Mengurai Relasi Tuhan, Alam dan Manusia melalui Perspektif Ekofeminisme
Ekofeminisme adalah sebuah istilah baru utuk gagasan lama
yakni cabang feminisme gelombang ke tiga, yang tumbuh dari berbagai gerakan
sosial-gerakan feminis, perdamaian dan ekologi di akhir tahun 1970-an dan awal
1980-an. Istilah Ekofeminisme atau Ecofeminism
pertama kali dipergunakan oleh Francoise D’ Eaubonne dalam bukunya Le Feminisme ou la Mort (Feminisme atau
Kematian), namun baru menjadi populer seiring munculnya berbagai protes dan
aktivitas menentang perusakan lingkungan hidup, yang semula dipicu oleh bencana
ekologis yang terjadi secara berulang-ulang. Terminologi ini dihadirkan kembali
oleh Vandhana Shiva dan Maria Mies dalam bukunya “Ecofeminism, Perspektif Gerakan Perempuan & Lingkungan” sebagai
kritik mereka terhadap pendekatan pembangunan dalam proses globalisasi yang
tidak memperhatikan keberlangsungan ekologis sekaligus meminggirkan salah satu
entitas manusia di dalamnya, yaitu perempuan.


Ekofeminisme adalah kata ajaran
baru di dalam kajian keislaman. Secara istilah saja, terdengar asing di telinga
umat islam. Akan tetapi, secara ide, konsep ekofeminisme sama sekali tidak
bertentangan dengan ajaran islam sebagaimana termaktub di Quran dan Hadits,
Allah telah menjamin kesetaraan antar makhluknya, baik dalam eksistensi, peran,
tugas dan tanggung jawab. Perintah untuk menjaga lingkungan hidup dapat kita
lihat dalam QS. Al-Qhosos ayat 77 “Dan carilah pada apa yang telah
dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah
melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi. Dan berbuat baiklah (kepada orang
lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat
kerusakan di (muka) bumi, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berbuat kerusakan”.
Ayat di atas telah mengabarkan bahwa
manusia sebagai Khalifah (al insan), tak layak jika tak melindungi lingkungan.
Khalifah (dalam feminisme Islam, diartikan setiap insan, setiap manusia-tidak
terbatas “hanya laki-laki”) mengemban amanat di dalam dirinya, tanggung jawab
sesama manusia dan terhadap lingkungan, apapun kelas sosial-ekonominya. Dan
perempuan merupakan manifestasi dari Bumi, yang tersia-siakan dalam sejarah,
dan yang tidak boleh disia-siakan dalam ekofeminisme Islam. Sebagaimana ungkapan
dalam Hadits “Sesungguhnya dunia ini
sangat manis dan indah menarik perhatian dan Allah menyerahkannya kepada kamu
untuk melihat bagaimana kamu berbuat. Karena itu berhati hatilah dalam
menghadapi dunia dan berhati hatilah pada perempuan. Sesungguhnya pertama
fitnah ujian Bani Israil karena wanita.” (HR.Muslim).
Semoga edisi Majalah Bersuara kali ini memberikan wawasan tentang konsep
ekofeminisme dan menggali nilai-nilai spiritualitas ekofeminisme dalam mengurai
relasi antara Tuhan, Alam, dan Manusia dalam perspektif Ekofeminisme. Semoga isu
ekofeminisme dapat dikembangkan dalam kajian-kajian khususnya bagi kader HMI
MPO sehingga dapat menjadi agen dalam menyelamatkan lingkungan hidup dan
menjadi sumber inspirasi bagi masyarakat muslim. Selamat membaca!!
Semarang, Oktober 2013
Noor Rochman
Direktur Lapmi
0 komentar:
Posting Komentar