This is default featured slide 1 title

Majalah Bersuara LAPMI Cabang Semarang

This is default featured slide 2 title

Foto Majalah Bersuara LAPMI Cabang Semarang

This is default featured slide 3 title

Majalah Bersuara LAPMI Cabang Semarang

This is default featured slide 4 title

Majalah Bersuara LAPMI Cabang Semarang

This is default featured slide 5 title

Majalah Bersuara LAPMI Cabang Semarang

Jumat, 25 Oktober 2013

Merapi membawa HMI Komisariat FPBS semakin Solid



Travel Journalism By Koniatun (staff Lapmics)



Magelang – Bidang Bakat Minat HMI Komisariat FPBS IKIP PGRI Semarang mengadakan agenda muncak bareng ke Merapi pada pada Sabtu-Minggu (19-20/10/2013) yang berakhir dengan rasa solidaritas tinggi antar anggota.

Ketinggian puncak Merapi yang mencapai 2.968 m dpl , per 2006 ternyata tidak membuat gentar para anggota HMI untuk menjelajahi indahnya puncak Merapi. Agenda muncak bareng  yang memang menjadi agenda dari Bidang Bakat Minat HMI Komisariat FPBS ini mampu mengundang apresiasi dari anggota lain, sehingga agenda ini tidak hanya diramaikan oleh internal pengurus HMI Komisariat FPBS saja, namun juga diikuti oleh HMI Cabang Semarang, Lapmi Cabang Semarang, HMI Komisariat FPMIPA, Veteran, dan mahasiswa.

Demikian banyak yang berpartisipasi dalam kegiatan ini, tentunya suasana yang tercipta menjadi semakin meriah dan semangat. Medan yang cukup menantang serta cuaca yang kurang mendukung tidak menyurutkan semangat para pendaki. Problematika yang timbul ketika mendaki puncak Merapi justru membawa hikmah tersendiri bagi teman-teman HMI, yaitu bahwa hanya dengan rasa solidaritas tinggi yang melekat pada pribadi masing-masing anggota, kesusksesan dalam mencapai puncak Merapi akan dapat dinikmati bersama. “Tidak hanya untuk satu tapi semua”, demikian kata penulis. 
Fakta di atas tidak hanya menjadi dongeng penyejuk kalbu di kala merasa terpuruk, namun dapat dijadikan sebagai analogi dari tanda-tanda dari alam. Bahwa dalam ber-HMI tidak cukup hanya membangun niat, apalagi ambisi. Rasa kekeluargaan, saling bantu dan bahu yang lebih akrab dengan kata “solidaritas” merupakan harga yang tidak dapat di tawar lagi dalam pencapain dan tujuan dalam ber-HMI. Bagaimana hasil akhir nanti yang akan dipetik? Hal tersebut akan kembali pada pribadi masing-msing ketika menjalani. Dan akhirnya dari penulis mengatakan bahwa, “Mendaki puncak Merapi tidak hanya memberikan pengalaman akan indahnya alam, namun juga memberikan spirit untuk terus menjaga solidaritas demi tercapainya tujuan yang telah diidamkan”. (Andini)

Rabu, 23 Oktober 2013

SEJARAH BARU HMI KOMISARIAT STIE BANK BPD JATENG DI RAK KE-1




Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat STIE Bank BPD Jateng Semarang telah mengadakan Rapat Anggota Komisariat (RAK) ke-1 pada Sabtu (19/10/2013) di Wisma HMI Komisariat STIE BPD, Jalan Kesehatan 1 No. 96, Kuningan Semarang.

RAK yang diikuti oleh kader HMI Komisariat STIE BPD Jateng ini dihadiri oleh kader-kader komisariat se-Semarang, pengurus cabang, seluruh ketua dan direktur lembaga di tingkat HMI Cabang Semarang.

RAK ke-1 kali ini merupakan sejarah baru dalam HMI Komisariat STIE BPD Jateng sejak didirikan  pada tahun 2011 dengan terpilihnya Ukhti Rin Wantin sebagai Formatur Terpilih HMI Komisariat STIE BPD Jateng periode 1434-1435 H/2013/2014 M.

Dalam  sambutan formatur terpilih, Ririn (sapaan akbrabnya) mengatakan “Semoga RAK pada malam ini merupakan awal perbaikan untuk HMI Komisariat STIE BPD Jateng. Semoga bisa Amanah dan menjadi teladan untuk kader-kader”, kata Ririn.

Sedangkan dalam sambutan demisioner Ketua HMI Komisariat STIE BPD Jateng, Agung mengatakan  “Sejarah baru HMI Komisariat STIE Bank BPD karena berhasil  menyelenggarakan RAK ke-1”, ujarnya.

Ketua Umum HMI Cabang Semarang, Nur Khasan dalam sambutannya juga menyampaikan “Perempuan tidak hanya sebagai “koncowingking” (di belakang) tetapi bisa menjadi pemimpin seperti Ratu Balqis,   Ummul Mukminin Khadijah, Siti Aisyah”, kata Khasan. Ia juga menaruh harapan besar semoga dengan dipimpin akhwat, semua yang dicita-citakan dapat terwujud. (NR).

Jumat, 18 Oktober 2013

Falsafah Dibalik Tembang “Gundul-Gundul Pacul” dan “Lir-Ilir”


Falsafah Dibalik Tembang “Gundul-Gundul Pacul” dan “Lir-Ilir”
(Kajian Filsafat, Bidang Wacana, HMI Komisariat Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra (FPBS) IKIP PGRI Semarang)

Sebagai mahasiswa yang merupakan seorang intelektual seharusnya senantiasa belajar dari berpikir. Maksudnya, keberadaan mengenai sesuatu yang kita ketahui sekarang ini tidak terlepas dari pikiran-pikiran masa lalu. Orang yang selalu berpikir tidak luput dari orang yang sedang berfalsafah. Sebagian besar orang, khususnya mahasiswa sering membicarakan filsafat. Tidak bisa dipungkiri bahwa filsafat-filsafat yang dibahas pada umumnya adalah filsafat barat dan tidak banyak dari filsafat timur (Islam).
Dalam menghadapi kehidupan yang semakin tidak menentu ada baiknya kalau kita mencoba merenung, menggali kembali ajaran-ajaran bijak generasi pendahulu kita berguna bagi kehidupan masyarakat sekarang ini. Ajaran-ajaran bijak generasi pendahulu salah satunya adalah falsafah Jawa.

Jika kita berbicara mengenai Jawa, di dalamnya mengulas serta memberikan gambaran (patuladhan) yang menurut ajaran budaya Jawa semuanya harus dituangkan dengan Sasmita Semu (teka-teki). Artinya, segala ajaran dan petuah tidak  ditunjukkan atau disampaikan secara nyata (konkret) istilah Jawanya blaka suta. Oleh karena itu ajaran kejawen tidak dapat langsung dicerna begitu saja. Harus dijabarkan secara pratitis. Kajian mengenai kejawen dalam perspektif relasi antara manusia dan dunia serta cosmos dituangkan dalam beberapa konsep. Begitu pula dengan hukum pinasthi guna, pembuktian hukum pepastian yang berlaku atas kehendak Hyang Widhi sesukanya.

Kehidupan bagi orang Jawa adalah gambaran urip/panguripan yang terdapat dalam lahir dan batin merupakan suatu kenyataan yang tak terpisahkan. Eksistensi Hyang Widhi tergambar dalam alam pikir “ana tan ana” yang kemudian menjadi pengertian Sangkan Paraning Dumadi. Saat menggambarkan kehidupan, orang Jawa memberi gambaran watak seperti lakon dalam dunia pewayangan. Parameter moral budaya Jawa yang tidak jelas karena bergantung konteks penggunaannya. Untuk memahami watak orang Jawa kita tidak dapat menggunakan penilaian dari budaya lain. Watak orang Jawa mempunyai keunikan yang bersifat sebagai relativisme Jawa yang Pluralis moralitas dengan budaya lain.

 Filsafat Jawa dengan pembahasan falsafah Jawa dasar dimulai dari falsafah dari tembang dolanan. Tembang “Gundul-Gundul Pacul” dan “Lir-Ilir” sudah tidak asing lagi bagi telinga orang Jawa pada khususnya. Dua lagu tersebut kelihatan sangat sepele padahal jika ditelusuri secara mendalam, dua lagu itu memiliki makna yang sangat luas. Landasan Tembang Jawa ini diciptakan tahun 1400 an oleh Sunan Kalijaga dan teman-temannya yang masih remaja dan mempunyai arti filosofis yang sangat dalam dan sangat mulia.


Lirik Lagu "Gundul-gundul Pacul" 

Gundul-gundul pacul cul gembelengan

Nyunggi-nyunggi wakul kul gembelengan

Wakul ngglimpang segane dadi sak latar

Makna

Gundul adalah kepala plonthos tanpa rambut. Kepala adalah lambang kehormatan, kemuliaan seseorang. Maka gundul artinya kehormatan yang tanpa mahkota. 

Pacul adalah cangkul yaitu alat petani yang terbuat dari lempeng besi segi empat. Pacul adalah lambang kawula rendah yang kebanyakan adalah petani. 

Gundul Pacul artinya bahwa seorang pemimpin sesungguhnya bukan orang yang diberi mahkota tetapi dia adalah pembawa pacul untuk mencangkul, mengupayakan kesejahteraan bagi rakyatnya. Orang Jawa mengatakan pacul adalah papat kang ucul (empat yang lepas). Artinya bahwa: kemuliaan seseorang akan sangat tergantung empat hal bagaimana menggunakan mata, hidung, telinga dan mulutnya.

1.      Mata digunakan untuk melihat kesulitan rakyat.

2.      Telinga digunakan untuk mendengar nasehat.

3.      Hidung digunakan untuk mencium wewangian kebaikan.

4.      Mulut digunakan untuk berkata-kata yang adil. Jika empat hal itu lepas, maka lepaslah kehormatannya. 

Gembelengan artinya, besar kepala, sewenang-wenang. Banyak pemimpin yang lupa bahwa dirinya sesungguhnya mengemban amanah rakyat. Tetapi dia malah:

1.      Menggunakan kekuasaannya sebagai kemuliaan dirinya.

2.      Menggunakan kedudukannya untuk. berbangga-bangga di antara manusia.

3.      Dia menganggap kekuasaan itu karena kepandaiannya.       

Nyunggi wakul, gembelengan Nyunggi wakul artinya membawa bakul (tempat nasi) di kepalanya. Banyak pemimpin yang lupa bahwa dia mengemban amanah penting membawa bakul dikepalanya. Wakul adalah simbol kesejahteraan rakyat. Kekayaan negara, sumberdaya, Pajak adalah isinya. Artinya bahwa kepala yang dia anggap kehormatannya berada di bawah bakul milik rakyat. Kedudukannya di bawah bakul rakyat. Siapa yang lebih tinggi kedudukannya, pembawa bakul atau pemilik bakul? Tentu saja pemilik bakul. Pembawa bakul hanyalah pembantu si pemiliknya, dan banyak pemimpin yang masih gembelengan (melenggak lenggokkan kepala dengan sombong dan bermain-main).

Akibatnya wakul ngglimpang segane dadi sak latar, Bakul terguling dan nasinya tumpah ke mana-mana. 

Jika pemimpin gembelengan, maka sumber daya akan tumpah ke mana-mana. Dia tak terdistribusi dengan baik. Kesenjangan ada dimana-mana. Nasi yang tumpah di tanah tak akan bisa dimakan lagi karena kotor. Maka gagallah tugasnya mengemban amanah rakyat.





Lirik Lagu "Lir-Ilir"

Lir ilir lir ilir tandure wong sumilir

Tak ijo royo royo

Tak sengguh penganten anyar

Bocah angon bocah angon penekno blimbing kuwi
Lunyu lunyu penekno kanggo mbasuh dodotiro

Dodotiro dodotiro kumintir bedah ing pinggir

Dondomono jrumatono kanggo seba mengko sore

Mumpung padang rembulane
Mumpung jembar kalangane Yo surak’
o surak hiyo

Makna

Lir-ilir, Lir-ilir (Bangunlah, bangunlah)

Tandure wus sumilir (Tanaman sudah bersemi)

Tak ijo royo-royo (Demikian menghijau)

Tak sengguh temanten anyar (Bagaikan pengantin baru)

Sebagai umat Islam kita diminta bangun. Bangun dari keterpurukan, bangun dari sifat malas untuk lebih mempertebal keimanan yang telah ditanamkan oleh Alloh dalam diri kita yang dalam ini dilambangkan dengan Tanaman yang mulai bersemi dan demikian menghijau. Terserah kepada kita, mau tetap tidur dan membiarkan tanaman iman kita mati atau bangun dan berjuang untuk menumbuhkan tanaman tersebut hingga besar dan mendapatkan kebahagiaan seperti bahagianya pengantin baru.

Cah angon, cah angon (Anak gembala, anak gembala)

Penekno Blimbing kuwi (Panjatlah (pohon) belimbing itu)

Lunyu-lunyu penekno (Biar licin dan susah tetaplah kau panjat)

Kanggo mbasuh dodotiro (untuk membasuh pakaianmu)

Disini disebut anak gembala karena oleh Alloh, kita telah diberikan sesuatu untuk digembalakan yaitu HATI. Bisakah kita menggembalakan hati kita dari dorongan hawa nafsu yang demikian kuatnya? Si anak gembala diminta memanjat pohon belimbing yang notabene buah belimbing bergerigi lima buah. Buah belimbing disini menggambarkan lima rukun Islam. Jadi meskipun licin, meskipun susah kita harus tetap memanjat pohon belimbing tersebut dalam arti sekuat tenaga kita tetap berusaha menjalankan Rukun Islam apapun halangan dan resikonya. Lalu apa gunanya? Gunanya adalah untuk mencuci pakaian kita yaitu pakaian taqwa.

Dodotiro, dodotiro (Pakaianmu, pakaianmu)

Kumitir bedah ing pinggir (terkoyak-koyak dibagian samping)

Dondomono, Jlumatono (Jahitlah, Benahilah!!)

Kanggo sebo mengko sore (untuk menghadap nanti sore)

Pakaian taqwa kita sebagai manusia biasa pasti terkoyak dan berlubang disana-sini, untuk itu kita diminta untuk selalu memperbaiki dan membenahinya agar kelak kita sudah siap ketika dipanggil menghadap kehadirat Alloh SWT.

Mumpung padhang rembulane (Mumpung bulan bersinar terang)

Mumpung jembar kalangane (mumpung banyak waktu luang)

Yo surako surak iyo!!! (Bersoraklah dengan sorakan Iya!!!)

Sambutlah seruan ini dengan sorak sorai “mari kita terapkan syariat Islam” sebagai tanda kebahagiaan. Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu (Al-Anfal :25)    

Kita diharapkan melakukan hal-hal di atas  ketika kita masih sehat (dilambangkan dengan terangnya bulan) dan masih mempunyai banyak waktu luang dan jika ada yang mengingatkan maka jawablah dengan Iya!!!……

Lir ilir, judul dari tembang di atas. Bukan sekedar tembang dolanan biasa, tapi tembang di atas mengandung makna yang sangat mendalam. Tembang karya Kanjeng Sunan ini memberikan hakikat kehidupan dalam bentuk syair yang indah. Carrol McLaughlin, seorang profesor harpa dari Arizona University terkagum kagum dengan tembang ini, beliau sering memainkannya. Maya Hasan, seorang pemain Harpa dari Indonesia pernah mengatakan bahwa dia ingin mengerti filosofi dari lagu ini. Para pemain Harpa seperti Maya Hasan (Indonesia), Carrol McLaughlin (Kanada), Hiroko Saito (Jepang), Kellie Marie Cousineau (Amerika Serikat), dan Lizary Rodrigues (Puerto Rico) pernah menterjemahkan lagu ini dalam musik Jazz pada konser musik “Harp to Heart“.



Disampaikan oleh: Edi Purwanto (Komunitas "Cah Angon" IKIP Veteran Semarang)

pada Kajian Filsafat, Bidang Wacana, HMI Komisariat Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra (FPBS) IKIP PGRI Semarang, Kamis, 03 Oktober 2013 di Masjid Nurul Huda IKIP PGRI Semarang.



KUA Bidang Wacana: Welas
      Staf : Sukarno, Siti Koirotun Nisa, Musta’anah, Nanda

Selasa, 08 Oktober 2013

10 KADER BASIC TRAINING HMI FPMIPA SIAP MENGGONCANG DUNIA


10 KADER BASIC TRAINING HMI FPMIPA SIAP MENGGONCANG DUNIA



Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat FPMIPA IKIP PGRI Semarang mengadakan Latihan Kader I (Basic Training) selama empat hari, Kamis (3/10/2013) sampai  Minggu (6/10) di Masjid Darussalam Jalan Wolter Monginsidi Tlogosari Semarang. Bertindak sebagai Master of Trainer (MOT) adalah Puput Bariadi, Mantan Ketua HMI Komisariat Undip, dalam pembacaan SK Kelulusannya tim kepemanduan LK-1 kali ini meluluskan 10 peserta yang berasal dari kampus IKIP PGRI Semarang, Undip dan UNNES.

Suasana kebersamaan, kekeluargaan, dan pembelajaran sangat dirasakan oleh 10 peserta LK-1 sehingga mereka bertekad untuk menggoncang dunia setelah mengikuti LK. Perwakilan peserta ikhwan, Nur Rohmad (Mahasiswa FISIKA, IKIP PGRI Semarang) menyampaikan “Banyak pembelajaran yang didapat dari pemateri tentang organisasi dan kebersamaan, semoga setelah ini bisa mengaplikasikan secara langsung di masyarakat”, tutur Rohmad.

Sedangkan Soraya, perwakilan akhwat, menyampaikan “Sangat senang dan bahagia karena mendapat materi yang belum tentu di tempat lain, setelah pulang jangan lupa suasana kekeluargaan, belajar bersama, makan bersama seluruh peserta LK-1 yang tergabung dalam kelompok ”Syubbanul Wathon” (Pemuda Tanah Air)”, ungkap Soraya.

Ketua Umum HMI Cabang Semarang, Nur Khasan dalam sambutannya juga menyampaikan sangat mengapresiasi tekad dan jargon para peserta LK-1 untuk menggocang dunia mengingat kondisi pemuda saat ini yang terpengaruh budaya boyband atau girlband. “Jika dulu Soekarno meminta 10 pemuda untuk mengguncang dunia, tetapi sekarang 10 pemuda itu malah menjadi boyband atau girlband”, kata Khasan. Ia juga menyampaikan bahwa LK-1 adalah wahana untuk belajar “menjadi” tidak hanya belajar “tahu”, dan berpesan agar 10 kader LK-1 kali ini bisa menjadi pemuda islam yang mampu menggoncang dunia yang dapat berkiprah dan diterima oleh masyarakat. (NR)

Jumat, 04 Oktober 2013

UP GRADING LAPMI CABANG SEMARANG KE RUMAH PENULIS: LUKMAN WIBOWO



UP GRADING LAPMI CABANG SEMARANG KE RUMAH PENULIS: LUKMAN WIBOWO




Minggu (29/09/2013) Pengurus Lembaga Pers Mahasiswa Islam Cabang Semarang melakukan Up Grading ke rumah Lukman Wibowo, S.Pd.T. (Penulis, Alumni HMI Cabang Semarang). Dalam sebuah ruangan rumah yang beralamat di Jl. Mulawarman II Banyumanik Semarang, Kanda Lukman Wibowo menceritakan pengalamannya sebagai penggagas Buletin “Bersuara” yang diterbitkan oleh LAPMI Cabang Semarang sejak tahun 2004. Beliau menunjukkan arsip kumpulan buletin yang telah berhasil diterbitkan pada jamannya yang masih disimpan, dan memberikan kiat dalam penerbitan sebuah buletin yakni 1) Penentuan tema yang jangan terlalu berlarut lama. 2) Membuat rubrikasi dalam buletin seperti Suara Kader, Suara Kader, Suara Qalbu. dan 3) Melakukan pembagian tugas pencarian tulisan dan liputan.

Sebagai seorang penulis yang sering menulis di berbagai surat kabar baik lokal maupun nasional, Mas Lukman (panggilan akrabnya) memberikan kiat dalam menulis yakni pentingnya mengolah rasa dalam menulis agar mampu menghasilkan tulisan yang bisa diterima oleh masyarakat. Beliau juga memberikan pesan kepada LAPMI Cabang Semarang untuk dapat terus berkarya, jangan melanggar deadline seperti ungkapan “Berjalan terus dan jangan berhenti dikala gelap” dan berharap LAPMI Cabang Semarang masih menjadi pondasi yang kokoh untuk membangun komisariat Se-Semarang dan menetaskan kader-kader yang mampu menjadi penulis atau jurnalis di buletin maupun di koran. (NR).
Foto bersama pengurus LAPMI Cabang Semarang 
dengan Kanda Lukman Wibowo (di tengah)
sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com