Kamis, 22 Mei 2014

INDEPENDENSI POLITIK KAUM INTELEKTUAL*



Oleh: Noor Rochman (Direktur LAPMICS)

Karakter kepemudaan dan keintelektualan memungkinkan seseorang atau gerakan memiliki sikap independen. Gerakan kepemudaan dan keintelektualan yang selalu secara tegas menyatakan independen salah satunya adalah HMI yang dalam Anggaran Dasarnya menyatakan diri “organisasi ini bersifat idependen”. Independensi HMI tersebut merupakan pernyataan sikap terhadap semua kebenaran dari Allah SWT, memperjuangkan tanpa mengenal lelah dan siap menerima resiko perjuangan, memihak kepada siapapun yang juga memihak dan memperjuangkan nilai kebenaran, dan akhirnya semata-mata menggantungkan diri kepada Allah SWT dalam segala urusan (Khittah Perjuangan HMI).

Sedangkan, di kalangan LSM, independensi gerakan berarti tidak berpihak kemana-mana kecuali pada donor. Memberikan dukungan kepada sebuah kelompok politik tertentu adalah haram, nista, harus dijauhi. Politik kita adalah politik yang independen, begitu mantranya. Bagi gerakan kiri, yang bangkit kembali di akhir masa kekuasaan rezim orde baru, independensi gerakan tidak ada dalam kamus. Pilihannya hanya anti-Soeharto atau pro-Soeharto, kawan atau lawan, revolusi atau mati (http://indoprogress.com/2014/04/independensi/).

Edward W. Said (1998) mendefinisikan intelektual sebagai individu yang dikaruniai bakat untuk merepresentasikan dan mengartikulasikan pesan, pandangan, sikap atau filsafat kepada publik. Edward W. Said lebih menyukai batasan intelektual yang diberikan oleh Antonio Gramsci salah seorang idolanya di bidang intelektual. Di dalam buku Gramsci yang berjudul Selections From Prison Notebooks (1978), Gramsci mengatakan ‘semua orang adalah intelektual, tapi tidak semua orang memiliki fungsi intelektual’. Gramsci mengelompokkan dua jenis intelektual. Pertama, intelektual tradisional semacam guru, ulama, dan para administrator. Kelompok pertama ini menurut Gramsci dari generasi ke generasi selalu melakukan hal yang sama. Kedua, intelektual organik, yaitu kalangan profesional.

Kaum intelektual memiliki peran politik dalam menentukan setiap perubahan, dengan basis keilmuan yang dimiliki, tidak jarang ide-ide mereka lebih diterima oleh masyarakat ketimbang kebijakan publik yang dikeluarkan negara. Namun, tak jarang kaum intelektual yang memberikan dukungan politiknya kepada rezim penguasa yang menyebabkan kaum intelektual kehilangan independensi politik dari gerakannya. Bisakah kaum intelektual memiliki sikap independen, bahkan ketika kita telah menyatakan dukungan terhadap pihak lain?

Setowara, Subhan & Soimin (2013) menyebutkan ada tiga posisi yang bisa menghambat kaum intelektual untuk berperan optimal, Pertama, kaum intelektual yang berada dalam sebuah rezim hegemonik yang memungkinkan mempertahankan idealismenya, namun tidak sedikit yang menjadi alat negara. Kedua, kaum intelektual yang berpolitik praktis akan berhadapan dengan dunia kekuasaan yang dalam bahasa YB Mangunwijaya (1997) dicirikan korup, mental pencuri, pembohong, main tipu, suka yang semu, mengedepankan kepentingan, dan tidak kenal fair play yang berbeda dengan dunia intelektual yang bersih, selalu berpijak pada kebenaran, dan berjuang atas nama kebenaran. Ketiga, kaum intelektual yang memang tidak masuk dalam kekuasaan, namun ide dan wacana yang mereka gulirkan sengaja berpihak atau dibeli golongan atau penguasa tertentu.

Dalam situasi apapun, posisi kaum intelektual harus tetap mengabdi pada kebenaran serta cita-cita luhur yang didambakan masyarakat agar idealisme dan independensinya tidak tercerabut.
Meminjam pendapat Paul Ricour, kaum intelektual idealnya melakukan distansi kultural dengan mengambil jarak terhadap objek yang dia kritik. Namun, bukan berarti dengan independensi kaum intelektual menutup ruang gerak untuk melakukan kerja sama dengan kelompok atau individu lain baik yang berada dalam struktur pemerintahan maupun yang berada di luar struktur, kaum intelektual harus tetap bertindak sebagai pengontrol terhadap kebijakan yang mesti disikapi. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman yang utuh tentang independensi oleh kaum intelektual agar mampu mengejawantahkan independensi dalam ranah politik.  

Independensi dalam khittah perjuangan HMI (MPO) selalu dikaitkan dengan kemerdekaan sebagai fitrah dasar manusia. Menurut Borneo, Sabara Putera (2011) kemerdekaan adalah sebuah pemihakan yaitu pemihakan terhadap segala sesuatu yang berasal dari dan bertujuan kepada kebenaran (dalam hal ini ideologi Islam). Pemihakan tersebut tercermin dalam kerja-kerja kemanusiaan atau amal saleh yang menajdi rahmat bagi umat manusia dan alam semesta. Kemerdekaan dalam artian pemihakan secara penuh terhadap kebenaran memerlukan pengorbanan dan bahkan penderitaan yang cukup berat. Oleh karena itu, dituntut konsistensi sikap yang tercermin dalam sikap kritis, obyektif, dan progresif dalam memahami dan menyikapi realitas yang berkembang.

Selain “pemahaman utuh” tentang independensi kaum intelektual harus memiliki karakter ulil albab jika ingin menjaga stabilitas independensi di ranah politik, kenapa harus karakter ulil albab? Sikap independensi meniscayakan hadirnya beberapa sikap utama dalam diri seorang yang dikatakan dalam khittah perjuangan, independensi merupakan derivasi dari karakteristik insan ulil albab, yaitu:
“…Cenderung kepada kebenaran, (hanif), merdeka, kritis, jujur, progresif, dan adil. Dengan kata lain sikap independensi diwujudkan dengan kesanggupan untuk berbuat dan bertindak secara mandiri dengan keberanian menghadapi resiko. Sikap independensi menuntut tiap-tiap individu dalam jamaah dapat mempengaruhi masyarakat dan mengarahkan sistem kemasyarakatan ke arah yang dikehendaki Islam. Secara teknis sikap independensi juga memestikan kader untuk selalu tunduk pada ketentuan organisasi dan memperjuangkan misi organisasi. Serta tidak dibenarkan untuk membangun komitmen dalam bentuk apa pun dengan pihak luar yang bertentangan dengan yang telah diputuskan secara bersama.”

Amirullah, M Chozin (2010) menyatakan sikap independen akan muncul dari kekuatan tauhid yang kokoh. Seseorang yang meyakini ke-esaan Tuhan dengan penuh, maka pada dirinya sudah tertanam jiwa-jiwa independen. Seseorang yang bertauhid, padanya tidak ada yang ditakuti selain Tuhannya. Seseorang yang bertauhid tidak ada lagi kepentingan materialistik dalam perbuatannya, sehingga tidak akan mudah tergoda oleh tawaran-tawaran pragmatis dalam bertindak. Yang menjadi acuhan dalam tindakannya adalah Allah, sementara lainnya adalah nisbi. Maka itulah jiwa-jiwa independen yang sesungguhnya.

Jiwa independen bisa dimunculkan dari seseorang yang memiliki kedalaman aqidah dan selalu menjaga aqidah tersebut dengan selalu aktif mendekatkan diri padaNya. Jiwa-jiwa independen inilah yang harus ditanamkan ke dalam setiap kaum intelektual sebelum mengambil peran politik agar selalu berpihak yakni terhadap kelompok lemah yang tertindasdan siap mengambil posisi kritis terhadap suatu otoritas meskipun menjadi kaum pinggiran kalau dilihat dari pemilikan, kuasa dan kehormatan.

*Tulisan dimuat dalam Majalah Ber-SUARA LAPMI Cabang Semarang Edisi XXVIII April 2014M/1435H
Info & Berlangganan : 085640281855

0 komentar:

sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com