Oleh: Hasan Fuadi
Sudah menjadi lumrah setiap komunitas atau yang lebih canggih lagi
“organisasi” mempunyai nama, apapun namanya. Karena mungkin kurang nyaman jika
dianggap abstrak, kabur, dan mudah menimbulkan multipersepsi, maka timbul
hasrat untuk menyatakannya dengan nama. Sesuai namanya, HMI (himpunan mahasiswa
islam) mengembangkan, membina dan menyatukan dua hal sentral yang menjadi usaha
perkaderannya; mahasiswa (kampus/simbol intelektual tertinggi) dan islam
(masjid/simbol pusat spiritual) dengan output perjuangannya melanjutkan jejak
keberhasilan akal dan hati mewujudkan puncak-puncak peradaban manusia yang
diridhoi Allah SWT.
Dengan materi seperti itu, perlu sejumlah upaya agar tujuan perkaderan dan
perjuangannya dapat dicapai. Kemampuan orang-orang yang berada didalamya
(kader, pengurus, pengader) dalam menyerap dan menguasai materi mesti didorong
sampai maksimal. Bayangan kerumitan dan kesukaran ditembus melalui berbagai
cara. Dengan memanfaatkan buku-buku, diskusi dan berfikir tekun seakan tak
pernah berhenti.
Sering terasa begitu susah mencari strategi yang pas untuk melakukan
perkaderan dan perjuangan ditengah arus pragmatisme dan hedonisme yang begitu
kuat melanda dunia mahasiswa. Dalam kondisi seperti itu, sebagai penghuni
kampus yang sarat tradisi ilmiah, kita pun perlu melakukan pembacaan kembali,
riset, membuat kesimpulan, dan berfikir lebih terbuka dalam mencari
strategi-strategi baru yang kontekstual. Sudah hal yang biasa kalau
tawaran-tawaran baru akan menimbulkan kontra, namun hal tersebut dapat
diselesaikan dengan sikap mulia untuk saling menghormati, rendah hati, namun
tetap objective, kritis, dan ilmiah. Ini semua hanyalah sebagian sikap
dan suasana yang seharusnya berkecamuk di lingkungan HMI, sukar dijabarkan
secara utuh dan lengkap dalam sebuah visi, misi apalagi nama. Namun sangat
penting sebagai ruh yang menjiwai kehidupan HMI.
Yang menjadi pertanyaan adalah seberapa kuat nafas ruh yang disebut diatas
dihirup oleh orang-orang yang berada di HMI? Di HMI lazim berlangsung
pertukaran pikiran yang bisa mendalam dan sungguh-sungguh, di sekretariat, di
kampus, saat minum kopi di kucingan, angkutan umum, atau kesempatan lain. Dari
situ kerap diperoleh ide guna menembus kemacetan perkaderan dan perjuangan yang
ada di HMI atau sekedar sekelumit pencerahan. Inilah kehidupan HMI, bukan saja
ada peningkatan kualitas diri, melainkan juga menciptakan atmosfer kondusif,
suasana yang bisa membuat kader serasa berdosa jika tidak ikut “berdarah-darah”
menggarap kualitas diri dan ikut dalam perjuangan HMI.
Namun dikaitkan dengan kriteria keberhasilan dan pertanggungjawaban, bisa
saja tradisi di atas tak dinilai, yang dinilai adalah seberapa kali
menyelenggarakan agenda formal ini atau itu,yang harus ada undangan tertulis,
daftar hadir dan pesan perjuangan, maupun laporan. Bukan yang informal meski
bermanfaat besar. Mungkin ini salah satu penyebab jika sekarang terasa susut
nilai-nilai kader HMI yang unggul.
*Tulisan pernah dimuat di Majalah "BerSUARA" Lapmi Cabang Semarang Edisi XXV Oktober 2013/1434
0 komentar:
Posting Komentar