This is default featured slide 1 title

Majalah Bersuara LAPMI Cabang Semarang

This is default featured slide 2 title

Foto Majalah Bersuara LAPMI Cabang Semarang

This is default featured slide 3 title

Majalah Bersuara LAPMI Cabang Semarang

This is default featured slide 4 title

Majalah Bersuara LAPMI Cabang Semarang

This is default featured slide 5 title

Majalah Bersuara LAPMI Cabang Semarang

Rabu, 18 Juni 2014

Nasionalime Politik dan Ideologi Anti Neoliberal*


Oleh: Lukni Maulana– Pengasuh Sciena Madani



Nasionalisme merupakan tuntutan politik, sebagaimana bunyi sila ketiga, Persatuan dan Kesatuan. Semangat nasionalisme menjadi semangat perjuangan dan pergerakan untuk menuntut kedaulatan. Sebagaimana dilakukan oleh para pemuda dan pelajar terdahulu yakni pada akhir tahun 1920-an konsep nasionalisme mendapat bentuknya yang dipelopori oleh tiga organisasi pergerakan yaitu Perhimpunan Indonesia, Indonesische dan Algemeene Studie Club. Ketiga organisasi kepemudaan ini menjadi peletak dasar nasionalisme di Indonesia yang lebih terkonsep dan praktis.
Namun nasionalisme hanya sebagai sebuah simbol nasionalisme politik yang bertujuan untuk memasukan idiologinya. Sebagaimana terdahulu sosialis-komunis mengambil wadah dalam ISDV (Indische Sociaal Demockratische Vereniging) yang dipelopori oleh Belanda dan Indonesia. Dari pihak yakni Sneevliet, Brandstender dan Dekker, sedangkan dari Indonesia adalah Semaun. Namun pada tahun 1920 ISDV berubah nama menjadi Perserikatan Komunis Hindia. Begitu juga dengan SI (Serikat Indonesia), tujuan awalnya sebatas bidang ekonomi yang berdasarkan ajaran Islam. Akan tetapi perkembangaanya berubah masuk wilayah politik yang mana anggotanya tidak hanya orang beragama Islam.
Setiap ideologi menawarkan beragam konsep, gagasan, ide dan langkah praksis untuk mencapai kedaulatan rakyat. Namun masyarakat dapat menemukan dan menentukan pilihannya sendiri sebagai wadah perjuangan. Organisasi menjadi wadah perjuangan, baik organisasi politik, ekonomi, keagamaan maupun sosial seperti dahulu ketika para priyayai tergabung dalam Budi Utomo, kaum santri dalam wadah Sarekat Islam dan abangan memilih PKI.
Inilah keberagaman ideologi di masyarakat kita dahulu, dengan adanya keberagaman ideologi menunjukan bahwa bangsa Indonesia memiliki keunikan tersendiri. Dari keberagaman itulah keluar satu kata untuk saling bersama menjunjung persatuan dan kesatuan berupa membangun nasionalisme untuk mencapai kemerdekaan. Bagaimana dengan sekarang dimana bangsa ini lepas dari penjajahan fisik, namun masih dibelenggu penjajahan globalisasi sehingga saat ini merasakan ketertindasan ekonomi.
Tahun 2014 ini menjadi momentum kebangkitan atau keterpurukan?, dimana telah meloloskan 14 partai, 3 partai lokal di Aceh. Sedangkan 11 partai tersebut yakni Partai Nasdem, PKB, PKS, PDI-P, Golkar, Gerindra, Demoktar, PAN, PPP, Hanura, PBB dan PKPI. Kesebalas partai tersebut membawa ideologi masing-masing dan memiliki karakter tersendiri. Masih ingatkah kita Partai Cinta Damai, pada pemilu tahun 2009. Partai ini dibentuk oleh kaum tarekat yang digagas oleh seorang ulama ahli ilmu tasawuf yakni Prof. Dr. H. Saidi Syeikh Kadirun Yahya Muhammad Amin, M.Sc. partai Cinta Damai bersifat terbuka yang memiliki visi ilahi yakni Anta Maqsudi wa Ridhaka Mathlubi (Hanya Enkaulah yang kutuju dan Keridhaan-Mu yang kudambakan).
Hal ini menunjukan keterbukaan, apapun ideologimu dan masyarakat bisa menentukan sendiri dimana wadah yang cocok bagi perjuangan dan pilihannya. Beragamnya ideologi tersebut layaknya mejadi tempat untuk membangun nasionalisme baru untuk menjadi bangsa yang berdikari seperti cita-cita pendiri negara ini Ir. Soekarno.

Politik Kepentingan
Sepertinya nasionalisme telah luntur, setiap ideologi memiliki kepentingannya sendiri yang berwujud dan berbentuk partai. Slogan anti korupsi sering terdengar, namun banyak kader partai yang terjerat dalam kungkungan arus korupsi. Adakah partai yang berani melawan musuh yang lebih perkasa dari perilaku korup, musuh itu yakni kapitalisme dan liberalisme yang berwujud globalisasi.
Akan tetapi dengan beragam ideologi yang saat ini ada, dalam membangun nasionalisme untuk kesejahteraan rakyat hanya seperti pepesan kosong apalagi anti neoliberalisme. Partai sepertinya hanya menjadi tempat nasionalisme politik, begitupun masyarakat cenderung apatis terhadap partai. Hal ini sesuai pandangan, tidak ada sesuatu yang gratis di dunia ini. Kata-kata itu menjadi slogan jiwa masyarakat pada umumnya sehingga melahirkan politk transaksional. Dengan politik transaksional cara berfikir manusia mengalami perubahan baik cara manusia berfikir dalam berpolitik maupun berbudaya.
Partai politik dan ideologinya pada akhirnya menempati kedudukan yang terhormat di era demokrasi. Memiliki kedudukan terhormat ini dikarenakan partai politik menjadi lumbung perwakilan bagi rakyat. Seiring politik transaksional, partai politik menjadi tawar menawar dalam artian bahwa partai politik yang mengedepankan ideologinya sepertinya akan sulit bersaing di pemilu 2014 ini. Sekarang ini partai politik lebih mengedepankan seorang tokoh dibandingkan dengan ideologi seperti PDI-P dengan Jokowi, Hanura dengan Wiranto, PBB dengan Yusril Ihza Mahendra, dan Golkar dengan Aburizal Bakrie. Sosok figur menjadi penentu kemenangan Partai untuk menarik simpati masyarakat.
Tidak ada lagi semangat nasionalisme untuk berdirkari, apalagi anti neoliberalisme. Itulah sepengal kalimat yang cocok untuk politik transaksional sekarang ini. Isu membangun nasionalisme dan anti neoliberalisme hanya sebatas senjata para politisi untuk menarik simpati publik. Tidak seperti dulu nasionalisme sebagai simbol politik yang bertujuan memasukan ideologinya, kini nasionalisme hanya sebatas untuk kepentingan partai politik dan kepuasan individu serta dinasti politik.
Seperti perkataan Tan Malaka dalam bukunya, Merdeka 100%, Tiga Percakapan Ekonomi Politik; Saatnya kita merdeka 100% yang berarti negara benar-benar memiliki kekuatan untuk mengatur bangsa dan negaranya sendiri. Uang tidak perlu! Tapi yang perlu ialah kemerdekaan 100%. Sekali lai! Uang sebagai kapital asing tidak perlu, malahan membahayakan. 
Semoga perkataan Tan Malaka menjadi pemicu semangat kebangsaan, untuk membangun kembali nasionalisme yang berideologi. Dicari wakil rakyat yang merakyat dan presiden anti neo-liberal.

*Tulisan dimuat dalam Majalah Ber-SUARA LAPMI Cabang Semarang Edisi XXVIII April 2014M/1435H
Info & Berlangganan : lapmics@gmail.com


Kamis, 05 Juni 2014

KEKERINGAN INTELEKTUAL SEBAGAI IDENTITAS APATISME KADER



Oleh: Ahmad Mas’ud (Komisariat Syari'ah IAIN Walisongo Semarang)

Sepintas agak mengerikan ketika coretan demi coretan penulis goreskan diatas lembaran putih ini, rasa gelisah mulai menghampiri benak fikiran yang juga berstatus sebagai kader HMI. Terpaksa lahirlah tulisan dari perenungan alam bawah sadar yang serasa menyesakkan hati. HMI, begitulah namanya yang sangat sakral dan penuh arti. Dimana HMI sebagai organisasi mahasiswa tertua di Indonesia dan telah menyumbangkan aspirasi kepada pemerintah dan ikut serta dalam kontrol sosial kepada rakyat. Secara tegas didalam khittah perjuangan HMI merupakan paradigma gerakan atau manhaj yang merupakan pilihan ideologis. Yaitu prinsip-prinsip penting dan nilai-nilai yang dianut oleh HMI sebagai tafsir utuh antara azas, tujuan, usaha dan independensi HMI.

Dilihat dari tujuan HMI yaitu kata insan ulil albab, sebagai kader pemikir yang kritis di berbagai bidang, intelektualitas sebagai simbol yang dijunjung. Ini mungkin menjadi refleksi aktualitas kita sebagai tanggung jawab sosial, cak nur pernah berkata dalam forum HMI “anda semua itu ahli waris Indonesia yang paling representatif”. Tetapi rekan-rekan sebagai kader HMI sekarang ini seakan-akan melihat sebelah mata akan komitmen pada cita-cita dan spirit perjuangan berproses menjadi seorang insan pemikir, intelek dan peka. Terhanyut pada arus nafsu yang menyesatkan, down nya budaya semangat membaca, bolongnya forum diskusi,  jebolnya karya kreatif kader dalam menorehkan tinta emas diatas lempengan perak peradaban dan karya ilmiah dibidang keilmuan, keislaman, realitas sosial dan sebagainya. Yang menjadi pertanyaan siapa yang disalahkan, siapa yang bertanggung jawab atas keringnya karya, sumbangsih peradaban, maupun aura gerakan kader?”, banyak yang bersifat apatis, mementingkan dirinya sendiri, bersifat senioritas atas kader dibawahnya ini mungkin terjadi, ketidak seriusan mendekati, membimbing dan mengarahkan kader baru setelah LK 1, kurangnya ngopeni, -ngingoni, -ngragati,-ngayomi kader biasa terhadap bawahnya, sehingga menimbulkan sebab buta arah melangkah sang kader baru. Fenomena buta arah menyebabkan gagalnya cetakan calon sang ideologi dan non aktifnya jasad, dikotomi hubungan harmonisasi antar kader karena suatu hal, yang menyebabkan terjadinya miss bahkan mendiskreditkan antar kader HMI, yang memungkinkan perpecahan pendapat dengan membentuk firqoh maupun berpoligami dengan  firqoh yang lebih nyaman.

Refleksi diri

Tidak ada organisasi yang sempurna di muka bumi ini, Organisasi hanyalah merupakan wadah pengembangan skill mahasiswa. Lebih dari itu HMI merupakan organisasi yang orientasinya pada keimanan, islam dan amal, yang ketiganya saling bersinergi dan singkron bagaikan pohon dengan akarnya, batangnya beserta cabang dan buahnya yang saling berkaitan dan menguatkan. Dan ketiga unsur tersebut mati apabila tidak ada roh maupun jiwa keseriusan yang hidup dan mengisi didalamnya. Membuang rasa arogansi, apatisme, senioritas dan merefleksikan maupun muhasabah diri, apa yang baik di junjung, apa yang kurang dilengkapi, apa yang jelek dibuang dan di pendam dalam-dalam dalam relung bumi. Mencontoh perjuangan para pendahulu intelektual yang telah mencurahkan dirinya terhadap HMI ini, dan harapan utama para kader HMI dapat menjadi pengganti sang maestro intelektual terdahulu. Amin

Semarang, 29-12-2013

*Tulisan dimuat dalam Majalah Ber-SUARA LAPMI Cabang Semarang Edisi XXVII Maret 2014M/1435 H
Info & Berlangganan : 085640281855

Senin, 02 Juni 2014

MAHASISWA KOLOT,TANTANGAN BAGI HMI UNTUK MENCIPTAKAN STRATEGI BARU DALAM PERKADERAN



Oleh: Beta Wijaya (Komisariat FPBS Universitas PGRI Semarang)


Sekarang ini untuk mengkader mahasiswa bukanlah hal mudah. Memang sangat sulit menghadapi mahasiswa sekarang ini. Walaupun pada era setelah reformasi ini begitu demokratis namun hal ini sama sekali tidak memperkuat jiwa kekritisan seorang mahasiswa. Mereka acuh tak acuh menghadapi kebobrokan bumi pertiwi ini, hal ini mungkin di karenakan mereka sudah teracuni oleh era globalisasi ini yang membuat mahasiswa menjadi terlena dan kolot.

Padahal pada zaman era orde baru seluruh mahasiswa se-Indonesia bersatu padu merebut demokrasi untuk pembebasan otoriter ini, demi untuk kemajuan tanah air tercinta ini dari kekangan sang otoriter dan kroni-kroninya, dan khususnya untuk kebebasan berdemokrasi oleh seluruh rakyat, padahal pada dasarnya pemerintah itu bekerja hanya untuk rakyat. Mengenai kebobrokan mahasiswa sekarang ini membuat si penjajah negeri sendiri menjadi merajalela

Dalam usaha mengembalikan jati diri mahasiswa HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) turut berupaya didalamnya. Salah satunya dengan melalui kegiatan-kegiatan, Misalnya diskusi- diskusi intelektual dan kegiatan social. Pada realitas sekarang mahasiswa masih banyak yang kolot sehingga mereka malas dalam berkegiatan apalagi diajak untuk aktif dalam kegiatan ber HMI sehingga dibutuhkan strategi-strategi khusus dalam usaha merekrutnya. “Dalam perkaderan HMI ini, pengkader mempunyai suatu upaya-upaya yang salah satunya adalah pendekatan secara personal yaitu dengan cara mengajak melalui hobi-hobi atau minat sasaran yang akan dijadikan kader ’’ ujar, Hasan Fuadi (21) Ketua KPC (Korp Pengkader Cabang).

Selain itu beliau juga menegaskan selain melalui pendekatan personal seorang pengader harus memiliki suatu inovasi dalam hal upaya perkaderan di era sekarang ini. Salah satunya dengan memanfaatkan dunia maya ini yang sangat mudah sekali diakses dimanapun dan kapanpun. Hal ini memudahkan untuk mencari kader-kader penerus generasi dengan melalui pendekatan di jejaring social misal facebook, twitter dan lain sebagainya. Ini sangat memungkinkan karena dunia maya bukanlah dunia bawah mimpi lagi, namun dunia maya sudah membaur dengan dunia nyata, bahkan sekarang itu adalah kebutuhan bagi penghuni dunia nyata saat ini.

 Mengenai kesulitan pencarian kader pada jaman kolot sekarang ini membuat mahasiswa  menjadi berpikiran kolot, hal ini memanglah sangat sulit memperangi jiwa kekolotan mereka oleh karena itu harus selalu berinovasi dalam strategi perkaderan ini memanglah bijak dilakukan demi keberlangsungan dan loyalitas HMI. Namun walau hanya ada 1 atau 2 kaderpun itu tak masalah, asal mereka tetap kritis dan selalu berjuang demi HMI dan terutama demi bumi pertiwi yang jaya ini.


*Tulisan dimuat dalam Majalah Ber-SUARA LAPMI Cabang Semarang Edisi XXVII Maret 2014M/1435 H
Info & Berlangganan : 085640281855
sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com