(Refleksi Hari Antikorupsi Sedunia)
Persoalan Sosiologis – Filsafati dan Strategi Memerangi Korupsi
Oleh Lukman Wibowo
Sumber : www.harianjoglosemar.com
(Artikel ini telah dimuat di Harian Joglosemar, 8/12/2009)
Setiap
jatuh tanggal 9 Desember, kita memperingati Hari Antikorupsi
Internasional. Tujuannya, agar seluruh negara di dunia terbebas dari
perkara korupsi. Bahkan di bulan ini, untuk mengapresiasi momentum
tersebut, aksi massa bakal digelar secara serentak di berbagai penjuru
tanah air Indonesia. Terkait dengan hal tersebut, Presiden SBY—lewat
pidatonya kemarin (4/12)—sempat khawatir pada kemungkinan terjadinya
anarkisme yang berjalan di luar kontrol. Kekhawatiran semacam itu
seyogyanya tak perlu berlebihan, mengingat aksi massa tersebut adalah
bersifat gerakan moral semata; bukan kudeta.
Apa
yang menarik dari perayaan Hari Antikorupsi di negara kita ini?
Jawabannya: Kita sedang merayakan sebuah perang melawan kejahatan
korupsi yang terjadi secara sistemik.
Ya,
perang yang kian sulit. Jika dahulu korupsi dilakukan di bawah meja,
kini korupsi dilakukan di atas meja. Sejalan dengan asumsi ini, Transparency International Indonesia (TII) menuliskan laporannya: Runtuhnya Orde Baru tidak memperkecil kasus korupsi, justru sekarang keadaannya kian parah.
Sepanjang
era Reformasi, beraneka institusi dibentuk untuk mengawasi sekaligus
melibas sepak terjang para koruptor. Namun Indonesia masih tetap saja
menjadi lahan persemaian tindak korupsi; mulai dari pejabat tinggi
hingga merembet ke level pejabat rendah; juga tak hanya terjadi di pusat
kota, tapi telah menyebar ke tingkat kelurahan maupun desa.
Masa Transisi; Persoalan Sosiologis dan Filsafati
Skala
fluktuatif tumbuhnya prilaku korupsi, dapat dilihat dari kacamata
sosiologi-politik masyarakat kita dewasa ini. Samuel Huntington dalam Political Order in Changing Society mengemukakan 3 hal penyebab suburnya korupsi di negara yang sedang memasuki fase transisi di era modern.
Pertama,
modernisasi menawarkan norma-norma baru yang lebih rasional ketimbang
norma yang berlaku sebelumnya. Akibatnya, benturan antarnorma tak dapat
dielakkan. Dalam suasana transisi ini—yang bisa memakan waktu selama 1-2
generasi—dimana norma baru belum diakui, sementara norma lama mulai
goyah, maka terbukalah kesempatan orang untuk berbuat semaunya tanpa
legitimasi dari kedua macam norma tersebut. Tindakan amoral korupsi,
tumbuh leluasa di luar kontrol dua norma yang sedang berbenturan itu.
Kedua,
dibukanya sektor industri yang memunculkan sumber-sumber kekayaan baru.
Masuknya modal asing berdampak pada terciptanya relasi jembatan emas
untuk menjalin kerjasama antara pemilik “kekuasaaan politik tapi miskin
harta” dengan pemilik “harta tapi miskin kekuasaan”. Akhirnya, “hubungan
gelap” di antara kedua pihak tersebut muncul, untuk berbagi kuasa dan
kekayaan.
Ketiga,
pada masa transisi, biasanya negara membuat banyak lembaga maupun
undang-undang yang baru. Efek sampingnya, terjadilah “negosiasi” antara
penegak hukum dengan mereka yang menjadi sasaran hukum. Dengan demikian,
pemerintahan yang sedang melakukan perbaikan (reformasi) sistem
politiknya, di saat yang sama juga akan membengkakkan jumlah tindak
korupsi. Perseteruan KPK-Polri-Kejaksaan, adalah contoh konkretnya
masalah ini.
Ditegaskan juga oleh Harvey Cox dalam The Secular City,
korupsi akan kian tak terkendali jika negara tersebut terdiri dari
berbagai suku yang amat plural. Ikatan primordial dan nepotisme yang
masih kuat, akan memberi iklim kondusif untuk berbuat korupsi. Cox pun
menambahkan, bahwa korupsi sulit diberantas karena korupsi melibatkan
banyak pihak. Sehingga sesiapa yang coba melacaknya, malah justru
terjebak di dalamnya.
Apa
yang diulas Huntington dan Cox, kini sedang terjadi di Indonesia.
Reformasi sebagai masa transisi sosial-politik, tak hanya melahirkan
semangat baru, namun juga di arah yang berbeda, telah nenambah kronisnya
hambatan-hambatan bagi reformasi itu sendiri. Jalan reformasi terganjal
oleh pihak-pihak yang ingin memupuk kekayaan, dengan memanfaatkan
kesempatan masa transisi yang labil.
Di
luar kacamata sosiologi-politik, kita juga bisa merujuknya dari 2
aliran filsafat yang berbeda; cara pandang fungsionalis dan
strukturalis. Dalam filsafat fungsionalis, tindak korupsi disebabkan
oleh watak. Artinya, korupsi hanya sanggup diberantas ketika watak korup
pelakunya bisa diperbaiki. Filsafat strukturalisme justru melihatnya
dari sudut yang berseberangan. Korupsi bukanlah watak yang ajeg.
Sifat manusia tumbuh di bawah pengaruh struktur sistem di luar dirinya.
Sistem yang baik akan menciptakan manusia yang baik, demikian
sebaliknya; sistem yang korup niscaya menciptakan manusia yang korup.
Dua
filsafat tersebut memiliki proporsi kebenaran yang sama. Ini berarti,
sinergisitas antara perbaikan sistem dan perbaikan moral, harus terus
dikuatkan.
Strategi Memerangi Korupsi
Ada beberapa agenda strategis yang dapat ditempuh dalam rangka memerangi korupsi sistemik di negara ini.
Pertama,
melakukan sterilisasi terhadap institusi-institusi kenegaraan—terutama
institusi penegak hukum (seperti Polri, MA, dan Kejaksaaan)—dari peluang
berlaku korup. Untuk itu perlu dilakukan seleksi ulang Hakim Agung
dengan memperkuat posisi Komisi Yudisial (KY). Selain itu, KY harus di-support dengan efektifitas hadirnya Komisi Pengawas Kejaksaan, dalam mengawasi kinerja para jaksa di pusat sampai daerah.
Untuk
institusi kepolisian, langkah yang bisa ditempuh adalah dengan cara
melakukan perubahan sistem internalnya. Secara garis besar, 3 aspek
sistem yang bermasalah ini adalah: Aspek instrumental (paradigma dan
kerangka filsafat); aspek struktural (desain kelembagaan dalam
hubungannya dengan lembaga-lembaga lain); dan aspek kultural
(operasional sehari-hari, baik itu masalah manajemen ofisial maupun
kinerja polisi di lapangan).
Otoritas
kepolisian juga harus dinormalisasi: Kewenangannya tak boleh terlalu
besar seperti saat ini. Otoritas polisi dapat didistribusikan ke
berbagai institusi pemerintahan. Dalam konteks ini, kita bisa belajar
dari Amerika Serikat; yang telah meletakkan depositioning polisi di bawah sejumlah departemen.
Selain
itu, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dan Indonesia-Police Wacth
(IPW) patut diberdayakan secara optimal. Dua lembaga pengawas ini harus
diposisikan independen, baik secara struktural maupun kultural.
Kedua,
membangun mekanisme peradilan korupsi yang efektif. Perlu dibuat khusus
satu lembaga peradilan korupsi. Semua kasus korupsi prosesnya
dilaksanakan dalam lembaga khusus ini, bukan oleh pengadilan umum (PN)
atau pengadilan Ad Hoc. Ini penting dibuat guna meminimalisir terjadinya praktik suap di PN dan KPK.
Ketiga, mengelola kasus-kasus korupsi dengan transparan agar tak ada politik dagang sapi (judicial coruption) dalam proses pengadilan. Transparansi ini bisa disusun dengan memanfaatkan teknologi informasi (e-court) untuk pelayanan publik.
Keempat,
melakukan eksaminasi (pengujian) publik atas putusan perkara korupsi.
Jika terjadi kontroversi atas putusan tersebut, maka publik (kalangan
akademisi dan penggiat hukum) dapat melakukan kontrol hukum dengan
semangat yang lebih objektif (Riewanto, 2007).
Kelima,
lebih membudayakan sikap antikorupsi di seluruh lapisan masyarakat.
Banyak hal strategis maupun taktis yang mampu kita perbuat untuk
memberantas korupsi. Itikad bersama yang kuat adalah kuncinya.
* * *
Tiada yang sulit untuk memerangi kejahatan korupsi. Selama masih ada political will yang kokoh dari seluruh stakeholders negara maupun masyarakat, korupsi pasti bisa dilumpuhkan.
Selamat merayakan Hari Antikorupsi, selamat berperang melawan korupsi!
Lukman Wibowo—Buruh bangunan;
Aktivis kebudayaan;
Tinggal di pinggiran kota Semarang