Kamis, 20 Februari 2014

MILIKI IKHLAS WALAU TERBATAS



Bukan cerita...
Bukan puisi..
Bukan drama..
Bukan pula balada yang ditulis layaknya sang pujangga.
Akan tetapi ini hanya sebatas sarapanku di pagi hari, dengan satu ide yang
mengawali semangatku...

Nurul Umi (Komisariat FPBS IKIP PGRI Semarang)

Jumat, 24 Januari 2014

            Butuh waktu lama untuk menuju kampus keikhlasan. Yah, keikhlasan itu yang selalu dikatakan oleh Bapak padaku. Entah berapa besar keikhlasan itu. Yang pasti, aku selalu saja mendapatkan bisikan-bisan kata itu mampir di telingaku. Pagi, siang, sore, atau bahkan malam sekalipun. Aku sendiri belum pernah menemukan atau menyaksikan keikhlasan itu dibuat. Apakah terbuat dari batu marmer? Atau sebuah bongkahan tanah yang kemudian berubah wujud menjadi keikhlasan. Ataukan ikhlas itu terbuat dari serat-serat benang sutra yang kemudian dirajut sedemikian rupa sehingga menjadi ikhlas. Aku sendiri tak tahu bagaimana ikhlas itu teripta. Tak tahu kapan ikhlas itu dapat kita temukan dalam waktu satu detik, menit, jam, hari, minggu, atau bisa juga tahun.
            Terkadang aku melongok ke langit luas. Dan kupandangi sinar demi sinar yang memancarkan kehangatannya di malam hari. Namun tak juga ku temukan ikhlas itu. Hanya sebongkah cahaya terang yang muncul dari bulan dan kedipan bintang-bintang kecil. Lalu, aku mencoba bertanya pada langit yang mulai membiru. Dimanakah aku harus menemukan keikhlasan itu. Sering pula aku bertanya pada desiran angin yang merasuk dalam sukmaku melalui kelenjar kulitku. Tak jarang pula aku bertanya pada rumput-rumput yang berjejer ria di pelantaran rumah. Mereka menyambutku, namun tak ada satupun yang menjawab dimana aku harus menemukan dan mendapatkan ikhlas. Sampai pada suatau titik, aku bertanya pada Robbku. Mengapa aku harus memiliki ikhlas walau hanya sebatas saja? Lalu dimanakah aku mendapatkannya?
            Kalimat yang tak pernah terlupa dari perbincanganku dengan Bapak adalah, “ Miliki ikhlas, walau terbatas “. Yah, kata-kata itu lagi yang selalu aku ingat dan aku dengar. Tak ada kata-kata lainnya lagikah? Atau memang Bapak sudah kehilangan banyak kata untuk menasehatiku. Akh, rasanya tidak mungkin Bapak seperti itu padaku, anak kesayangannya. Kholisoh, itu nama yang diberikannya padaku dua puluh tahun yang lalu. Nama yang indah dan memiliki makna yang bagus pula. Tak jelas bagaimana proses nahwu dan shorofnya, yang pasti arti dari nama itu mengandung keikhlasan.
            Ya Robb..
            Ikhlaskah hati ini menerima kehancuran batinku? Ikhlaskah aku menerima semua kelalaian hati ini? Rasanya tidak mungkin. Aku belum bisa menemukan makna keikhlasan yang sesungguhnya. Aku ikhlas menerima penghinaan semua teman-temanku karena aku tidak cantik seperti mereka. Aku ikhlas kehilangan dia, orang yang paling aku sayang setelah orangtuaku. Aku ikhlas melepas kepergiannya menuju keabadian dengan cintanya. Aku ikhlas mendapatkan sebuah penghianatan yang sampai sekarang masih membekas  di hatiku. Itukah yang dinamakan keikhlasan? Aku harus bertanya pada siapa lagi?
            Namun, renungan malamku bersama kesunyian telah sedikit merubah keegoisanku. Bukan dengan Orangtua, Guru, Kiyai, Ustadz, ataupun Kekasih aku bisa mendapatkan sebuah makna keikhlasan yang sesungguhnya. Tapi dari hati. Hatilah yang mampu mengukur seberapa banyakkah nilai ikhlas yang sudah kita miliki. Tak perlu banyak waktu untuk menuju kampus keikhlasan yang abadi. Hanya saja butuh waktu lama untuk benar-benar memahaminya.
            Yah, hanya pada Robbku sajalah aku bisa menemukan semuanya. Menemukan arti ikhlas, arti kesanggupan, arti kesabaran, dan memaknai berapa lama jarak dan waktu yang harus aku tempuh untuk mendapatkan semua itu.

0 komentar:

sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com