Pemilihan Umum (Pemilu) telah
diadakan sebanyak 10 kali yaitu tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997,
1999, 2004 dan 2009. Dan sekarang rakyat Indonesia sedang menghadapi pemilu
2014 atau yang ke 11. Lalu, pemilu itu dari siapa? Oleh siapa? Dan untuk siapa?
Pertanyaan mendasar ini bisa dikategorikan pertanyaan sepele, akan tetapi
pertanyaan tersebut bisa jadi merupakan titik awal kesuksesan pemilu. Apakah
benar slogan demokrasi dalam pemilu kita yakni dari rakyat, oleh rakyat, dan
untuk rakyat! Pemilu selalu diidentikan dengan demokrasi, tetapi demokrasi itu
apa ya? Demokrasi dalam arti sempit adalah Demos (rakyat), dan Kratos, Kratein
(pemerintahan) atau pemerintahan dari dan oleh rakyat.
Instrumen demokrasi yang telah
di positifkan sebagai hukum barangkali hanya satu yakni pemilihan umum. Hampir semua
ilmuwan sosial masih menganggap salah satu ukuran demokrasi adalah adanya
pemilihan umum. Hampir semua negara modern (nation-state) di dunia selalu menyelenggarakan
pemilu sebagai salah satu ukuran dalam demokrasi. Bahkan menurut ELSAM (1996)
sistem politik liberal, sistem politik islam, bahkan politik otoriter dan
totaliter, sistem politik monarki hingga sistem politik yang disebut Herbert
Feith sebagai Represive Developmetalist
Regimes (RDR) selalu menyelenggarakan pemilu.
Gagasan awal tentang demokrasi
memang ditujukan untuk membangun suatu tatanan sosial yang dibangun bukan dalam
fondasi monarkhi atau kelas-kelas aristokrasi. Aristoteles peletak dasar ide
demokrasi begitu menyadari bahwa untuk menciptakan pemerintah yang baik, semua
kelas sosial dalam masyarakat harus mendapatkan hak yang sama. Namun benarkah
demokrasi memperlakukan setiap orang memiliki persamaan dihadapan di hadapan
hukum, politik, ekonomi, sosial, bebas mengemukakan pendapat dan ide, dan
lainnya jika dihubungkan dengan pemilihan legislatif dan presiden yang akan
diselenggarakan di Indonesia. Keterlibatan secara sama dan bebas dalam
menggunakan, menentukan hak politik oleh setiap warga negara dalam pemilu
adalah momentum untuk membuktikan apakah sebuah negara telah benar-benar demokratis.
Lalu apakah pemilu 2014 yang
diperkirakan menelan biaya sekitar Rp. 16 triliun hanya untuk membuktikan bahwa
negara telah benar-benar demokratis dan takut dituding sebagai pemerintahan
yang tiran, otoriter atau melegitimasi pemerintahan “baru” sebagai pemegang
kekuasaan atas dasar perolehan suara rakyat terbanyak.
Jadi untuk apa dan siapa pemilu diselenggarakan?
Komarudin Hidayat (2004) menyatakan secara teoretis-normatif, pemilu untuk
menjaring wakil rakyat dan presiden serta wakilnya yang memperoleh mandat dan
kepercayaan rakyat karena pertimbangan integritas dan kompetensinya. Oleh
karena itu, rakyat harus dibuat jelas dan sadar akan hak dan kewajibannya bahwa
pemilu di negaranya yang menelan biaya tinggi, moral maupun material, bukan
dirancang untuk panggung persaingan dan antar elite politik untuk memperoleh
kekuasaan saja tetapi untuk kepentingan rakyat dan bangsa. Maka yang diperlukan
adalah kesadaran, partisipasi dan tindakan nyata dari kita semua untuk
menciptakan pemilu yang berkualitas, baik aspek penyelenggara, peraturan,
proses, perilaku pemain, pengawas, maupun suporternya.
Oleh karena itu, Lembaga Pers
Mahasiswa Islam Cabang Semarang (LAPMICS) merasa terpanggil untuk berkontribusi
menyadarkan rakyat agar jangan salah pilih dan menyukseskan pemilu 2014 dengan
mengangkat tema “Pemilu 2014, dari siapa? Oleh siapa? Dan untuk siapa? dalam
Majalah Ber-SUARA Edisi XVIII-April 2014/1435. Semoga edisi Majalah Bersuara kali ini mampu memberikan pendidikan
politik bagi warga negara agar tidak menjadi korban petualangan dan rekayasa
politik yang dilakukan oleh mereka yang haus kekuasaan untuk diri dan
kelompoknya dengan memanfaatkan momentum pemilu. Selamat membaca.
Semarang, April 2014
Noor Rochman
0 komentar:
Posting Komentar