Oleh: Reni Aprilia Ekasari (Komisariat FPBS Universitas PGRI Semarang)
Semarang, 2 April 2013
Lima belas
hari lagi usiaku genap 20 tahun tapi aku yakin belum ada sesuatu yang berkesan
dalam hidupku selain rutinitasku selama ini. Belum ada sesuatu yang
menginspirasiku untuk suatu perubahan yang bisa ku rabah hasilnya diwaktu ini.
Namaku Reva Fauziah tapi kebanyakan yang mengenalku memanggilku Re, entah
dengan motiv apa mereka memanggilku seperti itu yang jelas aku nyaman dengan
panggilan itu. Meskipun selama ini belum ada sesuatu yang merubahku tapi akhir-
akhir ini ada satu masalah yang prediksiku bakal buat hari Ultahku ngag sempurna. Tahu kenapa?
Begini aku
punya kekasih namanya Anam kita satu kampus beda fakultas, jelasnya lagi dia
kakak kelasku, satu periode di atasku. kita baru aja pisah entah apa persepsinya
tentang problem hubungan ini, tapi bagiku inilah makna lain dari kata putus. Kebanyakan
orang memaknai putus adalah sesuatu yang menyakitkan dan tepat itulah yang aku
rasakan saat ini.
Dari : OnyetQ
18/02/3013
15:34
kngen dek, qu lega rsanya udah dpet izin pcran dri ort, tapi dri ortu
nikahnya harus usia 27 thun, gmn dek?
Itu message dari mas Anam yang membuat aku
optimis ini adalah pintu gerbang untuk mewujudkan harapan kami ke depan. Message ini juga yang membangun kembali
hatiku yang sebelumya sempat hancur. Entah karena apa hatiku memilihnya, yang aku
sendiri belum begitu tau perasaanya ke aku kayak gimana. Kemarin pas hubungan
kita sekitar tiga bulanan mas Anam menghilang entah untuk apa. Ia beralasan
ingin fokus sama UASnya bulan Januari, dari alasan ini aku merasa ndak pernah mengganggunya berkaitan
dengan study, tak seperti kebanyakan
pasangan kekasih yang ini-itu harus selalu diturutin, yang mau-ngag mau, bisa-ngag bisa harus ketemu tapi entah kenapa ia pilih alasan demikian. Hari
demi hari UAS pun usai tapi tak kunjung membuat ia menunjukan rasa sayangnya ke
aku, malah semakin ia menjauhiku jangankan sekedar menyapa menatap pun
sepertinya ogah. Sampai- sampai
rencanaku yang ingin membuat surprize di hari Ultahnya tanggal 26 Januari lalu,
pun turut gagal karena problem yang aku sendiri tak begitu faham penyebabnya. Ku
terima kabar lagi alasan yang ke dua kalinya adalah ia belum dapat restu pacaran
dari Ortunya. Meskipun begitu aku tetap bisa terima, walau jarak yang begitu
jauh ini, perasaan bimbang ini, rasa sakit ini harus ku kubur jauh didasar hati
hingga tak seorangpun mengerti makna kecerian yang senantiasa aku sajikan di
wajahku tak terkecuali dengan dirinya. Semua ini aku lakukan karena
memang aku menyayanginya.
Hingga
akhirnya aku peroleh message itu,
harusnya aku berontak, harusnya aku marah, harusnya aku pergi, harusnya aku
pilih putus tapi semua itu tak ada
yang aku lakukan walaupun tak ada
yang berpihak kepadaku. Bahkan ketakberpihakan
itu nyata aku peroleh dari orang- orang terdekatku.
“Alah Re,
kenapa dengan kamu? Apa istimewanya dia? Apa kamu pikir di dunia ini cuman ada
dia?!” Sungut Pupu suatu ketika, yang hanya aku balas dengan senyuman.
“Mbak Re,
apa yang kamu suka darinya? Apa dia membuatmu bahagia?” Sahut satu lagi kawanku
yang bernama Yani.
“Lho kok
gitu dek?” Sambil berlalu ku bela diriku yang sudah merasa terpojok tanpa
pembela, namun aku yakin mereka seperti itu karena tak tega melihatku terpuruk. Pilihan terakhir yang aku pikir bisa
sejalan dan cocok dengan hatiku yaitu kawanku yang bernama Sukma. Tanpa
berpikir panjang aku telah keluar dari kamarku dan telah sampai dikamar
sebelahku, yang tak lain adalah kamar Sukma.
“Kenapa mbak?”
Mendadak Sukma menyapaku dengan sedikit panik . Sikap yang demikian ku artikan
sebagai bentuk partisipasinya sebagai sahabat. Tanpa sungkan- sungkan ku
ungkapkan semua yang ku alami selama liburan kemarin.
“Nggih dek,
mas Anam masih sayang aku, aku yakin itu dek. Cuman memang seperti inilah cara
ia menuangkan perasaan sayangnya ke aku, seperti inilah realisasi cintanya.”
Kalimatku mengakhiri curahan hati kepada Sukma.
“Iya udah
mbak, kalau mbak sudah yakin ya dipertahanin aja. Yakinlah kalau tak ada pengorbanan
yang sia-sia meskipun harus perasaan yang jadi korbannya mbak.” Dengan ekspresi
yang ceria, seperti biasanya Sukma membuat aku semakin yakin dengan
keputusanku. Tak ada ungkapan lagi dariku baik itu berupa sanggahan ataupun
sebuah kalimat tanya. Refleks yang aku lakukan hanya menarik nafas dalam-dalam
dan menghembuskannya pelan bersama dengan sunggingan di bibir tipisku.
“Begitu dong, gag boleh sedih lagi. Lagian mbak
kan pernah bilang bahagia akan tiba pada waktu yang tepat” dengan tanpa menghentikan
kesibukannya Sukma masih menenteng sapu lantai di tangan kanannya.
“Nggih
dek” jawabku pasrah pada waktu.
* * *
Mulai dari
sinilah buhunganku dengan mas Anam kembali normal, bahkan lebih baik dari
sebelumya, yang aku rasakan bukan hanya kasih sayangnya tapi juga kesabaranya
membimbingku menjadi sosok yang baik di mata orang-orang disekitarku juga
Insyaallah baik di hadapan Tuhanku. Sebutan anak manja yang dulu menempel di
kepribadianku surut-menyurut kian berkurang walau. Bersamaan dengan itu kini
aku mulai merintis Semester 4, kebanyakan orang berpersepsi kalau semester
pertengahan bagi seorang mahasiswa adalah semester yang harus ekstra hati-hati
dan jangan terlalu dibuat hati karna akan banyak cobaan yang menghadang. Untuk
awalnya aku kurang sepakat dengan persepsi itu. Ku awali semeter ini dengan
lebih mengenal dan masuk dalam organisasi baik Internal maupun Eksternal yang
aku anggap sesuai dengan tujuanku dan aku berniat akan menyibukkan diri dengan
senantiasa mengusahakan kontribusi untuk itu. Dari Internal sendiri aku kini
sebagai Staff Bidang Pers dan Jurnalistik, di UKM aku juga anggota rebana walau
masih dalam tingkatan pemula. Sedangkan di Eksternal aku ikut salah satu
organisasi islami yang pelantikan kepengurusannya sebentar lagi. Kontribusi
awalku untuk eksternalku ditandai dengan pindahanku ke Wisma organisasi yang
membuatku harus meninggalkan sahabat-sahabat penyemangatku. Walaupun awalnya sangat
sulit karena harus meninggalkan mereka, memulai dengan kawan- kawan baru yang
semula belum begitu mengenal sisi lain mereka apalagi mas Anam juga belum
begitu setuju dengan keputusanku. Namun yang ada dipikiranku adalah bagaimana
caranya aku bisa senantiasa stand by setiap kali ada agenda organisasi.
Hari demi
hari kujalani dengan bersemangat mungkin karena semangat dari mas Anam pula,
kadang rasa capek berubah menjadi semangat menggelora. Posisi mas Anam juga satu
Eksternal denganku tapi beda Kompi. Dulunya sih ia benar-benar menolak turut
serta dalam Organisasi ini. Ku pikir dengan turut serta dalam Organisasi Islam
ini akan sangat membimbing hubunganku dengannya
jadi bersihkeras ku bujuk ia hingga akhirnya terbukalah pintu hatinya
untuk turut serta dalam Organisasi ini. Setelah aku berada dan turut mengayuh
bersama organisasi- organisasiku, aku merasa semakin cinta dan memiliki tanggung jawab di dalamnya.
Meskipun aku tau organisasi Internalku bertentangan dengan eksternalku, tapi
aku pikir itu hanya hasil dari mereka yang salah persepsi. Dari sini aku
berpikir seandainya antar organisasi faham dan saling menghargai visi- misi
satu sama lain pastilah kampus ini akan damai, itu baru lingkup kampus belum
lagi organisasi- organisasi besar lingkup Negara. Oleh karena itu sebisa
mungkin aku tetap bertahan karena dari sini pulalah aku memulai perjuangan,
sekalipun baru titik terkecil dari sistem negeriku. Tak salah aku meluruskan
niat untuk berorganisasi. Di Internal aku bisa bersumbangsih untuk Progdiku, di
eksternal aku bisa bersumbangsih untuk Agamaku, ku berpikir apa yang aku bisa lakukan untuk Agamaku
selain memulainya dari diri sendiri dan yang ada di sekitarku?
“dhek, mas
diminta menjabat sebagai Kabit Kerohanian. Pripun dhek?” suara lirih mas Anam
dari sambungan telepon yang sontak membuat aku bangga pada sosok kekasih
sepertinya.
“Nggih
bagus ta mas, itu tandanya njengan dianggap mampu. Aku yakin mas mampu untuk
itu, jadi kenapa ngag?” sanggahku
dengan sedikit sifat sok tauku namun
tetap dengan ketulusan sepenuh hati.€
“Bener
dhek? walau itu artinya kita harus benar-benar merubah segalanya dari saat
itu”. Masih seperti tak percaya,
agaknya kalimat itu dilontarkan mas Anam padaku.
“Nggih mas,
lha memangnya kenapa? toh memang seperti ini lebih baik, njengan bebas dengan
kesibukan njenengan begitu juga denganku namun tak menghapuskan perasaan kasih kita satu sama lain. Aku rasa itu
akan lebih baik” jawabku meyakinkan kekasihku untuk pengambilan keputusannya.
“Ou nggih
sampun nek ngoten dhek, lha njenengan sampun pelantikan?” Tanya mas Anam yang
aku artikan sebagai bentuk perhatiannya kepadaku.
“Alhamdulillah
sampun mas, kemarin. Aku Straffnya mbak Fatmah di bidang Perkaderan” Sedikit
malas-malasan ku jawab pertanyaan yang baru saja ku dengar itu.
“Nggih
bagus ta dhek, pripun mpun kerasan di Wismanya?” masih terus memberikan
semangat seakan ucapan itu dilontarkannya pada ku.
“Iya
begitulah seperti yang njenengan lihat saat ini” sambil terus membolak-balik
buku yang dari tadi ku pegang dan tak sedikitpun ku lirik.
“Nggih
sampun, semangat nggih” ucap mas Anam tanpa meninggalkan konotasi memotivasi.
Hingga tak
terasa perbincangan kami telah berakhir, yang hasilnya ditunjukkan dengan perubahan
wajah kucelku menjadi secerah bulan purnama saking bahagianya. Aku bersyukur
mengenalnya, berkesempatan menyayanginya walau aku tak tau seperti apa
perasaannya ke padaku. Andai sebuah gelas maka cintaku padanya seperti air
mengalir yang mengisi gelas itu hingga penuh bahkan melebihi volume, meski hati
ini terus menangis menahan rasa sakit yang sering kali menghampiri karenanya
tapi kulakukan semua demi cinta. Sampai kadang terbesit dalam benakku Bagaimana
jadinya aku bila harus tanpanya, yang segera ku tepis pikiran konyol itu.
Terkadang aku tak mampu menyimpan perasaan ini sendiri tapi tiap aku ungkapkan
pada kawan-kawanku yang aku dengar kebanyakan adalah kontra akan ungkapanku.
“Kok bisa
sih Re kamu segitu sayangnya sama seseorang?” Kata seseorang yang aku tuakan di
Wisma yang akrab ku panggil Ukhti yang
sering kali aku abaikan.
“Aku yakin
suatu saat kamu akan tau mengapa aku menyayanginya ukht” jawabku asal-asalan
sebagai bentuk pembelaan tak nyata dariku.
“Emt, Re
aku jujur pengen banget punya pacar. Entah kenapa aku pikir dengan aku punya
pacar aku bisa berjuang bersama dia dalam segala hal” Balas Ukhti yang kemudian
membuatku terkekeh.
“Kok bisa
gitu Ukh?” tanyaku semakin penasaran padanya, soalnya dia baru aja dilantik
sebagai salah satu Kabit dalam struktur kepengurusan kemarin denganku.
“Iya bisa
aja, kan enak tuh.” jawabnya ringan diikuti senyuman imutnya.
“Ukh,
denger-denger mas Anam pas pelantikan nanti juga diberi amanah Kabit” ungkapku
lirih sejajar dengan suara bisikan actor
di panggung teater yang biasa aku saksikan.
“Ou, ya
bagus dong” seraya melepas jilbab.
“Hemmt…”
aku sebagai lawan bicaranya hanya bisa menarik nafas penuh harapan.
Padahal
berawal dari sinilah perasaanku mulai tak seperti biasanya. Perasaan takut
kehilangan sosok kekasih yang aku sayangi karena suatu hal, dan entah alasan
apapun. Namun tetap aku yakinkan hati ini bahwa ia yang aku sayangai tak
seperti perkiraanku. Dengan begitu aku akan tetap bersemangat dalam segala
agendaku kemudian. Sampai beberapa hari setelah percakapan itu, seingatku hari
senin tanggal 25 bulan 03 sekitar pukul sebelas siang kuterima message dari mas
Anam.
Dari:
OnyetQ
…
25/03/2013
Dek ada
yang ingin qu bcrakan, dan ne mslah serius.
Setelah
tuntas membacanya aku kaget, ini message pertama darinya setelah message beberapa hari yang lalu. Membuat ku penasaran
apa masalah yang ingin ia bicarakan itu, dua menit kemudian telah terkirim
message balasan ku.
Dari: aQ
M3
…
25/03/2013
Nggih
ngomong mawon mz, mslh npo?
Tak
seperti beberpa hari yang lalu, dimana aku butuh waktu bermenit-menit hanya
untuk satu message balasan darinya. Kali ini message balasannya begitu cepet.
Dari:
OnyetQ
…
25/03/2013
Dek kita harus mengakhiri
hubungan ne smentara wktu, karena hanya itu yang harus qu lakukan sebelum
pelantikan Kabit.
Ironis.
Seakan perasaan tak enakku selama ini telah terbukti dan inilah bukti nyatanya.
Sempat terlintas dalam benakku kalimat bijak yang pernahku dengar Logika memang
tau bagaimana membuat keputusan yang benar, tapi hati tau mana yang bisa
membuat bahagia, bahkan jika itu keputusan yang salah. Aku tak bisa lagi
membendung air mataku, satu menit saja aku telah berhasil memerahkan seluruh
wajahku, membuat mendidih hati yang tadinya membatu.
Dari: aQ
M3
…
aQ akan
bljar ikhlas mz…
Insyallah,,,
nggih maav
aja nek slama ini aQ banyak salah…
maksih bwt
smua yg pernh mz berikan kpdQ mz…
mkasih…
Entah apa
yang ada dipikiranku hingga hanya balasan seperti itulah yang bisa aku
kirimkan.
Dari:
OnyetQ
…
25/03/2013
Tapi qu
mau ngomong langsung dlu sm njengan dhek.
Awalnya ku
tolak ajakan yang ku pikir hanya akan membuatku lebih hancur itu. Aku optimis
banget pembelaanku tak akan ada artinya jika memang keputusan awal yang ia buat
seperti itu, aku bersamanya sudah 8 bulan jadi aku yakin aku lebih mengerti dia
di banding kawan-kawan barunya. Karena hatiku gelisah banget setelah itu, maka aku
lebih memilih bisa dekat dengan semangat-semangatku, mereka sahabat-sahabatku
yang selalu ada untukku. Bahkan ketika itu juga Yani langsung menjemputku,
menenangkan diriku.
Satu hari
aku tak berada di wisma hingga sore harinya. Aku sengaja menghindar entah
kepada siapa, tapi entah kenapan di kampus aku di pertemukan dengannya disaat
aku benar-benar kalut. Aku tak ingin terlihat lemah dihadapannya, namun apa
yang aku bisa?
Sore
harinya mas Anam menemuiku, aku tak bisa menolak karena jujur aku masih ingin
melihatnya walau hanya 1 detik.
“Pripun
dek, aku cuman ngag mau mereka tau, aku telah pacaran sama njengan setelah
pelantikanku. Aku pengen mereka tau dan dengan itu bisa dijadikan pertimbangan
mereka” ucapnya lirih tanpa sedikit senyum dibibirnya.
“Tapi mas…
Apakah ini harus?” tanyaku sedikit menyelidik.
“Kemarin
sempet Ukhti Nana, sama Akhi Roni menegurku agar bisa-ngag bisa kita harus
pisah. Bahkan sempat ia menganggapku ngag
percaya sama Kuasa Allah karena telah pacaran. Tapi aku janji dek, akan ku
tunggu sampai adek lulus”. Seakan kalimat itu telah dihafalkan lama sehingga begitu
lancarnya mas Anam mengucapkannya.
Aku tak
mampu berucap lagi, hanya air mata yang belum berhasil ku hentikan yang mewakili
ungkapan hatiku.
“Apa kita
sama-sama keluar saja dek? Jika itu yang bisa membuatmu lebih baik” masih tanpa
senyuman mas Anam memberikan penegasan itu dan aku yakin itu bukan kehendak
hati yang sesungguhnya, hal seperti itulah yang tak ku suka.
“Ndak mas,
jika salah satu dari kita keluar hanya karena masalah kayak gini aku ngag suka.
Ok mereka ngag salah telah membenarkan larangan_Nya, dan aku juga ngag akan
memaksa njengan buat mempertahankanku” sanggahku tanpa berpikir panjang lagi.
Sampai sempat terbesit dalam benakku satu kata orang bijak, bahwasannya Orang
yang benar-benar menyayangimu tak akan kehabisan alsan untuk mempertahankanmu
dan tak akan mencari alasan untuk meninggalkanmu.
“Nggih
sampun dek, tak ada kata putus diantara kita” ucap mas Anam kemudian yang seakan
terpaksa.
Aku
terdiam tanpa kata, tak tau apa yang harus aku tanyakan atau aku sanggah
ataukah aku usulkan selain diam dan mencoba mengerti. Hingga mas Anam
mengakhiri percakapanny dan berpamit pulang. Tanpa dendang ku langkahkan kakiku
yang semakin loyo ke dalam kamar. Setelah kejadian itu jarang lagi ku dapat
kabar tentangnya, ingin hati mengirim message tapi segera ku tepis karena aku tak yakin akan ia respon. Meski terkadang
masih satu dua message ku terima darinya namun diriku merasa begitu terbebani,
aku masih bingung apa statusku dihadapannya, apa artinya kehadiranku untuknya,
masihkah aku diharapkan ataukah hanya sebuah keterpaksaan saja agar aku tak
melakukan suatu hal bodoh sebagai pelampiasan sakit hatiku. Aku tak menyalahkan
siapa-siapa atas kejadianku ini, aku yakin akulah yang salah.