Oleh: Drs. HM. Anasom M.Hum
(Pembantu Dekan I Fakultas Dakwah IAIN Walisongo)
Sejarah Islam Jawa, bukanlah
suatu sejarah yang tunggal. Sejarah panjang Islam di Jawa secara kronologi
telah melahirkan beragam pemahaman Islam di Jawa. Dalam hal ini kita dapat
melihat wajah Islam yang sangat kontektual, yang dipengaruhi oleh tidak saja
sosio kultur masyarakatnya, tetapi juga alam pikiran, atau pandangan dunia
Jawa, disamping tentu yang sangat penting adalah pengaruh politik kebudayaan,
politik kekuasaan pada masanya. Dengan demikian salah besar kalau orang
memahami Islam di Jawa sebagai satu kesatuan.
Dalam tulisan ini pengaruh politik kebudayaan, sebagai akibat hegemoni
politik kekuasaan secara jelah melahirkan apa yang oleh banyak orang disebut
sebagai Islam sinkretik.
Jawanisasi Islam yang
dimaksud dalam tulisan ini adalah respon
kebudayaan Jawa yang menginginkan kembali sebagai subyek sejarah. Karena pada
fase tersebut Islam telah mengakar di masyarakat Jawa, maka upaya tersebut
harus dibaca sebagai upaya menyelaraskan atau merevitalisasi kebudayaan Jawa
dengan terpaksa mengakomodasi ajaran
Islam.
Untuk mendapatkan penjelasan tentang persoalan tersebut dalam
paper singkat ini akan dijelaskan
hal-hal yang terkait, pertama, perang Jawa, kedua, akibat-akibat
perang baik bagi kolonial maupun kerajaan Jawa, ketiga, campur tangan
kolonial dalam kebudayaan. Keempat, Karya sastra Jawa Hegemonik. Dengan
pola semacam ini, akan tampak lahirnya model pemahaman Islam yang khas pada
periode ini.
A. Perang Jawa
Abad 19 sebagai skup
temporal dalam perkembangan Islam, merupakan perkembangan yang memiliki
keunikan sejarah tersendiri. Dalam perkembangannya beberapa proses politik
dilalui selama abad 19. Kecuali kolonialisme Belanda , diawal abad 19,
pemerintahan Inggris sempat bercokol di Indonesia, pengalaman ini paling
tidak memberikan warna lain dari situasi global baik pada sisi ekonomi,
politik, budaya, maupun agama.
Perkembangan menarik yang cukup menjadi momentum khususnya bagi
perkembangan Islam adalah "perang
Jawa" yang oleh banyak sejarawan dijelaskan sebagai bentuk perlawanan
antara kaum santri dengan kolonialisme Belanda.
Momentum tersebut dalam gerakan dakwah Islam sangat berarti, perang Jawa
semakin memperjelas kekuatan Islam, batas-batas semangat keislaman tampak dalam
masyarakat. Banyak sejarawan tidak melihat akibat-akibat perang terhadap
masalah agama. Walaupun diantara penelitian-penelitian tersebut juga
menjelaskan tentang berbagai kebijakan pasca Perang Jawa. Umumnya mereka tidak
menelaah hubungan kausalitas antara Perang Jawa dengan kebijakan-kebijakan
pasca perang, seperti Sistem Tanam Paksa, kebijakan haji, surutnya peran
penguasa tradisional yang berimbas munculnya karya-sastra pasca perang yang
kalau ditelaah lebih mendalam memperlihatkan penolakan terhadap ajaran Islam,
dan sebagainya.
Perang Jawa
merupakan istilah lain dari Perang Diponegoro yang terjadi pada tahun
1825-1830. Disebut demikian karena perang ini sebenarnya merupakan titik
kulminasi dari akibat keresahan masyarakat Jawa, yang satu sisi ditinggalkan
penguasa tradisional karena kerjasama dengan kolonial, sisi lainnya adalah
sumberdaya masyarakat dikuras secara ekonomi untuk kepentingan kolonial.
Pada tahun 1825
dibangunlah jalan baru yang melewati sebagian daerah istana Diponegoro di desa
Tegalrejo, tanpa konsultasi atau pemberitahuan kepada Diponegoro. Peristiwa ini
menjadi alasan kuat bagi Diponegoro untuk mengadakan pemberontakan terhadap
pemerintah Yogyakarta, yang dipimpin oleh Patih Mangkubumi – juga salah seorang
dari kelompok pengawas – dan terhadap pengaruh Belanda, yang makin lama menjadi
kukuh.
Steenbrink[1]
menjelaskan, selain berbagai kekecewaan dan kejengkelan, memang terdapat cukup
banyak faktor lain yang medorong pecahnya perang Jawa (1825 – 1830). Perang ini
sebagian bersifat Perang Saudara (Surakarta membantu Yogyakarta dalam menentang Diponegoro), tetapi sebagian
besar juga bersifat perang anti kolonial,
karena pihak Belanda menyokong dan memimpin tentara Yogyakarta
dan Surakarta.
Beberapa sebab perang Jawa ini antara lain :
a. Pihak
Belanda cukup banyak mengambil alih daerah Kesultanan Yogyakarta. Oleh sebab
itu tanahnya makin lama makin menyempit, sehingga Sultan tidak bisa lagi
memberikan tanah kepada keluarganya sebagai apanage
(daerah sumber pajak).
b. Orang
Tionghoa diberikan kesempatan untuk memungut pajak, khusus pajak jalan pada
pintu tol. Pembayaran pajak kepada bangsa Tionghoa seperti ini dirasakan sangat
tidak menyenangkan.
c. Adanya
kekurang-adilan dalam masyarakat Jawa, khususnya di dalam pemerintahan pada
pemulaan abad ke-19.
d. Adanya
bermacam-macam intrik di istana dan kraton Yogyakarta.
e. Praktek
sewa perkebunan secara besar-besaran kepada orang Belanda yang menyebabkan
pengaruh Belanda makin lama makin membesar.
f. Kerja
paksa bukan hanya untuk kepentingan orang Yogyakarta
saja, tetapi juga untuk kepentingan Belanda.
Perang Jawa menurut Peter Carey seperti
dikutip Steenbrink menyatakan cukup
banyak kyai dan santri yang menolong Diponegoro. Dalam naskah Jawa dan Belanda,
Carey menemukan 108 kyai, 31 orang haji, 15 syeikh, 12 pegawai penghulu
Yogyakarta dan 4 kyai guru yang turut berperang bersama Diponegoro. Padahal
sebelumnya, menurut Carey, hubungan kraton dan santri tidak begitu baik. Dalam
tahun 1647 Sunan Mangkurat I pernah melakukan pembunuhan massal terhadap
sekitar 5000 atau 6000 orang ulama dan santri daerah Tembayat, Kejoran dan Wana
Kusuma – dalam rangka memadamkan perlawanan mereka – di alun-alun Plered.
Dengan demikian, kata Carey, pendirian desa perdikan dapat ditafsirkan sebagai politik pengurungan (policy of containment) para kyai dan
santri, sebab biasanya, daerah desa perdikan itu terbatas, dan cukup jauh dari kota. Sebaliknya guru
agama dan kaum santri lainnya disenangi, mendapat hak-hak istimewa dari kraton.
Apakah pendirian desa perdikan dapat ditafsirkan sebagai alat “perdamaian”
antara priyayi dan ulama, juga belum bisa dipastikan, karena hubungan antara
kraton dan para ulama juga cukup akrab. Lembaga desa perdikan sudah ada pada
zaman Hindu, dan lembaga ini kadang-kadang digunakan khusus untuk mendapatkan
daerah yang lebih akrab dengan kraton. Banyak orang kraton kawin dengan
kepala-kepala desa perdikan atau dengan anak ulama lain, dan menyerahkan anak
mereka kepada kyai untuk dididik. Jadi priyayi dan ulama tidak bisa dianggap
sebagai kasta yang terpisah betul[2].
Perang Jawa secara umum dapat dikatakan
dimenangkan oleh pihak Belanda, pada bulan Nopember 1828 Kyai Maja beserta
separuh pengikutnya menyerah kepada Belanda di Klaten. Di bawah pengawasan Mayor
De Stuers pada tahun 1830 Diponegoro ditangkap secara licik dibawa dari
Magelang ke Semarang
dan kemudian ke Batavia.
Walaupun kalah, tetapi perang Jawa bagi orang Islam memberikan semangat
militansi yang tinggi.
B. Akibat-Akibat Perang
Perang Jawa telah mengakibatkan pemerintah kolonial bangkrut,
walaupun bisa menang dan dapat menawan Pangeran Diponegoro, namun derita
pemerintahan kompeni di Indonesia
lebih parah. Menurut perkiraan kebijakan-kebijakan pasca 1830 tampaknya
merupakan akibat. Dengan demikian apa yang dikatakan Ricklefs, bahwa mulai
tahun 1830 sebagai dimulainya masa penjajahan yang sebenarnya dalam sejarah
Jawa, dapat dibaca dalam kontek kausalitas tersebut. Kondisi pasca perang Jawa
dijelaskan William Roff[3]
sebagai berikut:
“Dalam masa perang
di Jawa berikutnya, Belanda menghadapi berbagai masalah. Perbendaraan lokal
terkuras sampai ke titik hutang yang sangat besar; reruntuhan liberalisme
ekonomi yang tidak dipahami dan tidak diterapkan dengan baik, tergeletak
didekat kaki mereka, demikian pula masalah keuangan yang menekan di Negeri
Belanda sendiri sebagai akibat pemberontakan Belgia. Semua ini, sekali lagi,
memulai tugas Hindia Belanda untuk membayar. Sistem yang dirancang untuk
mencapai tujuan ini akan dikenal sebagai Sistem Tanam Paksa, yang juga disebut
sebagai pelampung untuk membuat Belanda tetap terapung. Dalam sistem ini, para
petani diwajibkan – sebagai ganti pembayaran pajak – menanam seperlima dari
tanahnya dengan tanaman ekspor yang ditentukan untuk diserahkan kepada pemerintah.
Atau memilih menyediakan sejumlah tenaga kerja yang memadai untuk
perkebunan-perkebunan milik pemerintah. Untuk menjamin keberhasilan sistem ini,
dan dalam waktu yang sama ditegaskan kembali ketentuan kontrol dengan sanksi
pajak atas penduduk yang masih belum menetap, maka perlu bagi Belanda membangun
kembali kedudukan dan kekuasaan aristokrasi tradisional. Mereka yang disebutkan
terakhir ini harus mengucapkan kesetiaan kepada Belanda. Demikianlah, dua
dasawarsa berikutnya terlihat bukan hanya perubahan daerah-daerah yang luas di
Jawa menjadi semacam sistem penanaman milik negara, tetapi juga pemulihan
status para bupati dan elit priyayi yang tergusur belum lama ini, dan perubahan
mereka secara bertahap menjadi kelas pejabat turun-temurun yang berfungsi sebagai
tangan eksekutif kekuasaan kolonial . sifat perserikatan yang menguntungkan
kedua belah pihak ini, dengan demikian terbentuk antara kekuasaan tradisional
dan eksploitasi kolonial tidak mempengaruhi kesejahteraan rakyat Jawa, bahkan
sebaliknya memperlebar jurang antara penguasa dan mereka yang dikuasai.
Di samping elit birokratis, dan dengan
kombinasi pengawasan elit ini dan tuan –tuan besar Belanda mereka, berkembang
suatu kelas yang sejajar dengan pejabat-pejabat keagamaan yang secara hirarkis
diorganisasi dengan rapi bisa masuk ke dalam pola-pola pemerintahan regional.
Penghulu kabupaten diangkat oleh dan bertanggungjawab kepada bupati (begitu
juga petugas-petugas masjid lainnya, sesuai nengan hukum adat) yang terutama
berfungsi sebagai kadi-kadi, meskipun hukum nmereka terbatas pada hukum
keluarga dan wakaf, dan sebagian waktu mereka dihabiskan sebagai penasehat di
pengadilan-pengadilan umum. Tetapi di tempat terakhir ini, demikian dikatakan,
tugas mereka terbatas pada pengelolaan sumpah. Penghulu wilayah melaksanakan
tugas-tugas yang sama pada pemerintahan wilayah, dan pada tingkat desa,
penghulu lrbih rendah dan pembantu-pembantu mereka melaksanakan tugas yang
terutama berkaitan dengan pengawasan akad nikah dan pemeliharaan mesjid.
Penyertaan kelas pejabat-pejabat agama (dianggap Belanda sebagai
“pendeta-pendeta” / priest) ini
kedalam kerangka pemerintahan umum negara, mengakibatkan terjadinya pengebiran
ulam ayang ambil bagian dalam kekuasaan. Mereka tunduk pada elit priyayi yang
pada batas tertentu sama-sama merasakan
kekahawatiran Belanda akan fanatisme keagamaan, dan kepada elit priyayi
yang dalam hal apapun tidak mempunyai minat untuk mempertahankan sesuatu
semacam kekuasaan Islam yang terpisah.
Dalam perkembangan keadaan, tidaklah
mengherankan bahwa kyai dan ulama independen, sebagaimana lazimnya, harus
memegang kedudukan resminya itu dalam keadaan yang dianggap hina. Juga tidak
kebanyakan kehidupan keislaman masyarakat (dan gengsi yang dihubungkan dengan
kepemimpinannya) harus terletak pada tangan-tangan mereka – sejak dari tumpukan
kegiatan-kegiatan keagamaan berskala kecil, kegiatan-kegiatan yang menyertai
kejadian-kejadian hidup sehari-hari sampai kepada pengelolaan sekolah-sekolah
agama (pesantren) dan pembentukan serta pengaturan tarekat-tarekat Sufi yang
masih membentuk kebanyakan pemikiran keagamaan orang Jawa. Fokus independen
bagi kesetiaan kaum tani ini sangat dikhawatirkan Belanda, yang percaya bahwa
sumber-sumber pokok, “keresahan”dikalangan tani ialah jemaah haji yang kembali
dari Tanah Suci dan orang-orang Arab pengembara, yang melakukan atau berusaha
membuat pembatsan-pembatasan pada usaha ibadah haji dan perpindahan orang-orang
Arab dari wilayah perkotaan. Meskipun demikian, keresahan tetap bertahan.
Walaupun Perang Jawa menandai awal campur tangan Barat secara intensif dalam
kehidupan orang Jawa, namun hal ini merupakan peristiwa terakhir kobaran api
besar di pulau ini. Tahun-tahun tiga puluhan, empat puluhan dan berikutnya,
terus terganggu oleh pemberontakan kaum tani yang hebat, dan secara seragam
dibawah panji-panji Islam”.
C. Perkembangan Sastra Jawa Pasca Perang Jawa
Seperti
telah dikemukakan bahwa karya sastra Jawa mengalami kebangkitan pada abad XVIII
dan XIX. Karya-karya itu ditulis dan digubah oleh para pujangga kerajaan,
terutama di Surakarta
dan Yogyakarta. Oleh karena pada zaman itu
karya sastra mencapai perkembangan yang pesat, wajarlah jika Pigeaud menyebut zaman itu sebagai zaman keemasan
sastra Jawa. Untuk membuktikan apakah benar pada zaman itu karya sastra Jawa mengalami
perkembangan sehingga muncul sebutan zaman keemasan, dapatlah dirunut melalui
sejarah perjalanannya[4].
Menurut
perjalanan sejarahnya, kesusastraan Jawa mengalami perkembangan akibat peran
istana atau kerajaan ketika dalam kancah politik dan ekonomi semakin mundur.
Hal ini disebabkan oleh hadirnya Kompeni Belanda yang semakin lama semakin
menggeser kekuasaan politik kerajaan. Oleh karena itu kekuasaan politik
kerajaan semakin terdesak dan campur tangan Kompeni semakin mencengkeram, seolah-olah kerajaan Jawa
kehilangan peran dan bahkan memcapai puncak krisis sehingga kerajaan lebih
banyak berperan sebagai pusat kesenian dan kesusastraan daripada pusat politik
yang menentukan[5].
Pada
tahun 1831, bagian Negaragung
Yogyakarta sebagian diberikan oleh pemerintah
kolonial kepada Pangeran Adipati Pakualam, karena jasanya membantu pemerintah
Inggris dalam menentramkan pergolakan politik yang terjadi di Istana
Yogyakarta. Bahkan, setahun sebelumnya, tahun 1812, kerajaan Surakarta dan
Yogyakarta telah lebih dulu dipaksa untuk menyerahkan wilayah Negaragung Kedu kepada Pemerintah
Inggris dengan alasan Inggris telah membantu naik tahtanya Sultan Hamengku
Buwana III di Yogyakarta dan juga
karena alasan Inggris telah melindungi wibawa Sunan di Surakarta. Akibat berbagai
gejolak itulah akhirnya pada tahun 1830 wilayah kerajaan Surakarta dan
Yogyakarta semakin sempit, ibaratnya hanya tinggal segodhong kelor ‘ satu
lembar daun kelor’[6].
Pengaruh
kekuasaan pemerintah kolonial yang leluasa itu menyebabkan hubungan kaum bangsawan
dengan orang-orang Barat; Belanda dan
Inggris, semakin terbuka. Oleh karena itu, sangat wajar jika penetrasi
peradaban Barat dengan mudah mengalir ke Istana. Bahkan, karena ketergantungan
kerajaan pada pemerintah kolonial semakin tidak dapat dihindari maka pemerintah
kolonial pun dengan mudah menghentikan aktivitas raja dan para bangsawan dalam
bidang politik dan ekonomi. Dengan demikian, karena tugas politik dan ekonomi
raja dan bangsawan di kerajaan dapat dikatakan ‘tidak ada lagi’ maka kegiatan mereka
dialihkan pada bidang kesenian dan kesusastraan. Hal itulah yang disebut
sebagai “kesusastraan Jawa mengalami perkembangan akibat mundurnya peran istana
dalam bidang politik dan ekonomi”[7].
Melihat
situasi masyarakat yang semakin krisis teersebut, akhirnya para pujangga
kerajaan “menggugah diri” dan berusaha untuk menegakkan kembali nilai-nilai dan
norma-norma tradisional yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. Satu-satunya
jalan yang ditempuh adalah dengan cara menulis dan menggubah sastra yang berisis
ajaran, piwulang, dan sebagainya, yang dimaksudkan sebagai tindakan
“antisipasi” terhadap gejala-gejala krisis itu. Tindakan itu dilandasi oleh
pikiran bahwa dalam konteks masyarakat yang demikian karya sastra yang berisi
petunjuk-petunjuk berfungsi sebagai salah satu jalan untuk mempersatukan
kekuatan masyarakat dibawah naungan raja. Berbagai tindakan para pujangga
itulah yang menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan sastra semakin pesat. Atas
dasar itu pulalah sangat wajar jika Pigeaud menyatakan bahwa permulaaan
kesusastraan kraton Jawa Tengah bagian selatan pada masa 1726-1749; mengalami
perkembangan pada masa 1788-1820; perkembangan itu mencapai puncaknya pada masa
1830-1858; dan mencapai perkembangan akhir pada masa 1853-1881[8].
D.
Campur Tangan dalam Kesusasteraan
Kecuali
dalam bidang ekonomi, pasca Jawa Pemerintah Kolonial mulai melirik perkembangan
dunia sastra Jawa. Era kebangkitan sastra Jawa modern pada akhir abad ke-19
tidak terlepas dari berdirinya lembaga bahasa Jawa (Institut voor de Javaansche Taal) di Surakarta pada tahun 1832.
Lembaga bahasa Jawa itu berdiri berkat inisiatif atau prakasa C.F. Winter.
Walaupun merupakan lembaga bahasa Jawa, lembaga itu telah membawa perkembangan
yang positif terhadap sastra Jawa. Institut
voor de Javaansche Taal itu telah melahirkan penulis atau pengarang sastra
Jawa yang menuju ke arah perkembangan sastra Jawa berikutnya.
Memang
agak sulit menentukan apakah campur tangan
dalam bidang sastra tersebut juga mempengaruhi terhadap isi karya Sastra
Jawa?. Pertanyaan yang sama dapat diajukan, apakah campur tangan pemerintah
tersebut dalam rangka mematikan militansi Islam yang telah terbukti mampu
menggerakkan perlawanan?. Atau campur tangan tersebut sebatas pada percetakan
dan penerbitan saja?. Sederet pertanyaan tersebut sebenarnya membutuhkan
penelitian intensif terhadap periode tersebut. Namun satu hal yang penting,
tampaknya kita merasakan dan membaca munculnya berbagai perubahan dalam
pandangan dunia Jawa yang tampak dalam karya sastra pasca perang Jawa.
Sekali
lagi sulit saya membuat sebuah kesimpulan yang tegas, namun kenyataan
menunjukkan terjadi perubahan paradigma antara masa-masa kepujanggaan
Yasadipura II dengan generasi sesudahnya.
Perbedaan tersebut tampak pada, cara pandang dan cara memperlakukan
terhadap agama Islam.
Telah
disebutkan sebelumnya bahwa selain karya sastra itu diciptakan oleh para
pujangga dengan tujuan untuk menjaga harkat dan martabat raja dan bangsawan,
juga untuk menegakkan kembali nilai-nilai dan norma-norma tradisional. Oleh
karena itu, jelas bahwa karya sastra diciptakan bukan hanya untuk memenuhi
kebutuhan “golongan atas” dikerajaan, melainkan juga untuk kalangan masyarakat
luas. Yang berkenaan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan “golongan atas”
biasanya karya sastra ditulis sesuai dengan cerminan pandangan hidup kaum
bangsawan yang memberi prioritas pada bidang teologi dan etika. Jika diamati
lebih jauh lagi, sebenarnya karya sastra yang menekankan bidang teologi dan
etika itu tidak hanya untuk konsumsi golongan atas saja tetapi juga untuk
keseluruhan manusia pada umumnya.
Dari
gambaran di atas, setidaknya ada dua alasan mengapa terjadi perubahan paradigma
yang menurut hemat saya merupakan upaya yang dilakukan pemerintah kolonial
maupun pemerintah tradisional dalam bidang kesastraan Jawa:
Pertama,
alasan agama.
Kedua,
alasan normalisasi kehidupan kraton
yang secara politik kekuasaannya telah semakin berkurang.
Kecurigaan pertama jika membaca
perubahan pada masa tersebut adalah meminimalisasi peran agama Islam dalam bidang
politik. Walaupun sulit ditentukan bahwa hal ini telah dilakukan oleh
pemerintah kolonial dengan tujuan mengurangi militansi Islam. Namun data-data
menunjukkan bahwa pada satu sisi, pada tahun-tahun pasca Perang Jawa terdapat
cukup bukti bahwa terjadi peningkatan jumlah jamaah haji dan mencari ilmu menuju ke kota suci Makkah dan Madinah. Pada
sisi lain, pemerintah kolonial berupaya menerapkan berbagai peraturan tentang
haji yang semakin ketat.
Kebijaksanaan pemerintah mengenai ibadah haji pada paro pertama
abad ke-19 telah ditetapkan dengan resolusi-resolusi tahun 1825 dan 1831.
Resolusi tahun 1825 diarahkan pada pembatasan ibadah haji sebanyak mungkin dan
karena itu ditetapkan pembayaran F.110,- untuk paspor ibadah haji yang wajib
dimiliki. Kebijakan ini juga dibarengi dengan "surat-surat rahasia"
yang ditujukan kepada para residen dan bupati agar secara serius membatasi
masyarakat untuk menunaikan ibadah haji. Caranya bagi residen mempersulit
paspor haji, sedangkan para bupati dengan pengaruhnya mempengaruhi rakyat agar
tidak naik haji. Apa sanksi bagi mereka yang berhaji tetapi tidak membeli
paspor?. Melalui peraturan 1825 tersebut
haji yang tidak memiliki paspor dikenakan denda 1000 gulden[9].
Dari aturan 1825 ini sangat tampak bagaimana pemerintah kolonial
berusaha sangat keras agar rakyat tidak menunaikan ibadah haji. Bandingkan
antara jumlah denda yang dikenakan dengan ongkos paspor yang tidak seimbang.
Pada tahun 1831 peraturan denda yang 1000 gulden tersebut diubah dengan
peraturan baru. Denda hanya dikenakan dengan dua kali harga paspor yaitu 220 gulden, karena seribu
gulden dianggap tidak ada yang mampu membayar.
Peraturan tersebut diterapkan secara umum, tetapi tidak diumumkan
secara resmi dalam Staatblad. Peraturan tersebut juga hanya diberlakukan untuk
Jawa dan Madura, karena dalam prakteknya daerah luar belum berada dibawah
kekuasaan Belanda.
Agak lama peraturan tersebut berjalan,baru tahun 1852 melalui
keputusan No. 9 peraturan tersebut diubah. Perubahan itu isinya, pas jalan
tetap diwajibkan tetapi diberikan secara gratis, sedangkan denda dihapuskan
sama sekali. Tindakan ini diambil didasarkan vonis Pengadilan Negeri Surabaya
terhadap Haji Abdul Salam, yang tidak bersedia membayar denda sebanyak 220
gulden itu. Pengadilan mengambil keputusan, bahwa peraturan 1825 dan 1831 tidak
diumumkan, dan oleh karena itu tidak berlaku. Dari pihak pemerintah, salah satu
pertimbangan untuk melepaskan peraturan ini adalah karena ternyata peraturan
tersebut tidak berhasil membendung jumlah calon haji yang terus bertambah[10].
Pada tahun 1859 pemerintah kembali memberlakukan aturan baru, yang
kemudian dikenal sebagai Ordonansi tahun 1859 yang isinya adalah:
a. Calon Jamaah haji harus mempunyai surat
keterangan dari seorang Bupati bahwa ia mempunyai dana memadai untuk perjalanan
pulang pergi dan disamping itu bahwa nafkah bagi keluarga yang ditinggalkan
cukup terjamin.
b. Sekembalinya dari Mekah, haji tersebut
harus menjalankan ujian, atau ujian haji, yang harus membuktikan bahwa dia
benar-benar telah mengunjungi Mekah.
c. Hanya bila telah lulus ujian itu, dia
dibenarkan untuk menyandang gelar haji dan memakai busana haji khusus[11].
Ordonansi tahun 1859 ini terus berlaku sepanjang paroh kedua abad
19. Saya mendapatkan laporan-laporan di
ANRI Semarang tentang bagaimana ordonansi itu terus diberlakukan. Para haji
harus mencari pas jalan waktu berangkat, dan pulang, juga harus melaporkan
kembali dengan mengikuti ujian haji itu[12].
Di atas telah saya sampaikan tentang perhatian pemerintah kolonial
terhadap para 'mukim' yang terdiri dari para haji dan santri dari Nusantara,
yang menurut pemerintah kolonial pergaulan mereka akan sangat membahayakan
pemerintah kolonial. Untuk mengawasi gerak-gerik mereka ini pemerintah
mendirikan konsulat di Jeddah. Tugas dari konsulat ini adalah mencari
informasi-informasi yang penting tentang para haji dan 'mukim'. Pekerjaan ini
dilakukan oleh orang-orang yang dipercaya oleh pemerintah dengan suatu imbalan.
Informasi-informnasi ini selanjutnya disampaikan kepada pemerintah di Hindia
Belanda[13]
Sedangkan alasan kedua, normalisasi
kehidupan kraton. Ada cukup alasan bagi kraton untuk berupaya mengembalikan
nilai-nilai Jawa yang mulai tergeser oleh militansi Islam. Seperti diuraikan
didepan bahwah agama Islam pada abad 18 dan awal abad 19 tengah menemukan
bentuknya yang khas Jawa. Artinya meskipun terjadi sinkretisasi tetapi
sebenarnya hanya pada hal-hal yang bukan fundamental. Sementara itu Islam tarus
mendesak nilai-nalai lama.
Dalam situasi tersebut, tampaknya
para pujangga kraton menangkap sinyal, jika dibiarkan hal tersebut akan
mengancam kehidupan dan wibawa tradisional Istana. Karena militansi Islam akan
mampu menggeser peran politik kerajaan, dan pengalaman itu pernah terjadi pada
masa Demak. Disini kita melihat terjadi simbiosis antara kepentingan kolonial
dengan kepentingan kerajaan. “Renaisans Jawa” inilah tema yang kemudian diusung
untuk mengembalikan wibawa tradisional. Sehingga benar sekali jika Pigeaud
mengatakan bahwa perkembangan sastra Jawa mencapai puncaknya pada masa
1830-1858; dan mencapai perkembangan akhir pada masa 1853-1881[14].
E.
Karya Sastra Jawa Hegemonik
Ranggawarsita
yang merupakan pujangga pada masa ini, menurut Poerbatjaraka banyak mengadakan
perubahan dalam bidang sastra Jawa. Ia mencontohkan “ Kitab Kanda yang disalin
dengan nama baru Kitab Paramayoga. Kitab Kanda tersebut oleh Ranggawarsita
diubah dalam bentuk prosa, disadur, diubah serta ditambah banyak sekali.
Tambahan-tambahan itu sebagian besar diperolehnya dari mendengar perkataan
temannya, yakni C.F. Winter dan Cohen Stuart”[15].
Perubahan
terpenting terkait dengan kajian saya, menguatkan teori bahwa terjadi
Jawanisasi Islam pada abad 19. Kitab Kanda yang merupakan karya zaman Islam,
dan isinya sepenuhnya tentang cerita kemenangan Islam atas orang kafir di
negeri Makkah, oleh Ranggawarsito banyak berubah isinya. Seperti nama Adam dalam Kitab Kanda berubah
menjadi At-Hama, seolah-olah nama sanskerta berasal dari Hindu. Nama At-Hama
itu dalam ilmu pengetahuan dewa-dewa menurut Poerbatjaraka tidak pernah ada.
Ada kata atma yang banyak dipakai dalam filsafat Hindu yang artinya nyawa,
jiwa, jiwa hidup[16].
Keterangan tahun didalamnya yang mendahulukan tahun Hindu, juga merupakan upaya
Ranggawarsito.
Dialektika
antara nilai Jawa dengan Islam digambarkan secara sederhana oleh Poerbatjaraka[17]
sebagai berikut:
“Seperti
telah diuraikan di muka “Gusti Allah” orang Djawa asli itu terdesak oleh “Gusti
Allah” bangsa Indu, jakni batara Siwa. “Gusti Allah” daripada orang Djawa tulen
itu pada Indu-Djawa sampai achir djaman Madjapahit terdesak sama sekali. Tapi
serenta pengaruh Indu itu sudah berkurang dan kemudian hilang, maka “Gusti
Allah” orang Djawa asli muntjul kembali dan tempatnja diatas “Gusti Allah” Indu, jakni Sang Hyang Taja,
Sang Hyang Wenang, Sang Hyang Tunggal nama seorang-orang “Pembesar” jang
ditempatkan diatas batara Siwa (batara Guru). Setelah djaman Islam maka batara
Guru keatas, seperti Sang Hyang Wnang, Sang Hyang Tunggal, itupun sudah
dipisah-pisahkan pula, ditempatkan dibawah Nabi Adam”. Pada masa pasca perang Jawa, terjadi
perubahan dengan nuansa Jawa lama.
Dari
keterangan diatas cukup membuktikan adanya perubahan paradigma dalam
karya-karya intelektual Jawa. Apakah hal tersebut juga terjadi pada karya
sastra lain?. Penelitian ini akan
mencoba mengurai masalah ini kepada karya-karya yang muncul pada masa ini.
Pujangga
pada masa ini yang cukup menonjol dari kalangan Kraton antara lain Mangkunegara
IV (1859-1881), yang mengarang antara lain Wedha
Tama, Tripama, Wirawiyata. Pujangga
lainnya Ranggawarsita[18]
yang mengarang tidak kurang dari 60 karya sastra. Beberapa diantaranya adalah Ajidarma, Ajidarma-Ajinirmala, Ajimasa,
Babad Itih, Baratayuda, Budayana, Cakrawati, Cemporet, Darmasarana,
Dasanamaning Utusan, Jakalodhang, Jaman Cacat, Jayabhaya, Jayengbaya,
Jiyabsara, Kawi Jarwa, Kalatidha, Mardawalagu, Matnyanaparta, Pakem Pustakaraja
(purwa), Pakem Pustakaraja (madya), Pakem Pustajkaraja (antara), Pakem
Pustakaraja (Wasana), Pambeganing Nata Bunathara, Pamoning Kawula gusti,
Panitisastra, Panji Jayengtilam, Paramasastra, Paramayoga, Partakaraja,
Patilasan Kina ing Kadhiri, Pawarsakan, Purusangkara, Purwagnyana, Purwakaning,
Pawukon, Purwawasana, Pustakaraja (babon), Rerepen Sekar Tengahan, Wirid
Hidayat Jati, Wirid Sopanalaya, Witaradya dan Yudayana dsb.. Disamping dari kalangan istana, pada masa
ini tampaknya juga muncul karya-karya diluar tembok istana. Walaupun tidak
jelas benar karya siapa, namun beredar luas di masyarakat Serat Darmogandul dan Serat Gatholoco. Secara detail karya-karya pada
masa ini dapat dibaca pada lampiran penelitian ini. Tetapi sebagai gambaran untuk membuktikan
dugaan teori bahwa terjadi perubahan paradigma karya-karya sastra pasca perang
Jawa, secara garis besar dalam bab ini akan dikaji beberapa karya sastra dalam
bentuk piwulang.
Dalam Wedha Tama, terdapat ajaran tentang etika dan etiket, juga terdapat
ajaran tentang ilmu kesempurnaan dan ilmu pengetahuan. Ajaran mengenai ilmu
kesempurnaan itu misalnya tercantum dalam bagian-bagian yang mengajarkan tata
cara sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, dan sembah rasa; yang semua
identik dengan ajaran mengenai syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat. Akan
tetapi, yang justru dipentingkan adalah ajaran tentang etika dan etiket,
misalnya tata cara bagaimana seseorang harus berjiwa bersih, pemaaf, rela, dan
pasrah, lagi pula harus bersikap sopan dan pandai menyesuaikan diri. Oleh
karena itu, dalam karyanya itu Mangkunegara IV mengatakan bahwa menghadap raja
lebih penting daripada menghadap Tuhan.
Deskripsi ini akan menjadi sangat berbeda, manakala kita membaca
karya-karya zaman Yasadipura atau sebelumnya, yang sangat menekankan pentingnya
ajaran Islam dilaksanakan dengan baik, meskipun tetap dengan keselarasan dengan
nilai-niali Jawa,seperti diuraikan dalam bab dua.
Dalam
Wedhatama[19]
hal ini dijelaskan dalam beberapa
bait sebagai berikut:
Ambawani tanah Jawa/ kang padha
jumeneng aji/ satriya dibya sumbaga/ tan iyan trahing senapati/ pan iku pantes
ugi/ tinulad labetanipun/ ing sakuwasanira/ enake lan jaman mangkin/ sayektine
tan bisa ngepleki kuna.
Lowung kalamun tinimbang/ ngaurip
tanpa prihatin/ nanging ta ing jaman mangkya/ pra mudha kang den karemi/
manulad nelad nabi/ nayakengrat gusti rasul/ anggung ginawa umbag/ saben seba
mampir masjid/ ngajab-ajab mukjijat tibaning drajat.
Anggung anggubel sarengat/ saringane
tan den wruhi/ dalil dalaning ijmak/ kiyase nora mikani/katungkul mungkul
sami/bengkrakan neng masjig agung/ kalamun maca kutbah/ lalagone
dhandhanggendhis/ swara arum ngumandang cengkok palaran.
Lamun sira paksa nulad/ tuladhaning
Kanjeng nabi/ O ngger kadohan panjangkah/ wateke tan betah kaki/ rehne ta sira
Jawi/ sathithike bae wus cukup/ aja guru aleman/ nelad kas ngpleki pekih/ lamun
pangkuh pangangkah yekti karamat
Nanging enak ngupa boga/ rehne ta
tinitah langit/ apa ta suwiteng nata/ tani tanapi agrami/ mangkono mungguh
mami/ padune wong dahat cubluk/ during wruh cara Arab/ Jawaku bae tan ngenting/
parandene paripeksa mulang putra.
Perubahan
paradigma seperti tersebut juga tampak pada karya Ranggawarsita dalam Wirid
Hidayat Jati. Van Akkeren dalam
pembahasannya tentang baitul Muqaddas dalam Wirid bersama Gatholoco dan
Darmogandhul, menaerangkan tentang dimuliakannya alat kelamin dan hubungan seks
sebagai sarana untuk mencapai penghayatan mistik. Disimpulkan bahwa ajaran tentang
Baitul Muqaddas dalam Wirid Hidayat Jati itu sangat kuat hubungannya dengan pemujaan
terhadap lingga (lingga adalah lambing dzakar) yang terdapat di Jawa sebelum
Islam[20].
Prof.
Rasyidi[21]
juga membahas ajaran Wirid Hidayat Jati dalam hubungannya dengan Serat
Gatholoco dan Serat Darmogandhul, beliau menyimpulkan bahwa Serat
Gatholoco menunjukkan pengaruh ajaran Tantrisme, maka Wirid Hidayat Jati
menonjolkan pengaruh ajaran union
mystique. Yakni manunggaling kawula gusti, atau persatuan antara manusia dan Tuhan yang
dilukiskan dalam bahasa Jawa sebagai Warangka manjing curiga.
Yang
menarik lagi menurut analisa Harun Hadiwiyono[22]
yang menyimpulakan bahwa dalam Wirid Hidayat Jati sebenarnya tidak ada ajaran tentang Tuhan.
Ajaran dalam karya tersebut bersifat anthroposentris, seterusnya dia mengatakan
bahwa ajaran dalam Wirid Hidayat Jati
adalah hinduisme yang berjubah
Islam.
Dalam
pelambangan symbol wayang untuk menjadi teladan tidak lagi keluarga Pandawa,
tetapi dalam Tripama, Mangkunegara IV
mengidealkan Patih Suwanda, Basukarna dan Kumbakarna[23]. Kumbakarna adalah putra kedua Begawan Wiraswa
dengan Dewi Sukesi. Ia berwujud Raksasa (Wayang terbesar dalam wayang kulit)
dan berkedudukan di ksatriyan Leburgangga. Memang ada watak satria tampak dalam
tokoh Kumbakarna, ia meninggal di tangan Prabu Rama dalam membela tanah air[24]. Tetapi sekali lagi saya katakana bahwa memang
terjadi perubahan paradigma dalam tradisi sastra, termasung simbolisasi dalam
ketokohan wayang.
Tripama
lebih menekankan ajarannya bagi prajurit daripada kaum sipil pada umumnya.
Cita-cita untuk nuhoni trah utama
‘meraih kedudukan utama’ bagi kaum bangsawan yang disimbolkan melalui prajurit
wayang, Patih Suwanda; cita-cita untuk labuh
negari ‘membela negara’ bagi Kumbakarna; dan cita-cita untuk males sih “membalas kebaikan” bagi
Basukarna atau Suryaputra, adalah suatu kewajiban, sedangkan bagi para abdi dalem nggayuh utama ‘rakyat yang
mencari keutamaan’ merupakan cita-cita yang sangat terpuji. Oleh karena itu,
cita-cita dalam Tripama agaknya
memang sesuai dengan kepentingan kerajaan Kejawen pada waktu itu. Namun,
sebagai prajurit idaman tidaklah cukup hanya dengan bekal itu saja, tetapi juga
harus dilandasi dengan kesetiaannya pada janji, disiplin, taat, takwa, tidak
sombong, dan tidak sewenang-wenang, sebagaimana dilukiskan oleh Mangkunegara IV
dalam Wirawiyata. Seorang prajurit
utama adalah prajurit yang menepati janji sesuai dengan yang diucapkan ketika
pelantikan, dan hal itu harus dipegang teguh dalam menjalankan tugasnya sebagai
prajurit[25].
[1] Karel A.
Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1984), hlm.17-18
[2] Ibid.
[3] William Roff,
“Islam di Asia Tenggara Dalam Abad ke-19” dalam Azyumardi Azra, Perspektif
Islam di Asia Tenggara, (Jakarta: Yayasan Obor, 1989) hlm.43-45
[4] Tirto Suwondo dkk,
Nilai-Nilai Budaya Susastra Jawa, ( Jakarta: Depdikbud, 1994), hlm. 14
[5] Ibid.
[6] Ibid, hlm. 15
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[10] Ibid
[12] Lihat
arsip Masalah-masalah yang dilaporkan kepada polisi, catatan ini juga
melaporkan bahwa pas jalan tidak hanya berlaku untuk jamaah haji, tetapi juga
setiap orang yang akan pergi dari satu tempat ke tempat lain walaupun masih
lingkup pulau Jawa.
[13] Marcel
Witox, “Mempertaruhkan Jiwa dan harta Jemaah haji dari Hindia Belanda pada abad
19” , (Jakarta: INIS, 1997),
hlm.98
[14] Ibid.
[15] Perbatjaraka, Kepustakaan Djawa….. hlm. 181
[16] Ibid
[17] Ibid, hlm 147
[18] Jayabaya, No. 29, 16-22 Maret 2003, hlm. 8
[19] Mangkunegara IV, Serat Wedhatama, (Semarang:
Dahara Prize, 1989) hlm. 29-32
[20] Simuh, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi
Ranggawarsita, (Jakarta: UI-P, 1988) hlm. 4
[21] Ibid.hlm. 5
[22] Ibid
[23] Tirto Suwanda, Nilai-Nilai Budaya Susastra (Jakarta: Depdikbud, 1994) hlm. 18
[24] S. Haryanto, Pratiwimba
Adiluhung, Sejarah dan perkembangan Wayang, ( Jakarta: Penerbit Djambatan,
1988) hlm. 299
[25]
Tirto Suwanda, ibid.
Drs. HM. Anasom M.Hum
(Pembantu Dekan I Fakultas Dakwah IAIN Walisongo)
|
*Tulisan dimuat dalam Majalah Ber-SUARA LAPMI Cabang Semarang Edisi XXVI Desember 2013M/1435 H
Info & Berlangganan : 085640281855
0 komentar:
Posting Komentar