Puasa, Kekuasaan dan Ketakwaan
Lukni Maulana*
Lukni Maulana*
Membincang puasa dan kekuasaan diri upaya membangun manusia yang beriman dan bertakwa tidak terlepas dari ayat al Qur’an surat al Baqarah ayat 185, menyatakan bahwa setiap umat Islam wajib melaksanakan puasa ramadhan dan tujuannya supaya menjadi insan yang bertakwa.
Puasa bukanlah ekspresi tahunan yang datang untuk diperingati dengan kemewahan. Namun sangat ironi sekali jika puasa dijadikan satu eksploitasi baru sebab masyarakat kita yang cenderung konsumtif dan meyakini akan nilai-nilai tradisi. Sehingga dalam menyambut bulan puasa mereka berkeinginan lebih untuk menyambutnya. Semisal tradisi dukderan dan warak ngendok, sebagai hasil warisan budaya untuk menyambut bulan suci ramadhan.
Ada yang berangapan bahwa jika puasa tiba tingkat komsumsi masyarakat meningkat hingga menyebabkan harga kebutuhan pokok meningkat. Ini disebabkan culture yang sudah berkembang dan meyakini bentuk ekspresi tahunan. Padahal tujuan puasa untuk menjadikan manusia bertakwa.
Namun tidak menjadi masalah jika manusia sadar betul dalam memaknai puasa. Ada nilai lebih dari manfaat puasa selain bagaimana menahan rasa lapar dan haus. Di perintahkan pula untuk menahan nafsu. Nilai etika dan pendidikan ruhaniyah sangat tertanam dalam ajaran ibadah puasa.
Manusia dan kekuasaan diri
Manusia hidup tidak terlepas pada etika, norma dan hukum yang berlaku, begitu juga seseorang yang memeluk agama ada garis pembatas untuk melakukan sesuatu hal. Terlepas dari teori etika Karl Marx berpendapat bahwa moral manusia ditentukan oleh kondisi ekonomi berupa materi yaitu moral manusia ditentukan oleh lingkungan yang mempengaruhinya. Sifat manusia sama sekali tidak memiliki daya dan upaya terhadap kondisi lingkungan. Kondisi sekarang menunjukan bahwa kapitalisme telah menjajah manusia yang cenderung bekerja pada wilayah material.
Faham Karl Marx sampai sekarang tetap masih hidup walaupun komunisme telah hancur teriring hancurnya Negara Uni Soviet, namun faham tersebut tetap bertahan sampai sekarang yaitu mereka yang disebut dengan “wetensdhappelijke socialism” atau sosialisme ilmu.
Di Indonesia dulu aliran Marx atau biasa disebut dengan Marxisme sangat berkembang pesat, terutama kelompok politik sebut saja Partai Sosialis Indonesia (PSI), Marxisme-Trozkist dalam Partai Murba dan Marxisme-Leninist dalam Partai Komunis Indonesia (PKI).
Faham yang kedua datang dari Sigmund Freud seorang ahli “psikoanalisis”, yang menyatakan bahwa manusia sama sekali tidak berdaya terhadap kekuatan yang ada dalam dirinya yaitu berupa kekuatan libido atau kekuatan seksualitas. Semua aktifitas dan pikiran serta perilaku sesorang bersumber pada dorongan kekuatan libido atau seksual, dalam artian bahwa manusia adalah budak sek.
Pertanyaan yang kemudia muncul adalah apa hubungan teori Marx dan Freud terhadap puasa, kekuasaan dan ketakwaan?. Karl Marx dan Sigmund Freud merupakan seorang keturunan Jerman dan Yahudi. Pada teori ini dapat di tarik kesimpulan dua pemikiran yaitu manusia sebagai budak material berupa masyarakat yang cenderung kapital dan budak kekuatan seksualitas berupa perbutan kekuasaan.
Di sebutkan dalam al Qur’an surat Adz Dzariat ayat 56 menyatakan bahwa “tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah kepadaKu”. Manusia adalah seorang budak “abdun” atau seseorang yang menyembah. Namun realitas menunjukan lain sekarang manusia telah menjadi budak ajaran Marx dan Freud dan menginkari nikmat mereka saling berebut materi di pemerintahan. Manusia telah menjadi budak materi dan libido, kekuasaan diperebutkan banyak orang berpolitik menjadi bendera untuk meraih derajat tertinggi dimata manusia lainnya.
Begitu juga kekuatan libido menjadi dorongan kuat dalam menguasai nafsu seseorang. Nafsu untuk saling menindas, rakyat miskin berupaya keras mencari sedikit rizki namun di todong dengan mainan pistol Satpol PP. Sedangkan para petinggi republik ini saling berebut kursi kekuasaan bahkan paling parahnya para wakil rakyat ini bermesraan dengan pasangan selingkuhannya. Sungguh malang negeri ini jika masih dipimpin oleh mental Marx dan Freud serta jiwa korup yang menjadi pikiran.
Mentalitas pemimpin negeri ini sangat kacau jika masih mengikuti ajaran kapitalis berupa penindasan atas nama kesejahteraan dan kemakmuran. Kita ketahui bahwa kekuatan modal sangat berpengaruh dalam dunia ketiga atau era pasar bebas sebut saja Transnational Corporation (TNC) dan Multinational Corporation (MNC) dan bangsa Indonesia telah terjajah dengan faham kapitalisme global. Mengapa mentalitas pemimpin negeri tidak cenderung keluar dari sarang material dan seksualitas, sedangkan Negara tercinta ini masih saja menjadi budak oleh kekuatan asing.
Semua jawabannya yaitu pada kekuatan diri berupa “nafsu”. Rasulullah telah mengajarkan kepada kita bahwa jihad paling besar yaitu “jihad an nafs”, jihad melawan hawa nafsu atau melawan diri sendiri. Kekuatan nafsu menjadi pendorng mentalitas seseorang sebab jika al hawa atau nafsu al amarah menyerang diri seorang maka sifat jasmani dan ruhani manusia akan lemah dan memiliki mentalitas korup.
Kekuatan pengendali manusia berupa nafsu inilah yang menjadi senjata ampuh untuk mengikat keinginannya tehadap sifat meteri dan seksualitas. Sebab dalam pandangan Marx dan Freud pengendali manusia berkerja pada wilayah lingkungan yang cenderung kapital dan seksualitas atau libido terhadap kekuasaan ataupun selingkuhannya.
Maka saatnya seorang yang mengaku dirinya beriman kepada Allah kembali menata nafsunya. Sesegera mungkin kembali kepada nafsu mutmainah (jiwa yang tenang).
Puasa dan ketakwaan
Puasa adalah ibadah maghdhoh rukun Islam ke empat. Di dalam ajaran puasa sangat berbeda dengan rukun Isalm lainnya seperti syahadat, shalat, zakat dan haji. Puasa lebih berorintasi teosentris berupa semua hal yang dilakukan dan dikerjakan semua hanya Allah yang menilainya. Derajat takwa tidak mudah untuk diraih sebab tingkatan inilah yang menjadi dasar seseorang mengetahui diri dan perannya sebagai hamba atau budak.
Puasa hanya di syari’atkan kepada dirinya yang mengaku beriman sebab puasa merupakan pengendalian dirinya dengan Tuhannya. Karena puasa tidak dapat dilakukan atas dasar penampilan, kekuasaan materi dan kekuatan libido. Puasa menurut bahasa adalah “menahan dari segala sesuatu”. Sedangkan menurut syari’at yaitu menahan diri dari makan, minum, hubungan suami istri dan semua hal yang membatalkan puasa sejak terbit fajar sampai terbenamnya matahari
Dari ibadah puasa ini seyogyanya manusia megetahui jati dirnya, maka tidak cenderung terikat penuh dengan teori faham Marx dan Freud: Pertama, kekuatan manusia memang terikat dengan materi namun juga terikat dengan immaterial berupa kekuatan qalb (hati), puasa mengajarkan menahan nafsu materi sebab disisi Allah hanya hati bertakwa yang bias dekat dengan-Nya. Tidak semua hal dapat dipecahkan dengan kekuatan modal atau uang. Kedua, kekuatan manusia tidak hanya libido namun juga an natiq (pikiran). Nasfu seksualitas pada kekuasaan dan sek, tidak semua hal terpenuhi dengan menguasai tapi lihatlah siapa yang hidup di sekeliling kita, karena puasa mengilhami untuk menjaga nafsu libido dan memulyakan manusia lainnya, Ketiga, nafsu mutmainah bahwa manusia memiliki kekuatan selain kekuatan materi, material, libido dan pikiran. Manusia juga diberi kekuatan berupa kekuatan jiwa yang selalu dalam ketakwaan berupa nafsu mutmainah. Puasa merupakan intisari upaya membentuk jiwa seseorang dan pengemblengan mental tangguh.
Sangat jelas sekali bahwa syari’at Islam mengajarkan untuk menahan diri dari segala hal yang dilarang dan bertujuan untuk meraih tingkatan takwa. Orang yang mencapai derajat pada tingkatan takwa yaitu seseorang yang terpelihara dari segala yang menjerumuskan atau segala hal yang dilarang oleh agama. Ibarat seseorang yang dalam perjalanan ia harus membawa bekal dan tahu tujuan yang diharapkan, jadi agama menjadi bekal untuk mengarungi kehidupan didunia sebagai hamba guna meraih tujuan hidup yaitu kebahagiaan dunia dan akhirat. Takwa berasal dari kalimat fi’il atau kata kerja “tattaquwn, yattaquwn”, yang berarti melaksanakan seluruh hal yang diperintahkan dan menjahui segala hal yang dilarang.
Saatnyalah manusia kembali mengkoreksi dirnya, siapa yang mengendalikan dirinya kekuatan material kah atau kekuatan libido kah. Semua bentuk penindasan datang karena kekuatan material dan seksualitas. Maka mulai saat ini kembalilah kepada jiwa yang tenang kemabali pada tali Allah berupa agama Islam yang akan mengantarkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Karena Allah menyukai dan mencintai orang yang taubat dan mensucikan diri, bukan materi dan libido.
* Saat ini diamanahi sebagai sekretaris LAPMI Cabang Semarang dan direktur sanggar ilmu&cinta (ILCI) Semarang
0 komentar:
Posting Komentar