Falsafah Dibalik
Tembang “Gundul-Gundul Pacul” dan “Lir-Ilir”
(Kajian
Filsafat, Bidang
Wacana, HMI Komisariat Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra
(FPBS) IKIP PGRI Semarang)
Sebagai mahasiswa yang merupakan
seorang intelektual seharusnya senantiasa belajar dari berpikir. Maksudnya,
keberadaan mengenai sesuatu
yang kita ketahui sekarang ini tidak terlepas dari pikiran-pikiran masa lalu.
Orang yang selalu berpikir tidak luput dari orang yang sedang berfalsafah.
Sebagian besar orang, khususnya mahasiswa sering membicarakan filsafat. Tidak
bisa dipungkiri bahwa filsafat-filsafat yang dibahas pada umumnya adalah
filsafat barat dan tidak banyak dari filsafat timur (Islam).
Dalam menghadapi kehidupan yang semakin tidak menentu ada baiknya kalau
kita mencoba merenung, menggali kembali ajaran-ajaran bijak generasi pendahulu
kita berguna bagi kehidupan masyarakat sekarang ini. Ajaran-ajaran bijak
generasi pendahulu salah satunya adalah falsafah Jawa.
Jika kita berbicara mengenai
Jawa, di dalamnya mengulas serta memberikan gambaran (patuladhan) yang menurut ajaran budaya Jawa semuanya harus
dituangkan dengan Sasmita Semu
(teka-teki). Artinya, segala ajaran dan petuah tidak ditunjukkan atau disampaikan secara nyata
(konkret) istilah Jawanya blaka suta.
Oleh karena itu ajaran kejawen tidak dapat langsung dicerna begitu saja. Harus
dijabarkan secara pratitis. Kajian
mengenai kejawen dalam perspektif relasi antara manusia dan dunia serta cosmos
dituangkan dalam beberapa konsep. Begitu pula dengan hukum pinasthi guna, pembuktian hukum pepastian yang berlaku atas
kehendak Hyang Widhi sesukanya.
Kehidupan bagi orang Jawa
adalah gambaran urip/panguripan yang terdapat dalam lahir dan batin merupakan
suatu kenyataan yang tak terpisahkan. Eksistensi Hyang Widhi tergambar dalam
alam pikir “ana tan ana” yang kemudian menjadi pengertian Sangkan Paraning
Dumadi. Saat menggambarkan kehidupan, orang Jawa memberi gambaran watak seperti
lakon dalam dunia pewayangan. Parameter moral budaya Jawa yang tidak jelas
karena bergantung konteks penggunaannya. Untuk memahami watak orang Jawa kita
tidak dapat menggunakan penilaian dari budaya lain. Watak orang Jawa mempunyai
keunikan yang bersifat sebagai relativisme Jawa yang Pluralis moralitas dengan
budaya lain.
Filsafat Jawa dengan pembahasan
falsafah Jawa dasar dimulai dari falsafah dari tembang dolanan. Tembang
“Gundul-Gundul Pacul” dan “Lir-Ilir” sudah tidak asing lagi bagi telinga orang
Jawa pada khususnya. Dua lagu tersebut kelihatan sangat sepele padahal jika
ditelusuri secara mendalam, dua lagu itu memiliki makna yang sangat luas. Landasan Tembang
Jawa ini diciptakan tahun 1400 an oleh Sunan Kalijaga dan teman-temannya yang
masih remaja dan mempunyai arti filosofis yang sangat dalam dan sangat mulia.
Lirik Lagu "Gundul-gundul Pacul"
Gundul-gundul pacul
cul gembelengan
Nyunggi-nyunggi
wakul kul gembelengan
Wakul ngglimpang
segane dadi sak latar
Makna
Gundul adalah kepala plonthos tanpa rambut. Kepala adalah lambang kehormatan,
kemuliaan seseorang. Maka gundul artinya kehormatan yang tanpa mahkota.
Pacul adalah cangkul
yaitu alat petani yang terbuat dari lempeng besi segi empat. Pacul adalah lambang
kawula rendah yang kebanyakan adalah petani.
Gundul Pacul artinya bahwa seorang
pemimpin sesungguhnya bukan orang yang diberi mahkota tetapi dia adalah pembawa
pacul untuk mencangkul, mengupayakan kesejahteraan bagi rakyatnya. Orang Jawa
mengatakan pacul adalah papat kang ucul (empat yang lepas). Artinya bahwa:
kemuliaan seseorang akan sangat tergantung empat hal bagaimana menggunakan mata, hidung, telinga dan
mulutnya.
1. Mata digunakan untuk melihat kesulitan rakyat.
2. Telinga digunakan untuk mendengar nasehat.
3. Hidung digunakan untuk mencium wewangian kebaikan.
4. Mulut digunakan untuk berkata-kata yang adil. Jika empat hal itu lepas,
maka lepaslah kehormatannya.
Gembelengan artinya, besar kepala, sewenang-wenang. Banyak pemimpin
yang lupa bahwa dirinya sesungguhnya mengemban amanah rakyat. Tetapi dia malah:
1. Menggunakan kekuasaannya sebagai kemuliaan dirinya.
2. Menggunakan kedudukannya untuk. berbangga-bangga di antara manusia.
3. Dia menganggap kekuasaan itu karena kepandaiannya.
Nyunggi wakul, gembelengan Nyunggi wakul artinya membawa bakul (tempat nasi) di kepalanya. Banyak pemimpin
yang lupa bahwa dia mengemban amanah penting membawa bakul dikepalanya. Wakul
adalah simbol kesejahteraan rakyat. Kekayaan negara, sumberdaya, Pajak adalah
isinya. Artinya bahwa kepala yang dia anggap kehormatannya berada di bawah
bakul milik rakyat. Kedudukannya di bawah bakul rakyat. Siapa yang lebih tinggi kedudukannya,
pembawa bakul atau pemilik bakul? Tentu saja pemilik bakul. Pembawa bakul hanyalah
pembantu si pemiliknya, dan banyak pemimpin yang masih gembelengan (melenggak lenggokkan kepala
dengan sombong dan bermain-main).
Akibatnya wakul ngglimpang segane dadi sak latar, Bakul terguling dan nasinya tumpah ke
mana-mana.
Jika pemimpin gembelengan, maka
sumber daya akan tumpah ke mana-mana. Dia tak terdistribusi dengan baik.
Kesenjangan ada dimana-mana. Nasi yang tumpah di tanah tak akan bisa dimakan lagi
karena kotor. Maka gagallah tugasnya mengemban amanah rakyat.
Lirik Lagu "Lir-Ilir"
Lir ilir lir
ilir tandure wong sumilir
Tak ijo royo
royo
Tak sengguh penganten anyar
Bocah angon bocah angon penekno
blimbing kuwi
Lunyu lunyu penekno kanggo mbasuh dodotiro
Dodotiro
dodotiro kumintir bedah ing pinggir
Dondomono
jrumatono kanggo seba mengko sore
Mumpung padang rembulane
Mumpung jembar kalangane Yo surak’o surak hiyo
Makna
Lir-ilir,
Lir-ilir (Bangunlah, bangunlah)
Tandure wus
sumilir (Tanaman sudah bersemi)
Tak ijo
royo-royo (Demikian menghijau)
Tak sengguh
temanten anyar (Bagaikan pengantin baru)
Sebagai umat Islam kita diminta bangun. Bangun dari
keterpurukan, bangun dari sifat malas untuk lebih mempertebal keimanan yang
telah ditanamkan oleh Alloh dalam diri kita yang dalam ini dilambangkan dengan
Tanaman yang mulai bersemi dan demikian menghijau. Terserah kepada kita, mau
tetap tidur dan membiarkan tanaman iman kita mati atau bangun dan berjuang
untuk menumbuhkan tanaman tersebut hingga besar dan mendapatkan kebahagiaan
seperti bahagianya pengantin baru.
Cah angon,
cah angon (Anak gembala, anak gembala)
Penekno
Blimbing kuwi (Panjatlah (pohon) belimbing itu)
Lunyu-lunyu
penekno (Biar licin dan susah tetaplah kau panjat)
Kanggo
mbasuh dodotiro (untuk membasuh pakaianmu)
Disini disebut anak gembala karena oleh Alloh, kita
telah diberikan sesuatu untuk digembalakan yaitu HATI. Bisakah kita
menggembalakan hati kita dari dorongan hawa nafsu yang demikian kuatnya? Si
anak gembala diminta memanjat pohon belimbing yang notabene buah belimbing
bergerigi lima buah. Buah belimbing disini menggambarkan lima rukun Islam. Jadi
meskipun licin, meskipun susah kita harus tetap memanjat pohon belimbing
tersebut dalam arti sekuat tenaga kita tetap berusaha menjalankan Rukun Islam
apapun halangan dan resikonya. Lalu apa gunanya? Gunanya adalah untuk mencuci
pakaian kita yaitu pakaian taqwa.
Dodotiro,
dodotiro (Pakaianmu, pakaianmu)
Kumitir
bedah ing pinggir (terkoyak-koyak dibagian samping)
Dondomono,
Jlumatono (Jahitlah, Benahilah!!)
Kanggo sebo
mengko sore (untuk menghadap nanti sore)
Pakaian taqwa kita sebagai manusia biasa pasti
terkoyak dan berlubang disana-sini, untuk
itu kita diminta untuk selalu memperbaiki dan membenahinya agar kelak kita
sudah siap ketika dipanggil menghadap kehadirat Alloh SWT.
Mumpung
padhang rembulane (Mumpung bulan bersinar terang)
Mumpung
jembar kalangane (mumpung banyak waktu luang)
Yo surako
surak iyo!!! (Bersoraklah dengan sorakan Iya!!!)
Sambutlah seruan ini dengan sorak sorai “mari kita
terapkan syariat Islam” sebagai tanda kebahagiaan. Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah
dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan
kepada kamu (Al-Anfal :25)
Kita diharapkan melakukan hal-hal di atas ketika kita masih sehat (dilambangkan dengan terangnya bulan)
dan masih mempunyai banyak waktu luang dan jika ada yang mengingatkan maka
jawablah dengan Iya!!!……
Lir ilir, judul dari
tembang di atas. Bukan sekedar tembang dolanan biasa, tapi tembang di atas
mengandung makna yang sangat mendalam. Tembang karya Kanjeng Sunan ini
memberikan hakikat kehidupan dalam bentuk syair yang indah. Carrol McLaughlin,
seorang profesor harpa dari Arizona University terkagum kagum
dengan tembang ini, beliau sering memainkannya. Maya Hasan, seorang pemain
Harpa dari Indonesia pernah mengatakan bahwa dia ingin mengerti filosofi dari
lagu ini. Para pemain Harpa seperti Maya Hasan (Indonesia), Carrol McLaughlin
(Kanada), Hiroko Saito (Jepang), Kellie Marie Cousineau (Amerika Serikat), dan
Lizary Rodrigues (Puerto Rico) pernah menterjemahkan lagu ini dalam musik Jazz
pada konser musik “Harp to Heart“.
Disampaikan oleh: Edi Purwanto (Komunitas "Cah Angon" IKIP Veteran Semarang)
pada Kajian
Filsafat, Bidang
Wacana, HMI Komisariat Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra
(FPBS) IKIP PGRI Semarang, Kamis, 03 Oktober 2013 di Masjid Nurul Huda IKIP
PGRI Semarang.
KUA Bidang Wacana: Welas
Staf : Sukarno, Siti
Koirotun Nisa, Musta’anah, Nanda