Mengurai Relasi Tuhan, Alam dan Manusia melalui Perspektif Ekofeminisme
Ekofeminisme adalah sebuah istilah baru utuk gagasan lama
yakni cabang feminisme gelombang ke tiga, yang tumbuh dari berbagai gerakan
sosial-gerakan feminis, perdamaian dan ekologi di akhir tahun 1970-an dan awal
1980-an. Istilah Ekofeminisme atau Ecofeminism
pertama kali dipergunakan oleh Francoise D’ Eaubonne dalam bukunya Le Feminisme ou la Mort (Feminisme atau
Kematian), namun baru menjadi populer seiring munculnya berbagai protes dan
aktivitas menentang perusakan lingkungan hidup, yang semula dipicu oleh bencana
ekologis yang terjadi secara berulang-ulang. Terminologi ini dihadirkan kembali
oleh Vandhana Shiva dan Maria Mies dalam bukunya “Ecofeminism, Perspektif Gerakan Perempuan & Lingkungan” sebagai
kritik mereka terhadap pendekatan pembangunan dalam proses globalisasi yang
tidak memperhatikan keberlangsungan ekologis sekaligus meminggirkan salah satu
entitas manusia di dalamnya, yaitu perempuan.
Pergerakan ekofeminis yang pertama dimulai
sekitar tahun 1974 oleh sekelompok perempuan di utara India, mereka menamakan
dirinya ”Chipko Movement”. Mereka memprotes penebangan hutan yang
dilakukan oleh kolonial Inggris. Gerakan Chipko terinspirasi dari kepahlawanan perempuan untuk
menyelamatkan lingkungan terhadap titah sang raja, Abhay Singh untuk menebang
pohon Khejri 300 tahun lalu di Desa Bishnoiu, Rajastan India. Mereka melakukan
protes dengan memeluk pohon Khejri, akibatnya 363 (tiga ratus enam puluh tiga)
penduduk desa tewas terbunuh.
Ekofeminisme tidak hanya
mengaitkan perempuan dan lingkungan, tetapi juga spiritualitas. Spiritualitas
ini yang lenyap dalam semua kosa kata feminisme barat. Menurut Vandana Shiva,
feminisme barat lahir dari lingkungan pengetahuan modern yang maskulin dan meniscayakan
dualism dengan mewajibkan
keterpisahan antara subyek yang meneliti (alam semesta). Karena
keterpisahan itulah tercipta jarak antara manusia dan alam. Alam semesta pun
akhirnya diperlakukan sebagai obyek, yang bahkan bisa diperlakukan semena-mena.
Menurut Sachiko Murata dalam bukunya “The Tao of Islam”, eksploitasi terhadap
alam dan kekerasan antar manusia sebagai akibat manusia mengidentifikasi
dirinya dengan “The Father God”,
sebagai yang kuasa aktif, terpisah, independen, jauh dan dominan. Sebaliknya
manusia tidak mengidentifikasi dirinya sebagai The Mother God sebagai yang
dekat, kasih, penerima, pemelihara, pasif, dan berserah diri. Dengan kerangka
ajaran ekofeminisme, hubungan antar sesama manusia dengan alam bukan hubungan
ekploratif melainkan hubungan kasih sayang dan humanis.
Ekofeminisme adalah kata ajaran
baru di dalam kajian keislaman. Secara istilah saja, terdengar asing di telinga
umat islam. Akan tetapi, secara ide, konsep ekofeminisme sama sekali tidak
bertentangan dengan ajaran islam sebagaimana termaktub di Quran dan Hadits,
Allah telah menjamin kesetaraan antar makhluknya, baik dalam eksistensi, peran,
tugas dan tanggung jawab. Perintah untuk menjaga lingkungan hidup dapat kita
lihat dalam QS. Al-Qhosos ayat 77 “Dan carilah pada apa yang telah
dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah
melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi. Dan berbuat baiklah (kepada orang
lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat
kerusakan di (muka) bumi, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berbuat kerusakan”.
Ayat di atas telah mengabarkan bahwa
manusia sebagai Khalifah (al insan), tak layak jika tak melindungi lingkungan.
Khalifah (dalam feminisme Islam, diartikan setiap insan, setiap manusia-tidak
terbatas “hanya laki-laki”) mengemban amanat di dalam dirinya, tanggung jawab
sesama manusia dan terhadap lingkungan, apapun kelas sosial-ekonominya. Dan
perempuan merupakan manifestasi dari Bumi, yang tersia-siakan dalam sejarah,
dan yang tidak boleh disia-siakan dalam ekofeminisme Islam. Sebagaimana ungkapan
dalam Hadits “Sesungguhnya dunia ini
sangat manis dan indah menarik perhatian dan Allah menyerahkannya kepada kamu
untuk melihat bagaimana kamu berbuat. Karena itu berhati hatilah dalam
menghadapi dunia dan berhati hatilah pada perempuan. Sesungguhnya pertama
fitnah ujian Bani Israil karena wanita.” (HR.Muslim).
Semoga edisi Majalah Bersuara kali ini memberikan wawasan tentang konsep
ekofeminisme dan menggali nilai-nilai spiritualitas ekofeminisme dalam mengurai
relasi antara Tuhan, Alam, dan Manusia dalam perspektif Ekofeminisme. Semoga isu
ekofeminisme dapat dikembangkan dalam kajian-kajian khususnya bagi kader HMI
MPO sehingga dapat menjadi agen dalam menyelamatkan lingkungan hidup dan
menjadi sumber inspirasi bagi masyarakat muslim. Selamat membaca!!
Semarang, Oktober 2013
Noor Rochman
Direktur Lapmi
0 komentar:
Posting Komentar