This is default featured slide 1 title

Majalah Bersuara LAPMI Cabang Semarang

This is default featured slide 2 title

Foto Majalah Bersuara LAPMI Cabang Semarang

This is default featured slide 3 title

Majalah Bersuara LAPMI Cabang Semarang

This is default featured slide 4 title

Majalah Bersuara LAPMI Cabang Semarang

This is default featured slide 5 title

Majalah Bersuara LAPMI Cabang Semarang

Kamis, 28 Februari 2013

Sajak tak berjudul


 
Dia mengatakan ya-
Dia juga mengatakan tidak
Aku berharap ya
Dia berharap tidak
Aku menangis
Dia tertawa
Aku menyentuh
Dia menampar
Aku terdiam
Dia ketawa
Aku berjalan
Dia malah merangkak
Apa sih yang menjadi beda?
Tak lihat sama.
Tapi beda
Tak rasa benar,
Tapi salah
Seperti angan yang selalu ku rasa kemarin, sekarang, dan
Besok yang akan datang!
Dan ternyata aku dibohongi rasa……


BY; AKANG MAARIF ANAK DEMAK TULENN

Jalan Licin



Dibelakangku kau teriak keras…
Tak ada rasa malu pun risih
kau lakukan dibalik sadarmu…
Saat ku melangkah mnuju arah

Ketika aku menatap langkah mu….
Kau melemparkan diri..
Bak seperti tertutup misteri..
Semua pnuh sandiwara…

Apa yang sedang terjadi?

Hujan gerimis menyertai langkahku
Ketika kau mengucap suara…
Saat kaki lepas dari harapan..
Jalan penuh dengan rintangan
Saat itulah aku mendapat kenyataan…

Ternyata kau telah hanyut oleh  jalan yang licin…..
By : Arief Liverpudlian

Kembalikan Guru sebagai Pendidik



Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pasal (1) mengatakan bahwa “ Guru adalah pendidik Profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah”.
Pada pasal (2) juga ditegaskan bahwa Guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga professional pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Diakui sebagai tenaga professional jika bisa dibuktikan dengan sertifikat pendidik.
Uraian tersebut mengisyaratkan bahwa seorang guru mempunyai tugas yang amat berat. Mendidik yang tidak sekadar mendidik, mengajar yang tidak sekadar mengajar, membimbing peserta didik dengan berbagai latar belakang, dan seterusnya. Harapannya, dengan penuh kesabaran (Guru) mampu menanamkan berbagai konsep pemahaman pada banyak cabang ilmu.
Selain menanamkan berbagai konsep ilmu tadi, Guru harus membentuk “karakter yang baik” pada anak didiknya. Mengingat masalah karakter menjadi salah satu kebutuhan yang sangat mendesak di negeri ini. Dalam berbagai sudut pandang, Guru menjadi trend topic yang banyak diperdebatkan. Artinya, masih banyak sekali masalah yang melekat pada diri guru. Mulai dari masalah kompetensi, sampai pada karakter guru itu sendiri.
Banyak masyarakat yang mengidamkan profesi guru terlihat dari angka masuk perguruan tinggi sampai pada pendaftar terseleksi calon Pegawai Negeri Sipil akhir-akhir ini. Namun, sebagian dari mereka mengartikan bahwa guru adalah sebuah pekerjaan. Sehingga yang ada dalam pikiran mereka adalah sekadar bekerja untuk mendapatkan gaji.
Sungguh ironis, ketika bangsa ini perlu banyak sosok guru yang tanpa lelah, tanpa pamrih, tanpa mengenal waktu untuk memperbaiki kualitas generasi jaman sekarang, akan tetapi kenyataan begitu adanya. Pemerintah sebenarnya tidak tinggal diam menanggapi masalh ini, hanya saja mungkin butuh waktu lebih lama untuk mengembalikan sosok guru sebagai pendidik.
Sederet kebijakan untuk peningkatan mutu guru juga telah dikeluarkan oleh pemerintah, alhasil belum juga menemui titik terang yang jelas. Mungkin sudah waktunya semua unsur yang ada dalam dunia pendidikan kita meng-instal ulang pemikiran kita. Sehingga bisa kembali menjadi pendidik yang benar-benar professional dan bisa mengemban amanat undang-undang yang selama ini menjadi perbincanga. Dengan demikian, semoga pendidikan kita dapat berkembang pesat dengan berlandaskan karakter yang berkualitas pula.

by; AREF MIFTAKHULL DPM PARTAI MAWAR IKIP PGRI SEMARANG
ASLI KOTA WALI

Karya Monumental August Comte “Course Of Phositive Philosopy”




Auguste Comte (1798), lahir di Montpellier, Perancis, adalah pendiri positivisme. Dia menganalogikan masyarakat layaknya organ tubuh manusia. Tidak heran, karena filsafatnya masih terpengaruh oleh aliran biologis/naturalisme. Dia terkenal dengan hukum tiga tahap perkembangan masyarakat: teologis, metafisik, positif. Hukum ini ia sebutkan dalam karyanya “Course of Positive Philosophy” yang ia buat sebanyak 6 jilid dari tahun 1830 sampai dengan 1842. Konsepsinya dalam buku ini didasari akan kekhawatirannya akan kacaunya masyarakat sehingga mereka membutuhkan suatu metode untuk mencapai keteraturan sosial. Comte menemukan itu ada dalam gejala-gejala ilmu pengetahuan dan kaitan antara semua ilmu tersebut. Buku ini pun menjadi dasar bagi aliran positivisme. Karya monumentalnya yang berikutnya adalah “System of Positive Politics” yang menjelaskan tentang agama humanitas. Latar belakang pembuatan karya besar keduanya itu dipengaruhi oleh pujaan hatinya Clothilde de Vaux yang sangat membekas dalam jiwanya. Menariknya kedua karyanya tersebut seperti sebuah seri dari pemikiran Comte. Dalam Course, Comte mengatakan sains bertransformasi menjadi filsafat; sedangkan dalam System, filsafat bertransformasi menjadi agama.
Buku dengan judul asli Cours de Philosophie Positive (Pelajaran Filsafat Positif) adalah garapan dari karyanya sebelumnya yaitu Systeme de philosophie positive (1824) (Sistem filsafat positif). Course memuat dua tujuan, yaitu fondasi untuk sosiologi (yang ia sebut fisika sosial) dan koordinasi semua ilmu positif. Dalam tiga volume awal, ia menjelaskan lima ilmu sains yang fundamental (matematika, astronomi, fisika, kimia, biologi) dan tiga volume berikutnya adalah ilmu sosial. Ilmu-ilmu alam telah ada pada waktu itu dan Comte hanya meringkas poin-poin dari doktrin dan metodologi utama mereka dengan membangunnya lewat analisa objektif dan historis.

Awal mula positivisme yang dikembangkan Comte adalah kesadarannya akan Revolusi Perancis yang menurutnya adalah krisis yang cenderung ke arah reorganisasi masyarakat secara besar-besaran. Ia menyatakan bahwa reorganisasi itu hanya berhasil, masyarakat yang adil akan tercipta, jika orang mengembangkan metode berpikir yang baru tentang masyarakat. Comte melihatnya dalam sains dan mencoba mensistematisasikan metode itu. Lahirlah metode positif yang sesuai hukum-hukum ilmu alam: diarahkan pada fakta-fakta, pada hal yang berguna, ke arah kepastian, dan kecermatan. Sarana bantu bagi sains seperti observasi, eksperimen, dan perbandingan ditambah dengan metode historis yang ditujukan untuk mengungkapkan hukum-hukum yang menguasai perkembangan gagasan-gagasan di masyarakat.
Comte memberikan analisis komprehensif tentang kesatuan filosofis dan metodologis yang jadi dasar ilmu alam dan sosial dalam Course. Dalam bukunya itu, Comte memperlihatkan bahwa evolusi filosofis yang dialami matematika, geometri, astronomi, fisika, kimia, biologi dan fisika sosial (sosiologi) adalah melewati tahapan perkembangan yang sistematis. Ia menjelaskan urutan gejala-gejala (statika) dan kaitan organis gejala-gejala (dinamika) ilmu-ilmu tersebut. Dalam ilmu alam, aspek statis dan dinamis yang berkaitan dengan objek yang mati dinamakan tetap dan gerak, sedangkan yang berkaitan dengan objek yang hidup dinamakan anatomi dan fisiologi. Dalam ilmu sosial yang mengambil objek gejala-gejala masyarakat, aspek-aspek tadi berhubungan dengan tata (keteraturan) dan kemajuan. Tata merupakan dasar dan hasil kemajuan, dan kemajuan hanyalah mungkin atas dasar tata. Jadi hukum-hukum yang harus ditemukan dengan pertolongan metode positif dapat dibagi dalam dua kelas, yaitu hukum-hukum mengenai urutan gejala-gejala sosial dan hukum-hukum mengenai kaitan gejala-gejala itu.[1]
Comte menjelaskan urutan gejala-gejala sosial dinyatakan dalam tiga tahap. Tahapan yang dibuat menunjukkan cara berpikir masyarakat pada saat itu. Titik awalnya adalah tahapan teologis dimana pikiran manusia saat itu dalam pencarian akan asal dan sebab akhir segala sesuatu, manusia mencari hal-hal itu dalam kekuatan-kekuatan alam dan benda-benda angkasa yang ia anggap punya kekuatan. Pada tahapan berikutnya, tahap metafisik, keterkaitan dengan sesuatu yang supranatural digantikan dengan entitas yang abstrak. Manusia mengalihkan perhatiannya pada kecintaan akan tanah air, pembelaan terhadap bangsa atau nasionalisme, dan sebagainya. Tahap ini adalah tahap kritis pemikiran teologis dan persiapan menuju stadium positif. Pada tahap positif yang mana akal manusia telah mencapai puncak ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang, orang tidak lagi mencari pengetahuan absolut tentang sebab-sebab akhir tapi menanyakan kaitan statis dan dinamis gejala-gejala.
Dalam kaitan antara gejala-gejala sosial, Comte menyebutkan meskipun cara pandang zaman prapositif lebih rendah daripada di zaman positif, namun cara berpikir di zaman terdahulu ini memberi sumbangan bernilai berupa konsensus atas seperangkat pandangan dan kepercayaan bersama yang penting bagi keteraturan sosial. Tahap positif tidak mungkin ada tanpa adanya tahap teologis yang mendahuluinya dan tahap metafisik yang menjembataninya. Benih-benih menuju tahapan berikutnya selalu ada, seperti pada masa fetisisme timbul pemikiran untuk beralih dari cara hidup yang berpindah-pindah menjadi menetap sebagai hasil usaha menjelaskan gejala dengan takhayul primitif. Masa itu digantikan dengan masa politeistik dimana manusia mulai menganggap adanya suatu kekuatan di luar dirinya dan menjadi monoteistik saat manusia mulai mengenal tuhan. Tapi sistem kepercayaan seperti itu mendorong manusia untuk mudah memisahkan kehidupan rohani dan duniawi sehingga kehidupannya diarahkan pada kekuatan lain yang sifatnya abstrak. Saat ilmu pengetahuan berkembang sebagai hasil kesempurnaan akal manusia, teknologi diciptakan dan manusia menuju tahap dimana kekuatan itu diarahkan pada benda-benda atau materi. Industri menjadi tipe organisasi sosial di era positif. Sedangkan tipe keteraturan sosial di tahap teologis mencerminkan tipe organisasi sosial yang militer. Di tahap metafisik, dominan dengan hukum karena masyarakat saat itu didominasi oleh mereka yang berusaha menarik doktrin sosial politik dari pemahaman tentang hukum alam.
Pandangannya ini sempat dipuja oleh John Stuart Mill di Inggris. Bahkan ia terang-terangan menyatakan diri sebagai pengikutnya dan menjadi penyebar paham positivisme yang giat. Tapi kekecewaan mendalam harus ditelannya begitu Comte mengeluarkan buku fenomenalnya yang kedua, System of Positive Politics. Banyak yang menganggap Comte sudah gila karena cinta karena dalam bukunya tersebut, ia menyatakan pentingnya suatu agama di zaman positif (yang seharusnya ada dalam tahap teologis). Comte menyebutnya dengan “agama humanitas”. Ini adalah perubahan mendasar dalam karya Comte, ia berbalik dari seorang positivis menjadi seorang yang humanis. Kritik yang dilontarkan padanya pun berdatangan dari kaum positivis, termasuk dari Mill yang menganggap Comte dengan Course-nya adalah “Comte yang baik”, sedangkan Comte dengan System-nya adalah “Comte yang buruk”.
Dalam bukunya ini, akal yang semula diagungkannya seakan dimerosotkan di bawah apa yang kita sebut cinta. Memang pada waktu menulis System, ia sedang dimabuk cinta atau bahkan bisa disebut mengalami cinta sejati sepanjang hidupnya. Ia mempersembahkan buku ini untuk mengenang istri yang tidak pernah digaulinya, yaitu Clothilde de Vaux. Kekuatan emosi begitu kentara dalam karyanya yang satu ini. Comte seakan lebih mengagungkan perasaan daripada akal budi dalam mempertahankan tata keteraturan sosial yang ia kemukakan dahulu.
Bagi Comte, karyanya ini adalah realisasi dari metode positif yang ditujukan untuk keteraturan sosial dalam bukunya yang pertama. Jika kita ingat metode positif yang juga memakai metode historis untuk mengamati masyarakat, Comte melihat bahwa agama telah menjadi tonggak keteraturan sosial yang utama di masa lampau. Agama merupakan dasar untuk konsensus universal dalam masyarakat dan juga mendorong identifikasi emosional individu dan meningkatkan altruisme.[2] Namun bukan agama tradisional seperti yang dipahami pada masa teologis yang dimaksud Comte. Ia menciptakan suatu agama baru yang mencakup hukum-hukum universal yang memungkinkan keteraturan sosial itu eksis, yaitu agama humanitas. Sumber utama agama humanitas adalah moralitas dan cinta yang sesuai dengan standar-standar intelektual dan persyaratan positivisme. Runtuhnya tatanan sosial tradisional yang mengarah pada anarki akibat Revolusi Perancis, menyebabkan Comte melihat moral sebagai sesuatu yang harus menundukkan ilmu sehingga reorganisasi masyarakat menjadi sempurna.
Bertolak dari gagasan pikiran adalah hamba bagi hati, Comte melihat dalam biologi tabel otak manusia terdiri dari 18 fungsi internal, yaitu 10 kekuatan afektif, 5 fungsi intelektual, dan 3 sifat praktis. Dari sini tampak dominannya hati dalam meningkatkan energi dan menurunkan harga diri. Bagi Comte yang positivis, ini bukan psikologi, tapi semata-mata biologi. Moral menjadi suatu kekuatan yang dominan dan Comte melihatnya dalam agama. Agama memiliki 2 fungsi: fungsi moral, agama seharusnya mengatur setiap individu; dan fungsi politik, agama seharusnya menyatukan semua individu. Agama juga memiliki tiga komponen, sesuai dengan pembagian tabel otak, yaitu doktrin, ibadah, dan hukum moral (disiplin). “Cinta datang dan membawa kita pada iman, sepanjang pertumbuhan itu bersifat spontan; tapi begitu tersistematisasi, keyakinanlah yang membangun tindakan cinta”, kata Comte.
Karyanya ini kurang diterima secara luas. Dalam Course, kita akan menemukan dasar-dasar dari positivisme yang berkembang hingga sekarang. Course sangat meninggikan akal sebagai tahapan akhir perkembangan manusia. Perkembangan masyarakat dari semenjak ketergantungannya akan supranatural, alam metafisik, dan berlanjut kepada alam pikiran positif dijelaskan dalam Course sebagai suatu fase yang pasti. Namun, gagasan Comte yang optimistis ini seakan ditafsirkan kembali dalam System bahwa yang diinginkan adalah reorganisasi masyarakat atas dasar humanitas. Comte, terlepas dari perkembangan jiwanya setelah ditinggal mati Clothilde, telah mengubah pandangannya menjadi moralistik dan penuh gairah cinta. Baginya, reorganisasi masyarakat baru sempurna jika dibangun atas cinta dan moralitas dalam agama yang ia sebut agama humanitas. Setinggi apapun akal manusia, tetap tidak akan bisa mengalahkan moralitas yang menyatukan mereka. Comte melihat ini lewat sejarah agama zaman dahulu. Dengan menyingkirkan sifat tradisionalnya dan fokus pada faktor-faktor dari agama yang menyatukan masyarakat, Comte tetap menghendaki positivisme sebagai wujud akhir masyarakat yang teratur.
by: ARIEF miftakhull si DPM IKIP PGRI SEMARANG
alamat demak......

YOGYAKARTA



Mendambakan pendidikan
Wajah indonesia zaman koloni Belanda
Beragam kerajinan terpelanting keluar dari jendela dunia
Kota pelajar saat ini melambung
Menunjukkan taringnya
Tidak akan menyerah merambah dunia

Tetap memberikan kesan walau telah lapuk
Pelan membuat daya pikat
Yang menarik wisatawan untuk menengoknya
Suatu daerah istimewa di indonesia
Membuat guratan senyum siapapun yang mengunjunginya
By: Zahratunisa


PERMATA YANG INDAH




Senja kala itu menyelimuti bumi dengan guratan kesedihannya, seolah tau apa yang sedang dirasakan oleh Kiara Cantika Putri. Di dalam sebuah ruangan yang menjadi favorit Ara begitulah ia biasa disapa. Duduk termenung melihat kenyataan yang sedang dihadapinya.
“mengapa papah begitu tega berbuat seperti itu terhadap mamah, apakah mereka tak mengerti apa yang sedang kurasakan sekarang?”
Tiara dan Indra adalah dua orang sahabat yang mengerti semua yang terjadi pada Ara, karena merekalah Ara tegar menghadapi semua permasalahan yang ada di dalam keluarganya. Bisa dibilang Tiara dan Indralah sahabat Ara yang selalu memberikan semangat disaat Ara terpuruk. Tiga sahabat inilah yang menjadi iri setiap orang yang melihat karena kekompakan dan kesolidan mereka yang begitu kuat.
Seperti biasa Ara yang selalu menghampiri Tiara ketika akan berangkat ke sekolah dengan pak jon supir Ara yang selalu menemaninya dan mengantarkan kemanapun Ara pergi. Maklumlah orang tua Ara yang super sibuk tidak dapat menemani Ara setiap saat. Berbeda dengan orang tua Tiara yang sangat perhatian dengan Tiara dan kasih sayang pun tak kurang Tiara dapatkan dari orang tuanya. Itulah mengapa Ara sering main ke rumah tiara, karena keharmonisan keluarganyalah yang membuat Ara selelu ingin datang ke rumah Tiara.
“Selamat pagi Tiara,” ucapan itulah yang menandakan bahwa Tiara harus berangkat ke sekolah bersama Ara yang sudah menunggu di depan rumahnya.
“Oke Ara, ayo kita berangkat,”
“Ara kamu tahu Indra kan, anak kelas XII ipa 1 itu?”
“iya kenapa Tiara, bukannya Indra itu sering main bareng kita juga kan?”
“yuhu... 100 untuk Ara,”
“tapi mengapa kamu begitu gembira menyebutkan nama Indra?”
“ah Ara kamu ini bisa aja”
Di sekolah pada waktu jam istirahat Ara, Tiara dan Indra selalu ke danau dekat sekolahan. Itulah tempat favorit mereka bertiga untuk sekedar melepaskan penat karena mata pelajaran yang begitu menguras isi kepala, tidak seperti biasa Ara yang  selalu ceria tetapi mengapa pagi ini terlihat pucat.
“Ara kamu tidak apa-apa kan?”
Ara yang sedang melamun tersentak kaget.
“ah, tidak apa-apa kok Tiara, mungkin aku kecapean saja, karena tadi malam kan aku baru pulang menjenguk kak Adi di Bogor”
Ketika Ara akan bangun dari tempat lamunannya tiba-tiba saja Ara jatuh pingsan disertai darah yang keluar dari hidungnya. Tiara dan Indra yang panik saat itu juga langsung membawa Ara ke rumah sakit serta menghubungi kedua orang tuanya.
Satu hari Ara belum juga sadar dari pingsannya itu, karena mengingat penyakit yang diderita Ara yaitu kangker otak yang sudah menginjak stadium tiga. Selama ini Ara memang merahasiakan dari kedua sahabatnya itu. Karena Ara menganggap dia tidak mau melihat hanya karena Ara kak Adi, Indra dan juga Tiara menjadi sedih. Pukul 22.00 Ara telah sadar dari pingsannya, dilihatnya sekeliling ruangan dengan suara mesin pendeteksi detak jantung yang begitu keras, serta melihat mulutnya telah terpasang alat bantu bernafas yaitu oksigen. Di ruangan itu ada kak Adi yaitu kakak kandung Ara yang selalu menghawatirkan keadaan adik kesayangannya itu dan kedua orang tua Ara yang akhir-akhir ini bertengkar terus setiap malam, karena kesibukan yang membuat mereka seperti itu.
“kak Adi, Ara mau pulang kak. Ara tidak mau disini, besok kan Ara harus sekolah.”
“iya Ara, kak Adi tahu besok Ara itu sekolah, tetapi Ara kan harus banyak istirahat supaya cepat sembuh dan bisa bertemu teman-teman di sekolah.”
“tidak mau kak, pokoknya Ara besok harus berangkat ke sekolah, pah, mah boleh kan besok Ara berangkat ke sekolah?”
Melihat semangat yang dimiliki Ara begitu besar untuk berangkat sekolah, akhirnya ke dua orang tuanya pun mengijinkan Ara besok untuk pergi ke sekolah.
“baiklah besok Ara boleh berangkat ke sekolah tetapi, syaratnya besok harus mendapatkan ijin dari dokter kalau Ara memang sudah baikan”
“baiklah mah kalau begitu, Ara akan berusaha sekuat mungkin agar besok lebih baik lagi dan dapat berangkat sekolah.”
Tarnyata Ara memang menunjukkan perkembangan yang begitu pesatnya sehingga dokter pun mengijinkan Ara untuk dirawat di rumah. Mendengar berita itu Ara gembira karena sebentar lagi akan berangkat ke sekolah dan bertemu teman-teman di sekolah. Tiara yang begitu kaget melihat Ara sudah berangkat ke sekolah, yang padahal dia masih sakit. Begitu juga dengan Indra
“Ara, kenapa kamu sudah masuk sekolah?”
“Ara sudah tidak apa-apa kok Ndra. Oia Tiara dimana Ndra?”
“itu Tiara berada di kelas, karena tidak ada kamu, jadi murung deh.”
“yaudah Ndra, Ara masuk ke kelas dulu ya.”
“iya Ara, kamu jaga kondisi ya agar tidak sakit lagi.”
“siap Indra.”
  Indra yang sudah berpacaran dengan Tiara tiga bulan yang lalu, mereka menjalankan tanpa rasa bersalah karena tidak menceritakannya kepada Ara. Padahal Tiara dan Indra telah mengetahui bahwa Ara itu paling benci dangan kebohongan. Karena, landasan mereka bersahabat hampir tiga tahun adalah kejujuran. Indra mulai resah karena rasa bersalahnya kepada Ara perihal tidak menceritakan kabar gembira menurut  Indra itu, tetapi bagaimana lagi, Indra pikir ketika dia menceritakan hal ini terhadap Ara dia bakal tidak setuju karena kita adalah teman, maka dari itu Indra dan Tiara bersepakat menyimpan rahasia ini jangan sampai terdengar oleh Ara.
Ara yang akhir-akhir ini sering tidak masuk sekolah karena penyakit yang dideritanya semakin parah mengharuskan dia untuk beristirahat, persahabatan yang dijalin oleh Indra dan Tiara menggugah hati nurani mereka untuk menjenguk Ara di rumah sakit, Ara yang mulai curiga dengan sikap yang mereka perlihatkan tidak seperti biasa. Mereka menjadi semakin dekat bukan sebagai seorang sahabat tetapi sebagai seorang pacar.
“ah mungkin perasaan ku saja, mereka tidak mungkin tidak menceritakan kepadaku kalau mereka sudah jadian, kalaupun mereka sudah jadian pasti akan menceritakannya ke aku, duh Ara kamu tidak boleh suudzon terhadap sahabat kamu sendiri, dia tidak mungkin berbohong kepada kamu.”
Setelah menjalani perawatan di rumah sakit selama satu minggu, akhirnya Ara diperbolehkan pulang oleh dokternya. Dia pun dengan penuh semangat mendengar berita bahwa dirinya diperbolehkan untuk pulang, seperti yang selalu ditunjukkan oleh Ara bahwa dia tidak pernah memperlihatkan bahwa dia adalah anak yang penyakitan. Dia selalu terlihat gembira dan selalu ceria ketika bertemu dengan teman-temannya terutama terhadap dua sahabatnya itu. Keesokan harinya Ara pun menjalani rutinitasnya sebagai siswa yaitu sekolah tinggal tiga bulan lagi Ara menempuh ujian nasional oleh sebab itu, dia harus pulang sore karena mengikuti pelajaran tambahan yang diadakan oleh sekolah menjelang ujian nasional. Begitu juga dengan Tiara dan Indra yang sering main ke rumah Ara karena harus membantu Ara mengejar ketertinggalannya karena sudah beberapa hari tidak masuk sekolah, Ara yang semakin mempositifkan pikiran ketika melihat mereka berdua yang semakin erat. Kecurigaan Ara terhadap Tiara pun semakin bertambah kuat ketika ada salah satu teman satu kelasnya bertanya kepada Ara perihal hubungan Tiara dengan Indra. Ara pun menjelaskan bahwa Tiara dan Indra adalah teman biasa begitu juga dengan aku, kita bertiga itu menjalin sahabat sudah hampir tiga tahun, jadi Tiara tidak mungkin berbohong kepadaku.
Karena rasa penasaran yang melanda Ara semakin kuat, Ara memberanikan diri untuk bertanya kepada Indra apakah benar mereka sudah jadian, tetapi mengapa mereka tidak menceritakan kepadaku ya, kenapa malah merahasiakannya.
“Indra aku harap kamu mau jujur kepadaku, apakah benar kamu dan Tiara itu sudah berpacaran?”
“eng...enggak.. kok Ra kami tidak ada hubungan apapun, sungguh kalau tidak percaya coba kamu tanyakan saja langsung kepada Tiara.”
“mengapa jawabanya ragu begitu Ndra? Aku jadi curiga kalau jangan-jangan yang dibicarakan teman-teman itu benar.”
“tidak Ra, masa sama sahabat sendiri aku berbohong sih.”
“aku pegang omongan kamu ya Ndra, soalnya aku sendiri juga merasa kalau kalian itu sudah berbeda terutama dalam bertingkah laku, tidak seperti yang aku kenal dahulu.”
“iya Ara kamu jangan suudzon begitu ya.”
“iya aku juga minta maaf kalau telah suudzon kepada kalian, tetapi bukan maksud aku seperti itu Ndra, aku Cuma mau memastikan saja kalau kabar itu tidak benar, karena teman-teman mengira masa aku sebagai sahabat kamu tidak mengetahui itu, aku juga yakin kalau sahabatku tidak mungkin kalau ada apa-apa tidak bercerita kepadaku, benar kan Ndra?”
“iya pasti dong Ra”
Dengan rasa takut, ragu-ragu dan bersalah indra menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh Ara, hari berganti hari begitu juga dengan hubungan Indra dan Tiara yang menjadi semakin dekat, dan merekapun semakin menjauh dari Ara. Tiara pun merasa semakin takut kalau Ara mengetahui hal ini apa yang harus dia jelaskan kepada Ara.
Seperti pepatah mengatakan serapat-rapatnya orang menyembunyikan bangkai pasti akan tercium juga, agaknya hal ini terjadi pada Tiara dan Indra. Ketika Ara mencoba memancing pertanyaan terus kepada Indra melalui telefon, Indra pun keceplosan menjawab pertanyaan dari Ara yang jawabanya ternyata iya Indra telah berpacaran dengan Tiara. Seketika itu Ara marah besar kepada kedua sahabatnya yang sudah dia anggap seperti saudara sendiri tetapi malah tega membohongi. Ara yang langsung menutup telefonnya membuat Tiara dan Indra harus segera menuju rumah Ara sekarang juga untuk menjelaskan kepada Ara supaya tidak terjadi salah paham. Sesampainya dirumah Ara, Ara merasa kecewa terhadap kedua sahabatnya yang telah tega berbohong, padahal mereka sendiri tahu bahwa Ara paling benci ketika dibohongi, apalagi oleh sahabatnya sendiri yang sudah hampir tiga tahun bersama. Pertengkaran hebatpun tidak terhindar lagi. Ara yang tampak begitu pucat tiba-tiba terjatuh dan mengeluarkan darah dari hidungnya sebelum Indra dan Tiara menjelaskan mengapa mereka terpaksa berbohong. Bersama ayah Ara yang tumbennya sudah berada di rumah, mereka langsung membawa Ara ke rumah sakit. Setelah dokter memeriksa ternyata Ara mengalami koma yang entah tidak tahu kapan akan sadar, mengingat sakit yang diderita Ara kini menjadi semakin parah, serta terlalu lama tidak segera ditangani. Perjalanan yang macet membuat Ara harus menunggu lama untuk mendapatkan penanganan dari dokter. Penyesalan yang begitu mendalam yang dialami oleh sahabat Ara, mengapa harus seperti ini kejadiannya. Begitu mulianya hati Ara, ketegaran yang diperlihatkan selama ini membuat siapapun tidak mengira kalau Ara gadis yang selalu ceria ini mengalami sakit yang menggerogoti tubuhnya secara perlahan. Merekapun terus menyalahkan dirinya sendiri, pertengkaran hebat diantara Tiara dan Indra pun tidak terhindarkan lagi yang akhirnya terpaksa mereka mengakhiri hubungan mereka karena rasa bersalahnya kepada Ara.
Lima hari Ara koma, belum juga menunjukkan tanda-tanda akan sadar. Tiara dan Indra yang selalu setia menemani Ara yang tengah terbaring lemah dengan oksigen yang terpasang dimulutnya serta alat pendeteksi detak jantung yang berdenging keras. Setelah beberapa jam kemudian melihat tanda-tanda bahwa Ara akan sadar ditunjukan dengan jari-jari yang bergerak. Dengan segera Tiara memanggil dokter untuk segera memeriksa keadaan Ara, benar saja setelah hampir satu minggu ara koma akhirnya dia sadar juga, disampingnya sudah ada ayah, ibu, kak Adi, Tiara serta Indra. Dengan terbata-bata Ara mengatakan sesuatu untuk sahabatnya, Tiara yang menangkap maksud apa yang dikatakan oleh Ara.
“tidak seharusnya kamu yang minta maaf Ra, sahabat macam apa aku ini yang membuat kamu menjadi seperti ini, aku yang salah karena aku telah membuat kamu kecewa dengan kebohongan yang aku sendiri mengetahui kalau kamu paling benci jika dibohongi, aku terpaksa melakukan semua ini karena takut kamu marah jika aku jadian sama Indra aku benar-benar minta maaf Ara, aku juga sudah memutuskan Indra sebagai pacarku.”
“jangan seperti itu Tiara, jangan gara-gara aku kamu putus dengan Indra, aku tidak akan marah kalau kamu jadian sama Indra, tetapi ketidak jujuranmulah yang aku tidak suka itu membuat aku merasa dianggap tidak ada yang jelas-jelas kamu adalah sahabat aku, aku juga merasa aneh ketika kalian semakin menjauh dariku, aku pikir aku bukan teman yang baik bagi kalian. Tapi sudahlah semua sudah terjadi, dan aku mohon sama kamu Tiara, tolong kamu balikan lagi ya sama Indra, aku ingin melihat sahabatku bahagia sebelum aku pergi.”
“kamu bicara apa sih Ara, kamu tidak akan pergi, kita akan bersama-sama terus sampai kapanpun, kita juga akan sering bermain ke danau tempat favorit kita”
Ara yang mencoba menyatukan tangan Tiara dan Indra dengan harapan mereka akan bersatu kembali dengan linangan air mata yang membasahi pipi Ara.
Ara juga memberi pesan kepada papah dan mamahnya agar bersatu lagi dan jangan bertengkar terus.
“pah, mah Ara mohon jangan bertengkar terus kasihan kak Adi pah, mah demi Ara. Ara mohon sebelum ara pergi papah janji sama Ara harus bersatu dengan mamah ya?”
Hanya anggukan yang dibalas ayahnya Ara, dengan senyuman penuh dengan keikhlasan Ara meninggalkan kedua orangtua, kakak, dan sahabat yang begitu menyayanginya. Suasana yang begitu mengharukan, tangisan yang tak dapat terbendung mengiringi kepergian gadis yang selelu ceria ini, tidak ada lagi panggilan selamat pagi untuk Tiara sebagai sahabat yang selalu menemaninya setiap pagi ke sekolah. Tidak ada lagi keceriaan yang menghiasi hari-hari Indra. Kini hanya kenangan yang tersisa untuk orang-orang yang dicintainya.
Sebuah puisi yang ditulis Tiara untuk sahabatnya Kiara Cantika Putri.  

Sahabatku Kiara Cantika Putri,
Dimanapun kamu berada sekarang
Aku tetap teman sejatimu
Kenanganmu, kenangan kita adalah bagian dari hidupku
Aku tahu betapa mulianya hatimu
Entah kau tahu atau tidak
Betapa aku merindukanmu
Dadaku terasa sakit ketika mendengar
kau telah pergi untuk selamanya dari kehidupanku
sahabat adalah sahabat
sampai kapanpun tetap sahabat
walaupun sampai liang lahat
aku ingin bertemu dengan kamu untuk terakhir kalinya
walaupun lewat mimpi

By: Zahratunisa


Nasib yang Eksotis


Pendidikan bagi bangsa indonesia adalah sebuah upaya yang dilakukan untuk mencerdaskan bangsa. Pemerintah juga mewajibkan bagi anak-anak di Indonesia untuk mengenyam pendidikan sembilan tahun. Ironisnya, sekarang banyak ditemukan anak-anak yang seharusnya merasakan indahnya mengenyam bangku pendidikan, mereka berkeliaran dilampu merah, bus-bus kota, bahkan di pasar. Masa anak-anak mereka sudah dituntut untuk mencari nafkah bahkan tidak jarang menjadi tulang punggung keluarga. Dengan keadaan yang seperti ini mereka tidak putus asa hanya menjadi tulang punggung keluarga lantas mereka tidak bersekolah, justru mereka berjuang lebih keras lagi untuk dapat bersekolah. Pentingnya pendidikan bagi mereka telah menghapus rasa capek dan putus asa. Pentingnya pendidikan bagi mereka juga menyadarkan mereka untuk berjuang lebih keras lagi. Apalagi, bagi mereka yang telah menjaadi tulang punggung keluarga pendidikan merupakan ladang mereka untuk mengembangkan daya pengetahuan dan menambah bekal mereka kelak.


Sebaliknya, bagi mereka yang beruntung mengenyam pendidikan secara utuh berlomba-lomba untuk mengejar pendidikan yang setinggi-tingginya. Tidak sia-sia perjuangan Ki Hajar Dewantara yang telah memperjuangkan pendidikan supaya tidak selamanya terbelenggu dan terinjak–injak bahkan diludahi oleh penjajah. Inilah kebangkitan nasional dimata remaja saat ini. Semangat yang ditunjukan untuk memperjuangkan pendidikan begitu tinggi. Anak-anak yang berusaha melawan kebodohan dan terbuka dengan pentingnya mengenyam pendidikan untuk mencerdaskan bangsa agar dapat sejajar dengan negara-negara maju.
Hal inilah yang menjadi sorotan. Bahwa, bahwa dahulu kebangkitan nasional adalah berjuang untuk melawan penjajah dan mempertahankan bangsa Indonesia dengan kontak fisik. Dengan perkembangan zaman yang semakin maju, kebangkitan nasional dibuktikan oleh mereka dengan cara berlomba-lomba untuk mengenyam pendidikan yang setinggi-tingginya. Hal demikian dibuktikan dengan banyaknya prestasi yang ditorehkan oleh anak bangsa dan mengharumkan nama bengsa dengan hasil yang mereka peroleh.
By: Zahratunisa

sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com