Oleh : Lukman Wibowo
Catatan : Artikel ini telah dimuat di Harian Joglosemar (21/10/2010)
Source : www.harianjoglosemar.com
Menjelang peringatan nyewu (seribu hari) wafatnya mantan Presiden Soeharto—yang jatuh pada 22 Oktober ini—wacana penganugerahan status pahlawan untuknya, kembali mengemuka. Desas-desus tersebut kembali dicuatkan oleh sejumlah oknum politis, kerabat maupun orang-orang yang pernah dibesarkan oleh rezim Orde Baru. Di lembaga pemerintahan, melalui Kementerian Sosial, usul itu pun kembali digulirkan.
Di lintas kontroversi mengenai status hukum Soeharto yang belum tuntas, tentu tak mudah menentukan posisi tersebut. Sebagaimana pernah dilangsir dalam Harian ini (Joglosemar, 7/9/2010), pro-kontra terjadi di berbagai pihak. Bagi pihak yang pernah berseberangan dengan Soeharto, menempatkannya sebagai pahlawan adalah sikap yang keliru. Sebaliknya, para pengikut Soeharto jelas mendukung agar pemerintah mengakui sang Presiden ke-2 itu sebagai pahlawan bangsa.
Penulis memilih untuk tidak tergesa-gesa mendefinisikan status Soeharto ini, dalam satu-dua perspektif saja. Selain banyak domain yang harus ditelusuri, kaidah-kaidah epistemologi kepahlawanan, juga patut jadi pertimbangan yang seksama. Cikal epistemologi tersebut meliputi tiga analisis yang sebaiknya ditempuh: Etimologis internal, perbandingan terminologi, dan sosio-historis.
Pertama, pada nalar etimologis kita dapat berpijak pada tiga hal. Pertama, semantik yang dibangun Yonky Karman (2006) arti pahlawan adalah pelopor, yang lebih dari sekadar produk zaman. Maksudnya, kepeloporan dalam hal gagasan dan perbuatan. Kedua, kosakata pahlawan dirangkum dari dwitunggal dialek Sansekerta, pahala dan wan. Pahala adalah bonus dari laku berbudi. Sementara wan berarti seorang lelaki. Ketiga, di samping istilah pahlawan, kerap pula kata patriot digunakan. Patri yang bermakna teguh atau lekat, bersifat cinta tanah air dalam pengertian nasionalisme.
Kedua, mengacu pada Perpres RI Nomor 33/1964 (poin b) yang dimaksud pahlawan adalah warga negara RI yang berjasa membela bangsa dan negara yang dalam riwayat hidup selanjutnya tidak ternoda oleh perbuatan yang membuat cacat nilai perjuangannya. Jika persyaratan “tidak ternoda” mesti dipenuhi, maka mustahil ada orang yang dapat digelari pahlawan. Sebab tiada seorangpun yang sempurna tanpa cela. Masalah ini bisa disederhanakan; banyak atau sedikitkah noda tersebut? Salah satu indikator yang dapat menilik besar-kecil noda seseorang adalah melalui rasionalisasi hukum atau konsensus yang konstitusional.
Ketiga, merujuk pada KBBI (Perum Balai Pustaka: 1995) kata pahlawan berarti orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran. Maka penyematan pahlawan perlu memerhatikan tiga kriteria yaitu: keberanian, pengorbanan, dan membela kebenaran.
“Aku berani maka aku ada” merupakan adagium utama yang harus dipenuhi untuk (men)jadi pahlawan. Aspek “berani” harus ada dalam konteks kebenaran itu sendiri. Misalnya, berani mengambil jalan oposisi di zaman pra-reformasi tentu jauh lebih beresiko ketimbang saat ini.
Persoalannya akan jadi berbeda, ketika kita memasuki dimensi keberanian yang lain. Umpamanya, Yusril Ihza Mahendra dan Herdaman Supandji sama-sama pemberani. Namun aspek manakah yang mengikuti teks kebenaran? Bila keduanya berlandaskan pada nilai yang berseberangan, maka hanya satu yang laik masuk “kandidat” sebagai pahlawan.
Soal aspek pengorbanan. Kini, kian sulit ditemui orang yang mau berkorban dengan sikap nir-pamrih. Ikhlas bertindak dan ketulusan nurani merupakan syarat mutlak untuk memperoleh gelar patriotik. Pengorbanan kini ditelikung oleh cara pikir kapitalistik demi penambahan akumulasi keuntungan.
Sisanya, kriteria membela kebenaran adalah yang paling sukar diukur. Kita tak dapat mensifatinya secara hitam atau putih. Bukankah kebenaran itu tidak absolut? Di masa revolusi menentang penjajahan dan kolonialisasi fisik, definisi benar-salah lebih gampang dirumuskan. Tapi kini situasinya berbeda. Ketika mendukung atau menolak Pasar Bebas Neoliberalisme, mana pihak yang dikategori membela kebenaran?
Soal Ruang dan Waktu
Penulis pernah melihat selarik karikatur yang terdiri dari empat kotak. Pada kotak pertama, tergambar seorang pejuang yang sedang bertempur. Di kotak kedua, dia menang. Pada kotak berikutnya, tampak dia memerintah. Dan pada kotak terakhir, dia sewenang-wenang dan menyalahguna kekuasaannya.
Untuk deskripsi tokoh yang demikian, penulis teringat Presiden Ferdinand Marcos. Dia menerima banyak tanda jasa dari perang melawan fasisme Jepang. Lalu dia menjadi pemimpin yang korup. Hidupnya berakhir tragis, dahulu dipuja-puja sebagai patriot, kemudian dikutuk serta dicaci dan mati menyedihkan.
Kini “dejavu” buat Soeharto, kontroversi tentang dirinya makin bertambah runyam. Apakah bekas Presiden ke-2 itu laik menyandang gelar pahlawan?
Di era Orde Baru ia ditahta sebagai Bapak Pembangunan. Penyebutan itu terasa berkesan untuk segera menggolongkannya sebagai pahlawan. Namun Asvi Warman Adam (2002) menyitir; bukankah sejarah pada masa terdahulu ditulis oleh pemenang (penguasa), dan pada era reformasi prinsip itu telah berubah? Sejarah juga boleh ditulis oleh pihak yang kalah.
Karikatur empat kotak di atas, dapat memuat kisah Soeharto. Ini pelajaran buat kita, bahwa dalam perjalanan hidup seseorang tak ada keajegan. Perubahan adalah niscaya. Yang penting bahwa perubahan mesti mengarah pada perbaikan, bukan sebaliknya. Jadi, konklusinya bukan seseorang itu pahlawan atau tidak, tetapi pada waktu tertentu dia pahlawan, dan pada waktu lain bisa menjadi bukan.
Soal lain misalnya. Seorang ibu tentu pahlawan bagi anak-anak yang dilahirkannya, namun apakah ibu tersebut juga pahlawan buat semua anak yang ada di dunia? Intinya, siapapun bisa menjadi pahlawan bagi kelompok tertentu, kendati bukan bagi kelompok lain. Jawaban seperti ini bisa memperluas cakrawala tentang ruang dan waktu, bahwa wujud kepahlawanan itu bersifat relatif.
Komoditas Politik
Sekali lagi, tak mudah mendefinisikan seseorang sebagai pahlawan atau bukan pahlawan. Kartosuwiryo dan Tan Malaka distempel “bernoda” bukan karena mereka tidak pemberani dan suka pamrih, melainkan visi mereka berujung konflik dengan visi pemerintah yang tengah berkuasa.
Pembangunanisme ala Soeharto bisa dicap sebagai bentuk kepahlawanan bagi sebagian kalangan, tapi dianggap sebagai praktik penindasan bagi kalangan lain. Kerugian akibat oligarki kekuasaan diderita oleh banyak masyarakat, namun keuntungannya pun telah dinikmati oleh sebagian orang.
Persoalannya akan merumit, jika status kepahlawanan hanya melulu terkait soal berani-tak berani, ternoda atau tidak, serta siapa diuntungkan dan dirugikan.
Barangkali, kalau esok partai-partai yang (pernah) dibesarkan Soeharto itu berkuasa penuh, Soeharto dapat dinobatkan jadi pahlawan. Sebaliknya, jika kelompok anti-Soeharto yang memerintah kelak, Soeharto mungkin tak menjadi apa-apa. Inilah yang kita khawatirkan! Bahwa penganugerahan sang pahlawan bukan didasarkan atas kebaktian maupun jasa, melainkan dimanfaatkan sebagai komoditas politik. Pada domain ini, Soeharto adalah korban kepentingan. Soeharto tak akan pernah tenang, jika dirinya terus “diatasnamakan” dan dieksploitasi demi sebuah kepentingan kekuasaan yang terus-menerus rakus.
Maka, haul nyewu ini—yang akan diselenggarakan di berbagai tempat, seperti Masjid At-Tin Jakarta, Kemusuk Bantul, Ndalem Kalitan Solo, Astana Giribangun, dan Monumen Tien Soeharto Karanganyar—seyogianya dilaksanakan sebagai ritual budaya semata, jangan libatkan intrik-intrik politik!
Lukman Wibowo—
Aktivis Gerakan Mahasiswa & Pelajar untuk Reformasi (GEMPUR 1998), mantan Ketua Umum HMI-MPO Unnes Raya.
Kini bekerja sebagai pengusaha Sandal-Sepatu PROLINDO
0 komentar:
Posting Komentar