban islam, yang dihadapi nabi-nabi itu berbeda-beda, seperti nabi Musa, nabi Ibrahim yang dihadapi adalah otoritarian yang jelas nampak, bukan kekuatan ekonomi dibuat oleh politik seperti sekarang. Kalau sekarang kita memaki-maki presiden biasa dan tidak ditangkap, tetapi kalau dulu eranya Soeharto bisa digantung Artinya, sekarang ini adalah eranya Muhammad bukan era Musa.

Kalau kita bertanya, kenapa nabi Muhammad tidak pernah diberikan mukjizat yang riel, misalnya tongkat yang bisa membelah laut, atau seperti nabi Isa menghidupkan orang mati, bahkan Muhammad tidak pernah diberi mukjizat yang sifatnya mungkin setengah irasional seperti membelah laut, atau tongkatnya jadi ular. Karena nabi Muhammad adalah tipe rasionalitas maka yang digunakan adalah rasionalnya bukan menghidupkan orang mati, atau menyembuhkan penyakit.

Islam sebenarnya telah memberikan warisan yang cukup banyak dari sisi penataan birokrasi tetapi kemudian ketika menjadi besar dan berinteraksi dengan paham-paham kekuasaan yang lain akhirnya kalah, bahkan sampai sekarang pun sebagian rezim yang ada di timur tengah adalah rezim monarki, bahkan eropapun adalah rezim monarki seperti Inggris, Belanda, serta Malaysia sekarang pun juga masih monarki. Jadi kalau mau jujur yang sudah merdeka sebenarnya adalah Indonesia karena menggunakan sistem yang murni musyawarah. Kalau kita renungkan bahwa Indonesia adalah satu tipe ideal sebuah bangsa yang melaksanakan musyawarah secara lebih komprehensif. Negara yang lain seperti Malaysia isinya hanya mengeluh saja tentang struktur politiknya, berbeda yang di Indonesia yang sudah on the right track yakni ada pemilu dan setiap warga negara berhak menjadi presiden sedangkan Malaysia sulit karena ada raja yang dipertuan agung disana. Meskipun ada perdana menteri di Malaysia, tetapi tetap juga di bawah raja tidak seperti indonesia. Hal ini bagi warga Malaysia yang terdidik dan intelektual adalah sebuah tekanan karena tidak bisa mengekspresikan sikap seperti masyarakat seutuhnya yang ada di Indonesia. Hal ini yang sering dikeluhkan warga Malaysia yang harus bekerja dan mengelu-elukan sultan karena mereka dipotong pajaknya untuk sultan disana.

Islam punya perspektif yang lebih jauh dari pada nasionalisme, hal ini yang akan saya sampaikan dalam orasi ilmiah UMS 2014 yang akan berbicara tentang tahun 2015 dimulainya masyarakat ekonomi asean (asean economy community) yang  dipertentangkan dengan nasionalisme. Hal ini sebenarnya adalah satu tesis baru bahwa eropa dengan adanya uni europe sudah menggerus tesis lama tentang nasionalisme karena sekarang ini yang ada hanya kepentingan ekonomi persis pada jaman rasulullah.orang yang kuat saat ini adalah orang yang kuat secara ekonomi. Islam pertama kali memotret hal ini dan membuat rasulullah mendesain sebuah bangsa yang hidup dengan agama yang berbeda-beda, yahudi dan nasrani di dalam naungan islam. Dengan kita menerima asean economy community ada kendala karena kita tidak punya mimpi disana, berbeda dengan negara eropa yang punya mimpi untuk mengalahkan Amerika Serikat. Mimpi orang eropa adalah bagaimana mereka akan menjadi satu bangsa yang bisa mengalahkan Amerika Serikat maka ketika disiapkan menjadi uni europe mereka semangat termasuk negara Inggris pada awalnya namun akhirnya keluar karena tekanan Amerika Serikat. Negara yang tetap melawan Amerika adalah dua negara barat yakni Jerman dan Perancis karena dua negara ini yang punya power untuk bisa melawan Amerika dengan bersatunya eropa. Sedangkan Asia Tenggara sebenarnya tidak ada treager kesana, karena sebenarnya yang akan dibuat oleh Masyarakat Ekonomi Asean ini adalah nusantara raya, makanya perlunya barisan nusantara ini yang mau dibentuk adalah nusantara raya karena kita akan mengembalikan nusantara pada pengertian yang lama. Bayangkan kita sebagai bangsa yang besar tetapi nama Indonesia itu yang memberi adalah orang lain, Indonesia dulu hanya sebuah foot note disebuah artikel ilmiah yang terbit di singapura yang namanya Logan karena mereka bingung untuk menamakan dan manyatukan pulau-pulau yang banyak sekali berbeda dengan malaysia yang hanya satu pulau dan mudah  untuk memberi namanya. Akhirnya untuk menamakan pulau-pulau itu diambil kata nesia yang artinya pulau dan diberi nama indo karena panjangnya pulaunya. Padahal, nama kita sesungguhnya kalau dari majapahit adalah nusantara yang lebih indah dari kata nusa dan antara, pulau dan pantai diantanya.

Nusantara kalau menurut cerita yang sebelumnya adalah wilayahnya sejak dari Madagaskar sampai nanti di Hawai bahkan ada yang mengatakan sampai Afrika Selatan nusantara itu dalam beberapa cerita. Nusantara begitu luas karena buktinya banyak orang-orang melayu yang sampai melaju Afrika Selatan. Inilah yang perlu dimaknai, bahwa negara bangsa yang dimaksud setelah tidak adanya era penjajahan secara fisik seperti sekarang ini mulai ada redefinisi mengenai negara bangsa. Jadi, persamaan nasib suatu bangsa sekarang ini bukan karena adanya perasaan senasib karena penjajahan tetapi persamaan nasib bagaimana meningkatkan negara secara bersama di Asia Tenggara. Tahun 2015 nanti, kalau ada barang masuk dari luar negeri yang masuk dari pintu di Manila maka sudah tidak perlu membayar lagi, silahkan saja masuk negara lain seperti ke Indonesia atau Singapura bebas. Inilah yang disebut negara satu pintu, misalnya ketika barang mau masuk lewat barat maka hanya membayar sekali di pintu Pulau We dan kemudian bisa ke negara lain misalnya Thailand atau Filiphina.

Asia Tenggara besok adalah bangsa yang hebat mulai tahun 2014, persoalanya adalah kesiapan, Thailand sudah siap, Filipina sudah siap, apalagi Singapura, tetapi Indonesia tidak pernah siap, karena belum disiapkan. Perlu dikritisi, siapakah yang sebenarnya bertanggungjawab menjelaskan kepada masyarakat bahwa 2015 nanti adalah era Asia. Sementara di Thailand ada empat ritus pusat studi Indonesia, dan sekarang bahasa Indonesia sudah diajarkan di tingkat SMP-SMA. Jika Indonesia tidak menyiapkan diri maka sebentar lagi dokter-dokter Indonesia akan kalah dengan dokter-dokter dari Malaysia yang akan praktek di Indonesia seperti sekarang banyak yang dikirim di Universitas di Indonesia. Jadi, bisa disimpulkan negara di Asia Tenggara tahu persis bagaimana memanfaatkan Indonesia tetapi kita tidak pernah tahu bagaimana memanfaatkan mereka.

Sangat ironis ketika kita masih bangga dulu tahun 70an bisa mengirim sarjana-sarjana ke malaysia untuk menjadi guru. Ternyata menurut penuturan orang Malaysia memang betul sarjana Indonesia dikirim banyak sekali untuk menjadi guru SD, dan menggantikan guru-guru SD malaysia yang waktu itu sekolah di luar negeri mengambil program S2 dan S3. Hal ini tidak perlu dibanggakan karena kita hanya diminta membantu mengajar SD karena guru SDnya sedang dikirim ke luar negeri untuk S2 atau S3. Dan setelah pulang dari luar negeri orang malaysia bisa membuat universitas yang bagus-bagus dan memiliki doktor yang banyak sekali.

Kondisi diatas sekarang juga terjadi dengan dikirimnya TKI-TKW ke malaysia karena malaysia tidak memiliki jumlah penduduk untuk mengurusi kebun-kebun karena jumlah penduduk malaysia kurang. Penduduk malaysia sekarang ini hanya sekitar 25 juta. Makanya sekarang KB tidak berlaku di Malaysia, sekarang orang punya anak banyak seperti orang cina dan india yang berlomba-lomba punya anak banyak di malaysia.

Sekarang orang india di malaysiaselalu membeli tanah di pinggir jalan untuk dibangun tempat ibadah kuil dan candi. Malaysia negara islam tapi sangat toleran dengan agama hindu. Sekarang sedang bangkit luar biasa ekonomi orang india, pesawat air asia yang menghubungkan asia tenggara adalah milik india, tetapi dalam segal hal cina masih eksis, karena eksport dan lainnya yang menggerakan adalah orang cina, seperti yang terjadi di singapura.

Kemerdekaan Malaysia adalah pemberian dari Inggris maka kalau ada yang baru langsung dipakai di Malaysia, begitu Malaysia diserang Inggris membela. Hal ini berbeda dengan kemerdekaan Indonesia yang harus ditempuh dengan perang dulu dengan Belanda, sehingga kita tidak bisa bahasa Belanda sedikit pun karena mengalami over nasionalisme, mestinya ketika merdeka masih diajarkan bahasa Belanda di kelas-kelas kita karena kita akarnya dari jajahan belanda. Sehingga sampai sekarangpun orang Indonesia tidak bisa berbahasa Belanda satupun karena terlalu nasionalisme atau over nasionalisme.

Dua hal yang sekarang sedang saya renungkan, kenapa kita bangsa Indonesia dan nusantara pada umumnya tidak maju. Kita sudah merdeka cukup lama tetapi tidak maju, berbeda dengan bangsa yang seusia kita lebih cepat mereka mencapai kedewasaan misalnya Cina hanya butuh waktu kira-kira tahun 1978 sampai maju seperti sekarang, begitu pula India, meskipun lambat karena penduduknya banyak tetapi sekarang yang menguasai lembah dunia adalah orang India, hampir sebagian besar universitas dunia itu ada dosen yang orang India yakni di Malaysia, Australia, dan di Amerika Serikat, serta yang menguasai lembah silikon atau dunia IT adalah orang India di California, belum termasuk Jepang dan Korea yang maju. Bagaimana dengan Indonesia dan orang melayu? Apakah hanya akan menjadi bangsa yang untuk tambah-tambah saja atau pelengkap karena tidak yang bisa kita lakukan. Maka kita harus refleksikan yang paling jauh tentang hidup kita apakah hidup kita di dunia ini karena by desain atau by accident? Hidup kita karena didesain atau karena kecelakaan, kalau kita melihat hidup kita by accident kita tidak perlu kuliah jauh-jauh, cukup saja berkumpul dengan teman-teman  minum oplosan dan mati karena melihat hidup hanya by accident, karena kecelakaan, dan pasrah lahir sudah seperti ini. Maka kita harus melihat hidup ini by desain karena kita dihadirkan di dunia ini karena Allah punya rencana. Persoalannya bagaimana kita berencana untuk negara seperti ini, apa yang bisa kita kembangkan untuk bangsa kita, yakni dari al quran dan dari khittah kita apa yang bisa kita kembangkan untuk negara kita.

Asia timur bisa seperti ini basisnya adalah dendam, dan hampir semua bangsa-bangsa yang besar sekarang ini bisa muncul sebagai kekuatan yang menggerakan masyarakatnya karena dendam. Sampai sekarang hanya orang korea dan orang cina itu dendam dengan orang jepang sampai digambarkan dalam film jet li yakni once upon the time in china itu ujung-ujungnya adalah anti jepang karena cina sebagai bangsa besar pernah dijajah oleh jepang, begitu pula dengan korea. Sampai sekarang orang korea tidak mau menggunakan barang buatan jepang. Bagaimana dengan Indonesia? tidak, orang Indonesia adalah orang yang baik hati tidak pernah dendam dengan siapapun. Jadi orang Indonesia itu cirinya ada tiga yakni bangsa pelupa, bangsa pemaaf, dan pandai mengambil hikmah.

Belanda saja, yang sudah menjajah kita 3 setengah abad, dendam dengan Indonesia, buktinya belanda baru mengakui Indonesia merdeka 1945 baru diakui tahun 2005. Sehingga ratu belanda mengirim menlunya ke indonesia untuk memperingati hal itu, ketika ditanya oleh menlu waktu itu Hasan Wirayuda, pihak belanda menjawab baru mengakui kemerdekaan Indonesia setelah 60 tahun indonesia merdeka karena untuk menjaga perasaan para pejuang kami dulu melawan indonesia. Sementara kita dengan belanda tidak pernah dendam, begitu pula dengan jepang karena barang-barang kita jepang semua. 

Lalu apa etos yang bisa menggerakkan kita sebenarnya, kalau berbicara dalam konsep islam untuk menggerakan Indonesia adalah bersyukur yang bisa menggerakan kita. Hal ini karena kalau kita membaca al quran kemudian sampai pada ayat mengenai surga, yang bisa menggambarkan secara detil tentang surga menurut quran adalah Indonesia, surga itu warnanya agak hijau, kemudian dibawahnya mengalir sungai-sungai dibawahnya, apa di arab saudi ada yang seperti itu yang warna hijau dan mengalir sungai-sungai dibawahnya karena hanya ada padang pasir. Coba kita lihat ayat lain bahwa gunung setiap hari bergerak,  sedangkan di Indonesia setiap hari gunung bergerak berbeda dengan malaysia yang disana tidak ada gunung yang berapi. Ada ayat lain juga yang mengatakan gunung yang menyeimbangkan dunia, hal ini bisa dibuktikan di Indonesia, karena kalau tidak ada gunung di Indonesia dunia itu tidak seimbang. Mengapa kita di Indonesia adalah untuk mensyukuri nikmat Allah. Inilah yang menjadi basis Indonesia untuk menjadi etos bukan dendam karena kita tidak pernah dendam dengan siapa-siapa, dengan belanda tidak dendam, jepang juga tidak dendam, dengan pak hartopun kita tidak dendam malah sekarang senang dengan anekdot piye kabare?. Ketika orde baru dikalahkan oleh reformasi pun pemainnya tidak pernah ganti, yang ada hanya orang-orang lama yang sudah memiliki perilaku korup, tetapi mereka kita lupakan, kita maafkan dan kita hanya bisa mengambil hikmah. Maka kita tunggu adanya era orang baru dan muda.

Makanya orang seperti Anies Baswedan harus diusulkan dan didorong. Kemarin di medan, Anies Baswedan menyatakan kalau saya jadi presiden BUMN akan saya pindah ke daerah. Hal ini karena melihat indonesia yang frustasi karena ekonomi itu 70% ada di Jakarta karena BUMN, kantor swasta di Jakarta semua uangnya. Kalau uang diibaratkan sebagai darah, dan tidak menyebar keseluruh tubuh atau wilayah kita maka akan pincang, dampaknya adalah inflasi begitu pertumbuhannya sangat tinggi yang dinamakan over heating atau ekonomi kepanasan. Faktanya Indonesia dengan pertumbuhan penduduk yang besar mesinnya hanya ada di Jakarta yang kecil. BUMN yang asetnya sekitar 6000 triliun hanya 10 triliun asetnya yang berada di daerah. Jumlah BUMN totalnya ada 153, dan masing-maasing BUMN rata-rata punya anaka perusahaan 10, sehingga ada 1500 perusahaan BUMN kita. Artinya merubah Indonesia harus menggunakan cara-cara yang tidak biasa dan nahkodanya juga yang tidak biasa.

Harus ada sebuah gerakan di Indonesia, khittah perjuangan adalah kumpulan ayat-ayat al quran tetapi menjadi cara pandang gerakan dalam ber-HMI, hal ini bisa kita terapkan untuk merefleksikan bagaimana memaknai Indonesia sekarang ini, apa kira yang bisa kita tanamkan sehingga masyarakat itu tergerak, untuk bisa bekerja keras. Caranya adalah mungkin dengan mensyukuri nikmat Allah yang lebih bagus, seperti kalau kita berbicara mengenai kapitalisme menurut Webber yakni Etika Protestan karena di dalam ajaran protestan terutama di satu klan yang namanya Calvinisme itu orang-orangnya mau bekerja keras karena membaca kitab injil yang isinya “kamu boleh makan setelah kamu bekerja”. Itulah yang menggerakan satu kelompok calvinism ini untuk bekerja. Inilah yang disebut Max Webber seorang sosiolog sebagai etika protestan yang mengajarkan kalau ingin makan harus bekerja. Oleh karena itu, bagaimana kita juga bisa mencari hal seperti ini dan kita pakai untuk bisa mencapai suatu target dan tidak hanya santai. Saatnya kita mengkaji al quran kembali, seperti kita dengan Khittah, karena Kita harus bisa menemukan sesuatu dari Islam yang bisa mengubah umat kita meskipun kita bukan seorang nabi sehingga menjadi gerakan yang luar biasa. 

Kesimpulannya, Wawasan sosial islam memiliki fokus utama yakni islam dan indonesia sebagai entri masuk, dan kemudian dibreakdown sampai tingkat filosofi tentang paham nasionalisme sampai perkembangan terkini. Kemudian kalau berbicara islam kita akan masuk pada konflik-konflik pemahaman dalam kenegaraan, sosial. Termasuk mempelajari hubungan ilmu-ilmu sosial akan terlihat bagaimana ilmu sosial di indonesia yang jauh tertinggal dengan ilmu-ilmu yang lain.


Jumat, 21 Maret 2014

SEJARAH SUNAN MURIA* Oleh: K.H. Mastur


Sunan Muria adalah Wali Qutub (Wali Pemimpin Wali) yang lebih memilih mendakwahkan Islam ditempat berbeda dengan wali yang lain yakni di Puncak Gunung Muria. Beragam versi sejarah Sunan Muria mengundang ketertarikan Tim Travelling Journalism (Ekstrainer Peserta Training Jurnalistik Lapmi Cabang Semarang) bersama Tim Redaksi Majalah Bersuara untuk memverifikasi tentang Sejarah Sunan Muria dengan narasumber yang merupakan salah satu Keturunan Sunan yakni Bapak K.H. Mastur (62) Ketua Dewan Pembina Yayasan Masjid Makam Sunan Muria periode 2013-2018 pada 14/1/2014 lalu. Berikut hasil wawancara kami dengan beliau.

Bagaimanakah silsilah Sunan Muria, karena ada beberapa sumber yang mengatakan Sunan Muria adalah keturunan langsung dari Sunan Kalijaga dan versi lain mengatakan Sunan Muria bukan keturunan langsung dari Sunan Kalijaga?
Karena tidak ada referensi yang mendukung atau yang akurat memang perbedaan itu sebagai khazanah saja, untuk silsilah memang seperti pendapat pak Solihin Salam mengatakan Sunan muria adalah bin sunan Ngudung dan beberapa versi mengatakan bin sunan Kalijaga. Kalau menurut kepercayaan saya, meskipun apapun yang terjadi saya tetap percaya asal itu dibuktikan dengan pendekatan yang ilmiah, mungkin sampai genealogi nanti insyaallah akan percaya, tetapi kalau di sini ada silsilah bin Sayyid Karomat dan Nyi Ageng Maloka itu ada tertulis dulu di dinding makam dan sekarang disimpan sebagai kekayaan sejarah.

Sunan Muria dikenal dengan nama Umar Said, apakah juga ada versi lain?
Umar Said memang nama Sunan Muria dan memang tidak terbantahkan, tidak ada versi lain. Ada sumber yang mengatakan Umar Said memang asli bermukim di puncak gunung Muria meskipun bukan penduduk asli Muria, kemudian mengajarkan agama Islam di puncak Gunung Muria, sampai sekitar Pati, Juwana, Rembang dan sebagainya maka beliau terkenal dengan Sunan Muria, sedangkan Muria sendiri adalah nama sebuah gunung. Beliau Umar Said dinisbatkan untuk bermukim di puncak gunung Muria.

Apakah ada bukti keberadaan sunan Muria di Gunung Muria baik dari cerita rakyat, pelaku sejarah, atau petilasan-petilasan yang ditinggalkan oleh beliau tentang tahun kelahiran Sunan Muria?
Tidak ada artefak yang menunjukkan kapan Sunan Muria lahir. Sampai sekarang para penulis buku ketika masuk di waktu kelahiran  sunan Muria berhenti karena tidak ada catatan hanya ada beberapa tulisan  purba yang ditemukan di bekas masjid yang menunjukkan sekitar tahun 1660-an dan diperkirakan merupakan bagian dari renovasi masjid waktu itu. Jadi menurut saya beliau hidup pada abad 15-16 berdasarkan legenda yang berkembang di sekitar masyarakat Muria serta ketika masih muda saya pernah bertemu dengan tokoh atau sesepuh yang bernama Mbah Ismail Tunggoyono juga keturunan dari Mbah Sunan Muria. Saya pernah diceritakan bagaimana kronologi jalannya Sunan Muria sampai ke Gunung Muria bahwa Sunan Muria bukan asli penduduk Gunung Muria dan mempunyai Istri benama Raden Ayu Sujinah yang merupakan adiknya Sunan Kudus. Raden Ayu Sujinah adalah anaknya Sunan Ngudung tetapi ada juga yang mengatakan Sunan Murialah yang anaknya Sunan Ngudung. Jadi kalau memang benar, berarti Sunan Muria itu adalah anak menantu dari Sunan Ngudung. Sunan Muria datang ke Gunung Muria yang waktu itu belum ada pemukiman atau pedesaan yang ada hanya hutan. Ada beberapa versi yang mengatakan Sunan Muria datang dengan membawa Kerbau dan berhenti duduk di daerah Petoko (tempat yang agak tinggi), 6 km sebelah selatan Makam Sunan Muria untuk mendirikan masjid di sana tetapi akhirnya tidak jadi karena melihat tempat yang lebih tinggi di daerah Colo. Ada juga versi mengatakan kerbau itu berhenti di daerah Petoko hanya sejenak, belum sempat mendirikan masjid kerbau sudah bergerak menuju ke daerah Colo dan merumput di sini sampai selanjutnya lahan atau tanah untuk merumput menjadi tanah kesunanan milik Sunan Muria untuk mendirikan Masjid.

Apakah ada keterkaitan dengan hal-hal yang Mistis dalam pendirian Masjid seperti misalnya Kisah Sunan Kalijaga di Gua Kreo yang mencari Kayu Jati untuk dibawa ke Demak Bintoro tetapi terhalang oleh dua bukit kemudian segerombolan kera-kera tertarik dan berkeinginan untuk membatu?
Memang menurut legenda sering digambarkan seperti itu untuk pendirian masjid di Gunung Muria tetapi hal ini bukan mistis yang tidak masuk akal, bahkan sebelum mendirikan masjid Sunan Muria sudah diinterupsi oleh Sunan Kudus karena merupakan ipar dari Sunan Muria yang menentang Sunan Muria mendirikan masjid di puncak gunung dan di tengah hutan. Sunan Muria kemudian menjawab bahwa memang sekarang daerah ini puncak gunung dan tengah hutan tetapi dikemudian hari nanti akan dikunjungi orang-orang dari seluruh penjuru. Hal ini terbukti sekarang meskipun dulu orang datang ke Sunan Muria susah, dan hanya beberapa yang datang setiap selapanan. Setelah mendapat kritikan akhirnya sunan Muria tetap membangun masjid dan kemudian mendapat pujian dari para wali yang lain karena masjid yang didirikan bagus tetapi kemudian beliau merasa tidak enak dengan pujian itu karena mendirikan masjid dengan niat lillahi ta’ala untuk menyebarkan agama islam berjuang untuk menanamkan tauhid kepada masyarakat bukan untuk mendapat pujian dari manusia dan akhirnya masjid itu di bakar habis dan beliau kemudian mendirikan lagi masjid yang sederhana.

Bagaimanakah metode atau manhaj yang dikembangkan sunan Muria dalam mendakwahkan islam untuk masyarakat terpencil di puncak gunung  yang berbeda dengan metode Sunan Kalijaga yang lebih menjangkau ke dataran rendah?
Sunan Muria adalah wali Allah penyebar agama islam yang pasti diutus dan diatur oleh Allah meskipun bukan nabi untuk diamanahi menyebarkan agama islam di daerah pelosok. Kebetulan Sunan Muria tugasnya untuk mengislamkan atau mentauhidkan orang-orang kampung pelosok desa dengan kendaraan beliau yakni kuda putih yang sampai sekarang pelana kudanya masih ada, kemudian khodamnya atau penjaganya berwujud harimau yang disesuaikan dengan kondisi daerah puncak gunung.

Apakah metode dakwah Sunan Muria juga melakukan akulturasi dengan budaya lokal, seperti peninggalan beliau berupa air berkah dan kayu apakah ini tidak dikatakan mempertahankan budaya syirik?
Untuk peninggalan beliau yang paling utama adalah pengimaman atau mihrab dalam masjid yang lebih mencirikan pada budaya islam. Adapun orang menjustifikasi bahwa peninggalan sunan Muria adalah syirik itu silahkan karena pemahaman orang mungkin hanya sampai itu, tetapi Sunan Muria tidak mengajarkan syirik. Peninggalan kedua yakni gentong, menurut saya adalah petunjuk bahwa Sunan Muria bermukim di Gunung Muria karena waktu itu orang berumah tangga butuh gentong untuk menampung air bahkan sampai sekarang untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Hanya saja sekarang langsung dari keran, atau sumur maka tidak membutuhkan gentong. Setiap orang memang punya gentong tetapi bedanya yang mengambil air dari gentong tersebut adalah keluarga dari pemilik gentong sendiri. Berhubung ini gentongnnya sunan Muria yang seorang wali qutub (wali pemimpin wali) maka orang-orang lain datang mengambil air dari gentongnya. Beberapa masyarakat ketika bertemu dengan wali atau habib di daerahnya seperti di Kudus Gus Ulin, di Semarang Habib Umar, di Pekalongan Habib Lutfi mereka datang dan ingin mencium tangan ketika bertemu karena begitu hormatnya dan takzimnya dengan orang yang dekat dengan Allah. Ketika ingin dekat dengan Allah karena Sunan Muria adalah seorang wali yang sedemikian keramatnya, mereka mencari apa yang ditinggalkan, mau salaman tidak bisa maka ketika tahu gentong adalah peninggalan Sunan Muria akhirnya cukup dengan air gentongnya saja, tetapi bukan berarti syirik air ini bisa menyembuhkan dan harus diluruskan untuk meminta hanya kepada Allah jangan kepada Sunan Muria. Ibarat kita ingin menelpon maka kita harus mencari tempat yang sinyalnya kuat agar bisa langsung nyambung maka ketika datang ke Makam Sunan Muria bukan meminta kepada Sunan Murianya tetapi ibarat kita datang untuk menelpon di tempat yang sinyalnya atau auranya kuat yang tetap masih terjaga sampai sekarang dengan banyaknya orang datang karena kuatnya aura Sunan Muria.  Selain gentong, ada juga masyarakat yang menginginkan bunga yang sudah kering, bahkan kelambu makam pun ingin dimiliki, disamping itu tanaman parijoto itu karena ingin aura atau barokahnya sunan muria, tetapi memang boleh percaya atau tidak.

Apakah sunan muria adalah tokoh yang anti pati terhadap kekuasaan atau penguasa pada saat itu?
Kalau dilihat dari silsilah beliau juga membantu penguasa atau pemerintah meskipun tidak secara langsung dengan mengajarkan tauhid, akhlak, dan budi pekerti berarti konstibusinya terhadap negara sangat besar. Kalau dilihat dari silsilah memang biasanya yang berkuasa di Indonesia seperti keturunan Ken Arok yang kebanyakan berasal dari Solo. Dilihat dari silsilah Sunan Muria memang ada dua jalur silsilah yakni jalur birokrasi seperti kepala desa dan jalur kerohanian seperti imam masjid guru madrasah.

Apakah ada silsilah yang jelas Sunan Muria ke bawah atau ada yang masih hidup dan terlacak?
Untuk silsilah ke bawah jelas ada catatannya tetapi untuk silsialh ke atas memang ada berbagai macam versi tetapi semua versi memang benar mengarah pada sunan Muria. Kalau memang catatannya betul banyak keturunan Sunan Muria, bahkan sampai tahun 90an mayoritas keturunan adalah orang Colo, karena beliau bermukim di Colo dan menurunkan keturunan. Sunan Muria tergolong ningrat dengan nama panggilan Raden Umar Said, dan kalau catatan itu betul saya masih melihat kakek saya di tulis dalam silsilah Sunan Muria. Sejak masjid di makam membutuhkan imam yang rutin maka yang menjadi imam masjid pertama untuk sholat Jumat di awal tahun 1900an, kemudian setelah kakek saya meninggal akhirnya dilanjutkan pak dhe saya meskipun itu diangkat oleh pengurus yayasan sendiri, sampai dilanjutkan kakak sepupu saya dan kebetulan sampai tahun 2018 imamnya adalah saya. Jika memang tulisan itu benar, saya masih keturunan sekitar ke 15 dari Sunan Muria. 

K.H. Mastur, Ketua Dewan Pembina Yayasan Masjid Makam Sunan Muria

*Tulisan dimuat dalam Majalah Ber-SUARA LAPMI Cabang Semarang Edisi XXVII Maret 2014M/1435 H
Info & Berlangganan : 085640281855

Rabu, 19 Maret 2014

JAWANISASI ISLAM, DAN LAHIRNYA ISLAM SINKRETIK*


 Oleh: Drs. HM. Anasom M.Hum
(Pembantu Dekan I Fakultas Dakwah IAIN Walisongo)


            Sejarah Islam Jawa, bukanlah suatu sejarah yang tunggal. Sejarah panjang Islam di Jawa secara kronologi telah melahirkan beragam pemahaman Islam di Jawa. Dalam hal ini kita dapat melihat wajah Islam yang sangat kontektual, yang dipengaruhi oleh tidak saja sosio kultur masyarakatnya, tetapi juga alam pikiran, atau pandangan dunia Jawa, disamping tentu yang sangat penting adalah pengaruh politik kebudayaan, politik kekuasaan pada masanya. Dengan demikian salah besar kalau orang memahami Islam di Jawa sebagai satu kesatuan.  Dalam tulisan ini pengaruh politik kebudayaan, sebagai akibat hegemoni politik kekuasaan secara jelah melahirkan apa yang oleh banyak orang disebut sebagai Islam sinkretik.

Jawanisasi Islam  yang dimaksud dalam tulisan ini adalah  respon kebudayaan Jawa yang menginginkan kembali sebagai subyek sejarah. Karena pada fase tersebut Islam telah mengakar di masyarakat Jawa, maka upaya tersebut harus dibaca sebagai upaya menyelaraskan atau merevitalisasi kebudayaan Jawa dengan terpaksa mengakomodasi  ajaran Islam.
Untuk mendapatkan penjelasan tentang persoalan tersebut dalam paper singkat  ini akan dijelaskan hal-hal yang terkait, pertama, perang Jawa, kedua, akibat-akibat perang baik bagi kolonial maupun kerajaan Jawa, ketiga, campur tangan kolonial dalam kebudayaan. Keempat, Karya sastra Jawa Hegemonik. Dengan pola semacam ini, akan tampak lahirnya model pemahaman Islam yang khas pada periode ini.

A. Perang Jawa
 Abad 19 sebagai skup temporal dalam perkembangan Islam, merupakan perkembangan yang memiliki keunikan sejarah tersendiri. Dalam perkembangannya beberapa proses politik dilalui selama abad 19. Kecuali kolonialisme Belanda , diawal abad 19, pemerintahan Inggris sempat bercokol di Indonesia, pengalaman ini paling tidak memberikan warna lain dari situasi global baik pada sisi ekonomi, politik, budaya, maupun agama. 
Perkembangan menarik yang cukup menjadi momentum khususnya bagi perkembangan Islam adalah  "perang Jawa" yang oleh banyak sejarawan dijelaskan sebagai bentuk perlawanan antara kaum santri dengan kolonialisme Belanda.  Momentum tersebut dalam gerakan dakwah Islam sangat berarti, perang Jawa semakin memperjelas kekuatan Islam, batas-batas semangat keislaman tampak dalam masyarakat. Banyak sejarawan tidak melihat akibat-akibat perang terhadap masalah agama. Walaupun diantara penelitian-penelitian tersebut juga menjelaskan tentang berbagai kebijakan pasca Perang Jawa. Umumnya mereka tidak menelaah hubungan kausalitas antara Perang Jawa dengan kebijakan-kebijakan pasca perang, seperti Sistem Tanam Paksa, kebijakan haji, surutnya peran penguasa tradisional yang berimbas munculnya karya-sastra pasca perang yang kalau ditelaah lebih mendalam memperlihatkan penolakan terhadap ajaran Islam, dan sebagainya.
            Perang Jawa merupakan istilah lain dari Perang Diponegoro yang terjadi pada tahun 1825-1830. Disebut demikian karena perang ini sebenarnya merupakan titik kulminasi dari akibat keresahan masyarakat Jawa, yang satu sisi ditinggalkan penguasa tradisional karena kerjasama dengan kolonial, sisi lainnya adalah sumberdaya masyarakat dikuras secara ekonomi untuk kepentingan kolonial.
Pada tahun 1825 dibangunlah jalan baru yang melewati sebagian daerah istana Diponegoro di desa Tegalrejo, tanpa konsultasi atau pemberitahuan kepada Diponegoro. Peristiwa ini menjadi alasan kuat bagi Diponegoro untuk mengadakan pemberontakan terhadap pemerintah Yogyakarta, yang dipimpin oleh Patih Mangkubumi – juga salah seorang dari kelompok pengawas – dan terhadap pengaruh Belanda, yang makin lama menjadi kukuh.
Steenbrink[1] menjelaskan, selain berbagai kekecewaan dan kejengkelan, memang terdapat cukup banyak faktor lain yang medorong pecahnya perang Jawa (1825 – 1830). Perang ini sebagian bersifat Perang Saudara (Surakarta membantu Yogyakarta dalam menentang Diponegoro), tetapi sebagian besar juga bersifat perang anti kolonial, karena pihak Belanda menyokong dan memimpin tentara Yogyakarta dan Surakarta. Beberapa sebab perang Jawa ini antara lain :
a.       Pihak Belanda cukup banyak mengambil alih daerah Kesultanan Yogyakarta. Oleh sebab itu tanahnya makin lama makin menyempit, sehingga Sultan tidak bisa lagi memberikan tanah kepada keluarganya sebagai apanage (daerah sumber pajak).
b.      Orang Tionghoa diberikan kesempatan untuk memungut pajak, khusus pajak jalan pada pintu tol. Pembayaran pajak kepada bangsa Tionghoa seperti ini dirasakan sangat tidak menyenangkan.
c.       Adanya kekurang-adilan dalam masyarakat Jawa, khususnya di dalam pemerintahan pada pemulaan abad ke-19.
d.      Adanya bermacam-macam intrik di istana dan kraton Yogyakarta.
e.       Praktek sewa perkebunan secara besar-besaran kepada orang Belanda yang menyebabkan pengaruh Belanda makin lama makin membesar.
f.       Kerja paksa bukan hanya untuk kepentingan orang Yogyakarta saja, tetapi juga untuk kepentingan Belanda.

Perang Jawa menurut Peter Carey seperti dikutip Steenbrink menyatakan  cukup banyak kyai dan santri yang menolong Diponegoro. Dalam naskah Jawa dan Belanda, Carey menemukan 108 kyai, 31 orang haji, 15 syeikh, 12 pegawai penghulu Yogyakarta dan 4 kyai guru yang turut berperang bersama Diponegoro. Padahal sebelumnya, menurut Carey, hubungan kraton dan santri tidak begitu baik. Dalam tahun 1647 Sunan Mangkurat I pernah melakukan pembunuhan massal terhadap sekitar 5000 atau 6000 orang ulama dan santri daerah Tembayat, Kejoran dan Wana Kusuma – dalam rangka memadamkan perlawanan mereka – di alun-alun Plered. Dengan demikian, kata Carey, pendirian desa perdikan dapat  ditafsirkan sebagai politik pengurungan (policy of containment) para kyai dan santri, sebab biasanya, daerah desa perdikan itu terbatas, dan cukup jauh dari kota. Sebaliknya guru agama dan kaum santri lainnya disenangi, mendapat hak-hak istimewa dari kraton. Apakah pendirian desa perdikan dapat ditafsirkan sebagai alat “perdamaian” antara priyayi dan ulama, juga belum bisa dipastikan, karena hubungan antara kraton dan para ulama juga cukup akrab. Lembaga desa perdikan sudah ada pada zaman Hindu, dan lembaga ini kadang-kadang digunakan khusus untuk mendapatkan daerah yang lebih akrab dengan kraton. Banyak orang kraton kawin dengan kepala-kepala desa perdikan atau dengan anak ulama lain, dan menyerahkan anak mereka kepada kyai untuk dididik. Jadi priyayi dan ulama tidak bisa dianggap sebagai kasta yang terpisah    betul[2].
Perang Jawa secara umum dapat dikatakan dimenangkan oleh pihak Belanda, pada bulan Nopember 1828 Kyai Maja beserta separuh pengikutnya menyerah kepada Belanda di Klaten. Di bawah pengawasan Mayor De Stuers pada tahun 1830 Diponegoro ditangkap secara licik dibawa dari Magelang ke Semarang dan kemudian ke Batavia. Walaupun kalah, tetapi perang Jawa bagi orang Islam memberikan semangat militansi yang tinggi.

B. Akibat-Akibat Perang
Perang Jawa telah mengakibatkan pemerintah kolonial bangkrut, walaupun bisa menang dan dapat menawan Pangeran Diponegoro, namun derita pemerintahan kompeni di Indonesia lebih parah. Menurut perkiraan kebijakan-kebijakan pasca 1830 tampaknya merupakan akibat. Dengan demikian apa yang dikatakan Ricklefs, bahwa mulai tahun 1830 sebagai dimulainya masa penjajahan yang sebenarnya dalam sejarah Jawa, dapat dibaca dalam kontek kausalitas tersebut. Kondisi pasca perang Jawa dijelaskan William Roff[3] sebagai berikut:
“Dalam masa perang di Jawa berikutnya, Belanda menghadapi berbagai masalah. Perbendaraan lokal terkuras sampai ke titik hutang yang sangat besar; reruntuhan liberalisme ekonomi yang tidak dipahami dan tidak diterapkan dengan baik, tergeletak didekat kaki mereka, demikian pula masalah keuangan yang menekan di Negeri Belanda sendiri sebagai akibat pemberontakan Belgia. Semua ini, sekali lagi, memulai tugas Hindia Belanda untuk membayar. Sistem yang dirancang untuk mencapai tujuan ini akan dikenal sebagai Sistem Tanam Paksa, yang juga disebut sebagai pelampung untuk membuat Belanda tetap terapung. Dalam sistem ini, para petani diwajibkan – sebagai ganti pembayaran pajak – menanam seperlima dari tanahnya dengan tanaman ekspor yang ditentukan untuk diserahkan kepada pemerintah. Atau memilih menyediakan sejumlah tenaga kerja yang memadai untuk perkebunan-perkebunan milik pemerintah. Untuk menjamin keberhasilan sistem ini, dan dalam waktu yang sama ditegaskan kembali ketentuan kontrol dengan sanksi pajak atas penduduk yang masih belum menetap, maka perlu bagi Belanda membangun kembali kedudukan dan kekuasaan aristokrasi tradisional. Mereka yang disebutkan terakhir ini harus mengucapkan kesetiaan kepada Belanda. Demikianlah, dua dasawarsa berikutnya terlihat bukan hanya perubahan daerah-daerah yang luas di Jawa menjadi semacam sistem penanaman milik negara, tetapi juga pemulihan status para bupati dan elit priyayi yang tergusur belum lama ini, dan perubahan mereka secara bertahap menjadi kelas pejabat turun-temurun yang berfungsi sebagai tangan eksekutif kekuasaan kolonial . sifat perserikatan yang menguntungkan kedua belah pihak ini, dengan demikian terbentuk antara kekuasaan tradisional dan eksploitasi kolonial tidak mempengaruhi kesejahteraan rakyat Jawa, bahkan sebaliknya memperlebar jurang antara penguasa dan mereka yang dikuasai.
Di samping elit birokratis, dan dengan kombinasi pengawasan elit ini dan tuan –tuan besar Belanda mereka, berkembang suatu kelas yang sejajar dengan pejabat-pejabat keagamaan yang secara hirarkis diorganisasi dengan rapi bisa masuk ke dalam pola-pola pemerintahan regional. Penghulu kabupaten diangkat oleh dan bertanggungjawab kepada bupati (begitu juga petugas-petugas masjid lainnya, sesuai nengan hukum adat) yang terutama berfungsi sebagai kadi-kadi, meskipun hukum nmereka terbatas pada hukum keluarga dan wakaf, dan sebagian waktu mereka dihabiskan sebagai penasehat di pengadilan-pengadilan umum. Tetapi di tempat terakhir ini, demikian dikatakan, tugas mereka terbatas pada pengelolaan sumpah. Penghulu wilayah melaksanakan tugas-tugas yang sama pada pemerintahan wilayah, dan pada tingkat desa, penghulu lrbih rendah dan pembantu-pembantu mereka melaksanakan tugas yang terutama berkaitan dengan pengawasan akad nikah dan pemeliharaan mesjid. Penyertaan kelas pejabat-pejabat agama (dianggap Belanda sebagai “pendeta-pendeta” / priest) ini kedalam kerangka pemerintahan umum negara, mengakibatkan terjadinya pengebiran ulam ayang ambil bagian dalam kekuasaan. Mereka tunduk pada elit priyayi yang pada batas tertentu sama-sama merasakan  kekahawatiran Belanda akan fanatisme keagamaan, dan kepada elit priyayi yang dalam hal apapun tidak mempunyai minat untuk mempertahankan sesuatu semacam kekuasaan Islam yang terpisah.
Dalam perkembangan keadaan, tidaklah mengherankan bahwa kyai dan ulama independen, sebagaimana lazimnya, harus memegang kedudukan resminya itu dalam keadaan yang dianggap hina. Juga tidak kebanyakan kehidupan keislaman masyarakat (dan gengsi yang dihubungkan dengan kepemimpinannya) harus terletak pada tangan-tangan mereka – sejak dari tumpukan kegiatan-kegiatan keagamaan berskala kecil, kegiatan-kegiatan yang menyertai kejadian-kejadian hidup sehari-hari sampai kepada pengelolaan sekolah-sekolah agama (pesantren) dan pembentukan serta pengaturan tarekat-tarekat Sufi yang masih membentuk kebanyakan pemikiran keagamaan orang Jawa. Fokus independen bagi kesetiaan kaum tani ini sangat dikhawatirkan Belanda, yang percaya bahwa sumber-sumber pokok, “keresahan”dikalangan tani ialah jemaah haji yang kembali dari Tanah Suci dan orang-orang Arab pengembara, yang melakukan atau berusaha membuat pembatsan-pembatasan pada usaha ibadah haji dan perpindahan orang-orang Arab dari wilayah perkotaan. Meskipun demikian, keresahan tetap bertahan. Walaupun Perang Jawa menandai awal campur tangan Barat secara intensif dalam kehidupan orang Jawa, namun hal ini merupakan peristiwa terakhir kobaran api besar di pulau ini. Tahun-tahun tiga puluhan, empat puluhan dan berikutnya, terus terganggu oleh pemberontakan kaum tani yang hebat, dan secara seragam dibawah panji-panji Islam”.

C. Perkembangan Sastra  Jawa Pasca Perang Jawa
Seperti telah dikemukakan bahwa karya sastra Jawa mengalami kebangkitan pada abad XVIII dan XIX. Karya-karya itu ditulis dan digubah oleh para pujangga kerajaan, terutama di Surakarta dan Yogyakarta. Oleh karena pada zaman itu karya sastra mencapai perkembangan yang pesat, wajarlah jika Pigeaud  menyebut zaman itu sebagai zaman keemasan sastra Jawa. Untuk membuktikan apakah benar pada zaman itu karya sastra Jawa mengalami perkembangan sehingga muncul sebutan zaman keemasan, dapatlah dirunut melalui sejarah perjalanannya[4].
Menurut perjalanan sejarahnya, kesusastraan Jawa mengalami perkembangan akibat peran istana atau kerajaan ketika dalam kancah politik dan ekonomi semakin mundur. Hal ini disebabkan oleh hadirnya Kompeni Belanda yang semakin lama semakin menggeser kekuasaan politik kerajaan. Oleh karena itu kekuasaan politik kerajaan semakin terdesak dan campur tangan Kompeni semakin  mencengkeram, seolah-olah kerajaan Jawa kehilangan peran dan bahkan memcapai puncak krisis sehingga kerajaan lebih banyak berperan sebagai pusat kesenian dan kesusastraan daripada pusat politik yang menentukan[5].
Pada tahun 1831, bagian Negaragung Yogyakarta sebagian  diberikan oleh pemerintah kolonial kepada Pangeran Adipati Pakualam, karena jasanya membantu pemerintah Inggris dalam menentramkan pergolakan politik yang terjadi di Istana Yogyakarta. Bahkan, setahun sebelumnya, tahun 1812, kerajaan Surakarta dan Yogyakarta telah lebih dulu dipaksa untuk menyerahkan wilayah Negaragung Kedu kepada Pemerintah Inggris dengan alasan Inggris telah membantu naik tahtanya Sultan Hamengku Buwana III di Yogyakarta dan juga karena alasan Inggris telah melindungi wibawa Sunan di Surakarta. Akibat berbagai gejolak itulah akhirnya pada tahun 1830 wilayah kerajaan Surakarta dan Yogyakarta semakin sempit, ibaratnya hanya tinggal segodhong kelor  ‘ satu lembar daun kelor’[6].
Pengaruh kekuasaan pemerintah kolonial yang leluasa itu menyebabkan hubungan kaum bangsawan dengan orang-orang  Barat; Belanda dan Inggris, semakin terbuka. Oleh karena itu, sangat wajar jika penetrasi peradaban Barat dengan mudah mengalir ke Istana. Bahkan, karena ketergantungan kerajaan pada pemerintah kolonial semakin tidak dapat dihindari maka pemerintah kolonial pun dengan mudah menghentikan aktivitas raja dan para bangsawan dalam bidang politik dan ekonomi. Dengan demikian, karena tugas politik dan ekonomi raja dan bangsawan di kerajaan dapat dikatakan ‘tidak ada lagi’ maka kegiatan mereka dialihkan pada bidang kesenian dan kesusastraan. Hal itulah yang disebut sebagai “kesusastraan Jawa mengalami perkembangan akibat mundurnya peran istana dalam bidang politik dan ekonomi”[7].
Melihat situasi masyarakat yang semakin krisis teersebut, akhirnya para pujangga kerajaan “menggugah diri” dan berusaha untuk menegakkan kembali nilai-nilai dan norma-norma tradisional yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. Satu-satunya jalan yang ditempuh adalah dengan cara menulis dan menggubah sastra yang berisis ajaran, piwulang, dan sebagainya, yang dimaksudkan sebagai tindakan “antisipasi” terhadap gejala-gejala krisis itu. Tindakan itu dilandasi oleh pikiran bahwa dalam konteks masyarakat yang demikian karya sastra yang berisi petunjuk-petunjuk berfungsi sebagai salah satu jalan untuk mempersatukan kekuatan masyarakat dibawah naungan raja. Berbagai tindakan para pujangga itulah yang menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan sastra semakin pesat. Atas dasar itu pulalah sangat wajar jika Pigeaud menyatakan bahwa permulaaan kesusastraan kraton Jawa Tengah bagian selatan pada masa 1726-1749; mengalami perkembangan pada masa 1788-1820; perkembangan itu mencapai puncaknya pada masa 1830-1858; dan mencapai perkembangan akhir pada masa 1853-1881[8].

D. Campur Tangan dalam Kesusasteraan
Kecuali dalam bidang ekonomi, pasca Jawa Pemerintah Kolonial mulai melirik perkembangan dunia sastra Jawa. Era kebangkitan sastra Jawa modern pada akhir abad ke-19 tidak terlepas dari berdirinya lembaga bahasa Jawa (Institut voor de Javaansche Taal) di Surakarta pada tahun 1832. Lembaga bahasa Jawa itu berdiri berkat inisiatif atau prakasa C.F. Winter. Walaupun merupakan lembaga bahasa Jawa, lembaga itu telah membawa perkembangan yang positif terhadap sastra Jawa. Institut voor de Javaansche Taal itu telah melahirkan penulis atau pengarang sastra Jawa yang menuju ke arah perkembangan sastra Jawa berikutnya.
Memang agak sulit menentukan apakah campur tangan  dalam bidang sastra tersebut juga mempengaruhi terhadap isi karya Sastra Jawa?. Pertanyaan yang sama dapat diajukan, apakah campur tangan pemerintah tersebut dalam rangka mematikan militansi Islam yang telah terbukti mampu menggerakkan perlawanan?. Atau campur tangan tersebut sebatas pada percetakan dan penerbitan saja?. Sederet pertanyaan tersebut sebenarnya membutuhkan penelitian intensif terhadap periode tersebut. Namun satu hal yang penting, tampaknya kita merasakan dan membaca munculnya berbagai perubahan dalam pandangan dunia Jawa yang tampak dalam karya sastra pasca perang Jawa.
Sekali lagi sulit saya membuat sebuah kesimpulan yang tegas, namun kenyataan menunjukkan terjadi perubahan paradigma antara masa-masa kepujanggaan Yasadipura II dengan generasi sesudahnya.  Perbedaan tersebut tampak pada, cara pandang dan cara memperlakukan terhadap agama Islam. 
Telah disebutkan sebelumnya bahwa selain karya sastra itu diciptakan oleh para pujangga dengan tujuan untuk menjaga harkat dan martabat raja dan bangsawan, juga untuk menegakkan kembali nilai-nilai dan norma-norma tradisional. Oleh karena itu, jelas bahwa karya sastra diciptakan bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan “golongan atas” dikerajaan, melainkan juga untuk kalangan masyarakat luas. Yang berkenaan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan “golongan atas” biasanya karya sastra ditulis sesuai dengan cerminan pandangan hidup kaum bangsawan yang memberi prioritas pada bidang teologi dan etika. Jika diamati lebih jauh lagi, sebenarnya karya sastra yang menekankan bidang teologi dan etika itu tidak hanya untuk konsumsi golongan atas saja tetapi juga untuk keseluruhan manusia pada umumnya.
Dari gambaran di atas, setidaknya ada dua alasan mengapa terjadi perubahan paradigma yang menurut hemat saya merupakan upaya yang dilakukan pemerintah kolonial maupun pemerintah tradisional dalam bidang kesastraan Jawa:
Pertama, alasan agama.
Kedua,  alasan normalisasi kehidupan kraton yang secara politik kekuasaannya telah semakin berkurang.
            Kecurigaan pertama jika membaca perubahan pada masa tersebut adalah meminimalisasi peran agama Islam dalam bidang politik. Walaupun sulit ditentukan bahwa hal ini telah dilakukan oleh pemerintah kolonial dengan tujuan mengurangi militansi Islam. Namun data-data menunjukkan bahwa pada satu sisi, pada tahun-tahun pasca Perang Jawa terdapat cukup bukti bahwa terjadi peningkatan jumlah jamaah haji dan mencari ilmu  menuju ke kota suci Makkah dan Madinah. Pada sisi lain, pemerintah kolonial berupaya menerapkan berbagai peraturan tentang haji yang semakin ketat.
Kebijaksanaan pemerintah mengenai ibadah haji pada paro pertama abad ke-19 telah ditetapkan dengan resolusi-resolusi tahun 1825 dan 1831. Resolusi tahun 1825 diarahkan pada pembatasan ibadah haji sebanyak mungkin dan karena itu ditetapkan pembayaran F.110,- untuk paspor ibadah haji yang wajib dimiliki. Kebijakan ini juga dibarengi dengan "surat-surat rahasia" yang ditujukan kepada para residen dan bupati agar secara serius membatasi masyarakat untuk menunaikan ibadah haji. Caranya bagi residen mempersulit paspor haji, sedangkan para bupati dengan pengaruhnya mempengaruhi rakyat agar tidak naik haji. Apa sanksi bagi mereka yang berhaji tetapi tidak membeli paspor?. Melalui peraturan 1825 tersebut  haji yang tidak memiliki paspor dikenakan denda 1000 gulden[9].
Dari aturan 1825 ini sangat tampak bagaimana pemerintah kolonial berusaha sangat keras agar rakyat tidak menunaikan ibadah haji. Bandingkan antara jumlah denda yang dikenakan dengan ongkos paspor yang tidak seimbang. Pada tahun 1831 peraturan denda yang 1000 gulden tersebut diubah dengan peraturan baru. Denda hanya dikenakan dengan dua kali  harga paspor yaitu 220 gulden, karena seribu gulden dianggap tidak ada yang mampu membayar.
Peraturan tersebut diterapkan secara umum, tetapi tidak diumumkan secara resmi dalam Staatblad. Peraturan tersebut juga hanya diberlakukan untuk Jawa dan Madura, karena dalam prakteknya daerah luar belum berada dibawah kekuasaan Belanda.
Agak lama peraturan tersebut berjalan,baru tahun 1852 melalui keputusan No. 9 peraturan tersebut diubah. Perubahan itu isinya, pas jalan tetap diwajibkan tetapi diberikan secara gratis, sedangkan denda dihapuskan sama sekali. Tindakan ini diambil didasarkan vonis Pengadilan Negeri Surabaya terhadap Haji Abdul Salam, yang tidak bersedia membayar denda sebanyak 220 gulden itu. Pengadilan mengambil keputusan, bahwa peraturan 1825 dan 1831 tidak diumumkan, dan oleh karena itu tidak berlaku. Dari pihak pemerintah, salah satu pertimbangan untuk melepaskan peraturan ini adalah karena ternyata peraturan tersebut tidak berhasil membendung jumlah calon haji yang terus bertambah[10].
Pada tahun 1859 pemerintah kembali memberlakukan aturan baru, yang kemudian dikenal sebagai Ordonansi tahun 1859 yang isinya adalah:
a. Calon Jamaah haji harus mempunyai surat keterangan dari seorang Bupati bahwa ia mempunyai dana memadai untuk perjalanan pulang pergi dan disamping itu bahwa nafkah bagi keluarga yang ditinggalkan cukup terjamin.
b. Sekembalinya dari Mekah, haji tersebut harus menjalankan ujian, atau ujian haji, yang harus membuktikan bahwa dia benar-benar telah mengunjungi Mekah.
c. Hanya bila telah lulus ujian itu, dia dibenarkan untuk menyandang gelar haji dan memakai busana haji khusus[11].
Ordonansi tahun 1859 ini terus berlaku sepanjang paroh kedua abad 19.  Saya mendapatkan laporan-laporan di ANRI Semarang tentang bagaimana ordonansi itu terus diberlakukan. Para haji harus mencari pas jalan waktu berangkat, dan pulang, juga harus melaporkan kembali dengan mengikuti ujian haji itu[12].
Di atas telah saya sampaikan tentang perhatian pemerintah kolonial terhadap para 'mukim' yang terdiri dari para haji dan santri dari Nusantara, yang menurut pemerintah kolonial pergaulan mereka akan sangat membahayakan pemerintah kolonial. Untuk mengawasi gerak-gerik mereka ini pemerintah mendirikan konsulat di Jeddah. Tugas dari konsulat ini adalah mencari informasi-informasi yang penting tentang para haji dan 'mukim'. Pekerjaan ini dilakukan oleh orang-orang yang dipercaya oleh pemerintah dengan suatu imbalan. Informasi-informnasi ini selanjutnya disampaikan kepada pemerintah di Hindia Belanda[13]
            Sedangkan alasan kedua, normalisasi kehidupan kraton. Ada cukup alasan bagi kraton untuk berupaya mengembalikan nilai-nilai Jawa yang mulai tergeser oleh militansi Islam. Seperti diuraikan didepan bahwah agama Islam pada abad 18 dan awal abad 19 tengah menemukan bentuknya yang khas Jawa. Artinya meskipun terjadi sinkretisasi tetapi sebenarnya hanya pada hal-hal yang bukan fundamental. Sementara itu Islam tarus mendesak nilai-nalai lama.
            Dalam situasi tersebut, tampaknya para pujangga kraton menangkap sinyal, jika dibiarkan hal tersebut akan mengancam kehidupan dan wibawa tradisional Istana. Karena militansi Islam akan mampu menggeser peran politik kerajaan, dan pengalaman itu pernah terjadi pada masa Demak. Disini kita melihat terjadi simbiosis antara kepentingan kolonial dengan kepentingan kerajaan. “Renaisans Jawa” inilah tema yang kemudian diusung untuk mengembalikan wibawa tradisional. Sehingga benar sekali jika Pigeaud mengatakan bahwa perkembangan sastra Jawa mencapai puncaknya pada masa 1830-1858; dan mencapai perkembangan akhir pada masa 1853-1881[14].

E. Karya Sastra Jawa Hegemonik
Ranggawarsita yang merupakan pujangga pada masa ini, menurut Poerbatjaraka banyak mengadakan perubahan dalam bidang sastra Jawa. Ia mencontohkan “ Kitab Kanda yang disalin dengan nama baru Kitab Paramayoga. Kitab Kanda tersebut oleh Ranggawarsita diubah dalam bentuk prosa, disadur, diubah serta ditambah banyak sekali. Tambahan-tambahan itu sebagian besar diperolehnya dari mendengar perkataan temannya, yakni C.F. Winter dan Cohen Stuart”[15].
Perubahan terpenting terkait dengan kajian saya, menguatkan teori bahwa terjadi Jawanisasi Islam pada abad 19. Kitab Kanda yang merupakan karya zaman Islam, dan isinya sepenuhnya tentang cerita kemenangan Islam atas orang kafir di negeri Makkah, oleh Ranggawarsito banyak berubah isinya.  Seperti nama Adam dalam Kitab Kanda berubah menjadi At-Hama, seolah-olah nama sanskerta berasal dari Hindu. Nama At-Hama itu dalam ilmu pengetahuan dewa-dewa menurut Poerbatjaraka tidak pernah ada. Ada kata atma yang banyak dipakai dalam filsafat Hindu yang artinya nyawa, jiwa, jiwa hidup[16]. Keterangan tahun didalamnya yang mendahulukan tahun Hindu, juga merupakan upaya Ranggawarsito.
Dialektika antara nilai Jawa dengan Islam digambarkan secara sederhana oleh Poerbatjaraka[17] sebagai berikut:
“Seperti telah diuraikan di muka “Gusti Allah” orang Djawa asli itu terdesak oleh “Gusti Allah” bangsa Indu, jakni batara Siwa. “Gusti Allah” daripada orang Djawa tulen itu pada Indu-Djawa sampai achir djaman Madjapahit terdesak sama sekali. Tapi serenta pengaruh Indu itu sudah berkurang dan kemudian hilang, maka “Gusti Allah” orang Djawa asli muntjul kembali dan tempatnja diatas  “Gusti Allah” Indu, jakni Sang Hyang Taja, Sang Hyang Wenang, Sang Hyang Tunggal nama seorang-orang “Pembesar” jang ditempatkan diatas batara Siwa (batara Guru). Setelah djaman Islam maka batara Guru keatas, seperti Sang Hyang Wnang, Sang Hyang Tunggal, itupun sudah dipisah-pisahkan pula, ditempatkan dibawah Nabi Adam”.  Pada masa pasca perang Jawa, terjadi perubahan dengan nuansa Jawa lama.
Dari keterangan diatas cukup membuktikan adanya perubahan paradigma dalam karya-karya intelektual Jawa. Apakah hal tersebut juga terjadi pada karya sastra lain?.  Penelitian ini akan mencoba mengurai masalah ini kepada karya-karya yang muncul pada masa ini.
Pujangga pada masa ini yang cukup menonjol dari kalangan Kraton antara lain Mangkunegara IV (1859-1881), yang mengarang antara lain Wedha Tama, Tripama, Wirawiyata. Pujangga lainnya Ranggawarsita[18] yang mengarang tidak kurang dari 60 karya sastra. Beberapa diantaranya adalah Ajidarma, Ajidarma-Ajinirmala, Ajimasa, Babad Itih, Baratayuda, Budayana, Cakrawati, Cemporet, Darmasarana, Dasanamaning Utusan, Jakalodhang, Jaman Cacat, Jayabhaya, Jayengbaya, Jiyabsara, Kawi Jarwa, Kalatidha, Mardawalagu, Matnyanaparta, Pakem Pustakaraja (purwa), Pakem Pustakaraja (madya), Pakem Pustajkaraja (antara), Pakem Pustakaraja (Wasana), Pambeganing Nata Bunathara, Pamoning Kawula gusti, Panitisastra, Panji Jayengtilam, Paramasastra, Paramayoga, Partakaraja, Patilasan Kina ing Kadhiri, Pawarsakan, Purusangkara, Purwagnyana, Purwakaning, Pawukon, Purwawasana, Pustakaraja (babon), Rerepen Sekar Tengahan, Wirid Hidayat Jati, Wirid Sopanalaya, Witaradya dan Yudayana dsb.. Disamping dari kalangan istana, pada masa ini tampaknya juga muncul karya-karya diluar tembok istana. Walaupun tidak jelas benar karya siapa, namun beredar luas di masyarakat Serat Darmogandul dan  Serat Gatholoco.  Secara detail karya-karya pada masa ini dapat dibaca pada lampiran penelitian ini.  Tetapi sebagai gambaran untuk membuktikan dugaan teori bahwa terjadi perubahan paradigma karya-karya sastra pasca perang Jawa, secara garis besar dalam bab ini akan dikaji beberapa karya sastra dalam bentuk piwulang.
            Dalam Wedha Tama, terdapat ajaran tentang etika dan etiket, juga terdapat ajaran tentang ilmu kesempurnaan dan ilmu pengetahuan. Ajaran mengenai ilmu kesempurnaan itu misalnya tercantum dalam bagian-bagian yang mengajarkan tata cara sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, dan sembah rasa; yang semua identik dengan ajaran mengenai syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat. Akan tetapi, yang justru dipentingkan adalah ajaran tentang etika dan etiket, misalnya tata cara bagaimana seseorang harus berjiwa bersih, pemaaf, rela, dan pasrah, lagi pula harus bersikap sopan dan pandai menyesuaikan diri. Oleh karena itu, dalam karyanya itu Mangkunegara IV mengatakan bahwa menghadap raja lebih penting daripada menghadap Tuhan.  Deskripsi ini akan menjadi sangat berbeda, manakala kita membaca karya-karya zaman Yasadipura atau sebelumnya, yang sangat menekankan pentingnya ajaran Islam dilaksanakan dengan baik, meskipun tetap dengan keselarasan dengan nilai-niali Jawa,seperti diuraikan dalam bab dua.
Dalam Wedhatama[19]  hal ini dijelaskan dalam beberapa bait sebagai berikut:

            Ambawani tanah Jawa/ kang padha jumeneng aji/ satriya dibya sumbaga/ tan iyan trahing senapati/ pan iku pantes ugi/ tinulad labetanipun/ ing sakuwasanira/ enake lan jaman mangkin/ sayektine tan bisa ngepleki kuna.

            Lowung kalamun tinimbang/ ngaurip tanpa prihatin/ nanging ta ing jaman mangkya/ pra mudha kang den karemi/ manulad nelad nabi/ nayakengrat gusti rasul/ anggung ginawa umbag/ saben seba mampir masjid/ ngajab-ajab mukjijat tibaning drajat.

            Anggung anggubel sarengat/ saringane tan den wruhi/ dalil dalaning ijmak/ kiyase nora mikani/katungkul mungkul sami/bengkrakan neng masjig agung/ kalamun maca kutbah/ lalagone dhandhanggendhis/ swara arum ngumandang cengkok palaran.

            Lamun sira paksa nulad/ tuladhaning Kanjeng nabi/ O ngger kadohan panjangkah/ wateke tan betah kaki/ rehne ta sira Jawi/ sathithike bae wus cukup/ aja guru aleman/ nelad kas ngpleki pekih/ lamun pangkuh pangangkah yekti karamat

            Nanging enak ngupa boga/ rehne ta tinitah langit/ apa ta suwiteng nata/ tani tanapi agrami/ mangkono mungguh mami/ padune wong dahat cubluk/ during wruh cara Arab/ Jawaku bae tan ngenting/ parandene paripeksa mulang putra.
           
Perubahan paradigma seperti tersebut juga tampak pada karya Ranggawarsita dalam Wirid Hidayat Jati.  Van Akkeren dalam pembahasannya tentang baitul Muqaddas dalam Wirid bersama Gatholoco dan Darmogandhul, menaerangkan tentang dimuliakannya alat kelamin dan hubungan seks sebagai sarana untuk mencapai penghayatan mistik. Disimpulkan bahwa ajaran tentang Baitul Muqaddas dalam Wirid Hidayat Jati  itu sangat kuat hubungannya dengan pemujaan terhadap lingga (lingga adalah lambing dzakar) yang terdapat di Jawa sebelum Islam[20].
Prof. Rasyidi[21] juga membahas ajaran Wirid Hidayat Jati dalam hubungannya dengan Serat Gatholoco dan Serat Darmogandhul, beliau menyimpulkan bahwa Serat Gatholoco menunjukkan pengaruh ajaran Tantrisme, maka Wirid Hidayat Jati  menonjolkan pengaruh ajaran union mystique. Yakni manunggaling kawula gusti,  atau persatuan antara manusia dan Tuhan yang dilukiskan dalam bahasa Jawa sebagai Warangka manjing curiga.
Yang menarik lagi menurut analisa Harun Hadiwiyono[22] yang menyimpulakan bahwa dalam Wirid Hidayat Jati  sebenarnya tidak ada ajaran tentang Tuhan. Ajaran dalam karya tersebut bersifat anthroposentris, seterusnya dia mengatakan bahwa ajaran dalam  Wirid Hidayat Jati  adalah hinduisme yang berjubah Islam.
Dalam pelambangan symbol wayang untuk menjadi teladan tidak lagi keluarga Pandawa, tetapi dalam Tripama, Mangkunegara IV mengidealkan Patih Suwanda, Basukarna dan Kumbakarna[23].  Kumbakarna adalah putra kedua Begawan Wiraswa dengan Dewi Sukesi. Ia berwujud Raksasa (Wayang terbesar dalam wayang kulit) dan berkedudukan di ksatriyan Leburgangga. Memang ada watak satria tampak dalam tokoh Kumbakarna, ia meninggal di tangan Prabu Rama dalam membela tanah air[24].  Tetapi sekali lagi saya katakana bahwa memang terjadi perubahan paradigma dalam tradisi sastra, termasung simbolisasi dalam ketokohan wayang. 
Tripama lebih menekankan ajarannya bagi prajurit daripada kaum sipil pada umumnya. Cita-cita untuk nuhoni trah utama ‘meraih kedudukan utama’ bagi kaum bangsawan yang disimbolkan melalui prajurit wayang, Patih Suwanda; cita-cita untuk labuh negari ‘membela negara’ bagi Kumbakarna; dan cita-cita untuk males sih “membalas kebaikan” bagi Basukarna atau Suryaputra, adalah suatu kewajiban, sedangkan bagi para abdi dalem nggayuh utama ‘rakyat yang mencari keutamaan’ merupakan cita-cita yang sangat terpuji. Oleh karena itu, cita-cita dalam Tripama agaknya memang sesuai dengan kepentingan kerajaan Kejawen pada waktu itu. Namun, sebagai prajurit idaman tidaklah cukup hanya dengan bekal itu saja, tetapi juga harus dilandasi dengan kesetiaannya pada janji, disiplin, taat, takwa, tidak sombong, dan tidak sewenang-wenang, sebagaimana dilukiskan oleh Mangkunegara IV dalam Wirawiyata. Seorang prajurit utama adalah prajurit yang menepati janji sesuai dengan yang diucapkan ketika pelantikan, dan hal itu harus dipegang teguh dalam menjalankan tugasnya sebagai prajurit[25].



[1] Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm.17-18
[2] Ibid.
[3] William Roff, “Islam di Asia Tenggara Dalam Abad ke-19” dalam Azyumardi Azra, Perspektif Islam di Asia Tenggara, (Jakarta: Yayasan Obor, 1989) hlm.43-45
[4] Tirto Suwondo dkk, Nilai-Nilai Budaya Susastra Jawa, ( Jakarta: Depdikbud, 1994), hlm. 14
[5] Ibid.
[6] Ibid, hlm. 15
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Karel Steenbrink, hlm. 236

[10] Ibid
[11] Jacob Vredenbregt,  hlm. 9-10
[12] Lihat arsip Masalah-masalah yang dilaporkan kepada polisi, catatan ini juga melaporkan bahwa pas jalan tidak hanya berlaku untuk jamaah haji, tetapi juga setiap orang yang akan pergi dari satu tempat ke tempat lain walaupun masih lingkup pulau Jawa.

[13] Marcel Witox, “Mempertaruhkan Jiwa dan harta Jemaah haji dari Hindia Belanda pada abad 19” , (Jakarta: INIS, 1997), hlm.98

[14] Ibid.
[15] Perbatjaraka, Kepustakaan Djawa….. hlm. 181
[16] Ibid
[17] Ibid, hlm 147
[18] Jayabaya, No. 29, 16-22 Maret 2003, hlm. 8
[19] Mangkunegara IV, Serat Wedhatama, (Semarang: Dahara Prize, 1989) hlm. 29-32
[20] Simuh, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita, (Jakarta: UI-P, 1988) hlm. 4

[21] Ibid.hlm. 5
[22] Ibid
[23] Tirto Suwanda, Nilai-Nilai Budaya Susastra  (Jakarta: Depdikbud, 1994) hlm. 18
[24] S. Haryanto, Pratiwimba Adiluhung, Sejarah dan perkembangan Wayang, ( Jakarta: Penerbit Djambatan, 1988) hlm. 299
[25] Tirto Suwanda, ibid. 


Drs. HM. Anasom M.Hum
(Pembantu Dekan I Fakultas Dakwah IAIN Walisongo)

*Tulisan dimuat dalam Majalah Ber-SUARA LAPMI Cabang Semarang Edisi XXVI Desember 2013M/1435 H
Info & Berlangganan : 085640281855


sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com