Catatan : Artikel ini telah dimuat di Koran WAWASAN, 4 Februari 2012
Source : www.koranwawasan.com
Ibarat pohon, HMI adalah pohon yang berbuah. Hukum alam yang sulit dihindarinya adalah, dari buah tersebut, selain pasti ada yang matang ranum, rusak oleh hama, jatuh sebelum masak, dan pasti pula ada yang busuk lantaran faktor tertentu. Itu lumrah. Persoalannya, berapakah persentase buah yang berkualitas baik dan berkualitas buruk? Jika persentasenya imbang, maka pohon itu bermasalah. Jika lebih banyak yang berkualitas buruk, maka pohon itu amat-sangat bermasalah. Jawaban terbaiknya, tentu HMI harus diposisikan sebagai pohon industri. Artinya, HMI mestilah menghasilkan buah kader yang layak jual di masyarakat.
Tentu HMI tak sama dengan sebuah pohon. Ini hanya analogi. Sebagaimana diketahui, dalam analogi, kemiripan yang dikembangkan terbagi menjadi dua: physei (mirip realitas) dan thesei (tidak mirip realitas). HMI dan pohon ada pada konteks physei. Dari physei—seperti yang disarankan Plato—analoginya dapat dipindahkan ke dalam thesei. Ini berarti, logika perkaderan HMI, dari physei pohon, dapat dimasukkan ke struktur lain pada konteks yang lebih bebas.
Keterikatan Genus, Kebebasan Spesies
Berpindah ke klasifikasi ilmiah biologi, struktur tertingginya adalah kingdom (kerajaan) dan diferensiasi yang paling bawah disebut genus lalu species. Jika Islam adalah kingdom, maka HMI adalah salah satu genus turunannya. Layaknya genus yang tidak bersifat spesifik, HMI eksis sebagai organisasi yang plural. Kepada individu kader yang ada di dalamlah, logika spesies bisa dinisbatkan.
Di HMI, kader-kader fundamentalis tumbuh, namun bukan berarti tak ada kader yang berpikiran inklusif dan liberal. Sebagian penganut sunni, sebagian berlatar belakang syiah. Sebagian pengagum sistem demokrasi, sebagian lain telah menyiapkan peti mati untuk demokrasi. Wacana syariat Islam berada dalam debat yang sengit. Sekularisasi didukung sekaligus ditentang. Cara pandang spesies-spesies ini terlihat saling berbeda, tapi sesungguhnya seragam dalam esensi tujuan. Sunni maupun syiah semata sekadar mazhab, jalan, dan metodologi berfikih. Demokrasi, syariat Islam, maupun sekularisasi—bagi kader HMI—cuma sekadar alat, bukan tujuan. Utamanya, tatkala dari semua alat itu, bisa melahirkan kebajikan bagi semesta. Kesamaan tujuan akhir finalitas, telah meletakkan HMI sebagai genus yang tunggal.
Bagi HMI, politik bukanlah pilihan satu-satunya dalam memperjuangkan nasib umat. Pada saat yang sama, sejumlah kader melirik ke sektor ekonomi, pendidikan, teknologi, maupun seni dan kebudayaan. HMI percaya, peradaban tegak karena ditopang oleh kuatnya tiap sektor kehidupan tersebut. Singkatnya, genus HMI telah melahirkan aneka ragam spesies cara bertindak.
Di sentrum kealumnian, pengembangan individu beserta lahan dakwahnya dapat dijelaskan oleh privasi dan kultur tersendiri. Sebaliknya, kritik pedas atas senior yang gagal memberikan teladan sudah amat sering dilontarkan. Saya “terpaksa melupakan” persoalan ini, lantaran kritikan laksana masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Saya memilih berkonsentrasi dalam basic perkaderan anggota yang masih aktif. Setidaknya, dari perkaderan lapis bawah, HMI masih memiliki harapan.
Rekayasa Kekaderan
Sebagai mantan Sekjen Korp Pengader Nasional (dan dua kali periode terpilih sebagai formateur/ketua umum KPN), perkenankanlah saya mengkritik dan sekaligus memberi masukan terkait problem kekaderan yang selama ini berlangsung. Kesalahan utama dari para pengader HMI ialah menyeragamkan definisi output kader-kadernya. Padahal output, tak bisa dinilai setelah kader mengikuti pelatihan tertinggi dan/atau paska lepas kepengurusan. Kader emas bukanlah unggulan di segala lini. Emas bukanlah unsur terbaik satu-satunya dalam jagat kosmik. Batu, kayu, besi, air, api, dan sebagainya, juga merupakan unsur terbaik sesuai azas kemanfaatannya. Ibarat membangun sebuah rumah, semua unsur (bahan) tersebut sangat berguna. Pengader mesti berdiri sebagai arsitek handal, yang bisa menempatkan semua itu sehingga rumah mampu dibangun dengan baik.
Kedua, kader-kader HMI terlahir dengan karakter yang berbeda satu sama lain. Kekeliruan pengader HMI adalah berupaya mengasah batu menjadi emas, menyerut kayu menjadi besi, menggodok air agar menjadi api. Tindakan mustahil, yang hanya akan melahirkan kekecewaan serta putus asa. Sejauh hukum keniscayaan berlangsung, batu tetaplah batu, kayu tetaplah kayu. Hal terbaik yang bisa dilakukan pengader HMI ialah merekayasa karakter-karakter itu ke dalam suatu kombinasi menurut kebutuhannya. Lalu bagaimanakah rekayasa tersebut dapat dilakukan?
Teori perkembangan manusia, telah merumuskan prinsip dasar yang hingga kini tak terbantahkan, yakni perkembangan manusia ditentukan oleh dua faktor; genotip (bawaan lahiriah) dan fenotip (lingkungan). Masing kader HMI lahir dari genotip dan fenotip yang berbeda. Berita baiknya, meski genotip relatif bersifat destinasi, namun fenotip cenderung lebih plural sehingga manusia bisa merubahnya dalam kadar kemauan dan kemampuannya. Tengoklah Newyork Orcestra yang kesohor itu. Dari personilnya yang berjumlah puluhan orang, ternyata hanya berkisar 5-10% saja dari mereka yang bertalenta musik, selebihnya cuma orang biasa. Tapi mengapa di kemudian waktu, semuanya mampu menjadi maestro dan mahir dalam bermusik? Jawabannya, karena ada fenotip yang memengaruhi, serta adanya kemauan keras mereka dalam belajar. Maka, benarlah nasehat Phytagoras bahwa keberhasilan seseorang ditentukan oleh sepersepuluh (10%) genotip dan sisanya (90%) melalui fase pembelajaran. Dari sinilah pengader HMI dapat mengambil pelajaran untuk melakukan rekayasa kekaderan yang dimaksud itu. Menciptakan fenotip dalam sebuah stereotip tertentu, sehingga mampu merekayasa lahirnya genotip baru yang lebih maju.
Lalu apakah dengan begitu, akhirnya batu dapat dirubah menjadi kayu, besi menjadi emas, dan seterusnya? Tidak! Hukum alam tetap tak ditentang. Namun hukum alam juga tidaklah bersifat absolut. Manusia adalah makhluk kreatif yang bisa memanfaatkan segala peluang terbuka dari perubahan hukum alam. Berbagai unsur dan karakter dapat dikombinasi, diracik, serta diolah hingga menghasilkan satu atau lebih unsur dan karakter baru (senyawa perubahan). Ukir, pahat, dan bentuklah unsur-unsur itu. Kelola, campur, dan posisikan karakter-karakter pada tempatnya sesuai kebutuhan perkaderan.
Arahkan kader-kader HMI ke tempat yang sesuai dengan talentanya. Bangkitkan keinginannya. Asah kemampuannya. Pada saat yang sama, masukkan mereka ke fenotip yang berbeda. Ajari mereka bertemu dengan dunia baru. Kader yang sense ke politik, seyogianya mendalami juga kebudayaan. Vak ekonomi, belajar pula filsafat dan pendidikan. Kader seni, mengenal pula matematika dan logika. Bakat teknik, bukan melulu nongkrong di basis teknologi, melainkan pula berinteraksi dengan ilmu sosial dan sebagainya. Setidaknya, kader HMI bisa menjadi lebih bersifat universal, dan cerdas lantaran ditopang banyak dimensi keilmuan lainnya. Biarkan mereka tumbuh menurut jalur genotipnya, sekaligus benturkan dengan berbagai macam fenotip. Jangan menilai militansi dan intelektualitas secara monolitik. Pun spiritualitas harus dikembangkan, kendati cara (mazhab) berislam mereka berbeda. Spiritual tak selalu diukur dari tingkat vertikal, tapi juga horizontal. Saleh pribadi mesti mewujud ke saleh sosial. Tanamkan benih bijak dalam perbedaan. Perbedaan spesies, namun tetap dalam satu genus karakteristik HMI.
Jatuh bangun adalah proses biasa bagi manusia, demikian pula bagi HMI. Peringatan Milad ke 65—yang jatuh 5 Februari 2012 ini—adalah satu siklus kecil bagi HMI agar dapat menapak kehidupan berikutnya. Di depan selalu ada hambatan dan persoalan. Hadapi semuanya dengan berani. Lagipula tiap kekeliruan yang ada, merupakan suatu proses yang tak mungkin dihindari. Hanya dibutuhkan sedikit kearifan dalam menghadapinya, maka hal tersebut mampu diolah menjadi bentuk kemajuan organisasi.
Membangun itu sulit; dan menjaga apa yang telah dibangun itu jauh lebih sulit.
* Lukman Wibowo
0 komentar:
Posting Komentar