Bukan cerita...
Bukan puisi..
Bukan drama..
Bukan pula balada yang ditulis layaknya sang pujangga.
Akan tetapi ini hanya sebatas sarapanku di pagi hari, dengan
satu ide yang
mengawali semangatku...
Nurul Umi (Komisariat FPBS IKIP PGRI Semarang)
Jumat,
24 Januari 2014
Butuh waktu lama untuk menuju kampus
keikhlasan. Yah, keikhlasan itu yang selalu dikatakan oleh Bapak padaku. Entah
berapa besar keikhlasan itu. Yang pasti, aku selalu saja mendapatkan
bisikan-bisan kata itu mampir di telingaku. Pagi, siang, sore, atau bahkan
malam sekalipun. Aku sendiri belum pernah menemukan atau menyaksikan keikhlasan
itu dibuat. Apakah terbuat dari batu marmer? Atau sebuah bongkahan tanah yang
kemudian berubah wujud menjadi keikhlasan. Ataukan ikhlas itu terbuat dari
serat-serat benang sutra yang kemudian dirajut sedemikian rupa sehingga menjadi
ikhlas. Aku sendiri tak tahu bagaimana ikhlas itu teripta. Tak tahu kapan
ikhlas itu dapat kita temukan dalam waktu satu detik, menit, jam, hari, minggu,
atau bisa juga tahun.
Terkadang aku melongok ke langit
luas. Dan kupandangi sinar demi sinar yang memancarkan kehangatannya di malam
hari. Namun tak juga ku temukan ikhlas itu. Hanya sebongkah cahaya terang yang
muncul dari bulan dan kedipan bintang-bintang kecil. Lalu, aku mencoba bertanya
pada langit yang mulai membiru. Dimanakah aku harus menemukan keikhlasan itu.
Sering pula aku bertanya pada desiran angin yang merasuk dalam sukmaku melalui
kelenjar kulitku. Tak jarang pula aku bertanya pada rumput-rumput yang berjejer
ria di pelantaran rumah. Mereka menyambutku, namun tak ada satupun yang
menjawab dimana aku harus menemukan dan mendapatkan ikhlas. Sampai pada suatau
titik, aku bertanya pada Robbku. Mengapa aku harus memiliki ikhlas walau hanya
sebatas saja? Lalu dimanakah aku mendapatkannya?
Kalimat yang tak pernah terlupa dari
perbincanganku dengan Bapak adalah, “ Miliki ikhlas, walau terbatas “. Yah,
kata-kata itu lagi yang selalu aku ingat dan aku dengar. Tak ada kata-kata
lainnya lagikah? Atau memang Bapak sudah kehilangan banyak kata untuk
menasehatiku. Akh, rasanya tidak mungkin Bapak seperti itu padaku, anak
kesayangannya. Kholisoh, itu nama yang diberikannya padaku dua puluh tahun yang
lalu. Nama yang indah dan memiliki makna yang bagus pula. Tak jelas bagaimana
proses nahwu dan shorofnya, yang pasti arti dari nama itu mengandung
keikhlasan.
Ya Robb..
Ikhlaskah hati ini menerima
kehancuran batinku? Ikhlaskah aku menerima semua kelalaian hati ini? Rasanya
tidak mungkin. Aku belum bisa menemukan makna keikhlasan yang sesungguhnya. Aku
ikhlas menerima penghinaan semua teman-temanku karena aku tidak cantik seperti
mereka. Aku ikhlas kehilangan dia, orang yang paling aku sayang setelah
orangtuaku. Aku ikhlas melepas kepergiannya menuju keabadian dengan cintanya.
Aku ikhlas mendapatkan sebuah penghianatan yang sampai sekarang masih membekas di hatiku. Itukah yang dinamakan keikhlasan?
Aku harus bertanya pada siapa lagi?
Namun, renungan malamku bersama
kesunyian telah sedikit merubah keegoisanku. Bukan dengan Orangtua, Guru,
Kiyai, Ustadz, ataupun Kekasih aku bisa mendapatkan sebuah makna keikhlasan
yang sesungguhnya. Tapi dari hati. Hatilah yang mampu mengukur seberapa
banyakkah nilai ikhlas yang sudah kita miliki. Tak perlu banyak waktu untuk
menuju kampus keikhlasan yang abadi. Hanya saja butuh waktu lama untuk
benar-benar memahaminya.
Yah, hanya pada Robbku sajalah aku
bisa menemukan semuanya. Menemukan arti ikhlas, arti kesanggupan, arti
kesabaran, dan memaknai berapa lama jarak dan waktu yang harus aku tempuh untuk
mendapatkan semua itu.