This is default featured slide 1 title

Majalah Bersuara LAPMI Cabang Semarang

This is default featured slide 2 title

Foto Majalah Bersuara LAPMI Cabang Semarang

This is default featured slide 3 title

Majalah Bersuara LAPMI Cabang Semarang

This is default featured slide 4 title

Majalah Bersuara LAPMI Cabang Semarang

This is default featured slide 5 title

Majalah Bersuara LAPMI Cabang Semarang

Kamis, 29 Mei 2014

Cerpen: BIARKAN BERLALU



Oleh: Reni Aprilia Ekasari (Komisariat FPBS Universitas PGRI Semarang)

Semarang, 2 April 2013
  Lima belas hari lagi usiaku genap 20 tahun tapi aku yakin belum ada sesuatu yang berkesan dalam hidupku selain rutinitasku selama ini. Belum ada sesuatu yang menginspirasiku untuk suatu perubahan yang bisa ku rabah hasilnya diwaktu ini. Namaku Reva Fauziah tapi kebanyakan yang mengenalku memanggilku Re, entah dengan motiv apa mereka memanggilku seperti itu yang jelas aku nyaman dengan panggilan itu. Meskipun selama ini belum ada sesuatu yang merubahku tapi akhir- akhir ini ada satu masalah yang prediksiku bakal buat hari Ultahku ngag sempurna. Tahu kenapa?
Begini aku punya kekasih namanya Anam kita satu kampus beda fakultas, jelasnya lagi dia kakak kelasku, satu periode di atasku. kita baru aja pisah entah apa persepsinya tentang problem hubungan ini, tapi bagiku inilah makna lain dari kata putus. Kebanyakan orang memaknai putus adalah sesuatu yang menyakitkan dan tepat itulah yang aku rasakan saat ini.
Dari : OnyetQ
18/02/3013
15:34
kngen dek, qu lega rsanya udah dpet izin pcran dri ort, tapi dri ortu nikahnya harus usia 27 thun, gmn dek?
Itu message dari mas Anam yang membuat aku optimis ini adalah pintu gerbang untuk mewujudkan harapan kami ke depan. Message ini juga yang membangun kembali hatiku yang sebelumya sempat hancur. Entah karena apa hatiku memilihnya, yang aku sendiri belum begitu tau perasaanya ke aku kayak gimana. Kemarin pas hubungan kita sekitar tiga bulanan mas Anam menghilang entah untuk apa. Ia beralasan ingin fokus sama UASnya bulan Januari, dari alasan ini aku merasa ndak pernah mengganggunya berkaitan dengan study, tak seperti kebanyakan pasangan kekasih yang ini-itu harus selalu diturutin, yang mau-ngag mau, bisa-ngag bisa harus ketemu tapi entah kenapa ia pilih alasan demikian. Hari demi hari UAS pun usai tapi tak kunjung membuat ia menunjukan rasa sayangnya ke aku, malah semakin ia menjauhiku jangankan sekedar menyapa menatap pun sepertinya ogah. Sampai- sampai rencanaku yang ingin membuat surprize di hari Ultahnya tanggal 26 Januari lalu, pun turut gagal karena problem yang aku sendiri tak begitu faham penyebabnya. Ku terima kabar lagi alasan yang ke dua kalinya adalah ia belum dapat restu pacaran dari Ortunya. Meskipun begitu aku tetap bisa terima, walau jarak yang begitu jauh ini, perasaan bimbang ini, rasa sakit ini harus ku kubur jauh didasar hati hingga tak seorangpun mengerti makna kecerian yang senantiasa aku sajikan di wajahku tak  terkecuali  dengan dirinya. Semua ini aku lakukan karena memang aku  menyayanginya.
Hingga akhirnya aku peroleh message itu, harusnya aku berontak, harusnya aku marah, harusnya aku pergi, harusnya aku pilih putus tapi semua itu tak ada yang aku lakukan walaupun tak ada yang berpihak kepadaku. Bahkan ketakberpihakan itu nyata aku peroleh dari orang- orang terdekatku.
“Alah Re, kenapa dengan kamu? Apa istimewanya dia? Apa kamu pikir di dunia ini cuman ada dia?!” Sungut Pupu suatu ketika, yang hanya aku balas dengan senyuman.
“Mbak Re, apa yang kamu suka darinya? Apa dia membuatmu bahagia?” Sahut satu lagi kawanku yang bernama Yani.
“Lho kok gitu dek?” Sambil berlalu ku bela diriku yang sudah merasa terpojok tanpa pembela, namun aku yakin mereka seperti itu karena tak tega melihatku terpuruk. Pilihan terakhir yang aku pikir bisa sejalan dan cocok dengan hatiku yaitu kawanku yang bernama Sukma. Tanpa berpikir panjang aku telah keluar dari kamarku dan telah sampai dikamar sebelahku, yang tak  lain adalah kamar Sukma.
“Kenapa mbak?” Mendadak Sukma menyapaku dengan sedikit panik . Sikap yang demikian ku artikan sebagai bentuk partisipasinya sebagai sahabat. Tanpa sungkan- sungkan ku ungkapkan semua yang ku alami selama liburan kemarin.
“Nggih dek, mas Anam masih sayang aku, aku yakin itu dek. Cuman memang seperti inilah cara ia menuangkan perasaan sayangnya ke aku, seperti inilah realisasi cintanya.” Kalimatku mengakhiri curahan hati kepada Sukma.
“Iya udah mbak, kalau mbak sudah yakin ya dipertahanin aja. Yakinlah kalau tak ada pengorbanan yang sia-sia meskipun harus perasaan yang jadi korbannya mbak.” Dengan ekspresi yang ceria, seperti biasanya Sukma membuat aku semakin yakin dengan keputusanku. Tak ada ungkapan lagi dariku baik itu berupa sanggahan ataupun sebuah kalimat tanya. Refleks yang aku lakukan hanya menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya pelan bersama dengan sunggingan di bibir tipisku.
“Begitu dong, gag boleh sedih lagi. Lagian mbak kan pernah bilang bahagia akan tiba pada waktu yang tepat” dengan tanpa menghentikan kesibukannya Sukma masih menenteng sapu lantai di tangan kanannya.
“Nggih dek” jawabku pasrah pada waktu.

* * *
Mulai dari sinilah buhunganku dengan mas Anam kembali normal, bahkan lebih baik dari sebelumya, yang aku rasakan bukan hanya kasih sayangnya tapi juga kesabaranya membimbingku menjadi sosok yang baik di mata orang-orang disekitarku juga Insyaallah baik di hadapan Tuhanku. Sebutan anak manja yang dulu menempel di kepribadianku surut-menyurut kian berkurang walau. Bersamaan dengan itu kini aku mulai merintis Semester 4, kebanyakan orang berpersepsi kalau semester pertengahan bagi seorang mahasiswa adalah semester yang harus ekstra hati-hati dan jangan terlalu dibuat hati karna akan banyak cobaan yang menghadang. Untuk awalnya aku kurang sepakat dengan persepsi itu. Ku awali semeter ini dengan lebih mengenal dan masuk dalam organisasi baik Internal maupun Eksternal yang aku anggap sesuai dengan tujuanku dan aku berniat akan menyibukkan diri dengan senantiasa mengusahakan kontribusi untuk itu. Dari Internal sendiri aku kini sebagai Staff Bidang Pers dan Jurnalistik, di UKM aku juga anggota rebana walau masih dalam tingkatan pemula. Sedangkan di Eksternal aku ikut salah satu organisasi islami yang pelantikan kepengurusannya sebentar lagi. Kontribusi awalku untuk eksternalku ditandai dengan pindahanku ke Wisma organisasi yang membuatku harus meninggalkan sahabat-sahabat penyemangatku. Walaupun awalnya sangat sulit karena harus meninggalkan mereka, memulai dengan kawan- kawan baru yang semula belum begitu mengenal sisi lain mereka apalagi mas Anam juga belum begitu setuju dengan keputusanku. Namun yang ada dipikiranku adalah bagaimana caranya aku bisa senantiasa stand by setiap kali ada agenda organisasi.
Hari demi hari kujalani dengan bersemangat mungkin karena semangat dari mas Anam pula, kadang rasa capek berubah menjadi semangat menggelora. Posisi mas Anam juga satu Eksternal denganku tapi beda Kompi. Dulunya sih ia benar-benar menolak turut serta dalam Organisasi ini. Ku pikir dengan turut serta dalam Organisasi Islam ini akan sangat membimbing hubunganku dengannya  jadi bersihkeras ku bujuk ia hingga akhirnya terbukalah pintu hatinya untuk turut serta dalam Organisasi ini. Setelah aku berada dan turut mengayuh bersama organisasi- organisasiku, aku merasa semakin cinta  dan memiliki tanggung jawab di dalamnya. Meskipun aku tau organisasi Internalku bertentangan dengan eksternalku, tapi aku pikir itu hanya hasil dari mereka yang salah persepsi. Dari sini aku berpikir seandainya antar organisasi faham dan saling menghargai visi- misi satu sama lain pastilah kampus ini akan damai, itu baru lingkup kampus belum lagi organisasi- organisasi besar lingkup Negara. Oleh karena itu sebisa mungkin aku tetap bertahan karena dari sini pulalah aku memulai perjuangan, sekalipun baru titik terkecil dari sistem negeriku. Tak salah aku meluruskan niat untuk berorganisasi. Di Internal aku bisa bersumbangsih untuk Progdiku, di eksternal aku bisa bersumbangsih untuk Agamaku, ku berpikir apa yang aku bisa lakukan untuk Agamaku selain memulainya dari diri sendiri dan yang ada di sekitarku?
“dhek, mas diminta menjabat sebagai Kabit Kerohanian. Pripun dhek?” suara lirih mas Anam dari sambungan telepon yang sontak membuat aku bangga pada sosok kekasih sepertinya.
“Nggih bagus ta mas, itu tandanya njengan dianggap mampu. Aku yakin mas mampu untuk itu, jadi kenapa ngag?” sanggahku dengan sedikit sifat sok tauku namun tetap dengan ketulusan sepenuh hati.€
“Bener dhek? walau itu artinya kita harus benar-benar merubah segalanya dari saat itu”. Masih seperti tak percaya, agaknya kalimat itu dilontarkan mas Anam padaku.
“Nggih mas, lha memangnya kenapa? toh memang seperti ini lebih baik, njengan bebas dengan kesibukan njenengan begitu juga denganku namun tak menghapuskan perasaan kasih kita satu sama lain. Aku rasa itu akan lebih baik” jawabku meyakinkan kekasihku untuk pengambilan keputusannya.
“Ou nggih sampun nek ngoten dhek, lha njenengan sampun pelantikan?” Tanya mas Anam yang aku artikan sebagai bentuk perhatiannya kepadaku.
“Alhamdulillah sampun mas, kemarin. Aku Straffnya mbak Fatmah di bidang Perkaderan” Sedikit malas-malasan ku jawab pertanyaan yang baru saja ku dengar itu.
“Nggih bagus ta dhek, pripun mpun kerasan di Wismanya?” masih terus memberikan semangat seakan ucapan itu dilontarkannya pada ku.
“Iya begitulah seperti yang njenengan lihat saat ini” sambil terus membolak-balik buku yang dari tadi ku pegang dan tak sedikitpun ku lirik.
“Nggih sampun, semangat nggih” ucap mas Anam tanpa meninggalkan konotasi memotivasi.
Hingga tak terasa perbincangan kami telah berakhir, yang hasilnya ditunjukkan dengan perubahan wajah kucelku menjadi secerah bulan purnama saking bahagianya. Aku bersyukur mengenalnya, berkesempatan menyayanginya walau aku tak tau seperti apa perasaannya ke padaku. Andai sebuah gelas maka cintaku padanya seperti air mengalir yang mengisi gelas itu hingga penuh bahkan melebihi volume, meski hati ini terus menangis menahan rasa sakit yang sering kali menghampiri karenanya tapi kulakukan semua demi cinta. Sampai kadang terbesit dalam benakku Bagaimana jadinya aku bila harus tanpanya, yang segera ku tepis pikiran konyol itu. Terkadang aku tak mampu menyimpan perasaan ini sendiri tapi tiap aku ungkapkan pada kawan-kawanku yang aku dengar kebanyakan adalah kontra akan ungkapanku.
“Kok bisa sih Re kamu segitu sayangnya sama seseorang?” Kata seseorang yang aku tuakan di Wisma  yang akrab ku panggil Ukhti yang sering kali aku abaikan.
“Aku yakin suatu saat kamu akan tau mengapa aku menyayanginya ukht” jawabku asal-asalan sebagai bentuk pembelaan tak nyata dariku.
“Emt, Re aku jujur pengen banget punya pacar. Entah kenapa aku pikir dengan aku punya pacar aku bisa berjuang bersama dia dalam segala hal” Balas Ukhti yang kemudian membuatku terkekeh.
“Kok bisa gitu Ukh?” tanyaku semakin penasaran padanya, soalnya dia baru aja dilantik sebagai salah satu Kabit dalam struktur kepengurusan kemarin denganku.
“Iya bisa aja, kan enak tuh.” jawabnya ringan diikuti senyuman imutnya.
“Ukh, denger-denger mas Anam pas pelantikan nanti juga diberi amanah Kabit” ungkapku lirih sejajar dengan suara  bisikan actor di panggung teater yang biasa aku saksikan.
“Ou, ya bagus dong” seraya melepas jilbab.
“Hemmt…” aku sebagai lawan bicaranya hanya bisa menarik nafas penuh harapan.
Padahal berawal dari sinilah perasaanku mulai tak seperti biasanya. Perasaan takut kehilangan sosok kekasih yang aku sayangi karena suatu hal, dan entah alasan apapun. Namun tetap aku yakinkan hati ini bahwa ia yang aku sayangai tak seperti perkiraanku. Dengan begitu aku akan tetap bersemangat dalam segala agendaku kemudian. Sampai beberapa hari setelah percakapan itu, seingatku hari senin tanggal 25 bulan 03 sekitar pukul sebelas siang kuterima message dari mas Anam.
Dari: OnyetQ
25/03/2013
Dek ada yang ingin qu bcrakan, dan ne mslah serius.
Setelah tuntas membacanya aku kaget, ini message pertama darinya setelah message  beberapa hari yang lalu. Membuat ku penasaran apa masalah yang ingin ia bicarakan itu, dua menit kemudian telah terkirim message balasan ku.
Dari: aQ M3
25/03/2013
Nggih ngomong mawon mz, mslh npo?
Tak seperti beberpa hari yang lalu, dimana aku butuh waktu bermenit-menit hanya untuk satu message balasan darinya. Kali ini message balasannya begitu cepet.
Dari: OnyetQ
25/03/2013
Dek kita harus mengakhiri hubungan ne smentara wktu, karena hanya itu yang harus qu lakukan sebelum pelantikan Kabit.
Ironis. Seakan perasaan tak enakku selama ini telah terbukti dan inilah bukti nyatanya. Sempat terlintas dalam benakku kalimat bijak yang pernahku dengar Logika memang tau bagaimana membuat keputusan yang benar, tapi hati tau mana yang bisa membuat bahagia, bahkan jika itu keputusan yang salah. Aku tak bisa lagi membendung air mataku, satu menit saja aku telah berhasil memerahkan seluruh wajahku, membuat mendidih hati yang tadinya membatu.
Dari: aQ M3
aQ akan bljar ikhlas mz…
Insyallah,,,
nggih maav aja nek slama ini aQ banyak salah…
maksih bwt smua yg pernh mz berikan kpdQ mz…
mkasih…

Entah apa yang ada dipikiranku hingga hanya balasan seperti itulah yang bisa aku kirimkan.
Dari: OnyetQ
25/03/2013
Tapi qu mau ngomong langsung dlu sm njengan dhek.
Awalnya ku tolak ajakan yang ku pikir hanya akan membuatku lebih hancur itu. Aku optimis banget pembelaanku tak akan ada artinya jika memang keputusan awal yang ia buat seperti itu, aku bersamanya sudah 8 bulan jadi aku yakin aku lebih mengerti dia di banding kawan-kawan barunya. Karena hatiku gelisah banget setelah itu, maka aku lebih memilih bisa dekat dengan semangat-semangatku, mereka sahabat-sahabatku yang selalu ada untukku. Bahkan ketika itu juga Yani langsung menjemputku, menenangkan diriku.
Satu hari aku tak berada di wisma hingga sore harinya. Aku sengaja menghindar entah kepada siapa, tapi entah kenapan di kampus aku di pertemukan dengannya disaat aku benar-benar kalut. Aku tak ingin terlihat lemah dihadapannya, namun apa yang aku bisa?
Sore harinya mas Anam menemuiku, aku tak bisa menolak karena jujur aku masih ingin melihatnya walau hanya 1 detik.
“Pripun dek, aku cuman ngag mau mereka tau, aku telah pacaran sama njengan setelah pelantikanku. Aku pengen mereka tau dan dengan itu bisa dijadikan pertimbangan mereka” ucapnya lirih tanpa sedikit senyum dibibirnya.
“Tapi mas… Apakah ini harus?” tanyaku sedikit menyelidik.
“Kemarin sempet Ukhti Nana, sama Akhi Roni menegurku agar bisa-ngag bisa kita harus pisah. Bahkan sempat ia menganggapku ngag percaya sama Kuasa Allah karena telah pacaran. Tapi aku janji dek, akan ku tunggu sampai adek lulus”. Seakan kalimat itu telah dihafalkan lama sehingga begitu lancarnya mas Anam mengucapkannya.
Aku tak mampu berucap lagi, hanya air mata yang belum berhasil ku hentikan yang mewakili ungkapan hatiku.
“Apa kita sama-sama keluar saja dek? Jika itu yang bisa membuatmu lebih baik” masih tanpa senyuman mas Anam memberikan penegasan itu dan aku yakin itu bukan kehendak hati yang sesungguhnya, hal seperti itulah yang tak ku suka.
“Ndak mas, jika salah satu dari kita keluar hanya karena masalah kayak gini aku ngag suka. Ok mereka ngag salah telah membenarkan larangan_Nya, dan aku juga ngag akan memaksa njengan buat mempertahankanku” sanggahku tanpa berpikir panjang lagi. Sampai sempat terbesit dalam benakku satu kata orang bijak, bahwasannya Orang yang benar-benar menyayangimu tak akan kehabisan alsan untuk mempertahankanmu dan tak akan mencari alasan untuk meninggalkanmu.
“Nggih sampun dek, tak ada kata putus diantara kita” ucap mas Anam kemudian yang seakan terpaksa.
Aku terdiam tanpa kata, tak tau apa yang harus aku tanyakan atau aku sanggah ataukah aku usulkan selain diam dan mencoba mengerti. Hingga mas Anam mengakhiri percakapanny dan berpamit pulang. Tanpa dendang ku langkahkan kakiku yang semakin loyo ke dalam kamar. Setelah kejadian itu jarang lagi ku dapat kabar tentangnya, ingin hati mengirim message tapi segera ku tepis karena  aku tak yakin akan ia respon. Meski terkadang masih satu dua message ku terima darinya namun diriku merasa begitu terbebani, aku masih bingung apa statusku dihadapannya, apa artinya kehadiranku untuknya, masihkah aku diharapkan ataukah hanya sebuah keterpaksaan saja agar aku tak melakukan suatu hal bodoh sebagai pelampiasan sakit hatiku. Aku tak menyalahkan siapa-siapa atas kejadianku ini, aku yakin akulah yang salah.





Kamis, 22 Mei 2014

INDEPENDENSI POLITIK KAUM INTELEKTUAL*



Oleh: Noor Rochman (Direktur LAPMICS)

Karakter kepemudaan dan keintelektualan memungkinkan seseorang atau gerakan memiliki sikap independen. Gerakan kepemudaan dan keintelektualan yang selalu secara tegas menyatakan independen salah satunya adalah HMI yang dalam Anggaran Dasarnya menyatakan diri “organisasi ini bersifat idependen”. Independensi HMI tersebut merupakan pernyataan sikap terhadap semua kebenaran dari Allah SWT, memperjuangkan tanpa mengenal lelah dan siap menerima resiko perjuangan, memihak kepada siapapun yang juga memihak dan memperjuangkan nilai kebenaran, dan akhirnya semata-mata menggantungkan diri kepada Allah SWT dalam segala urusan (Khittah Perjuangan HMI).

Sedangkan, di kalangan LSM, independensi gerakan berarti tidak berpihak kemana-mana kecuali pada donor. Memberikan dukungan kepada sebuah kelompok politik tertentu adalah haram, nista, harus dijauhi. Politik kita adalah politik yang independen, begitu mantranya. Bagi gerakan kiri, yang bangkit kembali di akhir masa kekuasaan rezim orde baru, independensi gerakan tidak ada dalam kamus. Pilihannya hanya anti-Soeharto atau pro-Soeharto, kawan atau lawan, revolusi atau mati (http://indoprogress.com/2014/04/independensi/).

Edward W. Said (1998) mendefinisikan intelektual sebagai individu yang dikaruniai bakat untuk merepresentasikan dan mengartikulasikan pesan, pandangan, sikap atau filsafat kepada publik. Edward W. Said lebih menyukai batasan intelektual yang diberikan oleh Antonio Gramsci salah seorang idolanya di bidang intelektual. Di dalam buku Gramsci yang berjudul Selections From Prison Notebooks (1978), Gramsci mengatakan ‘semua orang adalah intelektual, tapi tidak semua orang memiliki fungsi intelektual’. Gramsci mengelompokkan dua jenis intelektual. Pertama, intelektual tradisional semacam guru, ulama, dan para administrator. Kelompok pertama ini menurut Gramsci dari generasi ke generasi selalu melakukan hal yang sama. Kedua, intelektual organik, yaitu kalangan profesional.

Kaum intelektual memiliki peran politik dalam menentukan setiap perubahan, dengan basis keilmuan yang dimiliki, tidak jarang ide-ide mereka lebih diterima oleh masyarakat ketimbang kebijakan publik yang dikeluarkan negara. Namun, tak jarang kaum intelektual yang memberikan dukungan politiknya kepada rezim penguasa yang menyebabkan kaum intelektual kehilangan independensi politik dari gerakannya. Bisakah kaum intelektual memiliki sikap independen, bahkan ketika kita telah menyatakan dukungan terhadap pihak lain?

Setowara, Subhan & Soimin (2013) menyebutkan ada tiga posisi yang bisa menghambat kaum intelektual untuk berperan optimal, Pertama, kaum intelektual yang berada dalam sebuah rezim hegemonik yang memungkinkan mempertahankan idealismenya, namun tidak sedikit yang menjadi alat negara. Kedua, kaum intelektual yang berpolitik praktis akan berhadapan dengan dunia kekuasaan yang dalam bahasa YB Mangunwijaya (1997) dicirikan korup, mental pencuri, pembohong, main tipu, suka yang semu, mengedepankan kepentingan, dan tidak kenal fair play yang berbeda dengan dunia intelektual yang bersih, selalu berpijak pada kebenaran, dan berjuang atas nama kebenaran. Ketiga, kaum intelektual yang memang tidak masuk dalam kekuasaan, namun ide dan wacana yang mereka gulirkan sengaja berpihak atau dibeli golongan atau penguasa tertentu.

Dalam situasi apapun, posisi kaum intelektual harus tetap mengabdi pada kebenaran serta cita-cita luhur yang didambakan masyarakat agar idealisme dan independensinya tidak tercerabut.
Meminjam pendapat Paul Ricour, kaum intelektual idealnya melakukan distansi kultural dengan mengambil jarak terhadap objek yang dia kritik. Namun, bukan berarti dengan independensi kaum intelektual menutup ruang gerak untuk melakukan kerja sama dengan kelompok atau individu lain baik yang berada dalam struktur pemerintahan maupun yang berada di luar struktur, kaum intelektual harus tetap bertindak sebagai pengontrol terhadap kebijakan yang mesti disikapi. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman yang utuh tentang independensi oleh kaum intelektual agar mampu mengejawantahkan independensi dalam ranah politik.  

Independensi dalam khittah perjuangan HMI (MPO) selalu dikaitkan dengan kemerdekaan sebagai fitrah dasar manusia. Menurut Borneo, Sabara Putera (2011) kemerdekaan adalah sebuah pemihakan yaitu pemihakan terhadap segala sesuatu yang berasal dari dan bertujuan kepada kebenaran (dalam hal ini ideologi Islam). Pemihakan tersebut tercermin dalam kerja-kerja kemanusiaan atau amal saleh yang menajdi rahmat bagi umat manusia dan alam semesta. Kemerdekaan dalam artian pemihakan secara penuh terhadap kebenaran memerlukan pengorbanan dan bahkan penderitaan yang cukup berat. Oleh karena itu, dituntut konsistensi sikap yang tercermin dalam sikap kritis, obyektif, dan progresif dalam memahami dan menyikapi realitas yang berkembang.

Selain “pemahaman utuh” tentang independensi kaum intelektual harus memiliki karakter ulil albab jika ingin menjaga stabilitas independensi di ranah politik, kenapa harus karakter ulil albab? Sikap independensi meniscayakan hadirnya beberapa sikap utama dalam diri seorang yang dikatakan dalam khittah perjuangan, independensi merupakan derivasi dari karakteristik insan ulil albab, yaitu:
“…Cenderung kepada kebenaran, (hanif), merdeka, kritis, jujur, progresif, dan adil. Dengan kata lain sikap independensi diwujudkan dengan kesanggupan untuk berbuat dan bertindak secara mandiri dengan keberanian menghadapi resiko. Sikap independensi menuntut tiap-tiap individu dalam jamaah dapat mempengaruhi masyarakat dan mengarahkan sistem kemasyarakatan ke arah yang dikehendaki Islam. Secara teknis sikap independensi juga memestikan kader untuk selalu tunduk pada ketentuan organisasi dan memperjuangkan misi organisasi. Serta tidak dibenarkan untuk membangun komitmen dalam bentuk apa pun dengan pihak luar yang bertentangan dengan yang telah diputuskan secara bersama.”

Amirullah, M Chozin (2010) menyatakan sikap independen akan muncul dari kekuatan tauhid yang kokoh. Seseorang yang meyakini ke-esaan Tuhan dengan penuh, maka pada dirinya sudah tertanam jiwa-jiwa independen. Seseorang yang bertauhid, padanya tidak ada yang ditakuti selain Tuhannya. Seseorang yang bertauhid tidak ada lagi kepentingan materialistik dalam perbuatannya, sehingga tidak akan mudah tergoda oleh tawaran-tawaran pragmatis dalam bertindak. Yang menjadi acuhan dalam tindakannya adalah Allah, sementara lainnya adalah nisbi. Maka itulah jiwa-jiwa independen yang sesungguhnya.

Jiwa independen bisa dimunculkan dari seseorang yang memiliki kedalaman aqidah dan selalu menjaga aqidah tersebut dengan selalu aktif mendekatkan diri padaNya. Jiwa-jiwa independen inilah yang harus ditanamkan ke dalam setiap kaum intelektual sebelum mengambil peran politik agar selalu berpihak yakni terhadap kelompok lemah yang tertindasdan siap mengambil posisi kritis terhadap suatu otoritas meskipun menjadi kaum pinggiran kalau dilihat dari pemilikan, kuasa dan kehormatan.

*Tulisan dimuat dalam Majalah Ber-SUARA LAPMI Cabang Semarang Edisi XXVIII April 2014M/1435H
Info & Berlangganan : 085640281855

Senin, 12 Mei 2014

Kumpulan Puisi: GERAKAN MUDA & PEREMPUAN


Oleh: Muh. Arba’in Mahmud
(Pelaku wacana ekofemina di Ternate, Maluku Utara. Manta Ketua KP Cab. Purwokerto, hingga sekarang masih berkomunikasi dengan kader HMI (MPO) Cab. Ternate)
 



perempuanku di pentas politik
(15 April)


selamat berjuang perempuanku
jangan kau sekadar penggenap quota

lawan tiran maskulinitas di dalam wadahmu
sebelum memikat hati para daulat suara

vox populi vox dei....ingat sayang!
kalau kau berharap suara para hamba, berhibalah pada Sang Tuan
kalau kau ingin buah, mintalah pakTani....jangan mencuri

aku merestumu, kuyakin Kekasih pun meridhoimu
selamat berjuang perempuanku

meski kau tak bermodal pundi,
feminitas polah-politikmu ditunggu anak negeri
integritas-gairah sosialmu dielu para kawula
bismillah!


                                                                                                                                                  



mencintai pagi tanpa remunerasi....
(10 April)

Tuhan,
kucintai pagi ini meski sepi
kuhampiri mentari tanpa janji
kukayuh kaki menjemput rizki

Tuhan,
kusapa pagi ini meski diam
kutanggalkan keraguan syak wasangka
kuteguhkan keyakinan untuk berkarya

Tuhan,
kuhadapi pagi ini meski dingin
kuusap ubun kaki dengan embun
kucium Ibu bumi dalam keyakinan

Tuhan,
kucintai pagi tanpa remunerasi
tanpa ketakutan dan ketergesaan
menjalani aliran mata air kehidupan

di rumah, di kantor, di posko,
di kamp, di sawah, di jalan,
di ....


                                                                                                                                            
selamat merayakan hariMu, perempuanKu...
(8 Maret)

engkau masih kuharap menjaga tegaknya peradaban yang terakad
mari susui-urapi buah hati kita, agar mereka kembang tumbuh
mewarnai pelataran taman Eden kita

maafkan, atas cermin yang kemarin retak kauremas
maafkan, atas airmata yang kemarin tertitik kuperas
maafkan, atas daun pintu yang kemarin penyok kita hantam

mari kita gencatan :
agar cinta terus bersenyawa
agar hati kian membumi
agar kasih kan mengudara

perempuanku, kinasihKu
aku cinta padaMu :
siyem, sumiyem, nur, mae, drupadi,
manna-salwa, meyti, ...
khad, aisya, eva, suci, jocasta, zulaikha, ...
... mmmuah!


                                                                                 

Tuhan, terimakasih ….
(5 Feb)

Tuhan...
terimakasih, Engkau titipkan aku pada seorang Ibu 'galak'
terimakasih, Engkau paruhkan aku dengan kekasih 'galak'
terimakasih, Engkau hiaskan aku dengan buah hati 'galak'
terimakasih, Engkau jelmakan waskatMu pada mereka atasku....

hingga aku takkuasa mengerat sumber daya tanpa hak,
hingga aku takmampu berjalan ke lembah hitam,
hingga aku tak berkutik mencuri kesempatan haram,
hingga aku takkuasa wicara makian kecuali memujiMu
terimakasih....

semoga, semua itu tak merampas selempangMu
kuyakin, Engkau menggantinya dengan kelembutan para bidadari (kalau aku harus ke Taman Eden), di bawah tatapMu.
pun kuyakin, Engkau menggantinya dengan kehangatan api biru
(kalau pun aku harus ke Taman Api), di bawah ridhoMu.

Tuhan, sungguh 'galak' pun anasir maskulinitasMu:
layaknya Kausediakan siksa, uji, coba
Namun, sungguh di balik itu ada feminitasMu: kelembutan, hikmah, rahmat, ....
Tuhan, terimakasih... Engkau galak!
hingga aku sekadar...Mu.


                                                                                                                  

Obituari untuk Antareja dari Antasena
(Catatan 9 Juli 2013)


Le... Innalillahi wa inna ilaihi raji'un
aku ikhlaskan kepergianmu Boss...
jalani sirathmu, biarlah cerita liar kita
menjadi kenangan dalam doa

Le....
aku kini makin dekat denganmu,
di titikan air mataku, di sungkuran sujudku,
di pejaman nitraku, aku sisipkan mantra untukmu:
"allahummaghfirlahu warhamhu wa'aafuhu wa'fu'anhu..."

Le....
selamat meninggal Boss....
kami kenang prestasi jariyahmu,
kami halalkan kemanusiaanmu
kami ridha : innalillahi wa inna ilaihi raji'un

Le...
Jangan kuatirkan rama-biyung, garwa pun buah hatimu
empat Pandawa - Drupadi masih eksis menjaga
tentunya atas restu - ridho Sang Hyang
semoga kita bertemu & bercengkerama di Taman Eden

Hu...Hu...Hu...
terima sholat kami,
terima ibadah kami,
terima kehidupan kami, pun...
terima kematian kami
Hu...Hu...Hu...

Le....
Boss....
aku cinta kau, karenaNya
maka, aku rela temu - pisah dengan kau, karenaNya

Le....
kau hampir tuntaskan mantra ajaran ibu kita:
bismika allahumma ahya wa amuut
Selamat Boss!
Bismillah!

                                                                           
Jamu untuk Kaum Muda
(21 Juni 2013)


buat kawan - kawan mahasiswa,
teruslah bergolak, suarakan independensimu
tolaklah penaikan harga BBM, lawanlah kuasa kaum tiran

kami, mantan mahasiswa, hanya turut mendoa - menjaga hati
kami tak menyesali masa lalu...ketika berlaku sepertimu
kami tak mengingkari idealita cita dulu...ketika sekarang begini
kami tengah melawan dengan cara bumi :
nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake
sugih tanpa bandha, oposisi dengan nurani

jadilah Musa, oposisi abadi meski gagap
jadilah Maria, penjaga kesucian diri meski sendiri
jadilah punggawa rakyat jelata melawan angkara
sungguh, vox populi vox dei...suara rakyat suara Tuhan

maka, Tuhan akan turunkan makan-minum langit : manna w salwa
biar Tuhan yang mencukupi hidupmu,
tanpa harus menggadaikan diri di wadah biro-kerat
tanpa harus menceburkan diri di kubangan politik
(ingat pesan simbah : aja cedhak kebo gupak...
isih dadi mahasiswa aja cedhak partai politik...)

maju terus pantang mundur,
perjuangan ini bukan menang - kalah, naik - turun
karena hakim kehidupan bukan di tangan penguasa, sesama
cukup Tuhan yang saksikan... cukup rakyat yang rasakan

Bismillah! Dengan asma yang mahaRakyat... berjuanglah!

                                                                                                                                            


dari dayung turun ke gayung
(untuk Leni H*)

negara hampir lupa pada prestasi anak negeri
aparat sibuk mengerat sumber daya
pemimpin lelap dalam mimpi

ibu itu...perempuan itu,
kini buruh membasuh dengan peluh
mencuci membersihkan noda kelambu
yang kian menutupi nurani nagari

ibu anakku... perempuanku;
biar negara - aparat - pemimpin kilap
teruslah berharap sayang, berdoa sandarkan jiwa
sejatinya Tuhan tak tutup mata
Gusti ora sare, Sang Hyang masih sayang;
pun kami, sekadar lelakimu... ayah dari buahmu

anggaplah, dengan gayungmu kini
kautengah mendayung arungi sirath kehidupan
yang berujung di telaga asa.
kami: lelakimu kan turut menyandingmu
dengan cintaNya.



* Atlit dayung nasional yang terpuruk menjadi buruh cuci di usia tuanya

Sabtu, 10 Mei 2014

DEMOKRASI = DEMOCRAZY*



Oleh: Ibnu Himawan (Komisariat Syari'ah IAIN Walisongo)

Sebelum kita berlarut dalam pembahasan demokrasi maka kita meski paham dahulu kenapa ada negara?, tentunya ini karena manusia diciptakan dari pria-wanita, berbangsa dan bersuku agar saling interaksi (al-hujurat :13). Negara didefinisikan oleh Roger H. Soltau sebagai alat(agency) atau wewenang(authority) yang mengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan bersama, atas nama masyarakat,  untuk tujuannya Soltau berpendapat untuk memungkinkan rakyatnya berkembang serta menyelenggarakan daya ciptanya sebebas mungkin(the freest possible development and creatif self-expression of its members), sedangkan Plato menyebutnya untuk memajukan kesusilaan manusia, sebagai perseorangan (individu) maupun sebagai mahluk sosial.[1]
Teori perlu adanya negara menurut Thomas Hobbes untuk membatasi keliaran sifat binatang manusia dalam bahasa latinnya homo homini lupus serta bellum omnium contra omnes (perang antar semua melawan semua), hingga kemudian muncul perjanjian “i authorise and give up my right of governing my self, to this man, or tothis assembly of man, on this condition, that thou give up the right to him and authorise all his action ”, pemberian kekuasaan pada dewan hingga terdapat suatu aturan tertentu.
Sedang bentuk negara Aristoteles membagi menjadi 7. Monarki, suatu bentuk pemerintahan yang dipegang oleh satu orang demi kepentingan umum. Tirani, suatu bentuk pemerintahan yang dipegang oleh seseorang demi kepentingan pribadi. Aristokrasi, suatu bentuk pemerintahan yang dipegang oleh sekelompok cendikiawan demi kepentingan umum. Oligarki, suatu bentuk pemerintahan yang dipegang oleh sekelompok cendikiawan untuk kepentingan kelompoknya Politea, suatu bentuk pemerintahan yang dipegang oleh seluruh rakyat demi kepentingan umum. Anarki, suatu bentuk pemerintahan yang dipegang oleh banyak orang yang tidak berhasil menjalankan kekuasaannya untuk kepentingan umum. Demokrasi, suatu bentuk pemerintahan yang dipegang oleh rakyat yang dijalankan untuk kepentingan seluruh rakyat (dari dan untuk rakyat).[2]
Yang menjadi fokus kita adalah bentuk negara demokrasi, pemerintahan yang berlaku di negara indonesia ini. Dan dapat kita pastikan bahwasannya demokrasi indonesia merupakan bentuk plagiat/tiruan dari amerika, yang disebut-sebut oleh Francis Fukuyama -dalam buku The end of history and the last man – suara dapat dipastikan selalu didominasi oleh kepentingan kapitalis(money politic). Ini justru merupakan arus balik dari yang disampaikan oleh “its a government of the people, by the people, for the people” yang intinya tujuan demokrasi adalah akomodasi terhadap kepentingan rakyatnya, bukan malah hasil akomodasi kepentingan para pemilik modal. 
Ini yang kemudian munculkan opini publik bahwasanya dewasa ini bukan lagi demokrasi yang kita jalani melainkan democrazy, yaitu bukan lagi kepemimpinan atas dasar rakyat. Rakyat menjadi gila/stress (tertekan) sepenuhnya dengan model kepemimpinan para kapitalis yang mendominasi ini.


*Tulisan dimuat dalam Majalah Ber-SUARA LAPMI Cabang Semarang Edisi XXVIII April 2014M/1435H
Info & Berlangganan : 085640281855


[1] Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Mayarakat Madani, tim ICCE UIN Jakarta.

Jumat, 09 Mei 2014

Cerpen: KEAJAIBAN BINTANG


By: Zahratunisa

Dalam menggapai indahnya keajaiban yang diciptakan oleh Tuhan adalah sebuah permainan yang sedang diciptakan oleh-Nya. Sesuatu yang sempurna beranjak dari hal yang tidak sempurna. Begitu pula dengan apa yang dialami oleh Anisa Livia Sari.
Indahnya panorama sang fajar terhiasi oleh ayat-ayat yang mengalun sangat indah dan begitu menakjubkan. Rutinitas yang dikerjakan oleh Via begitulah ia disapa oleh teman-temannya, untuk mencurahkan isi hatinya kepada sang pemberi hidup.  Indahnya pancaran bintang selalu menjadi kekuatan bagi Via disaat Ia terpuruk oleh sekelebat masalah yang coba hinggap dalam hidupnya.
Pagi yang cerah menyambangi jendela, memperlihatkan keelokan pada sang pemilik rumah bahwa pagi ini adalah pagi yang menyenangkan dan awali hari dengan senyuman. Ketika Via akan bergegas menuju ke kamar mandi, langkahnya terhenti tepat di depan kamar Ifan.
“bagaimana kabar Ifan ya? sudah dua hari aku tidak bertemu dengannya. Apa dia belum bangun? Padahal dia juga harus sekolah, ah mungkin bibi lupa membangunkannya, kalau begitu aku bangunkan saja dia.”
Dengan gerak cepat Via mengetuk pintu kamar Ifan berulang kali, tetapi tidak ada jawaban sama sekali, Via berinisiatif untuk membuka pintunya. Dengan rasa terkejut ketika Via membuka pintunya Ifan tidak ada di tempat.
“tumben anak ini jam segini tidak ada di kamarnya, biasanya jam segini masih molor. Kemana perginya ya?”
Via mencoba mencarinya kebelakang kali saja dia sedang makan, tetapi hasilnya nol, Via langsung teringat tempat favoritnya yaitu rumah pohon yang berada di belakang rumah, tempat tersebut juga menjadi tempat favorit Via.
Ternyata benar, si Ifan berada disana sedang tidur. Rumah pohon ini memang sengaja dibuat oleh ayah untuk kita sebagai tempat untuk bermain, tempatnya sungguh sangat nyaman untuk di tempati, desainnya juga sangat bagus dan terlihat sangat unik, bisa dibilang rumah pohon inilah tempat kedua kita. Via dengan gesit memanjat untuk membangunkan Ifan untuk ke sekolah karena ini sudah siang.
“Ifan bangun, kamu harus siap-siap untuk ke Sekolah, nanti terlambat. Kamu pasti semalam tidak bisa tidur lagi ya? Apa yang sedang kamu pikirkan sampai kamu tidak bisa tidur?”
Dengan segera Ifan terbangun dari tidurnya, dia teringat bahwa dia hari ini harus menemui seseorang.
“aduh, kak Via kenapa baru bangunin Ifan sih, jadi kesiangan nih. Bibi juga, kenapa nggak bangunin Ifan dari tadi!”
“kamu tuh Fan kebiasaan menyalahkan orang lain, siapa juga yang tahu kalau semalem kamu tidur di sini. Bibi mungkin saja sudah bangunin kamu berulang kali, tapi kamu nggak ada di kamar. Makannya kalau mau tidur di sini bilang dulu. Ya sudah ayo cepetan siap-siap katanya ada janji.”
“iya..iya.. dasar kak Via bawel!”
Tak salah jika Ifan adik laki-laki Via terkadang merasa iri dengan Via, karena selama ini Via itu istimewakan oleh orang tuanya, tetapi berbeda dengan Ifan, dia sering dimarahi oleh ibunya terutama sama ayahnya. Mungkin karena dia laki-laki maka Ifan mendapat didikan keras dari orang tuanya supaya menjadi laki-laki yang bertanggung jawab. Terkadang Via juga merasa kasihan kepada adik semata wayangnya itu. Dia selalu mendapat perlakuan yang kurang adil baginya. Tidak dapat dipungkiri lagi, bagaimanapun juga Ifan masih terlalu kecil untuk mengerti bagaimana kehidupan yang sebenarnya. Anak kelas enam sekolah dasar yang dia tahu hanya bermain dengan teman-temannya tanpa harus meninggalkan prestasi yang harus diraihnya di sekolah. Begitulah orang tua Via dan Ifan mendidik anak-anaknya. Boleh bermain tetapi prestasi tetap nomor satu. Via yang duduk di bangku kelas tiga SMP agaknya sedikit demi sedikit mulai tahu, betapa susahnya menjalankan kehidupan yang sebenarnya. Via merasakan betapa sibuknya kedua orang tuanya yang setiap hari harus bekerja dengan keras agar kebutuhan yang diperlukan anak-anaknya dapat terpenuhi. Sampai-sampai tidak ada waktu untuk berkumpul bersama seperti yang didambakan oleh sekian banyak orang.
Sepulang dari sekolah Via langsung menuju ke kamarnya. Tempat yang menurutnya paling nyaman untuk menyendiri selain rumah pohon. Via masih penasaran dengan apa yang dijanjikan oleh ibu.
Dengan sangat tak terbiasa ibu pukul 16.00 WIB sudah sampai rumah, biasanya sehabis maghrib baru sampai rumah. Tetapi ibu juga datang dengan raut muka yang tidak gembira. Sebuah pekerjaan menjadi wakil kepala sekolah memang sangat melelahkan. Tugas dari kepala sekolah yang dikerjakan oleh ibu sangat banyak, bahkan tak jarang pula ibu membawa pekerjaannya ke rumah.
Ketika di meja makan pun ibu belum mengatakan kejutan yang dijanjikan oleh ibu tadi malam. Setelah makan malam selesai Via langsung menuju ke kamarnya, tak berapa lama kemudian tiba-tiba pintu kamar Via ada yang mengetuk, hingga menyadarkan lamunan Via. Dengan segera Via membuka pintu kamarnya.
Rasa penarasan dan tidak mengerti apa maksud kedatangan ibunya menghampiri dirinya dengan perubahan raut muka yang terlihat berbeda dari sebelumnya. Ibu kini terlihat sangat berseri ketika kedua bola mataku bertemu dengan tatapan bola mata ibu. Dengan nada sayang ibu menyampaikan suatu hal terhadap diri Via. Ibu memberikan kejutan yang sama sekali semuanya di luar dugaan dan pemikiran Via. Hal yang sangat tidak setuju bahkan kecewa setelah mendengar semuanya. Bukan kejutan mengenai hari bahagia yang dia tunggu akan tetapi sebaliknya. Ibu menginginkan Via unuk melanjutkan studi ke Yogyakarta yang itu artinya Via harus mempersiapkan dirinya untuk jauh dari orang tuanya. Itu menjadi pilihan yang sulit bagi Via untuk menjawab iya atau bahkan menolaknya.
Via mulai berfikir jauh untuk dia merasakan hidup pisah dari keluarganya. Meskipum di sana nanti Dia masih bersama kakek dan neneknya akan tetapi akan terasa sekali perbedaannya ketika dia tinggal dengan orang tua dan adiknya. Dalam angan Via terbangun ketika ibu mulai akan menjelaskan alasan beliau menggambil keputusan yang mestinya sudah dipertimbangkan sebelumnya. Ibu menginginkan adanya sikap yang sepadan antara Via dan Adiknya, Ifan. Akan tetapi Via yang kini harus menanggungnya. Bukan antara tanggungan akan tetapi suatu kebijakan dan keadilan agar sama-sama memperlakukn anak dengan rasa sayang dari kedua orang tuanya.  
Dengan linangan air mata Via menerima kenyataan yang begitu berat bagi anak seumurannya. Desiran angin yang ikut merasakan suasana hati Via mengingatkan kebiasaan yang dilakukan oleh Via di rumah pohon. Malam yang semakin larut menggerakkan hati Via untuk mengambil air wudlu dan segera menjalankan sholat tahajud. Dibawah hangatnya sinar rembulan dan cahaya lentera yang bertebaran diangkasa selalu menemani malam yang begitu indah, teman yang selalu setia menemani setiap sujudnya dimalam hari, indahnya pancaran bintang seolah mengerti kegundahan hati yang dialami Via. Begitulah cara Via menenangkan hatinya, tidak pernah seharipun ia melupakan untuk menyapa temannya itu. Setelah menyapa temannya itu ia kembali ke kamarnya untuk istirahat.
Via sebisa mungkin tidak mengecewakan orang tuanya, oleh karena itu dia buktikan dengan prestasi yang didapatkan disekolah. Via selalu mendapatkan juara 1 di kelasnya, hal ini yang selalu membuat teman-teman yang lain ada yang merasa iri dengan kesempurnaan yang dimiliki oleh Via, memang Via itu begitu sangat anggun dan cantik begitu teman-temannya menilai Via, ditambah lagi pintar serta hidup berkecukupan. Walaupun teman-temannya selalu menilai Via seperti itu, tetapi Via tidak pernah merasa sombong bahkan sebaliknya, dia begitu ramah dan sangat baik kepada teman-temannya, selain itu Via juga sangat sederhana dan rendah hati, oleh sebab itulah bukan hal yang mustahil lagi kalau banyak lawan jenis yang menyukai Via. Tetapi Via selalu menganggapnya sebagai teman biasa. Bahkan tak jarang pula banyak teman yang sering main ke rumah Via untuk sekedar minta diajarin mengenai pelajaran yang menurut teman-temannya itu sulit, dengan senang hati dan sabar Via mengajari teman-temannya itu sampai mengerti. Pada waktu Via mengajari teman-temanya tiba-tiba Ia pingsan, teman-teman yang berada disekitarnya begitu panik melihat Via yang tiba-tiba pingsan, tetapi tidak untuk orang rumah. Hal seperti itu sudah terbiasa dialami oleh Via jadi tidak kaget lagi, bibi pun tahu bagaimana yang seharusnya dilakukan ketika Via seperti ini. Namun, Via tidak mau teman-temanya itu mengetahui sakit yang dialami Via, jadi selama ini teman-temanyapun tidak ada yang mengetahui keadaan Via yang sebenarnya. Dengan segera Bibi dibantu teman-teman Via mengangkat Via ke kamarnya.
Malam harinya ditemani oleh ibu dan ayah, Via cek up ke rumah sakit yang biasa menangani Via dari kecil.
“aduh bu ngapain sih kita ke rumah sakit lagi? Via kan sudah tidak apa-apa.”
“nggak apa-apa gimana, buktinya tadi kamu pingsan lagi. Ibu takut kalau kamu itu... ah sudahlah, semoga saja nanti hasilnya baik-baik saja.”
Benar saja, apa yang ditakutkan ibu selama ini, sakit jantung yang diderita Via kini naik menjadi stadium dua, hal ini membuat kedua orang tuanya kaget. Padahal kemarin perkembangannya sempat membaik. Tetapi, mengapa sekarang menjadi memburuk. Via selalu menutupi rasa sakitnya supaya ayah dan ibu tidak terlalu khawatir mengenai keadaannya. Bila malam menjelma, memayungi semesta Via pun bergegas mengambil air wudlu dan langsung menuju rumah pohon. Bintang yang gemerlapan tahu bagaimana menghibur temannya yang sedang bersedih itu. Perasaan damaipun menyelimuti Via setelah melaksanakan sholat tahajud. Tiba-tiba Via melihat bintang jatuh begitu indah, bintang yang selalu memberikan kekuatan pada Via.
“Ada apa gerangan mengapa engkau turun sahabatku?”
Setelah melaksanakan sholat tahajud Via belum merasakan kantuk, untuk mengisi waktunya itu, Via membuka buku pelajaran untuk mempelajarinya, tinggal menghitung hari ujian akhir akan dilaksanakan, dan waktu itu juga Via harus bersiap-siap untuk meninggalkan Jakarta.
“Kenangan bersama keluarga dan teman-teman takan aku lupakan, dan aku pasti sangat merindukan rumah pohonku itu.”
-oo0oo-
Ujian akhir telah dilaksanakan Via dengan sangat lancar, Via optimis akan mendapatkan nilai yang bagus, karena Via tidak mau mengecewakan kedua orang tuanya yang telah bekerja keras selama ini. Via ingin membuat orang tuanya bangga dengan hasil yang diperolehnya.
Waktu terasa lebih cepat dilalui oleh Via, saat-saat yang memberatkan bagi Viapun terjadi. Dengan hasil ujian yang memuaskan itulah Via dapat melukiskan senyum pada wajah kedua orang tua yang sangat Ia cintai, dengan cara seperti itulah Via menghibur dirinya dari rasa keputusasaan akan masa depan yang gelap karena sakit yang diderita selama ini.
Kota gudeg adalah tujuan Via setelah lulus dari SMP. Sebuah sekolah Favorit dikota gudeg menjadi pilihan Via, selain dekat dengan rumah sakit, letak sekolah yang dekat dengan rumah kakek dapat mempermudah Via selama di Jogja. Kehidupan yang baru telah Ia jalankan seperti biasa, sampai pada akhirnya Via menemukan sesosok laki-laki yang kini memberikan warna dalam hidupnya, Andre seorang pemuda yang santun, baik dan juga begitu perhatian dengan Via. Walaupun Via telah memiliki seseorang yang telah memberikan warna dalam hidupnya, tidak dengan begitu saja Ia melupakan sahabatnya selama ini. Dalam waktu malam Ia selalu menemani Via dalam sujud kepada sang Khalik. Kebiasaan di rumah pohon tidak akan pernah Ia lupakan walaupun sekarang Ia melakukannya tidak di rumah pohon.
Tiga tahun telah Via lalui dengan guratan-guratan cerita yang sangat indah, sampai pada akhirnya Via dibenturkan dengan kenyataan yang begitu pahit dan memilukan. Andre yang selama ini ia kenal sebagai pemuda yang santun dan bertanggung jawab ternyata kini Ia telah menorehkan luka yang sangat dalam pada hati suci yang selama ini telah menyayanginya dengan tulus. Sebuah pengkhianatan yang dilakukan oleh Andre membuat keadaan Via menjadi sangat frustasi dan tertekan. Via menjadi lebih sering keluar masuk rumah sakit karena permasalahan yang menguji kadar keimanannya benar-benar membuatnya terpuruk sampai pada titik jenuh yang sangat tinggi. Dalam keterpurukan itulah sahabat sejatinya membangunkan kesadaran yang selama ini tidak dapat Via rasakan dalam permasalahan yang menyelimutinya saat ini. Via tersadar bahwa saat paling dekat seorang hamba dengan RabbNya yaitu ketika dia sujud, Via menemukan kedamaian yang tidak dapat Ia gambarkan dengan sebuah kata, berjuta bintang diatas sana menunjukkan keelokannya membuat siapa saja yang memandang menjadi terpesona dibuatnya. Keajaiban bintang telah menyadarkan Via bahwa hidup ini tidak hanya selebar daun kelor, karena akan selalu ada cinta dalam nurani yang bersih, akan selalu ada senyum pada wajah-wajah yang diliputi cahaya Allah, akan selalu ada doa pada hati yang ikhlas, akan selalu ada hikmah pada lisan yang cinta pada kebenaran, ada sapa dalam setiap ukhuwah dan akan selalu ada kedamaian bagi orang-orang yang cinta pada RabbNya. 
Bila malam menjelma, memayungi semesta, rasa hati tercipta mengenang yang maha Esa, bintang yang gemerlapan ditemani cahaya rembulan, terukir rasa yang terasing pabila nurani dunia menghampiri, tercipta rasa yang terindah dalam setiap malam. Sujud Via sewaktu di rumah pohon sampai Ia di Yogya telah mengantarkannya pada kedamaian yang sesungguhnya. Keajaiban bintang yang selama ini menjadi sahabatnya ketika malam menyapa telah membentuk sebuah prinsip bahwa Via tidak akan semudah itu menjalin hubungan dengan seorang laki-laki selama ketenangan yang Ia rasakan tidak seperti ketika Ia bersama sahabatnya. Karena Via telah menyadari bahwa manusia yang sejati adalah manusia yang dapat menghargai sesamanya.

sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com