Oleh:
Lukni Maulana– Pengasuh
Sciena Madani
Nasionalisme merupakan tuntutan politik, sebagaimana
bunyi sila ketiga, Persatuan dan Kesatuan. Semangat nasionalisme menjadi
semangat perjuangan dan pergerakan untuk menuntut kedaulatan. Sebagaimana
dilakukan oleh para pemuda dan pelajar terdahulu yakni pada akhir tahun 1920-an
konsep nasionalisme mendapat bentuknya yang dipelopori oleh tiga organisasi
pergerakan yaitu Perhimpunan Indonesia, Indonesische dan Algemeene Studie Club.
Ketiga organisasi kepemudaan ini menjadi peletak dasar nasionalisme di
Indonesia yang lebih terkonsep dan praktis.
Namun nasionalisme hanya sebagai sebuah simbol nasionalisme
politik yang bertujuan untuk memasukan idiologinya. Sebagaimana terdahulu
sosialis-komunis mengambil wadah dalam ISDV (Indische Sociaal Demockratische
Vereniging) yang dipelopori oleh Belanda dan Indonesia. Dari pihak yakni
Sneevliet, Brandstender dan Dekker, sedangkan dari Indonesia adalah Semaun.
Namun pada tahun 1920 ISDV berubah nama menjadi Perserikatan Komunis Hindia.
Begitu juga dengan SI (Serikat Indonesia), tujuan awalnya sebatas bidang
ekonomi yang berdasarkan ajaran Islam. Akan tetapi perkembangaanya berubah
masuk wilayah politik yang mana anggotanya tidak hanya orang beragama Islam.
Setiap ideologi menawarkan beragam konsep, gagasan, ide
dan langkah praksis untuk mencapai kedaulatan rakyat. Namun masyarakat dapat menemukan
dan menentukan pilihannya sendiri sebagai wadah perjuangan. Organisasi menjadi
wadah perjuangan, baik organisasi politik, ekonomi, keagamaan maupun sosial
seperti dahulu ketika para priyayai tergabung dalam Budi Utomo, kaum santri
dalam wadah Sarekat Islam dan abangan memilih PKI.
Inilah keberagaman ideologi di masyarakat kita dahulu,
dengan adanya keberagaman ideologi menunjukan bahwa bangsa Indonesia memiliki
keunikan tersendiri. Dari keberagaman itulah keluar satu kata untuk saling
bersama menjunjung persatuan dan kesatuan berupa membangun nasionalisme untuk
mencapai kemerdekaan. Bagaimana dengan sekarang dimana bangsa ini lepas dari
penjajahan fisik, namun masih dibelenggu penjajahan globalisasi sehingga saat
ini merasakan ketertindasan ekonomi.
Tahun 2014 ini menjadi momentum kebangkitan atau
keterpurukan?, dimana telah meloloskan 14 partai, 3 partai lokal di Aceh.
Sedangkan 11 partai tersebut yakni Partai Nasdem, PKB, PKS, PDI-P, Golkar,
Gerindra, Demoktar, PAN, PPP, Hanura, PBB dan PKPI. Kesebalas partai tersebut
membawa ideologi masing-masing dan memiliki karakter tersendiri. Masih ingatkah
kita Partai Cinta Damai, pada pemilu tahun 2009. Partai ini dibentuk oleh kaum
tarekat yang digagas oleh seorang ulama ahli ilmu tasawuf yakni Prof. Dr. H.
Saidi Syeikh Kadirun Yahya Muhammad Amin, M.Sc. partai Cinta Damai bersifat
terbuka yang memiliki visi ilahi yakni Anta Maqsudi wa Ridhaka
Mathlubi (Hanya Enkaulah yang kutuju dan Keridhaan-Mu yang kudambakan).
Hal ini menunjukan keterbukaan, apapun ideologimu dan
masyarakat bisa menentukan sendiri dimana wadah yang cocok bagi perjuangan dan
pilihannya. Beragamnya ideologi tersebut layaknya mejadi tempat untuk membangun
nasionalisme baru untuk menjadi bangsa yang berdikari seperti cita-cita pendiri
negara ini Ir. Soekarno.
Politik Kepentingan
Sepertinya nasionalisme telah luntur, setiap ideologi
memiliki kepentingannya sendiri yang berwujud dan berbentuk partai. Slogan anti
korupsi sering terdengar, namun banyak kader partai yang terjerat dalam kungkungan
arus korupsi. Adakah partai yang berani melawan musuh yang lebih perkasa dari
perilaku korup, musuh itu yakni kapitalisme dan liberalisme yang berwujud
globalisasi.
Akan tetapi dengan beragam ideologi yang saat ini ada,
dalam membangun nasionalisme untuk kesejahteraan rakyat hanya seperti pepesan
kosong apalagi anti neoliberalisme. Partai sepertinya hanya menjadi tempat
nasionalisme politik, begitupun masyarakat cenderung apatis terhadap partai.
Hal ini sesuai pandangan, tidak ada sesuatu yang gratis di dunia ini. Kata-kata
itu menjadi slogan jiwa masyarakat pada umumnya sehingga melahirkan politk
transaksional. Dengan politik transaksional cara berfikir manusia mengalami
perubahan baik cara manusia berfikir dalam berpolitik maupun berbudaya.
Partai politik dan ideologinya pada akhirnya menempati
kedudukan yang terhormat di era demokrasi. Memiliki kedudukan terhormat ini
dikarenakan partai politik menjadi lumbung perwakilan bagi rakyat. Seiring
politik transaksional, partai politik menjadi tawar menawar dalam artian bahwa
partai politik yang mengedepankan ideologinya sepertinya akan sulit bersaing di
pemilu 2014 ini. Sekarang ini partai politik lebih mengedepankan seorang tokoh
dibandingkan dengan ideologi seperti PDI-P dengan Jokowi, Hanura dengan Wiranto,
PBB dengan Yusril Ihza Mahendra, dan Golkar dengan Aburizal Bakrie. Sosok figur
menjadi penentu kemenangan Partai untuk menarik simpati masyarakat.
Tidak ada lagi semangat nasionalisme untuk berdirkari,
apalagi anti neoliberalisme. Itulah sepengal kalimat yang cocok untuk politik
transaksional sekarang ini. Isu membangun nasionalisme dan anti neoliberalisme
hanya sebatas senjata para politisi untuk menarik simpati publik. Tidak seperti
dulu nasionalisme sebagai simbol politik yang bertujuan memasukan ideologinya,
kini nasionalisme hanya sebatas untuk kepentingan partai politik dan kepuasan
individu serta dinasti politik.
Seperti perkataan Tan Malaka dalam bukunya, Merdeka 100%,
Tiga Percakapan Ekonomi Politik; Saatnya kita merdeka 100% yang berarti negara
benar-benar memiliki kekuatan untuk mengatur bangsa dan negaranya sendiri. Uang
tidak perlu! Tapi yang perlu ialah kemerdekaan 100%. Sekali lai! Uang sebagai
kapital asing tidak perlu, malahan membahayakan.
Semoga perkataan Tan Malaka menjadi pemicu semangat
kebangsaan, untuk membangun kembali nasionalisme yang berideologi. Dicari wakil
rakyat yang merakyat dan presiden anti neo-liberal.
*Tulisan dimuat dalam Majalah Ber-SUARA LAPMI Cabang Semarang Edisi XXVIII April 2014M/1435H
Info & Berlangganan : lapmics@gmail.com