Dikabari saudara saya di Jakarta
mengenai kericuhan yang terjadi di forum Kongres ke 28 HMI (Dipo) di Pondok
Gede saat ini saya tidak heran dan tidak menanggapi karena sudah mahfum akan
hal yang biasa terjadi di forum HMI. Tapi dikabari mengenai adanya banyak
kerusakan dan anarchisme yang terjadi serta dugaan banyaknya uang yang beredar
di (panitia) Kongres HMI saat ini pikiranku “tersentak” terpancing untuk
komentar dan tanganku jadi gatal untuk segera menulis (padahal saya tidak bisa
menulis dan tanganku masih sakit) lalu mengirimkannya via messenger kepada orang yang mengabari saya tentang peristiwa yang
terjadi di Kongres HMI (Dipo) saat ini. (Berikut ini akan saya kirimkan
tembusan jawaban-jawabanku mudah-mudahan dapat diinventarisir sebagai bahan
diskusi/kajian),1.
HMI Hendak dibawa Kemana?
Firman Tuhan dalam Alqur’an
Surah Al Inshiroh (Alamnasroh) berbunyi “Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada
kemudahan” (diterjemahkan oleh Depag “dibalik kesulitan ada kemudahan”) bagi
saya mengandung makna pula (sebaliknya) bahwa “bersama kemudahan itu ada
kesulitan (ujian) nya”, atau dapat pula dimaknai “pada kelebihan seseorang
(sesuatu) itu tentu ada kekurangan/kelemahannya”. Data tekstual (ayat Qouliyah)
ini jika dipahami dalam sudut pandang kader HMI, bagi saya, faktualnya (ayat
Kauniyah) justru dijumpai (terbaca) pada kenyataan heterogenitas
keanggotaan/kader HMI. Yaitu bahwa raw
material input perkaderan (keanggotaan) HMI yang sangat beragam latar
belakangnya (pendidikan, pemahaman keagamaan, sosial, ekonomi, politik, budaya,
dan sebagainya) adalah kelebihan (kekayaan resourch
dan khasanah pemikiran) HMI namun sekaligus merupakan kelemahannya (potensi/sumber/
konflik/perpecahan/adu domba).
Itulah fakta keberadaan (fitrah,
potensi) HMI. Akan menjadi apa/dijadikan apa kemudian/kedepannya fakta itu,
tergantung orientasi orang yang melihatnya/memandang fakta itu. Kalau ia
berorientasi pada KEWAJIBAN maka akan lahir (muncul sikap dan perbuatan yang
ber) tanggung jawab untuk mengelola fakta itu menjadi kekuatan yang mendukung
tercapainya tujuan/misi HMI. Implikasinya: heterogenitas menjadi alasan/modal
untuk saling memberi (mengamankan dan mengawal konstitusi organisasi), dan
hasilnya adalah kehidupan yang harmonis (perbedaan menjadi rahmat). Sebaliknya
apabila orang yang melihatnya (memandang fakta heterogenitas itu) berangkat
dari sudut pandang dan beroirentasi kepada HAK maka yang akan muncul adalah (lahirlah)
kepentingan orang itu yang berimplikasi pada lahirnya sikap dan perbuatan
saling menuntut (mengakali, mencari dan menggali serta mengamankan HAKnya
sendiri, kepentingan sendiri) dan buntutnya adalah perpecahan/perceraian.
(perbedaan menjadi laknat).
Kader HMI yang taat asas
(konsisten dan konsekuen) harus wajib memandang fakta-fakta dan kejadian yang
ada/terjadi (khususnya di HMI) berdasar pandangan yang berorientasi kepada
kewajiban (bukan orientasi kepada hak). Kewajiban apa? Kewajiban dirinya (kader)
untuk memenuhi janji/menepati sumpah/menjalankan bai’ah sebagai Muslim/anggota
HMI yang telah diikrarkannya pada saat dilantik menjadi anggota HMI, sebagai “insan cita” yang bertanggung
jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridloi Allah SWT.
Sekali lagi wajib berorientasi
kepada kewajiban (sikap bertanggung-jawab) bukan orientasi kepada hak
(kepentingan). Karena dengan berorientasi kepada kewajiban
(mengutamakan/mendahulukan kewajiban tidak berarti meninggalkan hak), justru
akan menjamin terpenuhinya hak-hak anggota dan terpeliharanya konstitusi
organisasi. Dengan berorientasi pada kewajiban maka situasi konflik dan
perbedaan pendapat setajam apapun akan tetap disikapi secara bertanggungjawab
dan dipandang sebagai bagian dari dinamika dalam rangka mencapai tujuan
organisasi. Dan oleh karena itu muara penyelesaiannya pasti tetap melalui
konstitusi/mekanisme organisasi yang telah disepakati.
Tindakan Harry Azhar Azis, Cs
(PB HMI hasil kongres 15 di Medan). Mengganti asas organisasi (merubah pasal AD
HMI) di luar Kongres HMI, apapun alasannya, ditinjau dari sudut pandang
konstitusi/mekanisme organisasi, adalah salah (inkonstitusional, curang/tidak amanah).
Karena perubahan pasal-pasal AD HMI (terlebih mengenai hal yang prinsip, asas)
hanya boleh/bisa dilakukan oleh dan di dalam pleno Kongres HMI, adapun tugas
dan tanggungjawab PB HMI adalah melaksanakan apa yang telah ditetapkan dan
diputuskan oleh Kongres itu (mengemban amanah, bukan merubahnya). Tetapi
mengapa sampai terjadi penggantian pasal AD organisasi di luar Kongres HMI?
Apakah PB HMI tidak tau/tidak
paham kontitusi organisasi? Tentu tidak demikian! Melainkan karena PB HMI telah
salah orientasi! PB HMI tidak berorientasi pada kewajiban (memenuhi
tanggungjawab menjalankan putusan/hasil kongres) tetapi berorientasi pada
kepentingan, atau mengamankan kepentingan tertentu. Itu bisa dibuktikan dari
keterangan resmi Ketum PB HMI baik yang disampaikan melalui media masa (press
release) maupun forum-forum HMI, bahwa “apa yang telah diputuskan dalam rapat
Pleno IV PB HMI di Ciloto (perubahan atau penggantian pasal 3 AD tentang asas
HMI) adalah merupakan langkah taktis (istilah Harry: langkah cerdas) dan kebijakan
politik PB HMI”, adalah bukti nyata bahwa PB HMI telah menformat/setidaknya
memperlakukan organisasi sosial ini (yang didirikan atas motive kepedulian dan
tanggungjawab sosial) menjadi organisasi politik (yang didirikan atas motif
kepentingan, vested oriented,
orientasi pada hak).
Maka bukan suatu kebetulan jika
kemudian terjadi semacam “hubungan yang saling menguntungkan” (osimbiose
mutualistis) antara kepentingan external diluar HMI dengan kepentingan internal
PB HMI, di tengah ranah yang disebut “kebijakan politik”,2. Celakanya
pernyataan Harry mengenai adanya kebijakan politik PB HMI itu didengar oleh
publik (khususnya segmen interest) seolah sebagai pengumuman resmi bahwa telah
dibukanya “ruang bermain” di dalam HMI, maka mulailah para “pencari peluang”
itu (di luar maupun di dalam HMI) mencari celah atau pintu masuknya ke “ruang
bermain” itu. Hasilnya nyata, tidak lama sesudah itu dari kongres ke kongres
selalu terdengar berita bahwa politik uang telah mewarnai proses pemilihan
Ketum PB HMI. Misi politik berhasil, kebijakan politik PB HMI telah melahirkan
konvensi organisasi. Adik-adik kader HMI mulai ikut (latihan?) bermain di ruang
yang telah dibangun oleh kakaknya sendiri. Apa yang semula tabu (terlarang)
sekarang diperebutkan secara terbuka (bertemu di ranah kebijakan).
Hari ini Kongres 28 HMI (Dipo)
di Pondok Gede telah mencatat sebanyak 30 orang kandidat calon Ketum PB HMI.
Hebat HMI, punya banyak stock kader calon pemimpin. Tapi tunggu dulu, coba
renungkan, gejala apa itu? Dulu, sebelum masa astung, mencari calon ketum
begitu susahnya, konon karena mengemban amanah itu betapa beratnya dan Nabi SAW
melarang memberikan jabatan kepada orang yang minta, kok sekarang kandidat
ketum begitu banyaknya? Apakah karena tugas pemegang amanat kongres HMI
sekarang itu lebih enteng/begitu ringannya, artinya kalo terasa berat gampang
diubah/boleh direvisi seperti yang dicontohkan Harry (konvensi organisasi).
Atau apakah banyaknya calon Ketum itu ada hubungannya dengan jumlah uang yang
ditengarai banyak beredar di sekitar kongres HMI saat ini? Jika benar, maka
siapa yang bermain di ranah ini? Mari kita teliti dan kita kaji .....
Catatan:
1 Kutipan contoh dialog massanger:
Kalau
Pilkada Bupati misalnya, kandidat stap
dengan dananya milyaran. Lha kalau kandidat Ketum HMI kok ya sama, kok ya
mahasiswa kaya-kaya ya. Uang yang beredar di Kongres juga miliyaran. We lha
masa depan Indonesia mau jadi apa? Terus masa depan pemimpin Islam kayak apa?. Ini jawaban saya atas sms saudara saya tadi: wah saya
sudah tidak bisa komentar mengenai hal itu. Kayaknya hal yang sama dipikirkan
pak Lafran, dkk. saat menghadapi sekulerisasi di perguruan tinggi, makanya
beliau dirikan HMI (Harapan Masyarakat
Indonesia). Tapi kalo HMInya saja sudah begitu, ya mau bilang apa? Independensi
sebagai menivestasi sikap tauhid yang dijadikan ciri HMI, sebagai benteng
pertahanan, sudah dijebol, sudah tergadaikan (sejak) kepemimpinan Harry Azhar
Azis (yang akhirnya ditiru adik-adiknya, menjadi konvensi, hingga sekarang,
maka saya tidak heran dengan kelakukan kader-kader HMI astung saat ini); saya
sudah coba ingatkan dengan berkata “tidak” pada tahun 80-an (tentu ada
resikonya, diuber uber intel, kegiatannya dilarang, ditahan Korem dan Laksus
dan sebagainya, sementara itu Harry disekolahkan ke Amerika sampai Doktor dan
ditampung Golkar terus jadi Ketua Banggar DPR RI). Terus mau gimana lagi?
Lagipula itu domain publik (fardlu kifayah), ya tawakkal saja, biar Tuhan yang
“turun tangan”.
Dalam proses pencarian jati diri (subyektifus
genetifus) kader HMI tentu melewati fase identifikasi diri (penokohan) dimana
contoh yang terdekat adalah seniornya (alumni). Nah, ketika dilihatnya
mantan-mantan Ketum PB HMI rata-rata hidupnya mentereng, rumahnya besar-besar,
kursinya tinggi-tinggi dan empuk, dan sebagainya, tentu yang dipikirnya adalah
jabatan Ketum PB itulah tiket gratis menuju kehidupan yang penuh gemerlapan itu
..... lain lagi (coba dibandingkan) jika rata-rata kehidupan mantan Ketum PB seperti
bang Dullah Hehamahua? (dikejar rejim yang berkuasa sampai kabur ke Malaysia,
hidup pas-pasan). Maka cuma kader yang mewakafkan diri yang bersedia dicalonkan
menjadi Ketum PB HMI. (tidak bakal nyampe jumlah 30 orang). Wallohu’a’lam…
2 Kutipan rekaman forum Simposium Nasional
Tafsir-tafsir HMI, di Mataram, 1986:
Memang tidak mudah mengambil keputusan dalam situasi
sulit, mental tertekan/tidak merdeka (tidak independen) seperti yang konon
dialami oleh PBHMI (Harry Azhar Azis, Cs) pada saat menghadapi kebijakan
pemerintah orde baru terkait UU No. 8/1985 mengenai asas tunggal Pancasila
(katanya ada tekanan dari pihak eksternal HMI).
Dalam situasi seperti itu (jika benar demikian) orang
cenderung ingin cepat-cepat keluar dari masalah yang sedang dihadapi, tidak
mau/tidak mampu berfikir panjang-panjang apalagi njlimet menghitung dampak yang
kecil-kecil. Itu tampak dari pernyataan PBHMI di forum Simposium Nasional
Tafsir-tafsir HMI di Mataram, 1986, (paska penerimaan astung oleh PBHMI dalam
Pleno IV di Ciloto), yang kabarnya forum simposium tersebut sedianya akan
dijadikan media bagi PBHMI untuk mensosialisir kebijakan politik PBHMI agar
Cabang-cabang HMI beraklamasi mendukung kebijakan politik PB HMI mengenai
astung, namun gagal karena ketika PBHMI ditanya :"bagaimana konsep/sistem
penjelasan PBHMI dalam mengelola HMI sebagai organisasi kader dan perjuangan
islam dengan asas PS?, bagaimana menyusun sistem perkaderan dan strategi
perjuangan bagi organisasi mahasiswa islam dalam wadah yang tidak berlandaskan
Islam? Atau, bagaimana men-derivasi Pancasila sebagai asas organisasi dalam
sistem perkaderan dan perjuangan bagi organisasi islam seperti HMI?",
PBHMI tidak bisa menjawab, kecuali (setelah didesak berkali-kali, baru kemudian
dijawab oleh Yamin Tawari, Kabid Kader PBHMI) bahwa PBHMI belum melakukan
kajian sejauh itu, seperti yang dipertanyakan cabang Yogya, tapi baru sebatas
kajian politik dan taktik menghadapi UU keormasan".
Mendengar penjelasan PB HMI seperti itu forum yang
dihadiri pimpinan Cabang HMI dari berbagai daerah di Indonesia itu menjadi
resah dan kecewa, karena ternyata PBHMI sama sekali belum memikirkan/tidak mau
(atau tidak mampu?) menghitung atau setidaknya menyadari dampak atau
implikasi-implikasi apa yang bakal terjadi (terutama ke dalam sistem-sistem
internal organisasi) atas putusannya itu. Artinya PBHMI semata hanya mau
amannya sendiri (mau cepet-cepet melepaskan amanah Kongres), tanpa menghitung
keamanan dan keselamatan wadah dan isi organisasi secara keseluruhan dalam
jangka panjang. Melihat situasi forum yang kritis saat itu maka spontan Ketua
Delegasi HMI Cabang Yogya maju ke forum untuk mempresentasikan konsep KHITTAH
Perjuangan HMI yang memuat sistem penjelasan yang integreted antara (tafsir):
Asas, Tujuan dan Independensi (sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan)
sebagai alternatif sistem penjelasan atau kerangka ideologi HMI. Bahwa sikap
independensi tiada lain harus ditafsirkan dan dilaksanakan dalam rangka asas
dan tujuan, tidak bisa ditefsirkan lain dan dijalankan sendiri-sendiri secara
terpisah, melainkan harus konsisten dan integreted.
Makalah HMI Cabang Yogya tidak dibantah, bahkan
mengundang simpati forum, akhirnya forum simposium deadlock karena diskusi berubah menjadi sikap dukung mendukung
antara kebijakan politik PBHMI dengan pemikiran cabang-cabang seperti yang
dipresentasikan oleh delegasi HMI Cabang Yogya. PBHMI gusar, forum yang
dipimpin oleh Yassin Kara (kabid aparat PBHMI) serta merta menawarkan opsi
kepada peserta: “siapa yang setuju kepada kebijakan politik PBHMI dipersilakan
tetap tinggal didalam forum ini, dan siapa yang tidak setuju dengan kebijakan
politik PBHMI dipersilakan meninggalkan forum ini”. Spontan forum bubar, para
peserta meninggalkan forum kecuali yang tinggal hanya beberapa peserta delegasi
Cabang HMI termasuk Cabang Mataram selaku tuan rumah.
Peserta (para delegasi) bersedia masuk forum kembali
setalah dinegosiasi dan disetujui tuntutannya oleh PBHMI bahwa untuk menjaga
keselamatan dan keutuhan organisasi maka PBHMI harus bersedia masuk forum kembali
setelah dinegosiasi dan disetujui tuntutannya oleh PBHMI bahwa untuk menjaga
keselamatan dan keutuhan organisasi maka PBHMI harus bersedia/berjanji
mempertemukan pimpinan cabang HMI seluruh Indonesia sebelum pelaksanaan Kongres
16 yang direncanakan di Padang, guna mendengar aspirasi mereka terkait astung.
Janji mana tidak pernah ditepati oleh PBHMI, sebaliknya PBHMI malah
“membekukan” cabang-cabang yang tidak sependapat dengan kebijakan politik
PBHMI, dengan cara membentuk pengurus cabang transitip HMI.
Berdasar kenyataan-kenyataan demikian maka wajar jika
kemudian muncul sikap keprihatian dan keberatan dari para pimpinan Cabang HMI
yang kemudian membentuk forum yang disebut Majelis Penyelamat Organisasi (MPO)
HMI dengan SKB (Surat Keputusan Bersama) yang ditandatangani oleh 9 Pimpinan
Cabang besar HMI (Cabang: Yogayakarta, Semarang, Jakarta, Bandung, Bogor,
Purwokerto, Pekalongan, Bandarlampung, Ujung Pandang).
PROFIL
H. MOHAMMAD CHAERON, S.H.
·
Lahir : Tanjungsari-Kajen-Kab.
Pekalongan, 23 September 1959
·
Keluarga
: 1 istri, 7 anak
·
Pendidikan
: Sarjana Hukum Ketatanegaraan, Fakultas Hukum UGM
·
Training
di HMI yang pernah diikuti:
-
Basic Training/LK I tahun 1980
-
Intermediate Training/LK II tahun 1983
-
Senior Course tahun 1984
-
Advance Training/LK III tahun 1984
-
Training Pers Lapmi
-
Training Kebendaharaan tahun 1981
-
Training Kesekretariatan tahun 1982
-
Lokakarya Pengader Nasional di Purwokerto tahun 1984/85
·
Pengalaman
Organisasi di HMI:
-
Bendahara Umum HMI Komisariat FH UGM tahun 1981-1982
-
Ketua Umum HMI Komisariat FH UGM tahun 1982-1983
-
Staff Pembinaan Anggota Badko Jabagteng tahun 1984-1985
-
Ketua Umum HMI Cabang Yogyakarta tahun 1985-1986
-
Mejelis Pekerja Kongres PB HMI tahun 1986-1988
-
LPL (Korps Pengader)
-
Tim Perumus Khittah Perjuangan
0 komentar:
Posting Komentar