Oleh: Ibnu Himawan (Kom. Syariah IAIN Walisongo)
Himpunan Mahasiswa
Islam merupakan organisasi mahasiswa tertua di Indonesia saat ini, meski
sebelumnya telah ada Persatuan Mahasiswa Yogyakarta yang didominasi oleh partai
sosialis, organisasi ini berdiri pada tanggal 5 Februari 1947M bertepatan
dengan 14 Robiul Awal 1366H, diprakarsai oleh mahasiswa STAI Jogjakarta (sekarang UII) yaitu Lafran Pane. Filosofi berdirinya organisasi
ini ada 2 penyebab yaitu mempertahankan serta mempertinggi derajat bangsa
indonesia dan menegakkan serta mengembangkan ajaran islam, karena HMI lahir
paska kemerdekaan serta tiada keleluasaan bagi para pemeluk agama islam untuk
menjalankan ajarannya.
Semangat HMI terhadap
perkembangan ajaran islam ini mestinya
menjadi pembelajaran pemuda muslim, meski dari awal 90-an sampai tumbangnya
periode orde lama beberapa dari anggota harus menjadi buronan dari birokrasi
serta kroni-kroninya karena mempertahankan idealism akan keislaman mereka,
hingga kemudian mereka menjadi embrio dari HMI-MPO (Majelis Penyelamat Organisasi). HMI-MPO merupakan
sempalan dari HMI terdahulu yang menjadi pewaris semangat idealismenya, bahkan
kiblat berfikir HMI-MPO pun mengacu pada pejuang islam dalam teologi
pembebasannya seperti; Imam Khomaeni, Ali
Syariati, Ismail Raji Alfaruqi, Jalaluddin Al-Afghani dsb. Yang tetap istiqomah
dengan islamnya, ini merupakan upaya sebuah organisasi supaya menjadi agent
social of change yang berdasar pada hadits “من راي منكرا
فاليغير بيده---الخ”, maka HMI harus terus bergerak tuk wujudkan perubahan ke arah
positif.
Saking
pentingnya semangat islam bagi HMI, maka salah satu materi inti dalam latihan dasarnya adalah “keyakinan muslim”, bahkan materi itu menjadi
bahasan utama dalam khittah perjuangan dari HMI-MPO, dalam khittoh telah terang
relevansi antar asas, usaha hingga tujuannya ketika asas itu islam, jelas adanya bahwa hmi merupakan wadah
aktualisasi islam bagi para kadernya, wadah sebagai upaya para kader mencari
jatidiri kemuslimannya. Islam dalam HMI mempunyai arti luas dan tak harus sama
antar kadernya, ini dapat dilihat dari salah satu kader HMI yaitu Nurcholis
Madjid yang dalam bukunya-Islam Dokrin dan Peradaban- menyatakan bahwa “islam
merupakan ketundukan kepada tuhan sang pencipta seru sekalian alam, hingga
terkadang islam ditemukan justru pada pemeluk agama lain”, meski ia dianggap
tokoh liberal.
HMI-isme atau
sifat HMI ini seharusnya terus menjadi warisan yang tiada habis-habisnya bagi
kadernya, hingga nantinya terdapat kata HMI-is-me (HMI adalah saya), meskipun
dalam khittoh perjuangan HMI disebutkan bahwa HMI bukanlah hanya output dari
organisasi baik berupa kader yang tangguh maupun karya dari HMI, setidaknya
kader menjadi part of HMI, karena HMI menuntut kadernya agar menjadi pribadi
yang independent, tak bergantung pada siapapun tanpa terkecuali, ia hanya boleh
mentransendensikan dirinya pada tuhannya.
Namun ini
menjadi pekerjaan rumah yang tak mudah, jika dilihat dari keaadaan sekarang
bahwa tiada lagi sekat bagi seluruh rakyat indonesia untuk mengimplementasikan
segala ajaran yang dianut -meski nilai lebih dari HMI adalah tiadanya
pengkotak-kotakan antar paham satu dan lainnya- yang menjadikan berkurangnya
semangat perjuangan, hingga HMI tak semenarik dahulu dalam setiap
perkaderannya, mungkin disini teori spirit of kepepet berlaku. Atau justru
ketidak sadaran para kader akan arti keterjajahannya, seperti yang dikatakan
Abul A’la Maududi bahwasannya tiada negara islam ataupun mayoritas islam yang
tak tejajah baik secara politik maupun ideologi, kader yang hidup di negeri
yang terhegemoni oleh ideologi barat ini tak sadar betapa prinsip-prinsip
mereka selalu dicincang-cincang tiap hari oleh sifat hedonisme.
Bahkan islam
sekarang hanya dimaknai secara simbolis semata, siapa yang bergamis, bersorban,
rajin ke masjid, rajin dalam majlis pengajian mereka yang suci, bersih dan
beriman, sedang mereka yang jauh dari itu semua adalah najis, musrik dan kafir.
Bagaimana islam akan dikenal secara kaffah jika demikian adanya pemaknaan
islam, amar ma’rufnya hanya dalam tempat peribadatan semata sedang nahi munkar
selalu berbentuk anarkis -baik bakar tempat perjudian, pukuli pelaku zina
dilokalisasi dan hancurkan semua sarana maksiat-, lantas dimana rahmatan lil
‘alamin islam ? bukankan ketika nabi tersakiti ketika hendak berdakwa hanya
berdoa “اللهم اهد قومي فانهم لايعلمون” - ya Allah berilah
hidayah kaumku karena sesungguhnya mereka tidak tahu- ketika ditawari jibril
untuk membumi hanguskan kafir Quraisy pada saat itu.
Bukan lagi
waktu yang tepat untuk selalu menikmati romantisme sejarah yang menggetarkan
hati atas perjuangan para pendahulu, kita tak hidup dalam angan, kita tak hidup
untuk kagum semata, kita hidup untuk berjuang karena setiap kita akan dimintai
pertanggung jawabannya. Kita harus mempunyai semangat hidup mulya atau mati
syahid ! sesuai dengan sabda rasulullah pada kaumnya “اعمل لدنياك
كانك تعيس ابدا واعمل لاخرتك كانك تموت غدا” –berbuatlah untuk
duniamu seakan-akan kamu hidup untuk selama-lamanya dan berbuatlah untuk
akhiratmu seakan-akan kamu mati esok hari.
Sekarang saatnya
untuk bangkit bagi kaum muslim terutama para kader HMI, tegakkan bendera
rahmatan lil’alamiin sebagai jargon islam, selamatkan semua mahluk dari
kesesatan yang mulai tak kasat mata lagi. Penuhi janji-janjimu seperti tujuan
organisasimu, binalah mereka menjadi insan yang kenal tuhannya, insan yang
taat, insan yang bertanggung jawab akan lingkungan sekitarnya, penyelamat alam.
Penuhi tugasmu sebagai kholifah, tegakkan panji-panji keadilan pada siapapun
itu tanpa pandang bulu, hunus pedangmu pada kemungkaran, selamatkan kaum mustadl’afien
dari para imprealisnya, lindungi hak setiap insan.
Kini HMI
menunggumu wahai kader pilihan, merindukan akan setiap langkah ikhlasmu
memperjuangkan kehendak keadilan, membutuhkan fayakun berasaskan islammu,
jangan tunggu semua orang menyuruhmu, sampaikan dari rosulmu walau satu ayat,
kau harus jadi teladan sebagaimana rosulmu dahulu, “ابدا
بنفسك” mulailah dari dirimu!!!!!
* Tulisan dibukukan dalam "HMI-ISME, HMI-MISS-ME, HMI-IS-ME" diterbitkan LAPMI Cabang Semarang