Selasa, 23 Juni 2009
DARI KEBANGKRUTAN MENUJU KABANGKITAN
Oleh: M. Qomarul Huda*
Tanggal 20 Mei tahun ini, kita bangsa Indonesia memperingati 101 tahun Kebangkitan Nasional. Bagi seorang manusia, usia 101 tahun merupakan sebuah usia tua yang seharusnya dapat membuatnya semakin matang dan dewasa. Namun hal ini tampaknya belum menghinggapi negara Indonesia .
KONDISI BANGSA INDONESIA
Setiap tahun tahun (termasuk tahun ini) kita selalu memperingati Hari Kebangkitan Nasional dengan berbagai kegiatan dan seminar, talk show, diskusi sampai berbagai macam perlombaan. Namun apakah sampai saat ini kita masih mau mendalami dan memaknai refleksi di balik peristiwa kebangkitan nasional? Memperingati Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 2009, ada baiknya kita renungkan apa yang pernah bangsa raih pada masa lalu dan apa yang tengah dihadapi sekarang ini, kemudian untuk bersikap di masa-masa yang akan datang, baik terhadap diri sendiri, terhadap lingkungan sosial, serta untuk bangsa dan negara. Dengan rentan waktu 101 tahun coba kita renungkan bersama bagaimana kondisi bangsa bangsa Indonesia saat ini. Diakui atau tidak bangsa Indonesia saat ini sedang mengalami keterpurukan di berbagai bidang yang tidak kunjung ditemukan formula yang tepat untuk mengatasinya. Mungkin saja jika para pelopor pendirian Boedi Oetomo (tanggal lahirnya ditetapkan sebagai Harkitnas) masih hidup saat ini, mereka akan sedih dan kecewa dengan keadaan ini.
Lihatlah kondisi riil bangsa Indonesia saat ini. Sektor perekonomian tampaknya belum menunjukkan tanda-tanda perbaikan yang signifikan. Hutang negara yang semakin menumpuk menjadi persoalan usang yang belum bisa tertangani. Ketergantungan negara kita terhadap IMF (International Monetary Fund) dan Bank Dunia (World Bank) seakan menjadi blunder sehingga masih sulit untuk dapat keluar dari bayang-bayang kerangkeng cengkeraman keduanya. Ekonomi kita seperti disetir dan dikendalikan oleh kedua organisasi tersebut, sehingga menempatkan kita pada kondisi yang serba sulit. Sistem ekonomi kapitalispun semakin merajalela.. Kita bandingkan pada era ’80-an yang menjadi masa ”keemasan” bagi Indonesia termasuk di bidang ekonomi. Kondisi saat itu dapat dikatakan cukup stabil. Indonesia cukup disegani di kawasan Asia san sampai mendapat predikat ”Macan Asia”. Sebuah sebutan yang menjadi bukti pengakuan negara lain terhadap kemajuan Indonesia saat itu.
Akan tetapi kondisi tersebut berbanding terbalik dengan saat sekarang. Bangsa Indonesia ibarat ”macan ompong” yang kurang diperhitungkan di tengah-tengah percaturan dunia. Berbagai persoalan yang cukup pelik datang silih berganti menghantam. Dalam hal sumber daya alam, kita sebenarnya dianugrahi kekayaan alam yang sangat melimpah ruah. Dari hasil tambang, laut dan darat yang semuanya itu membuat iri negara lain. Cadangan minyak kita adalah sekitar 97 milyar barel. Tapi kita hanya bisa melihat kekayaan yang seharusnya dapat dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia justru dikeruk dan diangkut ke luar negeri. Contoh konkretnya adalah Exxon Mobile, Newmont Minahasa Raya, dan perusahaan tambang raksasa; PT. Freeport.
PENDIDIKAN MASIH ”DIANAK-TIRIKAN”
Kenaikan harga minyak dunia ternyata juga memukul kondiri perekonomian. Pemerintah pernah mengambil kebijakan yang sangat ditentang rakyat yaitu menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) sampai 30%. Keputusan ini jelas semakin memberatkan beban yang diderita rakyat, apalagi sebelumnya sudah dipusingkan dengan harga sembako yang semakin naik tidak mau turun. Setali tiga uang dengan nasib pendidikan kita. Berdasarkan penelitian yang dialkukan oleh Trends International Methematics and Science Study (TIMSS) dan Programe for International Student Assessment (PISA) menunjukkan bahwa prestasi akademis siswa Indonesia tampaknya masih berada di peringkat bawah (Kompas, 25/4/08). Begitu juga dengan survey yang dilakukan oleh united nation for development programe (UNDP), Indonesia menduduki peringkat 111 dari 172 negara di dunia dalam hal kualitas sumber daya manusianya
Angka putus sekolah semakin bertambah dari tahun ke tahun, banyak gedung-gedung sekolah yang rusak san tidak layak pakai. Dengan kenyataan seperti ini harus diakui bahwa pendidikan kita kalah jauh dengan negara lain bahkan dikawasan Asia Tenggara. Di saat yang lain sudah setapak lebih maju, pendidikan kita boleh dikatakan masih jalan di tempat. Saat ini kita dibelit berbagai persoalan yang dialami dunia pendidikan, mulai dari pemotongan anggaran, sampai kontroversi tentang UN. Pemerintah masih kurang memprioritaskan sektor pendidikan. Padahal kualitas pendidikan dapat menjadi tolak ukur maju tidaknya suatu negara.
KRISIS MULTI DIMENSI
Segala macam problematika manusia ada di Indonesia. Rasanya tidak akan ada yang menyenangi dengan keadaan Indonesia saat ini. Ada yang bilang politik kita hancur lebur. Pilkada banyak memicu kerusuhan, pemilu legislatif kemarin juga carut marut dengan daftar pemilih. Dalam hal moral,temuan yang mencengangkan adalah Indonesia merupakan negara pornografi terbesar kedua di dunia setelah Rusia. Indonesia merupakan negara dengan mayoritas penduduknya muslim, tapi dimasuki dengan berbagai aliran sesat yang dapat mengancam akidah.
Kita saat ini berada di tengah-tengah krisis. Parahnya yang melanda merupakan krisis multidimensi yang terjadi di berbagai bidang. Krisis kepercayaan. Sulit sekali kita mencari pemimpin yang benar-benar amanah dan dapat dipercaya. Janji-jani manis yang lantang diucapkan saat kampanye seolah hanya sekedar bumbu penyedap yang lama-kelamaan akan hilang dengan sendirinya. Setelah menjadi pemimpin, kebijakan yang memihak rakyat seakan terabaikan, sehingga menimbulkan mosi tidak percaya dari rakyat. Yang cukup memprihatinkan bangsa ini juga dilanda krisis moral yang cukup hebat. Para pejabat seperti tidak punya nurani lagi untuk melakukan tindakan korupsi. Uang rakyat yang sangat besar jumlahnya ”diamankan” demi memenuhi kepentingan perutnya sendiri. Mereka sudah tidak memperdulikan lagi nasib rakyat yang telah terjebak dalam cengkeraman kemiskinan. Mental koruptor dari para kepala daerah mengakibatkan good governance (manajemen pemerintahan yang baik) yang seringkali digembar-gemborkan menjadi sulit untuk diwujudkan.
KEADILAN MASIH SULIT DITEGAKKAN
Ironisnya kita juga masih belum bisa keluar dari yang namanya krisis hukum dan keadilan. Sulitnya mencari sebuah keadilan di negeri yang terdiri dari berbagai suku bangsa ini. Kasus pelanggaran HAM yang telah terjadi di masa silam masih banyak yang belum terselesaikan. Kasus Timor-Timur, Operasi Militer di Aceh, penculikan aktivis mahasiswa, tragedi Semanggi I dan II, sampai pembunuhan aktivis HAM; Munir, merupakan rentetan fakta buramnya penegakan hukum selama ini. Para koruptor yang ”menilep” uang negara milyaran rupiah mendapat ganjaran ringan, itupun masih mungkin mendapat tahanan yang ”VIP”. Sementara maling ayam yang terpaksa mencuri untuk menghidupi keluarganya mendapat hukuman yang berat, ditambah berupa pukulan bahkan sampai meninggal. Jika merenungkan, apakah ketiakadilan ini akan terus berlangsung?
BANGKIT DENGAN NASIONALISME?
Bulan Mei ini merupakan bulan yang spesial. Selain memperingati 101 tahun kebangkitan nasional, juga merupakan peringatan 11 tahun reformasi. Dua momentum ini hendaknkya menjadi refleksi bagi kita untuk bangkit dari krisis, bangkit dari keterpurukan. Mungkin yang dapat dilakukan pertama adalah berusaha untuk meningkatkan dan membangkitkan kesadaran berbangsa serta semangat nasionalisme. Dengan memiliki nasionalisme yang tinggi, kita akan mempunyai tameng untuk menahan segala rongrongan dan intervensi bangsa asing. Walaupun saat ini sedang mengalami krisis multidimensi, namun diharapkan akan mempertebal semangat nasionalisme sehingga bersama-sama mencari jalan keluar yang tepat untuk dapat keluar dari krisis. Dr. Asvi Warman Adam; sejarawan dan peneliti dari LIPI dalam seminar Seabad Kebangkitan Nasional di UNNES tahun 2008 yang lalu mengantakan, nasionalisme itu bisa fluktuasi, ibarat iman (demikian kata seorang ustad), bisa tebal dan bisa tipis. Mungkin saja nasionalisme kita sebagai bangsa Indonesia sedang menipis.
Maka peringatan kebangkitan nasional kali ini semestinya harus dimaknai sebenar-benarnya untuk menegakkan kembali semangat nasionalisme yang sedang tenggelam. Kita ingat sejarah Jepang yang luluh lantak dalam Perang Dunia II setelah dibombardir tentara sekutu. Namun pelan tapi pasti mereka bangkit dalam waktu singkat hingga seperti saat ini. Mungkin yang dapat menjadi prioritas adalah bagaimana kita menyingkirkan ego masing-masing serta mengutamakan kepentingan bersama untuk kemajuan bangsa dan negara. Ini jangan hanya menjadi sekedar wacana belaka tanpa ada tindakan nyata.
Mari kita jadikan ini sebagai momentum bagi bangsa Indonesia untuk mengembalikan jati diri dan kesadarannya di tengah memudarnya kehidupan berbangsa dan bernegara. Memanglah kita saat ini sedang mengalami kebangkrutan. Tapi tidak boleh terus diratapi. Kita harus percaya bahwa kita bisa mengatasinya, dari kebangkrutan menuju kebangkitan. Ditengah-tengah kondisi negara yang sedang mengalami fluktuasi, tentu saja cita-cita perubahan menuju Indonesia baru tidak boleh jalan di tempat bahkan harus menjadi prioritas utama.
*Kader HMI MPO Komisariat Universitas Negeri Semarang
0 komentar:
Posting Komentar