Auguste Comte (1798),
lahir di Montpellier, Perancis, adalah pendiri positivisme. Dia menganalogikan
masyarakat layaknya organ tubuh manusia. Tidak heran, karena filsafatnya masih terpengaruh
oleh aliran biologis/naturalisme. Dia terkenal dengan hukum tiga tahap
perkembangan masyarakat: teologis, metafisik, positif. Hukum ini ia sebutkan
dalam karyanya “Course of Positive Philosophy” yang ia buat sebanyak 6
jilid dari tahun 1830 sampai dengan 1842. Konsepsinya dalam buku ini didasari
akan kekhawatirannya akan kacaunya masyarakat sehingga mereka membutuhkan suatu
metode untuk mencapai keteraturan sosial. Comte menemukan itu ada dalam
gejala-gejala ilmu pengetahuan dan kaitan antara semua ilmu tersebut. Buku ini
pun menjadi dasar bagi aliran positivisme. Karya monumentalnya yang berikutnya
adalah “System of Positive Politics” yang menjelaskan tentang agama
humanitas. Latar belakang pembuatan karya besar keduanya itu dipengaruhi oleh
pujaan hatinya Clothilde de Vaux yang sangat membekas dalam jiwanya. Menariknya
kedua karyanya tersebut seperti sebuah seri dari pemikiran Comte. Dalam Course,
Comte mengatakan sains bertransformasi menjadi filsafat; sedangkan dalam System,
filsafat bertransformasi menjadi agama.
Buku dengan judul
asli Cours de Philosophie Positive (Pelajaran Filsafat Positif) adalah
garapan dari karyanya sebelumnya yaitu Systeme de philosophie positive
(1824) (Sistem filsafat positif). Course memuat dua tujuan, yaitu
fondasi untuk sosiologi (yang ia sebut fisika sosial) dan koordinasi semua ilmu
positif. Dalam tiga volume awal, ia menjelaskan lima ilmu sains yang
fundamental (matematika, astronomi, fisika, kimia, biologi) dan tiga volume
berikutnya adalah ilmu sosial. Ilmu-ilmu alam telah ada pada waktu itu dan
Comte hanya meringkas poin-poin dari doktrin dan metodologi utama mereka dengan
membangunnya lewat analisa objektif dan historis.
Awal mula positivisme
yang dikembangkan Comte adalah kesadarannya akan Revolusi Perancis yang
menurutnya adalah krisis yang cenderung ke arah reorganisasi masyarakat secara
besar-besaran. Ia menyatakan bahwa reorganisasi itu hanya berhasil, masyarakat
yang adil akan tercipta, jika orang mengembangkan metode berpikir yang baru
tentang masyarakat. Comte melihatnya dalam sains dan mencoba
mensistematisasikan metode itu. Lahirlah metode positif yang sesuai hukum-hukum
ilmu alam: diarahkan pada fakta-fakta, pada hal yang berguna, ke arah
kepastian, dan kecermatan. Sarana bantu bagi sains seperti observasi,
eksperimen, dan perbandingan ditambah dengan metode historis yang ditujukan
untuk mengungkapkan hukum-hukum yang menguasai perkembangan gagasan-gagasan di
masyarakat.
Comte memberikan
analisis komprehensif tentang kesatuan filosofis dan metodologis yang jadi
dasar ilmu alam dan sosial dalam Course. Dalam bukunya itu, Comte
memperlihatkan bahwa evolusi filosofis yang dialami matematika, geometri,
astronomi, fisika, kimia, biologi dan fisika sosial (sosiologi) adalah melewati
tahapan perkembangan yang sistematis. Ia menjelaskan urutan gejala-gejala
(statika) dan kaitan organis gejala-gejala (dinamika) ilmu-ilmu tersebut. Dalam
ilmu alam, aspek statis dan dinamis yang berkaitan dengan objek yang mati
dinamakan tetap dan gerak, sedangkan yang berkaitan dengan objek yang hidup
dinamakan anatomi dan fisiologi. Dalam ilmu sosial yang mengambil objek
gejala-gejala masyarakat, aspek-aspek tadi berhubungan dengan tata
(keteraturan) dan kemajuan. Tata merupakan dasar dan hasil kemajuan, dan
kemajuan hanyalah mungkin atas dasar tata. Jadi hukum-hukum yang harus
ditemukan dengan pertolongan metode positif dapat dibagi dalam dua kelas, yaitu
hukum-hukum mengenai urutan gejala-gejala sosial dan hukum-hukum mengenai
kaitan gejala-gejala itu.[1]
Comte menjelaskan
urutan gejala-gejala sosial dinyatakan dalam tiga tahap. Tahapan yang dibuat
menunjukkan cara berpikir masyarakat pada saat itu. Titik awalnya adalah
tahapan teologis dimana pikiran manusia saat itu dalam pencarian akan asal dan
sebab akhir segala sesuatu, manusia mencari hal-hal itu dalam kekuatan-kekuatan
alam dan benda-benda angkasa yang ia anggap punya kekuatan. Pada tahapan
berikutnya, tahap metafisik, keterkaitan dengan sesuatu yang supranatural
digantikan dengan entitas yang abstrak. Manusia mengalihkan perhatiannya pada
kecintaan akan tanah air, pembelaan terhadap bangsa atau nasionalisme, dan
sebagainya. Tahap ini adalah tahap kritis pemikiran teologis dan persiapan
menuju stadium positif. Pada tahap positif yang mana akal manusia telah
mencapai puncak ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang, orang tidak lagi
mencari pengetahuan absolut tentang sebab-sebab akhir tapi menanyakan kaitan
statis dan dinamis gejala-gejala.
Dalam kaitan antara
gejala-gejala sosial, Comte menyebutkan meskipun cara pandang zaman prapositif
lebih rendah daripada di zaman positif, namun cara berpikir di zaman terdahulu
ini memberi sumbangan bernilai berupa konsensus atas seperangkat pandangan dan
kepercayaan bersama yang penting bagi keteraturan sosial. Tahap positif tidak
mungkin ada tanpa adanya tahap teologis yang mendahuluinya dan tahap metafisik
yang menjembataninya. Benih-benih menuju tahapan berikutnya selalu ada, seperti
pada masa fetisisme timbul pemikiran untuk beralih dari cara hidup yang
berpindah-pindah menjadi menetap sebagai hasil usaha menjelaskan gejala dengan
takhayul primitif. Masa itu digantikan dengan masa politeistik dimana manusia
mulai menganggap adanya suatu kekuatan di luar dirinya dan menjadi monoteistik
saat manusia mulai mengenal tuhan. Tapi sistem kepercayaan seperti itu
mendorong manusia untuk mudah memisahkan kehidupan rohani dan duniawi sehingga
kehidupannya diarahkan pada kekuatan lain yang sifatnya abstrak. Saat ilmu
pengetahuan berkembang sebagai hasil kesempurnaan akal manusia, teknologi diciptakan
dan manusia menuju tahap dimana kekuatan itu diarahkan pada benda-benda atau
materi. Industri menjadi tipe organisasi sosial di era positif. Sedangkan tipe
keteraturan sosial di tahap teologis mencerminkan tipe organisasi sosial yang
militer. Di tahap metafisik, dominan dengan hukum karena masyarakat saat itu
didominasi oleh mereka yang berusaha menarik doktrin sosial politik dari
pemahaman tentang hukum alam.
Pandangannya ini
sempat dipuja oleh John Stuart Mill di Inggris. Bahkan ia terang-terangan menyatakan
diri sebagai pengikutnya dan menjadi penyebar paham positivisme yang giat. Tapi
kekecewaan mendalam harus ditelannya begitu Comte mengeluarkan buku
fenomenalnya yang kedua, System of Positive Politics. Banyak yang
menganggap Comte sudah gila karena cinta karena dalam bukunya tersebut, ia
menyatakan pentingnya suatu agama di zaman positif (yang seharusnya ada dalam
tahap teologis). Comte menyebutnya dengan “agama humanitas”. Ini adalah
perubahan mendasar dalam karya Comte, ia berbalik dari seorang positivis
menjadi seorang yang humanis. Kritik yang dilontarkan padanya pun berdatangan
dari kaum positivis, termasuk dari Mill yang menganggap Comte dengan Course-nya
adalah “Comte yang baik”, sedangkan Comte dengan System-nya adalah
“Comte yang buruk”.
Dalam bukunya ini,
akal yang semula diagungkannya seakan dimerosotkan di bawah apa yang kita sebut
cinta. Memang pada waktu menulis System, ia sedang dimabuk cinta atau
bahkan bisa disebut mengalami cinta sejati sepanjang hidupnya. Ia
mempersembahkan buku ini untuk mengenang istri yang tidak pernah digaulinya,
yaitu Clothilde de Vaux. Kekuatan emosi begitu kentara dalam karyanya yang satu
ini. Comte seakan lebih mengagungkan perasaan daripada akal budi dalam
mempertahankan tata keteraturan sosial yang ia kemukakan dahulu.
Bagi Comte, karyanya
ini adalah realisasi dari metode positif yang ditujukan untuk keteraturan
sosial dalam bukunya yang pertama. Jika kita ingat metode positif yang juga
memakai metode historis untuk mengamati masyarakat, Comte melihat bahwa agama
telah menjadi tonggak keteraturan sosial yang utama di masa lampau. Agama
merupakan dasar untuk konsensus universal dalam masyarakat dan juga mendorong
identifikasi emosional individu dan meningkatkan altruisme.[2] Namun
bukan agama tradisional seperti yang dipahami pada masa teologis yang
dimaksud Comte. Ia menciptakan suatu agama baru yang mencakup hukum-hukum
universal yang memungkinkan keteraturan sosial itu eksis, yaitu agama
humanitas. Sumber utama agama humanitas adalah moralitas dan cinta yang sesuai
dengan standar-standar intelektual dan persyaratan positivisme. Runtuhnya
tatanan sosial tradisional yang mengarah pada anarki akibat Revolusi Perancis,
menyebabkan Comte melihat moral sebagai sesuatu yang harus menundukkan ilmu
sehingga reorganisasi masyarakat menjadi sempurna.
Bertolak dari gagasan
pikiran adalah hamba bagi hati, Comte melihat dalam biologi tabel otak manusia
terdiri dari 18 fungsi internal, yaitu 10 kekuatan afektif, 5 fungsi
intelektual, dan 3 sifat praktis. Dari sini tampak dominannya hati dalam
meningkatkan energi dan menurunkan harga diri. Bagi Comte yang positivis, ini
bukan psikologi, tapi semata-mata biologi. Moral menjadi suatu kekuatan yang
dominan dan Comte melihatnya dalam agama. Agama memiliki 2 fungsi: fungsi moral,
agama seharusnya mengatur setiap individu; dan fungsi politik, agama seharusnya
menyatukan semua individu. Agama juga memiliki tiga komponen, sesuai
dengan pembagian tabel otak, yaitu doktrin, ibadah, dan hukum moral
(disiplin). “Cinta datang dan membawa kita pada iman, sepanjang
pertumbuhan itu bersifat spontan; tapi begitu tersistematisasi, keyakinanlah
yang membangun tindakan cinta”, kata Comte.
Karyanya ini kurang
diterima secara luas. Dalam Course,
kita akan menemukan dasar-dasar dari positivisme yang berkembang hingga
sekarang. Course sangat meninggikan
akal sebagai tahapan akhir perkembangan manusia. Perkembangan masyarakat dari
semenjak ketergantungannya akan supranatural, alam metafisik, dan berlanjut
kepada alam pikiran positif dijelaskan dalam Course sebagai suatu fase yang pasti. Namun, gagasan Comte yang
optimistis ini seakan ditafsirkan kembali dalam System bahwa yang diinginkan adalah reorganisasi masyarakat atas
dasar humanitas. Comte, terlepas dari perkembangan jiwanya setelah ditinggal
mati Clothilde, telah mengubah pandangannya menjadi moralistik dan penuh gairah
cinta. Baginya, reorganisasi masyarakat baru sempurna jika dibangun atas cinta
dan moralitas dalam agama yang ia sebut agama humanitas. Setinggi apapun akal
manusia, tetap tidak akan bisa mengalahkan moralitas yang menyatukan mereka.
Comte melihat ini lewat sejarah agama zaman dahulu. Dengan menyingkirkan sifat
tradisionalnya dan fokus pada faktor-faktor dari agama yang menyatukan
masyarakat, Comte tetap menghendaki positivisme sebagai wujud akhir masyarakat
yang teratur.
by: ARIEF miftakhull si DPM IKIP PGRI SEMARANG
alamat demak......
0 komentar:
Posting Komentar