Oleh: Noor Rochman (Direktur LAPMICS)
Karakter kepemudaan dan keintelektualan memungkinkan
seseorang atau gerakan memiliki sikap independen. Gerakan kepemudaan dan
keintelektualan yang selalu secara tegas menyatakan independen salah satunya
adalah HMI yang dalam Anggaran Dasarnya menyatakan diri “organisasi ini
bersifat idependen”. Independensi HMI tersebut merupakan pernyataan sikap
terhadap semua kebenaran dari Allah SWT, memperjuangkan tanpa mengenal lelah
dan siap menerima resiko perjuangan, memihak kepada siapapun yang juga memihak
dan memperjuangkan nilai kebenaran, dan akhirnya semata-mata menggantungkan
diri kepada Allah SWT dalam segala urusan (Khittah Perjuangan HMI).
Sedangkan, di kalangan LSM, independensi gerakan berarti
tidak berpihak kemana-mana kecuali pada donor. Memberikan dukungan kepada
sebuah kelompok politik tertentu adalah haram, nista, harus dijauhi. Politik
kita adalah politik yang independen, begitu mantranya. Bagi gerakan kiri, yang
bangkit kembali di akhir masa kekuasaan rezim orde baru, independensi gerakan
tidak ada dalam kamus. Pilihannya hanya anti-Soeharto atau pro-Soeharto, kawan
atau lawan, revolusi atau mati (http://indoprogress.com/2014/04/independensi/).
Edward W. Said (1998) mendefinisikan intelektual sebagai
individu yang dikaruniai bakat untuk merepresentasikan dan mengartikulasikan
pesan, pandangan, sikap atau filsafat kepada publik. Edward W. Said lebih
menyukai batasan intelektual yang diberikan oleh Antonio Gramsci salah seorang
idolanya di bidang intelektual. Di dalam buku Gramsci yang berjudul Selections
From Prison Notebooks (1978), Gramsci mengatakan ‘semua orang adalah
intelektual, tapi tidak semua orang memiliki fungsi intelektual’. Gramsci
mengelompokkan dua jenis intelektual. Pertama, intelektual tradisional semacam
guru, ulama, dan para administrator. Kelompok pertama ini menurut Gramsci dari
generasi ke generasi selalu melakukan hal yang sama. Kedua, intelektual
organik, yaitu kalangan profesional.
Kaum intelektual memiliki peran politik dalam menentukan
setiap perubahan, dengan basis keilmuan yang dimiliki, tidak jarang ide-ide
mereka lebih diterima oleh masyarakat ketimbang kebijakan publik yang
dikeluarkan negara. Namun, tak jarang kaum intelektual yang memberikan dukungan
politiknya kepada rezim penguasa yang menyebabkan kaum intelektual kehilangan independensi politik dari
gerakannya. Bisakah kaum intelektual memiliki sikap independen, bahkan ketika
kita telah menyatakan dukungan terhadap pihak lain?
Setowara, Subhan & Soimin (2013) menyebutkan ada tiga
posisi yang bisa menghambat kaum intelektual untuk berperan optimal, Pertama, kaum intelektual yang berada
dalam sebuah rezim hegemonik yang memungkinkan mempertahankan idealismenya,
namun tidak sedikit yang menjadi alat negara. Kedua, kaum intelektual yang berpolitik praktis akan berhadapan
dengan dunia kekuasaan yang dalam
bahasa YB Mangunwijaya (1997) dicirikan korup, mental pencuri, pembohong, main
tipu, suka yang semu, mengedepankan kepentingan, dan tidak kenal fair play yang berbeda dengan dunia intelektual yang bersih, selalu berpijak
pada kebenaran, dan berjuang atas nama kebenaran. Ketiga, kaum intelektual yang memang tidak masuk dalam kekuasaan,
namun ide dan wacana yang mereka gulirkan sengaja berpihak atau dibeli golongan
atau penguasa tertentu.
Dalam situasi apapun, posisi kaum
intelektual harus tetap mengabdi pada kebenaran serta cita-cita luhur yang
didambakan masyarakat agar idealisme dan independensinya tidak tercerabut.
Meminjam pendapat Paul Ricour, kaum intelektual idealnya melakukan
distansi kultural dengan mengambil jarak terhadap objek yang dia kritik. Namun,
bukan berarti dengan independensi kaum intelektual menutup ruang gerak untuk
melakukan kerja sama dengan kelompok atau individu lain baik yang berada dalam
struktur pemerintahan maupun yang berada di luar struktur, kaum intelektual
harus tetap bertindak sebagai pengontrol terhadap kebijakan yang mesti
disikapi. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman yang utuh tentang independensi
oleh kaum intelektual agar mampu mengejawantahkan independensi dalam ranah
politik.
Independensi dalam khittah perjuangan HMI (MPO) selalu
dikaitkan dengan kemerdekaan sebagai fitrah dasar manusia. Menurut Borneo,
Sabara Putera (2011) kemerdekaan adalah sebuah pemihakan yaitu pemihakan
terhadap segala sesuatu yang berasal dari dan bertujuan kepada kebenaran (dalam
hal ini ideologi Islam). Pemihakan tersebut tercermin dalam kerja-kerja
kemanusiaan atau amal saleh yang menajdi rahmat bagi umat manusia dan alam
semesta. Kemerdekaan dalam artian pemihakan secara penuh terhadap kebenaran
memerlukan pengorbanan dan bahkan penderitaan yang cukup berat. Oleh karena
itu, dituntut konsistensi sikap yang tercermin dalam sikap kritis, obyektif,
dan progresif dalam memahami dan menyikapi realitas yang berkembang.
Selain “pemahaman utuh” tentang independensi kaum
intelektual harus memiliki karakter ulil albab jika ingin menjaga stabilitas
independensi di ranah politik, kenapa harus karakter ulil albab? Sikap
independensi meniscayakan hadirnya beberapa sikap utama dalam diri seorang yang
dikatakan dalam khittah perjuangan, independensi merupakan derivasi dari
karakteristik insan ulil albab, yaitu:
“…Cenderung
kepada kebenaran, (hanif), merdeka, kritis, jujur, progresif, dan adil. Dengan
kata lain sikap independensi diwujudkan dengan kesanggupan untuk berbuat dan
bertindak secara mandiri dengan keberanian menghadapi resiko. Sikap
independensi menuntut tiap-tiap individu dalam jamaah dapat mempengaruhi
masyarakat dan mengarahkan sistem kemasyarakatan ke arah yang dikehendaki
Islam. Secara teknis sikap independensi juga memestikan kader untuk selalu
tunduk pada ketentuan organisasi dan memperjuangkan misi organisasi. Serta
tidak dibenarkan untuk membangun komitmen dalam bentuk apa pun dengan pihak
luar yang bertentangan dengan yang telah diputuskan secara bersama.”
Amirullah, M Chozin (2010) menyatakan sikap independen akan
muncul dari kekuatan tauhid yang kokoh. Seseorang yang meyakini ke-esaan Tuhan
dengan penuh, maka pada dirinya sudah tertanam jiwa-jiwa independen. Seseorang
yang bertauhid, padanya tidak ada yang ditakuti selain Tuhannya. Seseorang yang
bertauhid tidak ada lagi kepentingan materialistik dalam perbuatannya, sehingga
tidak akan mudah tergoda oleh tawaran-tawaran pragmatis dalam bertindak. Yang
menjadi acuhan dalam tindakannya adalah Allah, sementara lainnya adalah nisbi.
Maka itulah jiwa-jiwa independen yang sesungguhnya.
Jiwa
independen bisa dimunculkan dari seseorang yang memiliki kedalaman aqidah dan
selalu menjaga aqidah tersebut dengan selalu aktif mendekatkan diri padaNya.
Jiwa-jiwa independen inilah yang harus ditanamkan ke dalam setiap kaum
intelektual sebelum mengambil peran politik agar selalu berpihak yakni terhadap
kelompok lemah yang tertindasdan siap mengambil posisi kritis terhadap suatu
otoritas meskipun menjadi kaum pinggiran kalau dilihat dari pemilikan, kuasa
dan kehormatan.
*Tulisan dimuat dalam Majalah Ber-SUARA LAPMI Cabang Semarang Edisi XXVIII April 2014M/1435H
Info & Berlangganan : 085640281855
0 komentar:
Posting Komentar