Oleh: M. Rohmat*
Suatu ketika mungkin terjadi kebakaran sebuah rumah, waktu sholat maghrib hampir habis. Suatu ketika bisa jadi kecelakaan bersamaan adzan iqomat sholat jum’at. Di hadapkan pemeluk fiqh yang setia kebakaran dan kecelakaan tersebut akan diabaikan dan lebih mendahulukan sholat, sebab sholat sudah ditentukan waktunya. Sholat adalah ibadah mahdhoh (ibadah yang tidak bias ditawar-tawar), sholat adalah amalan pertama kali yang dihisab diakhirat.
Penomorsatuan ibadah mahdhoh (baca sholat) oleh pemeluk fiqh bermula dari kecenderungan fiqh yang membagi ibadah kedalam ibadah mahdhoh, yaitu ibadah sholat, puasa, zakat dan haji, yang kemudian dikategorikan sebagai ibadah wajib dan ibadah ghoiru maghdhoh/muamalat yaitu ibadah yang berkaitan dengan kemasyarakatan yang kemudian dikategorikan sebagai sunah. Pengkategorian ini pada akhirnya menjadi acuan para pelaku fiqh dalam mengambil pola tindakan atas persoalan yang ada didepan mata seperti kasus kebakaran di atas. Tidak berhenti sampai disitu, pengkategorian wajib dan sunah atas dasar mahdhoh dan muamalat pada akhirnya melahirkan masyarakat yang euforia ritual keagamaan namun tidak punya kepedulian segi hubungan kemanusiaan. Dalam anggapan mereka yang utama dari agama adalah sholat, puasa, haji dan ritus-ritus lainnya. Bahkan pengkategorian itu juga kurang menguntungkan dari sisi hubungan manusia dengan alam atau lingkungan. Masyarakat yang sudah euforia ritual keagamaan akan menjadikan ritual sebagai dewa dalam mengatasi segala persoalan kehidupan baik masalah sosial kemanusiaan ataupun persoalan alam (lingkungan hidup).
Bencana yang bertubi-tubi menimpa negeri ini menurut kelompok ritualis adalah disebabkan para penduduk negeri ini banyak melakukan perbuatan dosa, maka seusai banjir dan tanah longsor mereka segera mengadakan taubat bersama dalam bentuk istighosah, mujahadah dan lainnya yang sejenis, namun toh bencana itu tetap saja datang setiap tiba musim penghujan. Apakah taubat negeri ini tidak diterima?
Syarat utama dalam taubat adalah menebus kesalahan-kesalahn dengan perilaku baik (‘amilu al shalihat), bukan sekedar minta ampun melalui kegiatan-kegiatan ritual, dan nampaknya komitmen tersebut yang belum dijalankan oleh penduduk negeri Indonesia raya-han ini. Pada kasus bencana longsor tadi yang seharusnya dilakukan dalam bertaubat adalah meperbaiki lingkungan yang telah dirusak dengan cara menghentikan pembalakan hutan (illegal loging) dan menambah pohon pada lahan kritis yang berpotensi longsor.
Kanada adalah contoh Negara yang rawan tanah longsor, setiap kali terjadi bencana mereka segera melakukan koreksi atas menajemen lingkungan yang telah dijalankan dan segera mengambil tindakan penyelamatan lingkungan, maka bencana longsor di Kanada tidak berulang-ulang parah, sebab orang Kanada menjalankan syarat utama dalam bertaubat berdasarkan ajaran islam, yaitu “wa at bi’isyai’atal hasanata” (mengikuti kesalahan dengan kabaikan-kebaikan), walau mereka bukan orang Islam, bahkan mengkin tidak memeluk agama.
Benang merah yang dapat ditarik dari contoh diatas adalah bahwa wajib dan sunahnya suatu hal tidaklah diukur dari segi apakah hal tersebut rukun Islam (mahdhoh/ritual) atau bukan rukun Islam (ghoiru mahdhoh). Pengkategorian wajib dan sunah atas dasar mahdhoh-ghoiru mahdhoh terbukti tidak mendayagunakan agama untuk manusia, padahal agama adalah untuk kebaikan manusia (hudan linnas).
Wajib dan sunah pada akhirnya harus menyesuaikan konteks yang biasa di istilahkan “empan papan”. Dalam kasusu kebakaran yang harus segera ditolong, rukun Islam adalah memadamkan api. Pada kasus kemiskinan yang mencekik, rukun Islam bagi yang kaya adalah membantu yang miskin bukan pergi haji. Rukun Islam adalah rukun penyelamatan. Maka wajib dan sunah sebaiknya diukur dengan konstruksi baru dan tolak ukur maslahat dan madhoro. Apabila suatu tindakan sangat mengandung maslahat serperti memadamkan api yang membakar rumah, maka tindakan itu wajib manjadi sunah. Agak sedikit maslahat (madhorot) seperti menghisab rokok, maka makruh hukumnya. Bahaya sekali semisal menghisab sabu-sabu atau minum racun tikus, maka haram hukumnya. Selamat berfikir.
*Pemerhati Sosial dan Keagamaan Tinggal di Demak
0 komentar:
Posting Komentar