Rumah Pendidikan
Sciena Madani adakan pengajian kebudayaan dengan tema ”Dicari Wakil Rakyat yang
Merakyat, Dialektika Politik Transaksional” di Banjardowo Rt 2 Rw 6 Genuk
(Rumah Lukni Maulana pada Sabtu (5/4/14). Pembukaan acara ini dimulai pukul
20.30 diawali dengan pembacaan puisi oleh Basa Basuki, Aditya D. Sugiarso, Sugi
dan Bambang Eka Prasetya.
Pembicara pada
pengajian kali ini Djawahir Muhammad (Mantan Anggota DRPD Jateng) dan Lukman
Wibowo (Wirausahawan, Mantan Aktivis PB HMI (MPO)) dengan moderator Lukni
Maulana (Pengasuh Sciena Madani) yang dalam prolognya menyampaikan bahwa ”acara
ini mencoba memberikan pendidikan politik, karena caleg yang ada kurang dalam
pendidikan politik hanya memberi bantuan dalam bentuk materiil dan politik
transasksional dengan dalih tidak ada yang gratis di dunia ini apalagi politik
untuk memperoleh dukungan rakyat”.
Pembicara yang pertama, Djawahir Muhammad dalam paparannya
menyampaikan 4 data yang menyimpulkan bahwa wakil rakyat tidak betul-betul
menjadi wakil rakyat. Pertama, DPR
bukanlah wakil rakyat tetapi wakil partai. Kedua,
DPR bukan public service atau lapangan pengabdian tetapi lapangan kerja.
Ketiga, cara menjadi DPR dengan politik transaksional jual beli suara mulai Rp.
10.000 ke atas. Keempat, DPR bekerja
tidak atas dasar keikhlasan tetapi atas capaian gaji, bonus, dan fasilitas. Hal
ini berbeda dengan di Amerika untuk menjadi anggota parlemen atau senator harus
kaya dulu tidak berorientasi atau ingin capaian untuk memperkaya diri yang
berbeda jika awalnya miskin.
Berbeda dengan pembicara sebelumnya, pembicara kedua Lukman
Wibowo, lebih mengkaji permasalahan bangsa ini secara filosofis, ia
menyorotinya ketika masih jadi aktivis di Jakarta mulai 2004-2007. Menurut
Lukman, persoalan kebangsaan dari dulu sampai sekarang adalah sama tetapi
kedok-kedok penguasanya saja yang berbeda. Ia mempertanyakan landasan filosofis
dalam pemilu kita mencari apa? Siapa? Dan cara mencarinya bagaimana? Kalau
dalam pemilu kita mencari wakil rakyat tetapi karena tidak ada landasan
filosofisnya maka ketika tidak ketemu (golput) tidak apa-apa. Landasan politik
sekarang adalah demokrasi di negara yang sudah maju yang dibangun dari politik
ketidakpercayaan yang dicetuskan oleh John Locke yang berawal dari
ketidakperyaan terhadap raja inggris, sehingga muncul pemisahan kekuasaan maka
ketika memilih legislatif juga diplih eksekutifnya. Kondisi ini berbeda dengan
indonesia yang semua masyarakatnya saling percaya maka ketika produk
ketidakpercayaan dipraktikan di Indonesia sama dengan muspro (sia-sia).
Neoliberalisme adalah
musuh utama
Lukman menyampaikan korupsi yang dilakukan para pejabat
bukanlah musuh utama tetapi musuh utama adalah neoliberalisme yang menjajah
semua aspek sosial budaya kita. Ia mencontohkan rusaknya jalanan yang
mengakibatkan kecelakaan bukan disebabkan karena jalan yang sering dipakai oleh
pengguna jalan tetapi karena jepang yang mengangkut kendaraan-kendaraannya di
jalan dengan melebihi tonase atau muatan. Senada dengan Lukman, Djawahir
menyampaikan sekarang di sepanjang jalan ada indomaret dan almart yang semakin
dekat dan berderet memperlihatkan kekuatan neoliberalisme atau kapitalisme yang
mengancam ekonomi masyarakat bahkan terhadap politik. Musuh utama indonesia
adalah freeport yang mengeruk emas di papua dan mulai masuk di indonesia dengan
persetujuan soeharto meskipun negara hanya mendapat keuntungan 10 %, oleh
karena itu Djawahir berpesan kepada anak muda untuk menjadi orang profesional
yang tidak bisa didikte oleh orang lain atau bangsa asing, jangan mau
diperintah tetapi bekerja yang baik. Lebih baik jadi majikan kecil dari pada
kacung yang besar.
Golput sebagai
pemberontakan sipil
Lukman,
menyampaikan jika ingin melakukan perlawanan terhadap sistem pemerintahan saat
ini maka rakyat bisa melakukan pemberontakan sipil dengan cara diam atau golput.
Angka golput di indonesia yang cukup tinggi dapat digunakan sebagai sarana
pemberontakan sipil terhadap pemerintah misalnya pada pemilu presiden SBY
sebanyak 48% memilih golput, sedangkan pemilu gubernur jateng Ganjar sebesar
58% angka golput. Sejalan dengan Lukman, Djawahir mengungkap bahwa jika angka
golput di indonesia lebih dari 50% maka hasilnya bisa dibatalkan atau
diratifikasi oleh Mahkamah Internasional
karena parlemen indonesia
tergabung dalam IPU (international Parlement United) dan jika melanggar
indonesia bisa diembargo oleh dunia internasional dalam segala aspek bidang
baik olahraga, maupun budaya. Lukman menambahkan bahwa golput atau tidak yang
penting kita tetap memikirkan bangsa ini ke depan. (NR)
*Tulisan dimuat dalam Majalah Ber-SUARA LAPMI Cabang Semarang Edisi XXVIII April 2014M/1435 H
Info & Berlangganan : 085640281855
Lukman Wibowo (kiri), Djawahir Muhammad (tengah) dan Lukni Maulana (kanan) dalam Pengajian Kebudayaan |
0 komentar:
Posting Komentar