Selasa, 18 Agustus 2009

Cita-Cita yang Terjepit Globalisasi


Oleh : Lukman Wibowo

Sumber : Koran Wawasan (Kamis, 13/08/2009)

http://www.wawasandigital.com

Agustus bukan hanya bulan yang riuh oleh wacana kemerdekaan, namun juga tentang penguatan cita-cita kebangsaan. Kesadaran mengenai cita-cita tersebut, sesungguhnya selalu ada di tiap lapisan generasi. Konon, Soekarno pernah menyerukan bangsa kita agar tidak menjadi “bangsa kuli dan kuli bangsa-bangsa”, sebagaimana dapat kita lihat dalam pledoinya Indonesia Menggoegat (1930). Lebih dari setengah abad kemudian, cakar-cakar globalisasi terus menjadikan Indonesia berada di posisi yang tergerus. Hendrawan Supratikno (2009) men-satire-kannya: sebagai mekanisme pasar yang membawa Indonesia kepada proses gombalisasi dan gembelisasi.

Istilah sederhana “merdeka”, pada kenyataannya sulit didefinisikan dalam konteks peradaban internasional. Kapanpun istilah merdeka disematkan, selalu ada persoalan cita-cita di belakangnya. The Indonesian dream, adalah tugas yang harus diwujudkan berikutnya.

Kekhawatiran selalu muncul dari problem cita-cita tersebut, manakala disangkutpautkan dengan globalisasi. Sebagai bangsa merdeka, kita merasa terjepit oleh kepungan globalisasi. Arus deras globalisasi serasa mengancam identitas jati diri kebangsaan kita.

Tak terlalu jelas sebetulnya mengapa kita merasa terjepit seperti itu. Lantaran dunia kian ”sempit”, kita tak sempat menjawabnya; kesibukan ”menyelamatkan diri” dari keterjepitan adalah langkah teknis yang utama.



Terjepit dan Dilematik

Dua dekade yang lalu, runtuhnya Blok Kiri yang menandai berakhirnya Perang Dingin membuat kapitalisme menjadi satu-satunya kekuatan global yang paling dominan. Globalisasi—istilah yang kali pertama dipopulerkan oleh Levitt di tahun 1985—kemudian dipakai oleh blok pemenang perang, untuk mengimprovisasi tatanan dunia baru, khususnya strategi perdagangan bebas berikut akses moneter dan finansialnya. Itu sebabnya pada aspek ideologis, globalisasi sering disebut sebagai rekolonisasi (Oliver Balasuriya), neokapitalisme (Menon), dan neoliberalisme (Ramakrishnan). Malahan Sada menyebut globalisasi sebagai eksistensi kapitalisme Euro-Amerika di Dunia Ketiga (RP Borrong, 2009).

Kini, diusia 64 tahun kemerdekaan kita, “perasaan terjepit” itu kian mendera, bahkan proses dilematiknya semakin kuat ketika kita menghadapi globalisasi. Dilema itu barangkali sudah terpecahkan, namun tidak dalam satu kerangka pandang kebangsaan yang sama (satu), melainkan muncul sejumlah “kubu” yang saling pro dan kontra dalam menyikapinya.

Bagi yang abai dengan arus globalisasi, negeri merdeka beserta cita-citanya hanyalah dianggap sebagai proses hidup yang dibiarkan mengalir begitu saja mengikuti perkembangan zaman. Tiada kecemasan sama sekali, tapi juga tiada inisiasi sama sekali.

Bagi kubu yang “berani” menghadapi globalisasi, adalah dengan cara berbicara dan menulis dimana-dimana mengenai pentingnya kemampuan kompetisi. Maka disediakanlah berbagai program pengembangan kompetensi serta sertifikasi.

Sebagian kubu yang lain, menanggapinya dengan cara menolak mentah-mentah globalisasi; mulai dari yang hanya sebatas mengatakan Indonesia belum siap, hingga ada yang membangun gerakan antiglobalisasi secara ideologis.

Sementara di kubu yang berbeda, proses globalisasi adalah kesempatan berefouria untuk mengeruk keuntungan. Ada yang mengkomersialkan teks dan simbol-simbol agama tanpa memerdulikan nilai transendentalnya, ada yang sibuk membangun sekolah-sekolah global tanpa menghiraukan arah pendidikan, dan ada pula yang ramai-ramai berjualan produk impor tanpa peduli pada kembang-kempisnya produksi lokal maupun dalam negeri.

Semua ”pecahan kubu” telah melepaskan rasa dilematiknya pada globalisasi, namun sebagai satu bangsa besar, kita tidak mempunyai common platform ketika menghadapi “perasaan terjepit” itu. Alhasil, kita adalah negara berdemografi dan berwilayah besar, namun kecil (bahkan terpecah-pecah) dalam soal membangun cita-cita bangsa.

Sampai sekarang, rasa terjepit dan dilematik itu sebenarnya tidak pernah hilang. Kita bahkan semakin pusing: Masihkah kita merdeka dan punya cita-cita?

Gugatan klasik semacam ini selalu muncul, tapi proses globalisasi dalam kehidupan kita.terus saja berlangsung, dengan “permisi” atau “tidak permisi” pada kita. Fakta keberlangsungan itu amat dapat kita lihat di berbagai sektor hidup yang mengelilingi kita. Globalisasi ekonomi, budaya, sosial, maupun globalisasi cara pandang keilmuan, terus merangsek masuk ke dalam ”otonomi” kehidupan kita.



Tak Merdeka; Miskin Cita-cita

Kembali ke soal merdeka dan cita-cita bangsa. Dalam masalah politik, kita belum merdeka sepenuhnya. Simak saja cerita Pileg maupun Pilpres kemarin. Campur tangan asing—seperti National Democratic Institute dan Carter Centre—turut bermain dalam kancah proses demokrasi politik kita; mulai dari sekadar mengawasi sampai dengan berani ”mendikte”.

Lebih lanjut lagi, ”benturan antar kepentingan”—antara kapitalisme internasional dan kapitalisme rambut hitam—sebagaimana yang pernah disinyalir oleh Samuel Huntington (1995), benar-benar terrepresentasikan dalam pertarungan Pilpres kemarin. Independensi pribadi calon-calon pemimpin tersebut tentu harus dihargai, tapi bagaimana dengan kontrak politik mereka pada pihak-pihak asing yang men-support-nya?

Cerita miris juga ada dalam dunia pendidikan. Sumberdaya manusia kita, benar-benar disiapkan menjadi hardware untuk memasang sekrup dan mesin-mesin globalisasi. Peningkatan skil adalah istilah lain dari penciptaan “manusia robot” yang bakal dipekerjakan di berbagai perusahaan, pabrik, dan tempat-tempat produksi yang menunjang hegemoni kapitalisme. Lalu kita sadar bahwa peningkatan mutu SDM, tidak hanya cukup didukung dengan anggaran yang besar saja, tapi menyusun software tujuan pendidikan adalah lebih penting.

Di babak lain, kita masih dihantui oleh teror bom. Kita lupa bahwa untuk melawan terorisme, mempercanggih sistem intelejen, politik hukum, dan aparat keamanan saja itu tidak cukup. Senjata tercanggih untuk melawan segala macam teror adalah hadirnya cita-cita bersama. Cita-cita yang tidak teracuni oleh ideologi apapun, selain nasionalisme Indonesia.

Parahnya, kita selalu dicecoki oleh opini bahwa teror tersebut bertujuan untuk membangun hegemoni agama tertentu. Padahal, selama ini kita paham bahwa berbagai aksi pengeboman itu amat bermotifkan ”balas dendam” kepada AS dan sekutunya, ketimbang bertujuan teologis.

Pada segmen ekonomi, kisahnya lebih ”menarik” lagi. Mulai dari balada utang yang membengkak, eksploitasi hasil bumi, sampai dengan ideologi keekonomian kita yang makin disesatkan.

Ada banyak cerita lain yang menunjukkan bangsa kita belum merdeka seutuhnya, tapi terlalu melankolis untuk diceritakan terus menerus. Terkait dengan globalisasi, itu adalah bagian kisah yang amat menyedihkan.

Sekarang, sudah lebih dari enam dasawarsa kita merdeka, namun berbagai “penyakit” belum juga sembuh dalam diri kita: penyakit lupa, permisif, mau jadi kuli, suka ikut arus, dan terbiasa hidup miskin tanpa cita-cita...



Lukman Wibowo;
Pekerja bangunan dan buruh kasar, tinggal di Semarang

0 komentar:

sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com