Kamis, 29 Mei 2014

Cerpen: BIARKAN BERLALU



Oleh: Reni Aprilia Ekasari (Komisariat FPBS Universitas PGRI Semarang)

Semarang, 2 April 2013
  Lima belas hari lagi usiaku genap 20 tahun tapi aku yakin belum ada sesuatu yang berkesan dalam hidupku selain rutinitasku selama ini. Belum ada sesuatu yang menginspirasiku untuk suatu perubahan yang bisa ku rabah hasilnya diwaktu ini. Namaku Reva Fauziah tapi kebanyakan yang mengenalku memanggilku Re, entah dengan motiv apa mereka memanggilku seperti itu yang jelas aku nyaman dengan panggilan itu. Meskipun selama ini belum ada sesuatu yang merubahku tapi akhir- akhir ini ada satu masalah yang prediksiku bakal buat hari Ultahku ngag sempurna. Tahu kenapa?
Begini aku punya kekasih namanya Anam kita satu kampus beda fakultas, jelasnya lagi dia kakak kelasku, satu periode di atasku. kita baru aja pisah entah apa persepsinya tentang problem hubungan ini, tapi bagiku inilah makna lain dari kata putus. Kebanyakan orang memaknai putus adalah sesuatu yang menyakitkan dan tepat itulah yang aku rasakan saat ini.
Dari : OnyetQ
18/02/3013
15:34
kngen dek, qu lega rsanya udah dpet izin pcran dri ort, tapi dri ortu nikahnya harus usia 27 thun, gmn dek?
Itu message dari mas Anam yang membuat aku optimis ini adalah pintu gerbang untuk mewujudkan harapan kami ke depan. Message ini juga yang membangun kembali hatiku yang sebelumya sempat hancur. Entah karena apa hatiku memilihnya, yang aku sendiri belum begitu tau perasaanya ke aku kayak gimana. Kemarin pas hubungan kita sekitar tiga bulanan mas Anam menghilang entah untuk apa. Ia beralasan ingin fokus sama UASnya bulan Januari, dari alasan ini aku merasa ndak pernah mengganggunya berkaitan dengan study, tak seperti kebanyakan pasangan kekasih yang ini-itu harus selalu diturutin, yang mau-ngag mau, bisa-ngag bisa harus ketemu tapi entah kenapa ia pilih alasan demikian. Hari demi hari UAS pun usai tapi tak kunjung membuat ia menunjukan rasa sayangnya ke aku, malah semakin ia menjauhiku jangankan sekedar menyapa menatap pun sepertinya ogah. Sampai- sampai rencanaku yang ingin membuat surprize di hari Ultahnya tanggal 26 Januari lalu, pun turut gagal karena problem yang aku sendiri tak begitu faham penyebabnya. Ku terima kabar lagi alasan yang ke dua kalinya adalah ia belum dapat restu pacaran dari Ortunya. Meskipun begitu aku tetap bisa terima, walau jarak yang begitu jauh ini, perasaan bimbang ini, rasa sakit ini harus ku kubur jauh didasar hati hingga tak seorangpun mengerti makna kecerian yang senantiasa aku sajikan di wajahku tak  terkecuali  dengan dirinya. Semua ini aku lakukan karena memang aku  menyayanginya.
Hingga akhirnya aku peroleh message itu, harusnya aku berontak, harusnya aku marah, harusnya aku pergi, harusnya aku pilih putus tapi semua itu tak ada yang aku lakukan walaupun tak ada yang berpihak kepadaku. Bahkan ketakberpihakan itu nyata aku peroleh dari orang- orang terdekatku.
“Alah Re, kenapa dengan kamu? Apa istimewanya dia? Apa kamu pikir di dunia ini cuman ada dia?!” Sungut Pupu suatu ketika, yang hanya aku balas dengan senyuman.
“Mbak Re, apa yang kamu suka darinya? Apa dia membuatmu bahagia?” Sahut satu lagi kawanku yang bernama Yani.
“Lho kok gitu dek?” Sambil berlalu ku bela diriku yang sudah merasa terpojok tanpa pembela, namun aku yakin mereka seperti itu karena tak tega melihatku terpuruk. Pilihan terakhir yang aku pikir bisa sejalan dan cocok dengan hatiku yaitu kawanku yang bernama Sukma. Tanpa berpikir panjang aku telah keluar dari kamarku dan telah sampai dikamar sebelahku, yang tak  lain adalah kamar Sukma.
“Kenapa mbak?” Mendadak Sukma menyapaku dengan sedikit panik . Sikap yang demikian ku artikan sebagai bentuk partisipasinya sebagai sahabat. Tanpa sungkan- sungkan ku ungkapkan semua yang ku alami selama liburan kemarin.
“Nggih dek, mas Anam masih sayang aku, aku yakin itu dek. Cuman memang seperti inilah cara ia menuangkan perasaan sayangnya ke aku, seperti inilah realisasi cintanya.” Kalimatku mengakhiri curahan hati kepada Sukma.
“Iya udah mbak, kalau mbak sudah yakin ya dipertahanin aja. Yakinlah kalau tak ada pengorbanan yang sia-sia meskipun harus perasaan yang jadi korbannya mbak.” Dengan ekspresi yang ceria, seperti biasanya Sukma membuat aku semakin yakin dengan keputusanku. Tak ada ungkapan lagi dariku baik itu berupa sanggahan ataupun sebuah kalimat tanya. Refleks yang aku lakukan hanya menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya pelan bersama dengan sunggingan di bibir tipisku.
“Begitu dong, gag boleh sedih lagi. Lagian mbak kan pernah bilang bahagia akan tiba pada waktu yang tepat” dengan tanpa menghentikan kesibukannya Sukma masih menenteng sapu lantai di tangan kanannya.
“Nggih dek” jawabku pasrah pada waktu.

* * *
Mulai dari sinilah buhunganku dengan mas Anam kembali normal, bahkan lebih baik dari sebelumya, yang aku rasakan bukan hanya kasih sayangnya tapi juga kesabaranya membimbingku menjadi sosok yang baik di mata orang-orang disekitarku juga Insyaallah baik di hadapan Tuhanku. Sebutan anak manja yang dulu menempel di kepribadianku surut-menyurut kian berkurang walau. Bersamaan dengan itu kini aku mulai merintis Semester 4, kebanyakan orang berpersepsi kalau semester pertengahan bagi seorang mahasiswa adalah semester yang harus ekstra hati-hati dan jangan terlalu dibuat hati karna akan banyak cobaan yang menghadang. Untuk awalnya aku kurang sepakat dengan persepsi itu. Ku awali semeter ini dengan lebih mengenal dan masuk dalam organisasi baik Internal maupun Eksternal yang aku anggap sesuai dengan tujuanku dan aku berniat akan menyibukkan diri dengan senantiasa mengusahakan kontribusi untuk itu. Dari Internal sendiri aku kini sebagai Staff Bidang Pers dan Jurnalistik, di UKM aku juga anggota rebana walau masih dalam tingkatan pemula. Sedangkan di Eksternal aku ikut salah satu organisasi islami yang pelantikan kepengurusannya sebentar lagi. Kontribusi awalku untuk eksternalku ditandai dengan pindahanku ke Wisma organisasi yang membuatku harus meninggalkan sahabat-sahabat penyemangatku. Walaupun awalnya sangat sulit karena harus meninggalkan mereka, memulai dengan kawan- kawan baru yang semula belum begitu mengenal sisi lain mereka apalagi mas Anam juga belum begitu setuju dengan keputusanku. Namun yang ada dipikiranku adalah bagaimana caranya aku bisa senantiasa stand by setiap kali ada agenda organisasi.
Hari demi hari kujalani dengan bersemangat mungkin karena semangat dari mas Anam pula, kadang rasa capek berubah menjadi semangat menggelora. Posisi mas Anam juga satu Eksternal denganku tapi beda Kompi. Dulunya sih ia benar-benar menolak turut serta dalam Organisasi ini. Ku pikir dengan turut serta dalam Organisasi Islam ini akan sangat membimbing hubunganku dengannya  jadi bersihkeras ku bujuk ia hingga akhirnya terbukalah pintu hatinya untuk turut serta dalam Organisasi ini. Setelah aku berada dan turut mengayuh bersama organisasi- organisasiku, aku merasa semakin cinta  dan memiliki tanggung jawab di dalamnya. Meskipun aku tau organisasi Internalku bertentangan dengan eksternalku, tapi aku pikir itu hanya hasil dari mereka yang salah persepsi. Dari sini aku berpikir seandainya antar organisasi faham dan saling menghargai visi- misi satu sama lain pastilah kampus ini akan damai, itu baru lingkup kampus belum lagi organisasi- organisasi besar lingkup Negara. Oleh karena itu sebisa mungkin aku tetap bertahan karena dari sini pulalah aku memulai perjuangan, sekalipun baru titik terkecil dari sistem negeriku. Tak salah aku meluruskan niat untuk berorganisasi. Di Internal aku bisa bersumbangsih untuk Progdiku, di eksternal aku bisa bersumbangsih untuk Agamaku, ku berpikir apa yang aku bisa lakukan untuk Agamaku selain memulainya dari diri sendiri dan yang ada di sekitarku?
“dhek, mas diminta menjabat sebagai Kabit Kerohanian. Pripun dhek?” suara lirih mas Anam dari sambungan telepon yang sontak membuat aku bangga pada sosok kekasih sepertinya.
“Nggih bagus ta mas, itu tandanya njengan dianggap mampu. Aku yakin mas mampu untuk itu, jadi kenapa ngag?” sanggahku dengan sedikit sifat sok tauku namun tetap dengan ketulusan sepenuh hati.€
“Bener dhek? walau itu artinya kita harus benar-benar merubah segalanya dari saat itu”. Masih seperti tak percaya, agaknya kalimat itu dilontarkan mas Anam padaku.
“Nggih mas, lha memangnya kenapa? toh memang seperti ini lebih baik, njengan bebas dengan kesibukan njenengan begitu juga denganku namun tak menghapuskan perasaan kasih kita satu sama lain. Aku rasa itu akan lebih baik” jawabku meyakinkan kekasihku untuk pengambilan keputusannya.
“Ou nggih sampun nek ngoten dhek, lha njenengan sampun pelantikan?” Tanya mas Anam yang aku artikan sebagai bentuk perhatiannya kepadaku.
“Alhamdulillah sampun mas, kemarin. Aku Straffnya mbak Fatmah di bidang Perkaderan” Sedikit malas-malasan ku jawab pertanyaan yang baru saja ku dengar itu.
“Nggih bagus ta dhek, pripun mpun kerasan di Wismanya?” masih terus memberikan semangat seakan ucapan itu dilontarkannya pada ku.
“Iya begitulah seperti yang njenengan lihat saat ini” sambil terus membolak-balik buku yang dari tadi ku pegang dan tak sedikitpun ku lirik.
“Nggih sampun, semangat nggih” ucap mas Anam tanpa meninggalkan konotasi memotivasi.
Hingga tak terasa perbincangan kami telah berakhir, yang hasilnya ditunjukkan dengan perubahan wajah kucelku menjadi secerah bulan purnama saking bahagianya. Aku bersyukur mengenalnya, berkesempatan menyayanginya walau aku tak tau seperti apa perasaannya ke padaku. Andai sebuah gelas maka cintaku padanya seperti air mengalir yang mengisi gelas itu hingga penuh bahkan melebihi volume, meski hati ini terus menangis menahan rasa sakit yang sering kali menghampiri karenanya tapi kulakukan semua demi cinta. Sampai kadang terbesit dalam benakku Bagaimana jadinya aku bila harus tanpanya, yang segera ku tepis pikiran konyol itu. Terkadang aku tak mampu menyimpan perasaan ini sendiri tapi tiap aku ungkapkan pada kawan-kawanku yang aku dengar kebanyakan adalah kontra akan ungkapanku.
“Kok bisa sih Re kamu segitu sayangnya sama seseorang?” Kata seseorang yang aku tuakan di Wisma  yang akrab ku panggil Ukhti yang sering kali aku abaikan.
“Aku yakin suatu saat kamu akan tau mengapa aku menyayanginya ukht” jawabku asal-asalan sebagai bentuk pembelaan tak nyata dariku.
“Emt, Re aku jujur pengen banget punya pacar. Entah kenapa aku pikir dengan aku punya pacar aku bisa berjuang bersama dia dalam segala hal” Balas Ukhti yang kemudian membuatku terkekeh.
“Kok bisa gitu Ukh?” tanyaku semakin penasaran padanya, soalnya dia baru aja dilantik sebagai salah satu Kabit dalam struktur kepengurusan kemarin denganku.
“Iya bisa aja, kan enak tuh.” jawabnya ringan diikuti senyuman imutnya.
“Ukh, denger-denger mas Anam pas pelantikan nanti juga diberi amanah Kabit” ungkapku lirih sejajar dengan suara  bisikan actor di panggung teater yang biasa aku saksikan.
“Ou, ya bagus dong” seraya melepas jilbab.
“Hemmt…” aku sebagai lawan bicaranya hanya bisa menarik nafas penuh harapan.
Padahal berawal dari sinilah perasaanku mulai tak seperti biasanya. Perasaan takut kehilangan sosok kekasih yang aku sayangi karena suatu hal, dan entah alasan apapun. Namun tetap aku yakinkan hati ini bahwa ia yang aku sayangai tak seperti perkiraanku. Dengan begitu aku akan tetap bersemangat dalam segala agendaku kemudian. Sampai beberapa hari setelah percakapan itu, seingatku hari senin tanggal 25 bulan 03 sekitar pukul sebelas siang kuterima message dari mas Anam.
Dari: OnyetQ
25/03/2013
Dek ada yang ingin qu bcrakan, dan ne mslah serius.
Setelah tuntas membacanya aku kaget, ini message pertama darinya setelah message  beberapa hari yang lalu. Membuat ku penasaran apa masalah yang ingin ia bicarakan itu, dua menit kemudian telah terkirim message balasan ku.
Dari: aQ M3
25/03/2013
Nggih ngomong mawon mz, mslh npo?
Tak seperti beberpa hari yang lalu, dimana aku butuh waktu bermenit-menit hanya untuk satu message balasan darinya. Kali ini message balasannya begitu cepet.
Dari: OnyetQ
25/03/2013
Dek kita harus mengakhiri hubungan ne smentara wktu, karena hanya itu yang harus qu lakukan sebelum pelantikan Kabit.
Ironis. Seakan perasaan tak enakku selama ini telah terbukti dan inilah bukti nyatanya. Sempat terlintas dalam benakku kalimat bijak yang pernahku dengar Logika memang tau bagaimana membuat keputusan yang benar, tapi hati tau mana yang bisa membuat bahagia, bahkan jika itu keputusan yang salah. Aku tak bisa lagi membendung air mataku, satu menit saja aku telah berhasil memerahkan seluruh wajahku, membuat mendidih hati yang tadinya membatu.
Dari: aQ M3
aQ akan bljar ikhlas mz…
Insyallah,,,
nggih maav aja nek slama ini aQ banyak salah…
maksih bwt smua yg pernh mz berikan kpdQ mz…
mkasih…

Entah apa yang ada dipikiranku hingga hanya balasan seperti itulah yang bisa aku kirimkan.
Dari: OnyetQ
25/03/2013
Tapi qu mau ngomong langsung dlu sm njengan dhek.
Awalnya ku tolak ajakan yang ku pikir hanya akan membuatku lebih hancur itu. Aku optimis banget pembelaanku tak akan ada artinya jika memang keputusan awal yang ia buat seperti itu, aku bersamanya sudah 8 bulan jadi aku yakin aku lebih mengerti dia di banding kawan-kawan barunya. Karena hatiku gelisah banget setelah itu, maka aku lebih memilih bisa dekat dengan semangat-semangatku, mereka sahabat-sahabatku yang selalu ada untukku. Bahkan ketika itu juga Yani langsung menjemputku, menenangkan diriku.
Satu hari aku tak berada di wisma hingga sore harinya. Aku sengaja menghindar entah kepada siapa, tapi entah kenapan di kampus aku di pertemukan dengannya disaat aku benar-benar kalut. Aku tak ingin terlihat lemah dihadapannya, namun apa yang aku bisa?
Sore harinya mas Anam menemuiku, aku tak bisa menolak karena jujur aku masih ingin melihatnya walau hanya 1 detik.
“Pripun dek, aku cuman ngag mau mereka tau, aku telah pacaran sama njengan setelah pelantikanku. Aku pengen mereka tau dan dengan itu bisa dijadikan pertimbangan mereka” ucapnya lirih tanpa sedikit senyum dibibirnya.
“Tapi mas… Apakah ini harus?” tanyaku sedikit menyelidik.
“Kemarin sempet Ukhti Nana, sama Akhi Roni menegurku agar bisa-ngag bisa kita harus pisah. Bahkan sempat ia menganggapku ngag percaya sama Kuasa Allah karena telah pacaran. Tapi aku janji dek, akan ku tunggu sampai adek lulus”. Seakan kalimat itu telah dihafalkan lama sehingga begitu lancarnya mas Anam mengucapkannya.
Aku tak mampu berucap lagi, hanya air mata yang belum berhasil ku hentikan yang mewakili ungkapan hatiku.
“Apa kita sama-sama keluar saja dek? Jika itu yang bisa membuatmu lebih baik” masih tanpa senyuman mas Anam memberikan penegasan itu dan aku yakin itu bukan kehendak hati yang sesungguhnya, hal seperti itulah yang tak ku suka.
“Ndak mas, jika salah satu dari kita keluar hanya karena masalah kayak gini aku ngag suka. Ok mereka ngag salah telah membenarkan larangan_Nya, dan aku juga ngag akan memaksa njengan buat mempertahankanku” sanggahku tanpa berpikir panjang lagi. Sampai sempat terbesit dalam benakku satu kata orang bijak, bahwasannya Orang yang benar-benar menyayangimu tak akan kehabisan alsan untuk mempertahankanmu dan tak akan mencari alasan untuk meninggalkanmu.
“Nggih sampun dek, tak ada kata putus diantara kita” ucap mas Anam kemudian yang seakan terpaksa.
Aku terdiam tanpa kata, tak tau apa yang harus aku tanyakan atau aku sanggah ataukah aku usulkan selain diam dan mencoba mengerti. Hingga mas Anam mengakhiri percakapanny dan berpamit pulang. Tanpa dendang ku langkahkan kakiku yang semakin loyo ke dalam kamar. Setelah kejadian itu jarang lagi ku dapat kabar tentangnya, ingin hati mengirim message tapi segera ku tepis karena  aku tak yakin akan ia respon. Meski terkadang masih satu dua message ku terima darinya namun diriku merasa begitu terbebani, aku masih bingung apa statusku dihadapannya, apa artinya kehadiranku untuknya, masihkah aku diharapkan ataukah hanya sebuah keterpaksaan saja agar aku tak melakukan suatu hal bodoh sebagai pelampiasan sakit hatiku. Aku tak menyalahkan siapa-siapa atas kejadianku ini, aku yakin akulah yang salah.





0 komentar:

sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com