This is default featured slide 1 title

Majalah Bersuara LAPMI Cabang Semarang

This is default featured slide 2 title

Foto Majalah Bersuara LAPMI Cabang Semarang

This is default featured slide 3 title

Majalah Bersuara LAPMI Cabang Semarang

This is default featured slide 4 title

Majalah Bersuara LAPMI Cabang Semarang

This is default featured slide 5 title

Majalah Bersuara LAPMI Cabang Semarang

Kamis, 20 Februari 2014

MILIKI IKHLAS WALAU TERBATAS



Bukan cerita...
Bukan puisi..
Bukan drama..
Bukan pula balada yang ditulis layaknya sang pujangga.
Akan tetapi ini hanya sebatas sarapanku di pagi hari, dengan satu ide yang
mengawali semangatku...

Nurul Umi (Komisariat FPBS IKIP PGRI Semarang)

Jumat, 24 Januari 2014

            Butuh waktu lama untuk menuju kampus keikhlasan. Yah, keikhlasan itu yang selalu dikatakan oleh Bapak padaku. Entah berapa besar keikhlasan itu. Yang pasti, aku selalu saja mendapatkan bisikan-bisan kata itu mampir di telingaku. Pagi, siang, sore, atau bahkan malam sekalipun. Aku sendiri belum pernah menemukan atau menyaksikan keikhlasan itu dibuat. Apakah terbuat dari batu marmer? Atau sebuah bongkahan tanah yang kemudian berubah wujud menjadi keikhlasan. Ataukan ikhlas itu terbuat dari serat-serat benang sutra yang kemudian dirajut sedemikian rupa sehingga menjadi ikhlas. Aku sendiri tak tahu bagaimana ikhlas itu teripta. Tak tahu kapan ikhlas itu dapat kita temukan dalam waktu satu detik, menit, jam, hari, minggu, atau bisa juga tahun.
            Terkadang aku melongok ke langit luas. Dan kupandangi sinar demi sinar yang memancarkan kehangatannya di malam hari. Namun tak juga ku temukan ikhlas itu. Hanya sebongkah cahaya terang yang muncul dari bulan dan kedipan bintang-bintang kecil. Lalu, aku mencoba bertanya pada langit yang mulai membiru. Dimanakah aku harus menemukan keikhlasan itu. Sering pula aku bertanya pada desiran angin yang merasuk dalam sukmaku melalui kelenjar kulitku. Tak jarang pula aku bertanya pada rumput-rumput yang berjejer ria di pelantaran rumah. Mereka menyambutku, namun tak ada satupun yang menjawab dimana aku harus menemukan dan mendapatkan ikhlas. Sampai pada suatau titik, aku bertanya pada Robbku. Mengapa aku harus memiliki ikhlas walau hanya sebatas saja? Lalu dimanakah aku mendapatkannya?
            Kalimat yang tak pernah terlupa dari perbincanganku dengan Bapak adalah, “ Miliki ikhlas, walau terbatas “. Yah, kata-kata itu lagi yang selalu aku ingat dan aku dengar. Tak ada kata-kata lainnya lagikah? Atau memang Bapak sudah kehilangan banyak kata untuk menasehatiku. Akh, rasanya tidak mungkin Bapak seperti itu padaku, anak kesayangannya. Kholisoh, itu nama yang diberikannya padaku dua puluh tahun yang lalu. Nama yang indah dan memiliki makna yang bagus pula. Tak jelas bagaimana proses nahwu dan shorofnya, yang pasti arti dari nama itu mengandung keikhlasan.
            Ya Robb..
            Ikhlaskah hati ini menerima kehancuran batinku? Ikhlaskah aku menerima semua kelalaian hati ini? Rasanya tidak mungkin. Aku belum bisa menemukan makna keikhlasan yang sesungguhnya. Aku ikhlas menerima penghinaan semua teman-temanku karena aku tidak cantik seperti mereka. Aku ikhlas kehilangan dia, orang yang paling aku sayang setelah orangtuaku. Aku ikhlas melepas kepergiannya menuju keabadian dengan cintanya. Aku ikhlas mendapatkan sebuah penghianatan yang sampai sekarang masih membekas  di hatiku. Itukah yang dinamakan keikhlasan? Aku harus bertanya pada siapa lagi?
            Namun, renungan malamku bersama kesunyian telah sedikit merubah keegoisanku. Bukan dengan Orangtua, Guru, Kiyai, Ustadz, ataupun Kekasih aku bisa mendapatkan sebuah makna keikhlasan yang sesungguhnya. Tapi dari hati. Hatilah yang mampu mengukur seberapa banyakkah nilai ikhlas yang sudah kita miliki. Tak perlu banyak waktu untuk menuju kampus keikhlasan yang abadi. Hanya saja butuh waktu lama untuk benar-benar memahaminya.
            Yah, hanya pada Robbku sajalah aku bisa menemukan semuanya. Menemukan arti ikhlas, arti kesanggupan, arti kesabaran, dan memaknai berapa lama jarak dan waktu yang harus aku tempuh untuk mendapatkan semua itu.

Selasa, 18 Februari 2014

RUH HMI*

Oleh: Hasan Fuadi



Sudah menjadi lumrah setiap komunitas atau yang lebih canggih lagi “organisasi” mempunyai nama, apapun namanya. Karena mungkin kurang nyaman jika dianggap abstrak, kabur, dan mudah menimbulkan multipersepsi, maka timbul hasrat untuk menyatakannya dengan nama. Sesuai namanya, HMI (himpunan mahasiswa islam) mengembangkan, membina dan menyatukan dua hal sentral yang menjadi usaha perkaderannya; mahasiswa (kampus/simbol intelektual tertinggi) dan islam (masjid/simbol pusat spiritual) dengan output perjuangannya melanjutkan jejak keberhasilan akal dan hati mewujudkan puncak-puncak peradaban manusia yang diridhoi Allah SWT.


Dengan materi seperti itu, perlu sejumlah upaya agar tujuan perkaderan dan perjuangannya dapat dicapai. Kemampuan orang-orang yang berada didalamya (kader, pengurus, pengader) dalam menyerap dan menguasai materi mesti didorong sampai maksimal. Bayangan kerumitan dan kesukaran ditembus melalui berbagai cara. Dengan memanfaatkan buku-buku, diskusi dan berfikir tekun seakan tak pernah berhenti.


Sering terasa begitu susah mencari strategi yang pas untuk melakukan perkaderan dan perjuangan ditengah arus pragmatisme dan hedonisme yang begitu kuat melanda dunia mahasiswa. Dalam kondisi seperti itu, sebagai penghuni kampus yang sarat tradisi ilmiah, kita pun perlu melakukan pembacaan kembali, riset, membuat kesimpulan, dan berfikir lebih terbuka dalam mencari strategi-strategi baru yang kontekstual. Sudah hal yang biasa kalau tawaran-tawaran baru akan menimbulkan kontra, namun hal tersebut dapat diselesaikan dengan sikap mulia untuk saling menghormati, rendah hati, namun tetap objective, kritis, dan ilmiah. Ini semua hanyalah sebagian  sikap dan suasana yang seharusnya berkecamuk di lingkungan HMI, sukar dijabarkan secara utuh dan lengkap dalam sebuah visi, misi apalagi nama. Namun sangat penting sebagai ruh yang menjiwai kehidupan HMI.


Yang menjadi pertanyaan adalah seberapa kuat nafas ruh yang disebut diatas dihirup oleh orang-orang yang berada di HMI? Di HMI lazim berlangsung pertukaran pikiran yang bisa mendalam dan sungguh-sungguh, di sekretariat, di kampus, saat minum kopi di kucingan, angkutan umum, atau kesempatan lain. Dari situ kerap diperoleh ide guna menembus kemacetan perkaderan dan perjuangan yang ada di HMI atau sekedar sekelumit pencerahan. Inilah kehidupan HMI, bukan saja ada peningkatan kualitas diri, melainkan juga menciptakan atmosfer kondusif, suasana yang bisa membuat kader serasa berdosa jika tidak ikut “berdarah-darah” menggarap kualitas diri dan ikut dalam perjuangan HMI.


Namun dikaitkan dengan kriteria keberhasilan dan pertanggungjawaban, bisa saja tradisi di atas tak dinilai, yang dinilai adalah seberapa kali menyelenggarakan agenda formal ini atau itu,yang harus ada undangan tertulis, daftar hadir dan pesan perjuangan, maupun laporan. Bukan yang informal meski bermanfaat besar. Mungkin ini salah satu penyebab jika sekarang terasa susut nilai-nilai kader HMI yang unggul.


*Tulisan pernah dimuat di Majalah "BerSUARA" Lapmi Cabang Semarang Edisi XXV Oktober 2013/1434

Senin, 10 Februari 2014

STUDY BUDAYA SUNAN MURIA DALAM MASYARAKAT COLO MURIA

Bapak KH. Mastur, Ketua Dewan Pembina Yayasan Sunan Muria
 Kearifan lokal merupakan sikap dan kemampuan suatu komunitas di dalam mengelola lingkungan rohani dan jasmaninya. Hal ini memberikan pertumbuhan dan kemampuan dalam hal kelakuan dan adat istiadat yang mengakar baik di dalam kehidupan masyarakat Colo, Kudus.
Salah satu tradisi yang dibawa oleh Sunan Muria terhadap masyarakat Colo Muria adalah realitas budaya syukuran sebagai bentuk rasa syukur kepada alam dan Tuhannya dengan membawa ikan bakar, sambel teri, gudangan, dan saus pace yang secara masal dilaksanakan oleh masyarakat Colo Muria. Akan tetapi, budaya itu sampai saat ini sudah punah, entah karena pergeseran nilai-nilai budaya atau kehidupan moral.
Bukan hanya itu saja, setiap Hari Besar Islam tak luput Warga sekitar gunung Muria mengadakan sebuah acara yang dinamakan bancakan. Semacam acara tahunan yang bertujuan untuk menghormati dan mensyukuri apa yang ada di dunia ini, khususnya untuk masyarakat sekitar Sunan Muria. Ada pula Haul atau peringatan satu tahun masyarakat Muria yang ramai didatangi para peziarah baik di pasar maupun sekitar makam Sunan Muria.
Disamping itu pula tradisi yang masih berlaku pada saat ini dan masih menjadi kepercayaan desa Colo adalah masyarakat Colo khususnya tidak berani bekerja maupun ada kerjaan, hajat dan sebagainya pada hari Kamis Legi dan Jumat Pahing, karena konon hari tersebut merupakan hari istimewa bagi Sunan Muria yaitu hari dimana Sunan Muria melakukan sarasehan terhadap masyarakat dan hari dimana untuk melakukan pengajian.
Dan apabila masyarakat Colo ingin melakukan pekerjaannya maupun ada hajat tertentu, maka masyarakat Colo tersebut sebelumnya harus ziarah ke makam Sunan Muria dan melakukan selametan agar tidak mendapat balak maupun sesuatu yang tidak baik. Salah satu keberhasilan dakwah Sunan Muria sebagaimana para wali lainnya terletak pada kemampuannya memahami kondisi sosiologis masyarakatnya. Tradisi dan budaya yang dikembangkan oleh sunan muria kepada masyarakat Colo Muria masih terdapat unsur anamisme dan dinamisme yang amat kental sampai sekarang ini, dan menjadi kekayaan budaya dan kearifan lokal di tanah pertiwi ini.
Reporter: Mas’ud, Welas, dan Nurul Umi Makhmudah

sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com