Rabu, 19 Maret 2014

JAWANISASI ISLAM, DAN LAHIRNYA ISLAM SINKRETIK*


 Oleh: Drs. HM. Anasom M.Hum
(Pembantu Dekan I Fakultas Dakwah IAIN Walisongo)


            Sejarah Islam Jawa, bukanlah suatu sejarah yang tunggal. Sejarah panjang Islam di Jawa secara kronologi telah melahirkan beragam pemahaman Islam di Jawa. Dalam hal ini kita dapat melihat wajah Islam yang sangat kontektual, yang dipengaruhi oleh tidak saja sosio kultur masyarakatnya, tetapi juga alam pikiran, atau pandangan dunia Jawa, disamping tentu yang sangat penting adalah pengaruh politik kebudayaan, politik kekuasaan pada masanya. Dengan demikian salah besar kalau orang memahami Islam di Jawa sebagai satu kesatuan.  Dalam tulisan ini pengaruh politik kebudayaan, sebagai akibat hegemoni politik kekuasaan secara jelah melahirkan apa yang oleh banyak orang disebut sebagai Islam sinkretik.

Jawanisasi Islam  yang dimaksud dalam tulisan ini adalah  respon kebudayaan Jawa yang menginginkan kembali sebagai subyek sejarah. Karena pada fase tersebut Islam telah mengakar di masyarakat Jawa, maka upaya tersebut harus dibaca sebagai upaya menyelaraskan atau merevitalisasi kebudayaan Jawa dengan terpaksa mengakomodasi  ajaran Islam.
Untuk mendapatkan penjelasan tentang persoalan tersebut dalam paper singkat  ini akan dijelaskan hal-hal yang terkait, pertama, perang Jawa, kedua, akibat-akibat perang baik bagi kolonial maupun kerajaan Jawa, ketiga, campur tangan kolonial dalam kebudayaan. Keempat, Karya sastra Jawa Hegemonik. Dengan pola semacam ini, akan tampak lahirnya model pemahaman Islam yang khas pada periode ini.

A. Perang Jawa
 Abad 19 sebagai skup temporal dalam perkembangan Islam, merupakan perkembangan yang memiliki keunikan sejarah tersendiri. Dalam perkembangannya beberapa proses politik dilalui selama abad 19. Kecuali kolonialisme Belanda , diawal abad 19, pemerintahan Inggris sempat bercokol di Indonesia, pengalaman ini paling tidak memberikan warna lain dari situasi global baik pada sisi ekonomi, politik, budaya, maupun agama. 
Perkembangan menarik yang cukup menjadi momentum khususnya bagi perkembangan Islam adalah  "perang Jawa" yang oleh banyak sejarawan dijelaskan sebagai bentuk perlawanan antara kaum santri dengan kolonialisme Belanda.  Momentum tersebut dalam gerakan dakwah Islam sangat berarti, perang Jawa semakin memperjelas kekuatan Islam, batas-batas semangat keislaman tampak dalam masyarakat. Banyak sejarawan tidak melihat akibat-akibat perang terhadap masalah agama. Walaupun diantara penelitian-penelitian tersebut juga menjelaskan tentang berbagai kebijakan pasca Perang Jawa. Umumnya mereka tidak menelaah hubungan kausalitas antara Perang Jawa dengan kebijakan-kebijakan pasca perang, seperti Sistem Tanam Paksa, kebijakan haji, surutnya peran penguasa tradisional yang berimbas munculnya karya-sastra pasca perang yang kalau ditelaah lebih mendalam memperlihatkan penolakan terhadap ajaran Islam, dan sebagainya.
            Perang Jawa merupakan istilah lain dari Perang Diponegoro yang terjadi pada tahun 1825-1830. Disebut demikian karena perang ini sebenarnya merupakan titik kulminasi dari akibat keresahan masyarakat Jawa, yang satu sisi ditinggalkan penguasa tradisional karena kerjasama dengan kolonial, sisi lainnya adalah sumberdaya masyarakat dikuras secara ekonomi untuk kepentingan kolonial.
Pada tahun 1825 dibangunlah jalan baru yang melewati sebagian daerah istana Diponegoro di desa Tegalrejo, tanpa konsultasi atau pemberitahuan kepada Diponegoro. Peristiwa ini menjadi alasan kuat bagi Diponegoro untuk mengadakan pemberontakan terhadap pemerintah Yogyakarta, yang dipimpin oleh Patih Mangkubumi – juga salah seorang dari kelompok pengawas – dan terhadap pengaruh Belanda, yang makin lama menjadi kukuh.
Steenbrink[1] menjelaskan, selain berbagai kekecewaan dan kejengkelan, memang terdapat cukup banyak faktor lain yang medorong pecahnya perang Jawa (1825 – 1830). Perang ini sebagian bersifat Perang Saudara (Surakarta membantu Yogyakarta dalam menentang Diponegoro), tetapi sebagian besar juga bersifat perang anti kolonial, karena pihak Belanda menyokong dan memimpin tentara Yogyakarta dan Surakarta. Beberapa sebab perang Jawa ini antara lain :
a.       Pihak Belanda cukup banyak mengambil alih daerah Kesultanan Yogyakarta. Oleh sebab itu tanahnya makin lama makin menyempit, sehingga Sultan tidak bisa lagi memberikan tanah kepada keluarganya sebagai apanage (daerah sumber pajak).
b.      Orang Tionghoa diberikan kesempatan untuk memungut pajak, khusus pajak jalan pada pintu tol. Pembayaran pajak kepada bangsa Tionghoa seperti ini dirasakan sangat tidak menyenangkan.
c.       Adanya kekurang-adilan dalam masyarakat Jawa, khususnya di dalam pemerintahan pada pemulaan abad ke-19.
d.      Adanya bermacam-macam intrik di istana dan kraton Yogyakarta.
e.       Praktek sewa perkebunan secara besar-besaran kepada orang Belanda yang menyebabkan pengaruh Belanda makin lama makin membesar.
f.       Kerja paksa bukan hanya untuk kepentingan orang Yogyakarta saja, tetapi juga untuk kepentingan Belanda.

Perang Jawa menurut Peter Carey seperti dikutip Steenbrink menyatakan  cukup banyak kyai dan santri yang menolong Diponegoro. Dalam naskah Jawa dan Belanda, Carey menemukan 108 kyai, 31 orang haji, 15 syeikh, 12 pegawai penghulu Yogyakarta dan 4 kyai guru yang turut berperang bersama Diponegoro. Padahal sebelumnya, menurut Carey, hubungan kraton dan santri tidak begitu baik. Dalam tahun 1647 Sunan Mangkurat I pernah melakukan pembunuhan massal terhadap sekitar 5000 atau 6000 orang ulama dan santri daerah Tembayat, Kejoran dan Wana Kusuma – dalam rangka memadamkan perlawanan mereka – di alun-alun Plered. Dengan demikian, kata Carey, pendirian desa perdikan dapat  ditafsirkan sebagai politik pengurungan (policy of containment) para kyai dan santri, sebab biasanya, daerah desa perdikan itu terbatas, dan cukup jauh dari kota. Sebaliknya guru agama dan kaum santri lainnya disenangi, mendapat hak-hak istimewa dari kraton. Apakah pendirian desa perdikan dapat ditafsirkan sebagai alat “perdamaian” antara priyayi dan ulama, juga belum bisa dipastikan, karena hubungan antara kraton dan para ulama juga cukup akrab. Lembaga desa perdikan sudah ada pada zaman Hindu, dan lembaga ini kadang-kadang digunakan khusus untuk mendapatkan daerah yang lebih akrab dengan kraton. Banyak orang kraton kawin dengan kepala-kepala desa perdikan atau dengan anak ulama lain, dan menyerahkan anak mereka kepada kyai untuk dididik. Jadi priyayi dan ulama tidak bisa dianggap sebagai kasta yang terpisah    betul[2].
Perang Jawa secara umum dapat dikatakan dimenangkan oleh pihak Belanda, pada bulan Nopember 1828 Kyai Maja beserta separuh pengikutnya menyerah kepada Belanda di Klaten. Di bawah pengawasan Mayor De Stuers pada tahun 1830 Diponegoro ditangkap secara licik dibawa dari Magelang ke Semarang dan kemudian ke Batavia. Walaupun kalah, tetapi perang Jawa bagi orang Islam memberikan semangat militansi yang tinggi.

B. Akibat-Akibat Perang
Perang Jawa telah mengakibatkan pemerintah kolonial bangkrut, walaupun bisa menang dan dapat menawan Pangeran Diponegoro, namun derita pemerintahan kompeni di Indonesia lebih parah. Menurut perkiraan kebijakan-kebijakan pasca 1830 tampaknya merupakan akibat. Dengan demikian apa yang dikatakan Ricklefs, bahwa mulai tahun 1830 sebagai dimulainya masa penjajahan yang sebenarnya dalam sejarah Jawa, dapat dibaca dalam kontek kausalitas tersebut. Kondisi pasca perang Jawa dijelaskan William Roff[3] sebagai berikut:
“Dalam masa perang di Jawa berikutnya, Belanda menghadapi berbagai masalah. Perbendaraan lokal terkuras sampai ke titik hutang yang sangat besar; reruntuhan liberalisme ekonomi yang tidak dipahami dan tidak diterapkan dengan baik, tergeletak didekat kaki mereka, demikian pula masalah keuangan yang menekan di Negeri Belanda sendiri sebagai akibat pemberontakan Belgia. Semua ini, sekali lagi, memulai tugas Hindia Belanda untuk membayar. Sistem yang dirancang untuk mencapai tujuan ini akan dikenal sebagai Sistem Tanam Paksa, yang juga disebut sebagai pelampung untuk membuat Belanda tetap terapung. Dalam sistem ini, para petani diwajibkan – sebagai ganti pembayaran pajak – menanam seperlima dari tanahnya dengan tanaman ekspor yang ditentukan untuk diserahkan kepada pemerintah. Atau memilih menyediakan sejumlah tenaga kerja yang memadai untuk perkebunan-perkebunan milik pemerintah. Untuk menjamin keberhasilan sistem ini, dan dalam waktu yang sama ditegaskan kembali ketentuan kontrol dengan sanksi pajak atas penduduk yang masih belum menetap, maka perlu bagi Belanda membangun kembali kedudukan dan kekuasaan aristokrasi tradisional. Mereka yang disebutkan terakhir ini harus mengucapkan kesetiaan kepada Belanda. Demikianlah, dua dasawarsa berikutnya terlihat bukan hanya perubahan daerah-daerah yang luas di Jawa menjadi semacam sistem penanaman milik negara, tetapi juga pemulihan status para bupati dan elit priyayi yang tergusur belum lama ini, dan perubahan mereka secara bertahap menjadi kelas pejabat turun-temurun yang berfungsi sebagai tangan eksekutif kekuasaan kolonial . sifat perserikatan yang menguntungkan kedua belah pihak ini, dengan demikian terbentuk antara kekuasaan tradisional dan eksploitasi kolonial tidak mempengaruhi kesejahteraan rakyat Jawa, bahkan sebaliknya memperlebar jurang antara penguasa dan mereka yang dikuasai.
Di samping elit birokratis, dan dengan kombinasi pengawasan elit ini dan tuan –tuan besar Belanda mereka, berkembang suatu kelas yang sejajar dengan pejabat-pejabat keagamaan yang secara hirarkis diorganisasi dengan rapi bisa masuk ke dalam pola-pola pemerintahan regional. Penghulu kabupaten diangkat oleh dan bertanggungjawab kepada bupati (begitu juga petugas-petugas masjid lainnya, sesuai nengan hukum adat) yang terutama berfungsi sebagai kadi-kadi, meskipun hukum nmereka terbatas pada hukum keluarga dan wakaf, dan sebagian waktu mereka dihabiskan sebagai penasehat di pengadilan-pengadilan umum. Tetapi di tempat terakhir ini, demikian dikatakan, tugas mereka terbatas pada pengelolaan sumpah. Penghulu wilayah melaksanakan tugas-tugas yang sama pada pemerintahan wilayah, dan pada tingkat desa, penghulu lrbih rendah dan pembantu-pembantu mereka melaksanakan tugas yang terutama berkaitan dengan pengawasan akad nikah dan pemeliharaan mesjid. Penyertaan kelas pejabat-pejabat agama (dianggap Belanda sebagai “pendeta-pendeta” / priest) ini kedalam kerangka pemerintahan umum negara, mengakibatkan terjadinya pengebiran ulam ayang ambil bagian dalam kekuasaan. Mereka tunduk pada elit priyayi yang pada batas tertentu sama-sama merasakan  kekahawatiran Belanda akan fanatisme keagamaan, dan kepada elit priyayi yang dalam hal apapun tidak mempunyai minat untuk mempertahankan sesuatu semacam kekuasaan Islam yang terpisah.
Dalam perkembangan keadaan, tidaklah mengherankan bahwa kyai dan ulama independen, sebagaimana lazimnya, harus memegang kedudukan resminya itu dalam keadaan yang dianggap hina. Juga tidak kebanyakan kehidupan keislaman masyarakat (dan gengsi yang dihubungkan dengan kepemimpinannya) harus terletak pada tangan-tangan mereka – sejak dari tumpukan kegiatan-kegiatan keagamaan berskala kecil, kegiatan-kegiatan yang menyertai kejadian-kejadian hidup sehari-hari sampai kepada pengelolaan sekolah-sekolah agama (pesantren) dan pembentukan serta pengaturan tarekat-tarekat Sufi yang masih membentuk kebanyakan pemikiran keagamaan orang Jawa. Fokus independen bagi kesetiaan kaum tani ini sangat dikhawatirkan Belanda, yang percaya bahwa sumber-sumber pokok, “keresahan”dikalangan tani ialah jemaah haji yang kembali dari Tanah Suci dan orang-orang Arab pengembara, yang melakukan atau berusaha membuat pembatsan-pembatasan pada usaha ibadah haji dan perpindahan orang-orang Arab dari wilayah perkotaan. Meskipun demikian, keresahan tetap bertahan. Walaupun Perang Jawa menandai awal campur tangan Barat secara intensif dalam kehidupan orang Jawa, namun hal ini merupakan peristiwa terakhir kobaran api besar di pulau ini. Tahun-tahun tiga puluhan, empat puluhan dan berikutnya, terus terganggu oleh pemberontakan kaum tani yang hebat, dan secara seragam dibawah panji-panji Islam”.

C. Perkembangan Sastra  Jawa Pasca Perang Jawa
Seperti telah dikemukakan bahwa karya sastra Jawa mengalami kebangkitan pada abad XVIII dan XIX. Karya-karya itu ditulis dan digubah oleh para pujangga kerajaan, terutama di Surakarta dan Yogyakarta. Oleh karena pada zaman itu karya sastra mencapai perkembangan yang pesat, wajarlah jika Pigeaud  menyebut zaman itu sebagai zaman keemasan sastra Jawa. Untuk membuktikan apakah benar pada zaman itu karya sastra Jawa mengalami perkembangan sehingga muncul sebutan zaman keemasan, dapatlah dirunut melalui sejarah perjalanannya[4].
Menurut perjalanan sejarahnya, kesusastraan Jawa mengalami perkembangan akibat peran istana atau kerajaan ketika dalam kancah politik dan ekonomi semakin mundur. Hal ini disebabkan oleh hadirnya Kompeni Belanda yang semakin lama semakin menggeser kekuasaan politik kerajaan. Oleh karena itu kekuasaan politik kerajaan semakin terdesak dan campur tangan Kompeni semakin  mencengkeram, seolah-olah kerajaan Jawa kehilangan peran dan bahkan memcapai puncak krisis sehingga kerajaan lebih banyak berperan sebagai pusat kesenian dan kesusastraan daripada pusat politik yang menentukan[5].
Pada tahun 1831, bagian Negaragung Yogyakarta sebagian  diberikan oleh pemerintah kolonial kepada Pangeran Adipati Pakualam, karena jasanya membantu pemerintah Inggris dalam menentramkan pergolakan politik yang terjadi di Istana Yogyakarta. Bahkan, setahun sebelumnya, tahun 1812, kerajaan Surakarta dan Yogyakarta telah lebih dulu dipaksa untuk menyerahkan wilayah Negaragung Kedu kepada Pemerintah Inggris dengan alasan Inggris telah membantu naik tahtanya Sultan Hamengku Buwana III di Yogyakarta dan juga karena alasan Inggris telah melindungi wibawa Sunan di Surakarta. Akibat berbagai gejolak itulah akhirnya pada tahun 1830 wilayah kerajaan Surakarta dan Yogyakarta semakin sempit, ibaratnya hanya tinggal segodhong kelor  ‘ satu lembar daun kelor’[6].
Pengaruh kekuasaan pemerintah kolonial yang leluasa itu menyebabkan hubungan kaum bangsawan dengan orang-orang  Barat; Belanda dan Inggris, semakin terbuka. Oleh karena itu, sangat wajar jika penetrasi peradaban Barat dengan mudah mengalir ke Istana. Bahkan, karena ketergantungan kerajaan pada pemerintah kolonial semakin tidak dapat dihindari maka pemerintah kolonial pun dengan mudah menghentikan aktivitas raja dan para bangsawan dalam bidang politik dan ekonomi. Dengan demikian, karena tugas politik dan ekonomi raja dan bangsawan di kerajaan dapat dikatakan ‘tidak ada lagi’ maka kegiatan mereka dialihkan pada bidang kesenian dan kesusastraan. Hal itulah yang disebut sebagai “kesusastraan Jawa mengalami perkembangan akibat mundurnya peran istana dalam bidang politik dan ekonomi”[7].
Melihat situasi masyarakat yang semakin krisis teersebut, akhirnya para pujangga kerajaan “menggugah diri” dan berusaha untuk menegakkan kembali nilai-nilai dan norma-norma tradisional yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. Satu-satunya jalan yang ditempuh adalah dengan cara menulis dan menggubah sastra yang berisis ajaran, piwulang, dan sebagainya, yang dimaksudkan sebagai tindakan “antisipasi” terhadap gejala-gejala krisis itu. Tindakan itu dilandasi oleh pikiran bahwa dalam konteks masyarakat yang demikian karya sastra yang berisi petunjuk-petunjuk berfungsi sebagai salah satu jalan untuk mempersatukan kekuatan masyarakat dibawah naungan raja. Berbagai tindakan para pujangga itulah yang menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan sastra semakin pesat. Atas dasar itu pulalah sangat wajar jika Pigeaud menyatakan bahwa permulaaan kesusastraan kraton Jawa Tengah bagian selatan pada masa 1726-1749; mengalami perkembangan pada masa 1788-1820; perkembangan itu mencapai puncaknya pada masa 1830-1858; dan mencapai perkembangan akhir pada masa 1853-1881[8].

D. Campur Tangan dalam Kesusasteraan
Kecuali dalam bidang ekonomi, pasca Jawa Pemerintah Kolonial mulai melirik perkembangan dunia sastra Jawa. Era kebangkitan sastra Jawa modern pada akhir abad ke-19 tidak terlepas dari berdirinya lembaga bahasa Jawa (Institut voor de Javaansche Taal) di Surakarta pada tahun 1832. Lembaga bahasa Jawa itu berdiri berkat inisiatif atau prakasa C.F. Winter. Walaupun merupakan lembaga bahasa Jawa, lembaga itu telah membawa perkembangan yang positif terhadap sastra Jawa. Institut voor de Javaansche Taal itu telah melahirkan penulis atau pengarang sastra Jawa yang menuju ke arah perkembangan sastra Jawa berikutnya.
Memang agak sulit menentukan apakah campur tangan  dalam bidang sastra tersebut juga mempengaruhi terhadap isi karya Sastra Jawa?. Pertanyaan yang sama dapat diajukan, apakah campur tangan pemerintah tersebut dalam rangka mematikan militansi Islam yang telah terbukti mampu menggerakkan perlawanan?. Atau campur tangan tersebut sebatas pada percetakan dan penerbitan saja?. Sederet pertanyaan tersebut sebenarnya membutuhkan penelitian intensif terhadap periode tersebut. Namun satu hal yang penting, tampaknya kita merasakan dan membaca munculnya berbagai perubahan dalam pandangan dunia Jawa yang tampak dalam karya sastra pasca perang Jawa.
Sekali lagi sulit saya membuat sebuah kesimpulan yang tegas, namun kenyataan menunjukkan terjadi perubahan paradigma antara masa-masa kepujanggaan Yasadipura II dengan generasi sesudahnya.  Perbedaan tersebut tampak pada, cara pandang dan cara memperlakukan terhadap agama Islam. 
Telah disebutkan sebelumnya bahwa selain karya sastra itu diciptakan oleh para pujangga dengan tujuan untuk menjaga harkat dan martabat raja dan bangsawan, juga untuk menegakkan kembali nilai-nilai dan norma-norma tradisional. Oleh karena itu, jelas bahwa karya sastra diciptakan bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan “golongan atas” dikerajaan, melainkan juga untuk kalangan masyarakat luas. Yang berkenaan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan “golongan atas” biasanya karya sastra ditulis sesuai dengan cerminan pandangan hidup kaum bangsawan yang memberi prioritas pada bidang teologi dan etika. Jika diamati lebih jauh lagi, sebenarnya karya sastra yang menekankan bidang teologi dan etika itu tidak hanya untuk konsumsi golongan atas saja tetapi juga untuk keseluruhan manusia pada umumnya.
Dari gambaran di atas, setidaknya ada dua alasan mengapa terjadi perubahan paradigma yang menurut hemat saya merupakan upaya yang dilakukan pemerintah kolonial maupun pemerintah tradisional dalam bidang kesastraan Jawa:
Pertama, alasan agama.
Kedua,  alasan normalisasi kehidupan kraton yang secara politik kekuasaannya telah semakin berkurang.
            Kecurigaan pertama jika membaca perubahan pada masa tersebut adalah meminimalisasi peran agama Islam dalam bidang politik. Walaupun sulit ditentukan bahwa hal ini telah dilakukan oleh pemerintah kolonial dengan tujuan mengurangi militansi Islam. Namun data-data menunjukkan bahwa pada satu sisi, pada tahun-tahun pasca Perang Jawa terdapat cukup bukti bahwa terjadi peningkatan jumlah jamaah haji dan mencari ilmu  menuju ke kota suci Makkah dan Madinah. Pada sisi lain, pemerintah kolonial berupaya menerapkan berbagai peraturan tentang haji yang semakin ketat.
Kebijaksanaan pemerintah mengenai ibadah haji pada paro pertama abad ke-19 telah ditetapkan dengan resolusi-resolusi tahun 1825 dan 1831. Resolusi tahun 1825 diarahkan pada pembatasan ibadah haji sebanyak mungkin dan karena itu ditetapkan pembayaran F.110,- untuk paspor ibadah haji yang wajib dimiliki. Kebijakan ini juga dibarengi dengan "surat-surat rahasia" yang ditujukan kepada para residen dan bupati agar secara serius membatasi masyarakat untuk menunaikan ibadah haji. Caranya bagi residen mempersulit paspor haji, sedangkan para bupati dengan pengaruhnya mempengaruhi rakyat agar tidak naik haji. Apa sanksi bagi mereka yang berhaji tetapi tidak membeli paspor?. Melalui peraturan 1825 tersebut  haji yang tidak memiliki paspor dikenakan denda 1000 gulden[9].
Dari aturan 1825 ini sangat tampak bagaimana pemerintah kolonial berusaha sangat keras agar rakyat tidak menunaikan ibadah haji. Bandingkan antara jumlah denda yang dikenakan dengan ongkos paspor yang tidak seimbang. Pada tahun 1831 peraturan denda yang 1000 gulden tersebut diubah dengan peraturan baru. Denda hanya dikenakan dengan dua kali  harga paspor yaitu 220 gulden, karena seribu gulden dianggap tidak ada yang mampu membayar.
Peraturan tersebut diterapkan secara umum, tetapi tidak diumumkan secara resmi dalam Staatblad. Peraturan tersebut juga hanya diberlakukan untuk Jawa dan Madura, karena dalam prakteknya daerah luar belum berada dibawah kekuasaan Belanda.
Agak lama peraturan tersebut berjalan,baru tahun 1852 melalui keputusan No. 9 peraturan tersebut diubah. Perubahan itu isinya, pas jalan tetap diwajibkan tetapi diberikan secara gratis, sedangkan denda dihapuskan sama sekali. Tindakan ini diambil didasarkan vonis Pengadilan Negeri Surabaya terhadap Haji Abdul Salam, yang tidak bersedia membayar denda sebanyak 220 gulden itu. Pengadilan mengambil keputusan, bahwa peraturan 1825 dan 1831 tidak diumumkan, dan oleh karena itu tidak berlaku. Dari pihak pemerintah, salah satu pertimbangan untuk melepaskan peraturan ini adalah karena ternyata peraturan tersebut tidak berhasil membendung jumlah calon haji yang terus bertambah[10].
Pada tahun 1859 pemerintah kembali memberlakukan aturan baru, yang kemudian dikenal sebagai Ordonansi tahun 1859 yang isinya adalah:
a. Calon Jamaah haji harus mempunyai surat keterangan dari seorang Bupati bahwa ia mempunyai dana memadai untuk perjalanan pulang pergi dan disamping itu bahwa nafkah bagi keluarga yang ditinggalkan cukup terjamin.
b. Sekembalinya dari Mekah, haji tersebut harus menjalankan ujian, atau ujian haji, yang harus membuktikan bahwa dia benar-benar telah mengunjungi Mekah.
c. Hanya bila telah lulus ujian itu, dia dibenarkan untuk menyandang gelar haji dan memakai busana haji khusus[11].
Ordonansi tahun 1859 ini terus berlaku sepanjang paroh kedua abad 19.  Saya mendapatkan laporan-laporan di ANRI Semarang tentang bagaimana ordonansi itu terus diberlakukan. Para haji harus mencari pas jalan waktu berangkat, dan pulang, juga harus melaporkan kembali dengan mengikuti ujian haji itu[12].
Di atas telah saya sampaikan tentang perhatian pemerintah kolonial terhadap para 'mukim' yang terdiri dari para haji dan santri dari Nusantara, yang menurut pemerintah kolonial pergaulan mereka akan sangat membahayakan pemerintah kolonial. Untuk mengawasi gerak-gerik mereka ini pemerintah mendirikan konsulat di Jeddah. Tugas dari konsulat ini adalah mencari informasi-informasi yang penting tentang para haji dan 'mukim'. Pekerjaan ini dilakukan oleh orang-orang yang dipercaya oleh pemerintah dengan suatu imbalan. Informasi-informnasi ini selanjutnya disampaikan kepada pemerintah di Hindia Belanda[13]
            Sedangkan alasan kedua, normalisasi kehidupan kraton. Ada cukup alasan bagi kraton untuk berupaya mengembalikan nilai-nilai Jawa yang mulai tergeser oleh militansi Islam. Seperti diuraikan didepan bahwah agama Islam pada abad 18 dan awal abad 19 tengah menemukan bentuknya yang khas Jawa. Artinya meskipun terjadi sinkretisasi tetapi sebenarnya hanya pada hal-hal yang bukan fundamental. Sementara itu Islam tarus mendesak nilai-nalai lama.
            Dalam situasi tersebut, tampaknya para pujangga kraton menangkap sinyal, jika dibiarkan hal tersebut akan mengancam kehidupan dan wibawa tradisional Istana. Karena militansi Islam akan mampu menggeser peran politik kerajaan, dan pengalaman itu pernah terjadi pada masa Demak. Disini kita melihat terjadi simbiosis antara kepentingan kolonial dengan kepentingan kerajaan. “Renaisans Jawa” inilah tema yang kemudian diusung untuk mengembalikan wibawa tradisional. Sehingga benar sekali jika Pigeaud mengatakan bahwa perkembangan sastra Jawa mencapai puncaknya pada masa 1830-1858; dan mencapai perkembangan akhir pada masa 1853-1881[14].

E. Karya Sastra Jawa Hegemonik
Ranggawarsita yang merupakan pujangga pada masa ini, menurut Poerbatjaraka banyak mengadakan perubahan dalam bidang sastra Jawa. Ia mencontohkan “ Kitab Kanda yang disalin dengan nama baru Kitab Paramayoga. Kitab Kanda tersebut oleh Ranggawarsita diubah dalam bentuk prosa, disadur, diubah serta ditambah banyak sekali. Tambahan-tambahan itu sebagian besar diperolehnya dari mendengar perkataan temannya, yakni C.F. Winter dan Cohen Stuart”[15].
Perubahan terpenting terkait dengan kajian saya, menguatkan teori bahwa terjadi Jawanisasi Islam pada abad 19. Kitab Kanda yang merupakan karya zaman Islam, dan isinya sepenuhnya tentang cerita kemenangan Islam atas orang kafir di negeri Makkah, oleh Ranggawarsito banyak berubah isinya.  Seperti nama Adam dalam Kitab Kanda berubah menjadi At-Hama, seolah-olah nama sanskerta berasal dari Hindu. Nama At-Hama itu dalam ilmu pengetahuan dewa-dewa menurut Poerbatjaraka tidak pernah ada. Ada kata atma yang banyak dipakai dalam filsafat Hindu yang artinya nyawa, jiwa, jiwa hidup[16]. Keterangan tahun didalamnya yang mendahulukan tahun Hindu, juga merupakan upaya Ranggawarsito.
Dialektika antara nilai Jawa dengan Islam digambarkan secara sederhana oleh Poerbatjaraka[17] sebagai berikut:
“Seperti telah diuraikan di muka “Gusti Allah” orang Djawa asli itu terdesak oleh “Gusti Allah” bangsa Indu, jakni batara Siwa. “Gusti Allah” daripada orang Djawa tulen itu pada Indu-Djawa sampai achir djaman Madjapahit terdesak sama sekali. Tapi serenta pengaruh Indu itu sudah berkurang dan kemudian hilang, maka “Gusti Allah” orang Djawa asli muntjul kembali dan tempatnja diatas  “Gusti Allah” Indu, jakni Sang Hyang Taja, Sang Hyang Wenang, Sang Hyang Tunggal nama seorang-orang “Pembesar” jang ditempatkan diatas batara Siwa (batara Guru). Setelah djaman Islam maka batara Guru keatas, seperti Sang Hyang Wnang, Sang Hyang Tunggal, itupun sudah dipisah-pisahkan pula, ditempatkan dibawah Nabi Adam”.  Pada masa pasca perang Jawa, terjadi perubahan dengan nuansa Jawa lama.
Dari keterangan diatas cukup membuktikan adanya perubahan paradigma dalam karya-karya intelektual Jawa. Apakah hal tersebut juga terjadi pada karya sastra lain?.  Penelitian ini akan mencoba mengurai masalah ini kepada karya-karya yang muncul pada masa ini.
Pujangga pada masa ini yang cukup menonjol dari kalangan Kraton antara lain Mangkunegara IV (1859-1881), yang mengarang antara lain Wedha Tama, Tripama, Wirawiyata. Pujangga lainnya Ranggawarsita[18] yang mengarang tidak kurang dari 60 karya sastra. Beberapa diantaranya adalah Ajidarma, Ajidarma-Ajinirmala, Ajimasa, Babad Itih, Baratayuda, Budayana, Cakrawati, Cemporet, Darmasarana, Dasanamaning Utusan, Jakalodhang, Jaman Cacat, Jayabhaya, Jayengbaya, Jiyabsara, Kawi Jarwa, Kalatidha, Mardawalagu, Matnyanaparta, Pakem Pustakaraja (purwa), Pakem Pustakaraja (madya), Pakem Pustajkaraja (antara), Pakem Pustakaraja (Wasana), Pambeganing Nata Bunathara, Pamoning Kawula gusti, Panitisastra, Panji Jayengtilam, Paramasastra, Paramayoga, Partakaraja, Patilasan Kina ing Kadhiri, Pawarsakan, Purusangkara, Purwagnyana, Purwakaning, Pawukon, Purwawasana, Pustakaraja (babon), Rerepen Sekar Tengahan, Wirid Hidayat Jati, Wirid Sopanalaya, Witaradya dan Yudayana dsb.. Disamping dari kalangan istana, pada masa ini tampaknya juga muncul karya-karya diluar tembok istana. Walaupun tidak jelas benar karya siapa, namun beredar luas di masyarakat Serat Darmogandul dan  Serat Gatholoco.  Secara detail karya-karya pada masa ini dapat dibaca pada lampiran penelitian ini.  Tetapi sebagai gambaran untuk membuktikan dugaan teori bahwa terjadi perubahan paradigma karya-karya sastra pasca perang Jawa, secara garis besar dalam bab ini akan dikaji beberapa karya sastra dalam bentuk piwulang.
            Dalam Wedha Tama, terdapat ajaran tentang etika dan etiket, juga terdapat ajaran tentang ilmu kesempurnaan dan ilmu pengetahuan. Ajaran mengenai ilmu kesempurnaan itu misalnya tercantum dalam bagian-bagian yang mengajarkan tata cara sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, dan sembah rasa; yang semua identik dengan ajaran mengenai syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat. Akan tetapi, yang justru dipentingkan adalah ajaran tentang etika dan etiket, misalnya tata cara bagaimana seseorang harus berjiwa bersih, pemaaf, rela, dan pasrah, lagi pula harus bersikap sopan dan pandai menyesuaikan diri. Oleh karena itu, dalam karyanya itu Mangkunegara IV mengatakan bahwa menghadap raja lebih penting daripada menghadap Tuhan.  Deskripsi ini akan menjadi sangat berbeda, manakala kita membaca karya-karya zaman Yasadipura atau sebelumnya, yang sangat menekankan pentingnya ajaran Islam dilaksanakan dengan baik, meskipun tetap dengan keselarasan dengan nilai-niali Jawa,seperti diuraikan dalam bab dua.
Dalam Wedhatama[19]  hal ini dijelaskan dalam beberapa bait sebagai berikut:

            Ambawani tanah Jawa/ kang padha jumeneng aji/ satriya dibya sumbaga/ tan iyan trahing senapati/ pan iku pantes ugi/ tinulad labetanipun/ ing sakuwasanira/ enake lan jaman mangkin/ sayektine tan bisa ngepleki kuna.

            Lowung kalamun tinimbang/ ngaurip tanpa prihatin/ nanging ta ing jaman mangkya/ pra mudha kang den karemi/ manulad nelad nabi/ nayakengrat gusti rasul/ anggung ginawa umbag/ saben seba mampir masjid/ ngajab-ajab mukjijat tibaning drajat.

            Anggung anggubel sarengat/ saringane tan den wruhi/ dalil dalaning ijmak/ kiyase nora mikani/katungkul mungkul sami/bengkrakan neng masjig agung/ kalamun maca kutbah/ lalagone dhandhanggendhis/ swara arum ngumandang cengkok palaran.

            Lamun sira paksa nulad/ tuladhaning Kanjeng nabi/ O ngger kadohan panjangkah/ wateke tan betah kaki/ rehne ta sira Jawi/ sathithike bae wus cukup/ aja guru aleman/ nelad kas ngpleki pekih/ lamun pangkuh pangangkah yekti karamat

            Nanging enak ngupa boga/ rehne ta tinitah langit/ apa ta suwiteng nata/ tani tanapi agrami/ mangkono mungguh mami/ padune wong dahat cubluk/ during wruh cara Arab/ Jawaku bae tan ngenting/ parandene paripeksa mulang putra.
           
Perubahan paradigma seperti tersebut juga tampak pada karya Ranggawarsita dalam Wirid Hidayat Jati.  Van Akkeren dalam pembahasannya tentang baitul Muqaddas dalam Wirid bersama Gatholoco dan Darmogandhul, menaerangkan tentang dimuliakannya alat kelamin dan hubungan seks sebagai sarana untuk mencapai penghayatan mistik. Disimpulkan bahwa ajaran tentang Baitul Muqaddas dalam Wirid Hidayat Jati  itu sangat kuat hubungannya dengan pemujaan terhadap lingga (lingga adalah lambing dzakar) yang terdapat di Jawa sebelum Islam[20].
Prof. Rasyidi[21] juga membahas ajaran Wirid Hidayat Jati dalam hubungannya dengan Serat Gatholoco dan Serat Darmogandhul, beliau menyimpulkan bahwa Serat Gatholoco menunjukkan pengaruh ajaran Tantrisme, maka Wirid Hidayat Jati  menonjolkan pengaruh ajaran union mystique. Yakni manunggaling kawula gusti,  atau persatuan antara manusia dan Tuhan yang dilukiskan dalam bahasa Jawa sebagai Warangka manjing curiga.
Yang menarik lagi menurut analisa Harun Hadiwiyono[22] yang menyimpulakan bahwa dalam Wirid Hidayat Jati  sebenarnya tidak ada ajaran tentang Tuhan. Ajaran dalam karya tersebut bersifat anthroposentris, seterusnya dia mengatakan bahwa ajaran dalam  Wirid Hidayat Jati  adalah hinduisme yang berjubah Islam.
Dalam pelambangan symbol wayang untuk menjadi teladan tidak lagi keluarga Pandawa, tetapi dalam Tripama, Mangkunegara IV mengidealkan Patih Suwanda, Basukarna dan Kumbakarna[23].  Kumbakarna adalah putra kedua Begawan Wiraswa dengan Dewi Sukesi. Ia berwujud Raksasa (Wayang terbesar dalam wayang kulit) dan berkedudukan di ksatriyan Leburgangga. Memang ada watak satria tampak dalam tokoh Kumbakarna, ia meninggal di tangan Prabu Rama dalam membela tanah air[24].  Tetapi sekali lagi saya katakana bahwa memang terjadi perubahan paradigma dalam tradisi sastra, termasung simbolisasi dalam ketokohan wayang. 
Tripama lebih menekankan ajarannya bagi prajurit daripada kaum sipil pada umumnya. Cita-cita untuk nuhoni trah utama ‘meraih kedudukan utama’ bagi kaum bangsawan yang disimbolkan melalui prajurit wayang, Patih Suwanda; cita-cita untuk labuh negari ‘membela negara’ bagi Kumbakarna; dan cita-cita untuk males sih “membalas kebaikan” bagi Basukarna atau Suryaputra, adalah suatu kewajiban, sedangkan bagi para abdi dalem nggayuh utama ‘rakyat yang mencari keutamaan’ merupakan cita-cita yang sangat terpuji. Oleh karena itu, cita-cita dalam Tripama agaknya memang sesuai dengan kepentingan kerajaan Kejawen pada waktu itu. Namun, sebagai prajurit idaman tidaklah cukup hanya dengan bekal itu saja, tetapi juga harus dilandasi dengan kesetiaannya pada janji, disiplin, taat, takwa, tidak sombong, dan tidak sewenang-wenang, sebagaimana dilukiskan oleh Mangkunegara IV dalam Wirawiyata. Seorang prajurit utama adalah prajurit yang menepati janji sesuai dengan yang diucapkan ketika pelantikan, dan hal itu harus dipegang teguh dalam menjalankan tugasnya sebagai prajurit[25].



[1] Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm.17-18
[2] Ibid.
[3] William Roff, “Islam di Asia Tenggara Dalam Abad ke-19” dalam Azyumardi Azra, Perspektif Islam di Asia Tenggara, (Jakarta: Yayasan Obor, 1989) hlm.43-45
[4] Tirto Suwondo dkk, Nilai-Nilai Budaya Susastra Jawa, ( Jakarta: Depdikbud, 1994), hlm. 14
[5] Ibid.
[6] Ibid, hlm. 15
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Karel Steenbrink, hlm. 236

[10] Ibid
[11] Jacob Vredenbregt,  hlm. 9-10
[12] Lihat arsip Masalah-masalah yang dilaporkan kepada polisi, catatan ini juga melaporkan bahwa pas jalan tidak hanya berlaku untuk jamaah haji, tetapi juga setiap orang yang akan pergi dari satu tempat ke tempat lain walaupun masih lingkup pulau Jawa.

[13] Marcel Witox, “Mempertaruhkan Jiwa dan harta Jemaah haji dari Hindia Belanda pada abad 19” , (Jakarta: INIS, 1997), hlm.98

[14] Ibid.
[15] Perbatjaraka, Kepustakaan Djawa….. hlm. 181
[16] Ibid
[17] Ibid, hlm 147
[18] Jayabaya, No. 29, 16-22 Maret 2003, hlm. 8
[19] Mangkunegara IV, Serat Wedhatama, (Semarang: Dahara Prize, 1989) hlm. 29-32
[20] Simuh, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita, (Jakarta: UI-P, 1988) hlm. 4

[21] Ibid.hlm. 5
[22] Ibid
[23] Tirto Suwanda, Nilai-Nilai Budaya Susastra  (Jakarta: Depdikbud, 1994) hlm. 18
[24] S. Haryanto, Pratiwimba Adiluhung, Sejarah dan perkembangan Wayang, ( Jakarta: Penerbit Djambatan, 1988) hlm. 299
[25] Tirto Suwanda, ibid. 


Drs. HM. Anasom M.Hum
(Pembantu Dekan I Fakultas Dakwah IAIN Walisongo)

*Tulisan dimuat dalam Majalah Ber-SUARA LAPMI Cabang Semarang Edisi XXVI Desember 2013M/1435 H
Info & Berlangganan : 085640281855


0 komentar:

sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com