KONFLIK soal wacana keperempuanan adalah konflik berkesinambungan tak kunjung berakhir, tetapi menarik dibahas. Seperti wacana kelelakian, dalam pembahasan tentang perempuan, tanpa sadar perempuan diletakkan sebagai objek. Padahal, posisi sebagai subjek dan objek sebenarnya bukan kontradiksi, melainkan proporsi. Kini, kita tak bisa lagi melihat persoalan itu secara hitam-putih. Namun bagaimana mengelolanya.
Pendapat Lukni Maulana (Suara Merdeka, 30/6) menuai serangan dari Zusiana E Triantini (Suara Merdeka, 21/7). Namun perdebatan itu mengalami distorsi semantik cukup parah. Setidaknya, Lukni dan Zusiana berangkat dari pemahaman berbeda tentang peran dan fungsi perempuan. Bagi Lukni, perempuan adalah ibu. Adapun bagi Zusiana, perempuan yang dimaksud adalah secara umum.
Dalam filsafat taotologi, ”peran” dan ”fungsi” memiliki makna berbeda. Peran bersifat perenial (abadi), sedangkan fungsi bersifat spasial dan temporal (kesementaraan, mengikuti ruang dan waktu). Peran adalah tugas yang tak tergantikan. Peran perempuan adalah melahirkan dan menyusui. Perempuan niscaya berperan sebagai ibu. Sampai kapan pun, peran perempuan sebagai ibu adalah abadi dan tak tergantikan. Adapun fungsinya sebagai pengasuh, membesarkan anak, atau mengurus rumah tangga adalah tugas yang dapat (boleh) tergantikan.
Semantik itu mudah dipahami jika kita menganalogikan dua tugas sebagai manusia, yakni abdullah dan khalifatullah. Abdullah bersifat abadi; sejak awal hingga kapan pun manusia adalah abdi Tuhan. Khalifatullah hanya tugas sementara bagi manusia selama ada di muka bumi.
Demikian pula peran (kodrat) perempuan sebagai ibu dan fungsi (iradat) sebagai bagian dari keluarga dan masyarakat. Kesalahan utama Lukni — sehingga dia mendapat koreksi dari Zusiana — adalah lebih banyak menuliskan ”perempuan” ketimbang ”ibu”. Kekeliruan mengoreksi pun terjadi pada Zusiana, lantaran terjebak pada kata ”perempuan”. Bukan ”ibu”. Peempuan dan ibu adalah satu kesatuan, tetapi memiliki peran dan fungsi yang terkadang berbeda. Membaca konteks adalah jawabannya.
Menolak Jadi Objek Dalam hegemoni kapitalisme, sang objek adalah siapa pun yang bisa dimanfaatkan (dieksploitasi) demi meraih keuntungan. Sang subjek (kapitalis) tak peduli ranah moral, apalagi sekadar soal kosmologi gender. Dan bila perlu, Tuhan sekalipun dieksploitasi demi nilai lebih.
Konflik kemanusiaan dan kapitalisme hanya dapat diselesaikan secara utuh dan kompak. Perempuan dan lelaki tak perlu terus-menerus saling menyalahkan. Sebab, musuh kemanusiaan bukan fisik atau gender, melainkan watak. Kapitalisme yang berwatak eksploitatif akan memanfaatkan siapa pun sebagai objek — tak peduli lelaki atau perempuan, asal menguntungkan.
Ingat, kapitalis terdiri atas lelaki dan perempuan. Meski borjuisme beda gender, kapitalis tetap kapitalis. Merekalah musuh kemanusiaan. Jadi perbedaan gender bukan prinsip perseteruan, melainkan watak dan perilaku jahatlah yang jadi musuh bersama.
Saya setuju dengan Lukni dan Zusiana bahwa perempuan (baik perempuan dalam definisi ibu rumah tangga maupun dalam definisi sosiomatrik) memang sering jadi objek, korban, serta dieksploitasi. Karena itu — menyitir ucapan Karl Marx, ”Kaum perempuan di seluruh dunia, bersatulah!” Bukan untuk menghapus peng-objek-an, melainkan meletakkannya secara proporsional di antara tugas sebagai subjek dan objek. Di sisi lain, ketika perempuan menolak diposisikan sebagai ”korban”, pada dimensi berikutnya perempuan juga harus menghindarkan diri jadi ”terdakwa”.
Perempuan harus menolak kapitalisasi. Perempuan telah terjebak atau dijebak globalisasi, seperti yang digugat Zusiana, bukan lagi pertanyaan yang mendasar. Sebab, globalisasi sebagai diferensiasi dari kapitalisme memang jebakan yang dibuat secara sistematis.
Perempuan, bersama pemangku kepentingan yang lain (seperti negara, media, masyarakat) mesti berjuang terus-menerus menentang sistem dan perilaku yang eksploitatif itu. Jadi, gagasan Lukni dan Zusiana tentang eksistensi peradaban baru dan Indonesia yang lebih bermartabat bisa terwujud. Sesungguhnya, perempuan dan lelaki adalah dua pilar determinisme kehidupan. (51)