Oleh: Redha Vahlevi (HMI MPO UNDIP)
Untuk kepentingan artikel ini, kita bagi pembahasan
kita pada 3 tahap. Pada tahap yang pertama kita akan membahas Bank sentral dan
fungsi-fungsinya, pada tahap kedua kita akan membahas kondisi ekonomi saat ini.
Selanjutnya pada tahap ketiga, kita akan membahas tanggung jawab Bank Indonesia
dengan kondisi ekonomi yang terjadi saat ini agar tidak menyimpang dari
fungsi-fungsinya.
Bank
Sentral adalah aktor utama yang terpenting diantara para aktor-aktor dalam
pasar keuangan yang penting di dunia. Bank sentral dapat melakukan
tindakan-tindakan yang akan mempengaruhi tingkat suku bunga acuan bank, jumlah
penyaluran kredit, dan jumlah uang yang beredar yang dimana memiliki pengaruh
langsung tidak hanya terhadap pasar keuangan, tapi juga berpengaruh langsung
terhadap inflasi dan pengeluaran agreggat.
Bank Indonesia adalah Bank Sentral Negara Republik
Indonesia yang memiliki beberapa tujuan utama yaitu untuk mencapai stabilitas
harga, mengawasi lalu lintas Neraca Perdagangan, Penyediaan lapangan kerja,
pertumbuhan ekonomi,stabilitas suku bunga, stabilitas kurs, dan stabilitas
pasar keuangan melalui kebijakan moneternya.
Bank
Indonesia menjalankan operasi moneter demi mencapai tujuan-tujuan utamanya, yaitu
operasi pasar terbuka dimana Bank Indonesia membeli surat berharga di bank-bank
agar menambah jumlah uang yang beredar dan memutar roda investasi. Kebijakan
diskonto yang merupakan kebijakan dimana bank yang mengalami kesulitan
pendanaan akan dibantu oleh bank sentral untuk menghidnari kebangkrutan bank
yang berdampak sistemik bagi perekonomian, dan kebijakan giro wajib minimum.
Kita
akan membahas kondisi keuangan negara Indonesia. Dalam sebulan terakhir,
perkembangan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS makin mengkhawatirkan.
Sepanjang tahun 2013, nilai rupiah telah terdepriasi lebih dari 10%. Di pasar spot antarbank, rupiah bahkan menyentuh
level Rp. 11.650 per Dolar AS. Sementara itu, beberapa bank nasional sudah
mematok nilai tukar rupiah pada level lebih tinggi. Pada kurs tengah Bank
Indonesia, rupiah telah mencapai level Rp. 11.125 per Dollar AS. Kenaikan
Dollar akan menyebabkan kenaikan tingkat suku bunga, apabila tingkat suku bunga
naik, maka sektor riil akan terpukul dan agregat economy activity akan runtuh.
Tingginya tingkat suku bunga juga akan membuat sentimen negatif menyerang
negara kita, karena tingginya tingkat suku bunga mengindikasikan tingginya
tingkat ketidak pastian dan risiko di negara kita.
Berbagai
sentiment negatif telah menyelimuti perekonomian Indonesia sehingga memicu
pelemahan rupiah. Namun, kekhawatiran utama pasar adalah pada empat defisit
neraca perdagangan yang terjadi pada neraca transaksi berjalan, neraca jasa dan
neraca pembayaran, defisit APBN, dan defisit perdagangan. Belum lama ini, Badan
Pusat Statistik (BPS) merilis laporan neraca perdagangan bulanan Indonesia yang
defisitnya makin membesar.
Defisit
neraca perdagangan Indonesia pada Juli 2013 membengkak menjadi US$ 2,31 miliar,
lebih dari dua kali lipat defisit di bulan sebelumnya sebesar US$ 880 juta.
Menurut data BPS, sepanjang 2013, sampai dengan Juli, neraca perdagangan
bulanan Indonesia hanya sekali mencatatkan surplus yaitu pada bulan Maret, dan
baru sampai Juli defisit perdagangan 2013 sudah mencapai 3,5 kali lipat defisit
2012.
Secara
teori, seharusnya pelemahan kurs rupiah terhadap US dollar akan memberikan
pengaruh positif terhadap ekspor Indonesia. Namun, dengan struktur ekspor
Indonesia yang masih didominasi oleh bahan mentah, pelemahan nilai tukar tidak
mampu mendorong ekspor Indonesia. Hal itu karena bahan mentah tidak memiliki
nilai tambah yang besar untuk dijual, berbeda dengan barang jadi yang dapat
dijual dengan nilai tambah yang tinggi.
Dalam
teori ekonomi internasional, pertumbuhan ekonomi untuk negara yang memiliki
struktur ekspor bahan mentah akan menghancurkan negara itu sendiri dalam jangka
panjang. Pertumbuhan ekonomi pada negara industri yang memiliki struktur ekspor
barang akhirlah yang akan berdampak baik pada negara itu. Sementara itu
Indonesia mengimpor barang jadi yang telah memiliki nilai tambah yang besar,
sehingga hal ini menyebabkan defisit neraca perdagangan, neraca pembayaran, dan
neraca transaksi berjalan.
Selain
tekanan neraca perdagangan, berbagai sentimen negatif lainnya juga turut
menyebabkan pelemahan rupiah. Rencana The Fed, Bank Sentral AS, untuk
mengurangi stimulus moneternya secara berkala telah mengguncang nilai tukar dan
pasar keuangan di banyak negara. Kebijakan stimulus ini mengakibatkan penarikan
dana besar-besaran karena takut bahwa The Fed akan melaksanakan kebijakan tappering off-nya.
Isu-isu
global seperti penyerangan terhadap Suriah juga turut menyebabkan nilai rupiah
merosot, karena penyerangan Suriah akan mengakibatkan harga minya bergejolak,
apabila harga minyak bergejolak atau naik, maka inflasi akan semakin tinggi
yang mengakibatkan nilai rupiah semakin melemah lagi.
Selanjutnya
kita akan membahas paket-paket kebijakan Bank Indonesia dalam mengatasi kondisi
keuangan negara yang sedang mengalami gejala yang tidak stabil. Ada Enam
kebijakan yang dibuat oleh Bank Indonesia ;
1. Memperluas
tenor instrument term deposit valas dari sebelumnya 7 hari, 14 hari, 30 hari
menjadi 1 hari sampai 1 tahun. Perluasan ini dimaksudkan untuk pendalaman pasar
keuangan, khususnya valuta asing. Namun kebijakan ini kurang efektif karena
deposit bisa ditarik keluar dalam waktu 1 hari, jadi sewaktu-waktu bisa dana
asing yang masuk melalui deposito dapat keluar kembali dengan mudah. Jadi hal
ini kurang efektif untuk menahan valuta asing yang ditarik melalui deposito. Padahal
cadangan devisa kita sedang mengalami penurunan yang hampir sama kondisinya
dengan kondisi cadangan devisa pada krisis tahun 1997. Pada tahun 1997 cadangan
devisa kita senilai 21 miliar dollar yang dapat digunakan untuk 5,3 bulan impor.
Saat ini cadangan devisa kita senilai 94 miliar dollar US yang dapat digunakan
hanya untuk 5,2 bulan impor.
2. Kedua
memperluas underlying atau jaminan dalam pembelian valas di atas 100 ribu
dollar AS bagi para eksportir. Perluasan tersebut diaplikasikan dalam bentuk
perpanjangan masa berlaku underlying pembelian valas menjadi maksimal enam
bulan. Underlying itu bisa digunakan untuk beberapa kali transaksi pembelian
valas dengan nilai maksimal sesuai underlying.
3. Memperluas
ketentuan utang luar negeri (ULN) jangka pendek bank. Dalam aturan sebelumnya,
saldo harian ULN jangka pendek dibatasi maksimal 30 persen dari modal bank.
4. Bank
sentral akan merelaksasikan aturan instrumen derivatif khususnya swap dengan
membolehkan bank meneruskan transaksi pihak terkait ke bank sentral. Dimana
sebelumnya bank hanya bisa melakukan reswap ke bank lain. Hal ini akan
menginovasi instrumen derivatif.
5. Bank
Sentral akan menerbitkan instrumen sertifikat deposito Bank Indonesia (SDBI),
yang merupakan instrumen moneter rupiah yang dapat diperdagangkan antar bank.
Instrument SDBI diharapkan memperdalam pasar uang khususnya denominasi rupiah
ditengah kondisi keuangan negara saat ini.
6.
Bank
Indonesia menaikkan tingkat suku bunga acuan Bank menjadi 7,5%. Hal ini
dilakukan untuk menahan Dollar AS yang ingin ditarik kembali oleh pemiliknya di
AS.
Kenaikan
suku bunga secara mendadak akan menghantam sektor riil padahal untuk saat ini
sektor ekspor riil memiliki kesempatan untuk memperbaiki neraca pembayaran
karena Rupiah melemah dan harga barang ekspor semakin murah sehingga dapat
bersaing dengan mudah dengan barang ekspor lainnya.
Suku
bunga harus kembali turun perlahan karena kenaikan suku bunga akan
mengakibatkan forward discount (Interest
rate Parity Theory) yang akan menyebabkan rupiah terdepresiasi tajam karena
kesenjangan suku bunga. Kenaikan suku bunga juga merupakan indikasi tingginya
ketidakpastian dan risiko di negara tersebut, yang nantinya akan menyebabkan
semakin tingginya sentimen buruk terhadap perekonomian dan rupiah.
Sahabat
Anda
Redha Vahlevi