Lebih dari 63 tahun (usia wafatnya Nabi Muhammad) HMI yang merupakan gerakan mahasiswa telah menunjukkan eksistensinya baik di kancah Nasional Indonesia maupun Internasional. Hal ini tidak terlepas dari kontribusi besar serta kekuatan internal yang menjadi modal dasar bagi HMI agar tetap bertahan hidup. Walaupun gerakan keislaman termasuk gerakan kepemuadaan dan mahasiswa semakin marak pasca Reformasi 1998, akan tetapi kegigihan HMI tetap menunjukkan pengabdian yang murni bagi dunia Islam. Bahkan HMI yang sekarang bisa dikatakan lebih puritan ketimbang yang ada pada HMI sebelum tumbangnya masa orde baru yang lebih banyak bersifat akomodatif dan konservatif. Tentunya HMI yang penulis maksud adalah HMI yang katanya minoritas, yaitu HMI MPO yang merupakan antitesis dari perlawanan Eggy Sudjana dan kawan-kawan terhadap sekelompok HMI lainnya yang inkonsistensi konstitusional akibat menggadaikan asas Islam dengan Pancasila masa itu.
Pasca pecahnya HMI menjadi dua kubu, HMI MPO telah berbenah diri untuk berhijrah dari konsep dan tema-tema yang semula bernuansa nasionalis gerakan fisik menuju konsep dan tema-tema yang nuansanya lebih universal gerakan intelektual. Gerakan ini lebih bersifat pada pematangan konsep, memperkuat ghirah kepejuangan dengan tema-tema epistemologi, peradaban, maka gerakan intelektual menjadi nutrisi bagi kader militan yang haus akan masa depan islam. Gerakan intelektual lebih bersifat jangka panjang dan teoritis. Hal ini berbeda dengan apa yang diperjuangkan oleh teman-teman HMI lainnya (HMI Dipo) yang lebih memilih gerakan jangka pendek, praksis dan pragmatis untuk berkecimpung di dunia politik dan dunia “uang panas” lainnya kala itu. Bahkan sampai bermunculan gerakan-gerakan lain seperti KAMMI, IMM, PMII, GMNI, LMND, Sapma/Pemuda Pancasila, serta gerakan lain, maka HMI MPO lebih memilih untuk jaga jarak dengan pemerintah. Bukan berarti HMI MPO anti pemerintah atau muak dengan pemerintah, akan tetapi ini lebih pada memperjuangkan sebuah cita-cita suci yaitu membumikan Islam dalam cakupan yang lebih luas.
Inilah yang dalam “istilah” penulis sering menyebutnya sekuler ala HMI MPO. Jika dikatakan HMI bersifat puritan, maka HMI adalah pejuang puritan. Dan jika orang-orang menganggap HMI sekuler, maka pernyataan ini juga tidak salah. Lalu, bukankah antara sikap puritan dan sekuler selalu bertentangan? Lantas, mengapa kedua ini ada pada tubuh HMI?
Sebenarnya antara sikap puritan dan sekuler memiliki banyak kesamaan ketimbang perbedaan. Kesamaannya antara lain, sama-sama ingin menegakkan islam secara murni tanpa tendensi atau kepentingan tertentu. Di samping itu keduanya juga sejauh mungkin menjaga jarak dengan pemerintah untuk menjaga purifikasi (kemurnian) perjuangannya agar tidak ternodai oleh bujukan kekuasaan dan iming-iming “suap” dari pemerintah. Sikap puritan dan sekuler juga “lebih ikhlas” dalam berjuang ketimbang yang menginginkan ditegakkannya ideologi islam sebagai suatu sistem negara karena kedua sikap ini lebih menjaga keharmonisan antar sesama manusia. Adapun pihak yang mengklasifikasikan puritan sebagai sikap ekstrem sehingga semua pihak di luar pandangannya adalah salah, maka hal itu suatu pengertian yang kurang tepat. Seperti kelompok yang mengaku dirinya adalah salafy sekalipun, kalau dalam perjuangannya hanya suka menyerang dan mudah menganggap kelompok lain sebagai penganut penyakit TBC (Takhayul, Bid’ah, dan Churofat/Kurofat), maka mereka bukanlah pejuang yang puritan. Karena hakikatnya puritan adalah gerakan pemurnian, maka sangat salah jika dalam perjuangannya ternodai untuk menyalahkan pihak lain hanya karena perbedaan pandangan.
Selain kesamaan, antara puritan dan sekuler juga memiliki perbedaan. Perbedaanya antara lain, jika dalam perjuangan puritan seringkali bersifat kaku (letter lag)/tekstual, maka sekuler bisa memposisikan diri kapan harus berjuang secara tekstual/ranah harfiah dan kapan harus secara kontekstual/ranah esensi. Dengan pengertian yang ditarik dari persamaan dan perbedaan di atas, dapat dikatakan bahwasanya HMI MPO adalah organisasi sekuler. Sekuler untuk tidak mencampuradukkan kemurnian perjuangan islam dengan tendensi kepentingan politik, kekuasaan dan apalagi kecenderungan pada iming-iming jabatan. Alih-alih jabatan yang didapat, HMI bisa jadi akan mudah terlena ke dalamnya, sehingga perjuangannyapun akan segera mati. Ibarat sebuah pepatah, “ada uang abang disayang, tak ada uang abang ditendang”. Jika HMI sudah terjerumus dalam kepentingan kekuasaan, maka kalau “ada proyek” dari pemerintah HMI akan bergerak cepat, kalau “tak ada proyek” apalah artinya berjuang. Hal ini yang membuat banyak kader yang berfikiran picik selalu menggunakan apology, “Apa yang diberikan HMI kepada saya?”. Maka jika apology itu yang membekas, mending jangan menjadi kader “HMI MPO”. Silahkah menjadi kader gerakan lain, karena mungkin di sana anda akan menemui pernyataan yang sama atas apology anda. Dan berbeda dengan seorang kader HMI MPO yang geunie, karena dia akan bertanya pada diri sendiri, “Apa yang akan saya berikan untuk HMI?”.
Bagaimana menerapkan sekuler dalam ibadah?
Ada orang yang hendak menjaga diri dari kepentingan kekuasaan sehingga dia tidak mau menodai agama. Akhirnya dia melepaskan/ membebaskan segala kepentingan dari unsur agama, sehingga banyak yang mengganggapnya sebagai orang yang sekuler. Tapi dia tahu diri, dia tidak akan mencampuradukkan kepentingan ibadah dan agama hanya dengan urusan dunia. Di saat bekerja, dia lepaskan segala urusan agama (tapi tidak keluar jalur agama), dan di saat ibadah, dia tidak mau terpancing dengan urusan dunia.
Bandingkan dengan tipe orang yang selalu mengiringi urusan dunia dengan urusan agama (kalau tidak mau dikata ibadah), sehingga banyak muncul parpol berlabel agama. Namun sayangnya, agama pun ternodai dan terdistorsi hanya sebatas pada urusan politik. Atau dia terjebak pada pola pikir, dalam urusan dunia di situlah nilai agama diterapkan dan di sanalah nilai ibadah diniatkan. Tapi sebaliknya pula, dalam urusan ibadah akhirnya dia tidak bisa melepas segala urusan dunia, sehingga yang muncul adalah pengrusakan agama yang justru malah lewat ibadah. Kalau kita ambil contoh, -dan ini yang sering saya lihat di lapangan- banyak orang yang mengaku aktivis islam, dengan sebutan yang cukup mentereng “ikhwan”. Seorang ikhwan selesai salam seusai sholat, tidak berselang lama, biasanya dalam hitungan detik, ternyata bukannya berdzikir, tapi malah langsung mengoperasikan alat komunikasi (handphone). Entah apa yang dilakukan. Terlepas itu semua, kembali saya mempertanyakan, apakah ini yang dimaksud sebagai menyandingkan urusan dunia dengan urusan ibadah, segingga di kesempatan lainpunn dia perlu pula untuk “sedikit” mengganggu urusan ibadahnya dengan kepentingan dunia, walau terkadang dia tidaj menyadarinya. Apakah ini yang dimaksud hedonis, atau dengan bahasa umum yang disebut materialis? Kalau sudah begini, lebih afdhol mana antara SEKULER yang saya maksud dengan IBADAH MATERIALIST?
Dalam hal ini khususnya terkait urusan “ibadah dan agama”, mending saya memilih yang pertama, yaitu SEKULER, dalam arti “murni” fi ridho lillahi ta’ala ketika ibadah, dan sungguh-sungguh ketika beramal. Titik. Karena Rasul juga telah berpesan, “I’mal lidunyaka ka annaka taisyu abadan, wa’mal li akhirotika ka annaka tamuthu ghodan“ artinya beramallah untuk duniamu seakan-akan kamu akan hidup selama-lamanya dan beribadahlah seakan-akan kamu akan mati besok pagi. Dalam dunia tasawuf, maka seorang melakukan aktivitas ibadah dengan memenuhi makna esoteris, yaitu nilai-nilai spiritualitas; dan tidak hanya makna eksoteris, yaitu hanya sekedar formalitas syariat. Dan seorang kader HMI tidak perlu menjadi sekuler-sekuler amat, yang penting saat berdzikir selepas shalat jangan buru-buru terganggu hanya untuk urusan “handphone”.
Ex-Ketua Umum HMI Komisariat Undip 2010-2011.
Sekarang sebagai Direktur Madani English Institute Kab. Blora
CP: 085741373853
Email: puput.bariadi@gmail.com
0 komentar:
Posting Komentar