Minggu, 01 Maret 2009
Data-data kebangkrutan Indonesia
Sumber. www.wawasan.com
Lukman Wibowo:
dosen dan peneliti di
AKP Widya Buana
KITA telah meninggalkan tahun 2008 dan memasuki tahun 2009. Selama tahun 2008 banyak hal yang sudah dilakukan pemerintah. Selama itu pula, masyarakat harap-harap cemas menanti gebrakan perubahan yang lebih produktif ketimbang tahuntahun sebelumnya. Sayangnya, kita tetap saja kecewa dengan hasil kerja dari para penyelenggara negara.
Memang harus diakui ada beberapa kemajuan yang telah diperoleh, namun masalah-masalah klasik di sejumlah sektoral masih menguak keprihatinan yang mendalam. Kita dapat merefleksikan berbagai persoalan kenegaraan yang bakal kita hadapi ulang di tahun ini; bahkan tantangannya kian berat.
Kerawanan pangan
Indonesia masih menghadapi krisis pangan. Krisis, dalam arti terus meningkatnya ketergantungan pada impor. Hal ini ditandai dengan suplai dan harga sembako yang kian mahal. Akibatnya, prahara rawan pangan merebak di berbagai daerah.
Besarnya poin krisis memiliki korelasi dengan banyaknya penduduk yang mengalami kerawanan pangan. Tahun lalu, jumlah penduduk miskin sebesar 16,6% dari 217 juta penduduk (data BPS). Jika mengggunakan standar Bank Dunia, orang miskin di Indonesia berjumlah 110 juta jiwa (50%).
Pertanian tidak menyejahterakan petani. Data BPS menunjukkan, pertumbuhan sektor pertanian dari 4,1 % pada 2004 menjadi 3,0 % pada awal 2008. Pangsa PDB pertanian menurun dari 15,5% pada 2004 menjadi 13% pada tahun 2008.
Indonesia telah kehilangan swasembada pangan. Pada tahun lalu produksi gabah kering turun 1,2 juta ton jika dibandingkan pada 2007. Sekarang, tiap tahunnya Indonesia tidak kurang mengimpor beras sejumlah 2 juta ton.
Menurut Angka Impor Pangan versi Prof Rokhmin Dahuri, Indonesia adalah pengimpor beras terbesar (2,5 juta ton/thn) dan pengimpor gula terbesar kedua di dunia (2,0 juta ton/thn). Selain itu, kita juga mengimpor kedelai (1,2 juta ton), jagung (1,3 juta ton), dan sapi (550.000 ekor) pada tahun kemarin (sumber: Muchtar Effendi Harahap, 2 Des 2008).
South Centre memperkirakan bahwa 90% perdagangan pangan dunia dikontrol 5 perusahaan transnational coorporation (TNCs); 75% perdagangan serealia dikuasai 2 TNCs; 3 TNCs menguasai 85% perdagangan teh; 5 TNCs menguasai 70% produksi tembakau; 7 TNCs menguasai 83% produksi gula; dan 4 TNCs menguasai 2/3 pasar pestisida, serta 100% pasar global bibit transgenik. TNCs bisa mengontrol harga input, membentuk harga kartel, mendepak perusahaan lokal, dan membeli komoditas petani dengan harga super murah.
Sesuai data Departemen Perdagangan RI, harga kebutuhan pokok, terutama di masa Pemerintah SBY dari tahun ke tahun mengalami kenaikan yang relatif tinggi.
Sumberdaya alam dan kehutanan
Kekuatan asing dan elemen-elemen pemerintah telah berkonspirasi dengan Bank Internasional, menjarah kekayaan alam yang menyebabkan Environmental Crime, Mineral Crime, dan Tax Crime. Sistem Kontrak Karya dengan pihak asing telah merugikan Indonesia.
Menurut BP Migas, produksi minyak bumi Indonesia mengalami penurunan hingga 16%. Mulai 2006 penurunan produksi ini mencapai 30.000 barel/hari.
Indonesia mengekspor minyak mentah namun mengimpornya kembali dengan harga 0,38 - 3,95 USD/barel lebih mahal. Impor minyak mentah sebenarnya tak perlu dilakukan seandainya ekspor tak dilakukan. Produksi minyak KPS bisa dibeli pemerintah dan dapat diolah di kilang dalam negeri. Negara dirugikan 3 - 4 triliun rupiah/tahun.
Perimbangan Perdagangan Minyak Mentah (Crude Oil) dan Produksi Minyak (Oil Product) makin minus khususnya sejak 2003. Data Trade Balance of Oil and Oil Product menunjukkan Indonesia bukan lagi negara pengekspor minyak, melain sudah menjadi pengimpor minyak.
Dominasi koorporasi internasional dalam eksplorasi migas sudah memiskinkan bangsa kita. 85% produksi migas dikuasai kontraktor asing, utamanya Chevron-eks Caltex, termasuk Unocal, CNOOC, Exxon Mobil, BP, dan Vico. Kontraktor nasional (termasuk Pertamina) cuma memproduksi 15%.
Produksi migas lebih ditujukan untuk ekspor. Lebih 58% produksi gas diekspor. Defisit gas di dalam negeri mencapai 2.036,64 MMSCFD. Lebih dari 40% produksi minyak mentah masih diekspor, padahal kebutuhan dalam negeri yang mencapai 1,4 juta barel/hari sudah melebihi kapasitas produk yang hanya 1 juta/hari.
Makin melemahnya posisi tawar (bargaining power) pemerintah terhadap kontraktor migas bisa dilihat dari indikasi ini: 1) Pemberlakuan DMO Holiday: kontraktor tidak wajib menjual minyak ke dalam negeri untuk jangka waktu tertentu. 2) Perubahan DMO fee: pemerintah harus membeli minyak yang di DMO-kan dengan harga pasar. 3) Perubahan batas atas cost recovery dari 40%- 60% menjadi 100% dan bahkan 120% untuk lapangan marginal. 4) Split bagi hasil 0% bagi pemerintah, 100% kontraktor (kasus Natuna D Alpha). 5) Disepakatinya kontrak ekspor gas/LNG dengan harga 3-4 USD/MMBTU, padahal harga pasar sudah mencapai 9 USD/MMBTU.
Sub-sektor Minerba didominasi perusahaan asing. Penerimaan negara dari Minerba relatif tidak signifikan, rata-rata 3% dari total penerimaan negara. Lebih kecil dibandingkan penerimaan dari devisa (remittance) TKI yang mencapai 30 triliun rupiah. Devisa dari Minerba hanya 20,9 triliun rupiah (Data: DESDM).
PT Freeport Indonesia dan Newmont Nusa Tenggara menguasai 100% produksi konsentrat tembaga di Indonesia. Dua perusahaan ini menguasai lebih 86% produksi emas dan perak. Royalti emas dan perak hanya 1% dari gross revenue, sedang royalti tembaga cuma 3,5%.
Lebih dari 67% produksi batubara dihasilkan oleh kontraktor batubara asing, seperti Arutmin, Adaro, Kaltim Prima Coal, dan Kideco. Lebih 95% produksi beragam mineral diekspor. Lebih 70% produksi batubara juga diekspor.
Untuk minyak sawit mentah (CPO), pemerintah lebih melayani permintaan luar negeri ketimbang kepentingan dalam negeri. Tahun lalu, 53% CPO diekspor ke Eropa. Akibatnya, minyak goreng langka dan harga di dalam negeri melonjak. Kerugian akibat salah urus dalam pengelolaan SDA seperti pertanian, kehutanan dan kelautan sebesar 30 triliun rupiah/tahun.
Hasil Indonesia mengekspor ikan tangkap hanya 2 miliyar USD/tahun, sedangkan Thailand sebesar 11 miliyar USD. Padahal Thailand memiliki garis pantai hanya 2.400 km, sedangkan garis pantai Indonesia sepanjang 81.000 km. Sementara kerugian akibat pencurian ikan sebesar 4 miliyar USD/tahun.
Kerusakan hutan terus melaju dengan mengorbankan rakyat. Menurut Departemen Kehutanan (per 20/8/2006), Indonesia memiliki hutan seluas 120,35 juta ha (62,6% dari luas daratan) yang memiliki kekayaan mega biodiversity ketiga setelah Brazil dan Kongo. Namun, laju kerusakannya termasuk dalam deforestasi tercepat. Setiap jam, kawasan hutan lenyap seluas 300 lapangan sepak bola. 2 tahun lalu, laju kerusakan hutan Indonesia sudah mencapai 2,72 juta ha. Maraknya illegal logging mengakibatkan negara rugi 40 triliyun rupiah/tahun.
Bersamaan kerusakan hutan, persoalan konversi lahan terus meningkat. Khususnya di kawasan ekologis genting atau kawasan pesisir yang terkena abrasi tinggi dan terumbu karang mengalamai kehancuran hebat. Sisa terumbu karang yang baik kini tinggal 6%.
Pertambangan yang merusak masih saja bebas mencemari sungai, laut dan udara. Semburan Lapindo sebagai drama perusakan terbesar sepanjang abad juga kurang mampu diatasi Pemerintah SBY-JK. Lingkungan hidup selama 3 tahun tak pernah memegang posisi kunci.
Pengurasan SDA telah mendatangkan bencana bagi masyarakat di sekitar daerah yang dieksploitasi, karena dampak lingkungan dan menciutnya lahan pertanian. Akibatnya kini terdapat perbedaan sangat kontras dalam penguasaan lahan. Petani hanya menguasai lahan 0,4-1,3 ha untuk budidaya, sedangkan 1 perusahaan perkebunan menguasai rata-rata 1.780 ha dan 10 group penguasa HPH menguasai 24 juta ha dari 51 juta ha hutan produksi.
Sebanyak 85% bencana alam yang dilaporkan Bakornas PB disebabkan oleh dampak kerusakan lingkungan akibat pengurasan SDA. Sementara hak masyarakat atas pengelolaan SDA tak pernah jelas dan tak pernah diatur.
Ancaman kekurangan air akan dihadapi jutaan penduduk di Pulau Jawa, yang jumlahnya 65% total penduduk di Indonesia. Cadangan air di Jawa hanya 4% dari total cadangan stok nasional akibat tangkapan air selalu dihancurkan. Lima tahun belakangan ini banjir di Pulau Jawa meningkat 3 kali lipat.
Misalnya saja, kondisi Bengawan Solo belakangan ini makin memrihatinkan. Hutan di Daerah Aliran Sungai yang memasok air ke Bengawan Solo hanya tinggal 1%.
Pemerintah sekarang tidak memberikan anggaran signifikan untuk bencana alam karena 70% anggaran justru habis untuk aparat pemerintahan. Sumber daya alam kita, kini telah berubah, dari berkah menjadi petaka.
Industri dan perdagangan
Keberadaan pasar tradisional belakangan ini makin tergilas oleh maraknya supermarket. Di Jakarta, misalnya, sekitar 80% pedagang tradisional saat ini tak mampu tumbuh, karena kalah bersaing dengan pasar modern. Bahkan, beberapa pasar regional dan wilayah saat ini dikuasai produk impor.
Menurut Bank Dunia, tiada supermarket di manapun di dunia yang begitu bergantung pada produk impor seperti di Indonesia. Sekitar 60% sayur mayur dan buah yang dijual berasal dari impor. Angka ini 2-3 kali lebih besar dari produk impor di supermarket di Thailand, Meksiko, dan Cina.
Ketergantungan industri pengolahan pada bahan baku impor demikian besar. Industri keramik, misalnya mengimpor tanah liat hingga pelapis. Lebih dari 90% kapas untuk industri tekstil juga diimpor. Ketergantungan impor pun terjadi pada besi, plastik, produk turunan minyak bumi, dan permesinan. Industri makanan olahan juga masih bergantung pada impor. Untuk komoditas yang melimpah di negeri ini, seperti kayu dan rotan, industri pengolahannya masih meneriakkan kelangkaan bahan baku. Sebaliknya, industri kayu - rotan di Cina dan Vietnam yang tak memiliki sumber bahan baku justru maju pesat.
Media massa dan telekomunikasi
Menurut MPPI (Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia), kepemilikan televisi swasta mengarah pada monopoli kepemilikan. Adanya pelanggaran UU No 32/2002: dimana suatu badan hukum paling banyak hanya memiliki dua izin penyelenggaraan penyiaran televisi yang ada di dua provinsi berbeda.
MPPI menunjukkan, PT Media Nusantara Citra Tbk (MNC) adalah badan hukum bukan penyelenggara usaha di bidang penyiaran telah memiliki dan menguasai 3 Lembaga Penyiaran Swasta sekaligus, yaitu 99,99% pada RCTI, 75% pada TPI dan 99,99% pada Global TV.
Kondisi ini jelas tidak sehat, membuat masyarakat tak punya banyak pilihan dan juga dapat membodohi masyarakat karena informasi yang diterima akan relatif seragam dan cenderung tidak mendidik. Bahkan, televisi sudah dipakai untuk kepentingan tertentu pada Pemilu 2009. Saat ini ada sejumlah pemilik televisi yang memakai medianya untuk membela diri ketika terkena persoalan. Lembaga penyiaran seharusnya sesuai dengan asas diversity of ownership dan asas diversity of content.
Korporasi asing telah memonopoli usaha telekomunikasi. Salah satu fakta yakni Keputusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang menetapkan Temasek Holdings (milik Singapura) telah melanggar UU NO 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli, karena memiliki saham di dua perusahaan telekomunikasi: yaitu PT Telekomsel dan Indosat Temasek, lewat Singtel dan ST Telemedia, menguasai 35% saham Telekomsel dan 41,94% saham Indosat.
Infrastruktur, maritim, dan pertahanan
Menurut ECONIT"s Economic Outlook 2008, setelah 3 tahun Pemerintah SBY hanya terbangun 48 km (3.7%) dari target 1.300 km atau 260 km/tahun (2005-2009). Hasil dari dua kali Infrastructure Summit, tentang percepatan pembangunan infrastruktur lebih merupakan respon birokratik ketimbang upaya konkrit menyelesaikan masalah pembangunan infrastruktur.
Seluruh pelabuhan dan kapal Indonesia dinilai tidak aman sehingga terancam "diboikot asing" (Peringatan US Coast Guard). Hal ini disebabkan adanya penilaian bahwa masih banyak perusahaan pelayaran dan pelabuhan di Indonesia yang belum melakukan kode keamanan maritim ISPS CODE. Dalam perhitungan volume lalu lintas barang, resiko ini menjadi hambatan bagi ekspor dan impor sebesar 400 juta ton/thn.
Dalam bingkai kemandirian bangsa, bidang pertahanan dan keamanan Indonesia terlihat masih dalam posisi sebagai objek. Misalnya, dalam kasus DCA (Defence Cooperation Agreement) dengan Singapura; penyelesaian hukum pelanggaran HAM oleh prajurit TNI; serta alat persenjataan.
Singapura berani melakukan perluasan wilayah dengan menimbun pasir yang diambil dari wilayah Indonesia. Perbatasan Indonesia-Malaysia di sepanjang Kalimantan makin lama makin merugikan kita. Sebagian kawasan perkebunan di Sabah dan Serawak sudah menjorok 7 km ke dalam wilayah Indonesia, dijadikan kawasan Malaysia.
Ketergantungan Indonesia sangat tinggi terhadap impor persenjataan militer. Ketergantungan ini, terutama pada AS (34%), Prancis (12%), Jerman (12%), Rusia (10%) dan Inggris (9%). Industri strategis domestik hanya mampu memberikan kontribusi sebesar 5%. Menurut INFID, negaranegara NATO mendominasi sebagai sumber pengadaan Alutsista TNI. Indonesia telah menjadi bagian aliansi strategis NATO.
Indonesia termasuk negara paling rendah alokasi anggaran belanja pertahanan dari persentase PDB. Hanya sekitar 0,76-0,88% dari PDB. Padahal secara normatif tingkat ideal 5%; tingkat wajar 3%; tingkat minimal 2% dari PDB. Anggaran pertahanan Indonesia adalah yang terkecil di antara negara tetangga.
Politik luar negeri, politik hukum, dan korupsi
Masalah nasib TKI, kita hanya mampu defensif, bukan proaktif melobi-terutama otoritas negara Malaysia dan negara lain di mana TKI bekerja-untuk melindungi WNI di luar negeri, sembari mendesakan penyelesaian hukum terhadap WNA, agar bisa diadili di negaranya.
Pemerintah terlalu lemah saat berhadapan dengan IMF, atau bankbank internasional dan negara-negara investor yang menyebabkan sebagian besar sumber daya kita telah dikuasai pihak asing.
Indonesia tidak mampu mempertahankan prinsip politik luar negeri bebas aktif, misalnya kasus dukungan terhadap Resolusi PBB tentang urusan negara lain. Posisi Indonesia masih berdiri sebagai follower dibandingkan sebagai negara yang bediri equal apalagi point maker.
Sekalipun tidak semua, terdapat peraturan perundang-undangan (UU, PP, juga Perda) terbit dalam pengaruh kepentingan kelompok usaha bisnis/kapital, atau uang pinjaman lembaga multilateral seperti IMF dan Bank Dunia, bukan memihak negara dan rakyat. Indikasi keberpihakan bukan untuk rakyat kebanyakan, antara lain pada: UU Migas, UU Privatisasi Air, UU Privatisasi BUMN, UU Penanaman Modal, atau UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau- pulau Kecil di wilayah Indonesia.
PP No. 2/2008 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk Kepentingan Pembangunan di luar Kegiatan Kehutanan yang berlaku pada Departemen Kehutanan, ditandatangani Presiden SBY 4 Februari 2008. Menurut Siti Maemunah (dari JATAM), yang paling bersorak dikeluarkannya PP ini adalah pelaku pertambangan. Ada 14 perusahaan yang mendapat pengecualian meneruskan tambangnya di hutan lindung. Sebagian besar adalah perusahaan tambang asing sekelas Freeport (AS), Rio Tinto (Inggris), Inco (Kanada) dan Newcrest (Australia) (Kompas, 21/02/08).
Untuk konteks korupsi, hasil penelitian ICW melalui 86 media massa menyebutkan, tindak pemberantasan korupsi selama ini gagal menyentuh pejabat berkuasa, khususnya pejabat di tingkat pusat. Uang negara yang dapat dikembalikan baru sedikit. Padahal hasil audit BPK pada petengahan 2007 menemukan 5.717 kasus penyimpangan penggunaan anggaran dengan nilai penyimpangan 8.805 triliun rupiah.
Hasil jajak pendapat tahun ini, 50% responden masih merasakan tidak puas atas upaya pemerintah dalam menangani jenis kasus korupsi, politik dan pelanggaran HAM. Proses hukum seringkali harus tunduk pada arus kepentingan elite dan tersamarkan dalam spekulasi serta kepentingan pemilik kapital.
Pendidikan dan kesehatan
Saat tahun 2008, pemerintah (dalam APBN dan APBD) belum melaksanakan keputusan MK untuk menyediakan anggaran 20% untuk pendidikan.
Pemerintah tampak memaksakan agar tahun 2008 RUU Badan Usaha Pendidikan selesai dibahas di DPR, dan menjadi UU. Menurut banyak pihak, Format BPH tak ubahnya kapitalisasi pendidikan yang kelak membuka jalan bagi pihak asing untuk memegang saham sampai 49% untuk tiap satuan pendidikan.
Lemahnya akses bagi penduduk miskin. 70,85% masyarakat miskin memeroleh akses pendidikan pada jenjang menengah saja, sementara kelompok kaya 94,58%.
Konstitusi dan UU Sisdiknas mengamanatkan wajib belajar 9 tahun. Menurut Komnas Perlindungan Anak, sepanjang 2007 ada 33,9 juta anak dilanggar hak pendidikannya; 11 juta anak berusia 7-8 tahun buta huruf dan sama sekali belum pernah mengecap bangku sekolah, sisanya putus sekolah. Bila diperinci, 4.370.492 anak putus sekolah dasar, 18.296.332 anak putus sekolah menengah pertama. Adapun 11 juta sisanya (lebih dari 30%) anak buta huruf karena tak pernah bersekolah.
Indeks Pembangunan Pendidikan (IPP) menurut Laporan EFA (Education for All), dalam Global Monitoring Report 2008 oleh PBB (UNESCO)-dengan mengompilasi data pendidikan dari 129 negara di dunia-Indonesia berada pada "EDI sedang" bersama 53 negara lain. IPP Indonesia menunjukkan adanya pergeseran posisi dengan Malaysia. Jika pada tahun sebelumnya peringkat Indonesia selalu berada di atas Malaysia, kini telah di bawahnya.
World Bank menilai kondisi kesehatan Indonesia sebagai Unfinished Agenda karena di satu pihak kasus penyakit tidak menular (NCDs) terus meningkat (penyakit jantung 30% penyebab kematian di Indonesia, juga tergolong satu dari 10 angka penderita Diabetes). Penderita gizi buruk semakin bertambah. Kalau 2005 anak balita yang menderita gizi buruk sebanyak 1,8 juta jiwa, pada 2008 menjadi 4 juta jiwa. Lebih memrihatinkan lagi, 3 dari 10 anak balita di 72 kabupaten terkena busung lapar, dan 11 juta dari 31 juta anak usia sekolah kini mengalami anemia gizi.
Angka Kematian Balita (AKB) di Indonesia 30,8/1000, masih merupakan salah satu angka tertinggi di ASEAN. Angka Kematian Ibu (AKI-MMR) sebesar 224/100.000 dan merupakan tertinggi di ASEAN.
Sekitar 94% masyarakat Indonesia terkena penyakit depresi mental, mulai dari tingkat ringan hingga berat, yang berakibat munculnya perilaku amoral, pemalas, ketidakpatuhan hukum, peminta-minta dll.
Menjamurnya Rumah Sakit Swasta milik asing yang berorientasi pada profit dan menempatkan pasien kaya sebagai sasaran utama. Abai terhadap kelompok miskin.
Menurut Badan Narkotika Nasional, tiap hari di Indonesia ada 40 orang yang meninggal karena narkoba. Ada 3,6 juta pecandu narkoba di Indonesia, separoh dari jumlah itu tinggal di Jakarta. Hasil Survei BSN menunjukkan 32% dari total 3,2 juta pengguna narkoba dan obat terlarang secara nasional adalah pelajar dan mahasiswa (1.037.682 orang). Survei yang dilakukan pada 33 provinsi menunjukkan, prevalansi penyalahgunaan narkotik dalam satu tahun terakhir mencapai 5,3%. Artinya, dalam tahun terakhir, di antara 100 pelajar dan mahasiswa, terdapat 5 pemakai narkoba.
Ini adalah sedikit dari data-data dekandensi Indonesia. Semua data yang diajukan adalah sekadar gambaran tentang kondisi kenegaraan serta kebangsaan kita di akhir dan saat menempuh tahun yang baru. Selamat merefleksikan Indonesia; selamat datang tahun baru 2009 yang penuh tantangan. lind
0 komentar:
Posting Komentar