Rabu, 23 Desember 2009

(Refleksi Hari Antikorupsi Sedunia) Persoalan Sosiologis – Filsafati dan Strategi Memerangi Korupsi


Oleh Lukman Wibowo

Sumber : www.harianjoglosemar.com
(Artikel ini telah dimuat di Harian Joglosemar, 8/12/2009)

Setiap jatuh tanggal 9 Desember, kita memperingati Hari Antikorupsi Internasional. Tujuannya, agar seluruh negara di dunia terbebas dari perkara korupsi. Bahkan di bulan ini, untuk mengapresiasi momentum tersebut, aksi massa bakal digelar secara serentak di berbagai penjuru tanah air Indonesia. Terkait dengan hal tersebut, Presiden SBY—lewat pidatonya kemarin (4/12)—sempat khawatir pada kemungkinan terjadinya anarkisme yang berjalan di luar kontrol. Kekhawatiran semacam itu seyogyanya tak perlu berlebihan, mengingat aksi massa tersebut adalah bersifat gerakan moral semata; bukan kudeta.
Apa yang menarik dari perayaan Hari Antikorupsi di negara kita ini? Jawabannya: Kita sedang merayakan sebuah perang melawan kejahatan korupsi yang terjadi secara sistemik.
Ya, perang yang kian sulit. Jika dahulu korupsi dilakukan di bawah meja, kini korupsi dilakukan di atas meja. Sejalan dengan asumsi ini, Transparency International Indonesia (TII) menuliskan laporannya: Runtuhnya Orde Baru tidak memperkecil kasus korupsi, justru sekarang keadaannya kian parah.
Sepanjang era Reformasi, beraneka institusi dibentuk untuk mengawasi sekaligus melibas sepak terjang para koruptor. Namun Indonesia masih tetap saja menjadi lahan persemaian tindak korupsi; mulai dari pejabat tinggi hingga merembet ke level pejabat rendah; juga tak hanya terjadi di pusat kota, tapi telah menyebar ke tingkat kelurahan maupun desa.

Masa Transisi; Persoalan Sosiologis dan Filsafati

Skala fluktuatif tumbuhnya prilaku korupsi, dapat dilihat dari kacamata sosiologi-politik masyarakat kita dewasa ini. Samuel Huntington dalam Political Order in Changing Society mengemukakan 3 hal penyebab suburnya korupsi di negara yang sedang memasuki fase transisi di era modern.
Pertama, modernisasi menawarkan norma-norma baru yang lebih rasional ketimbang norma yang berlaku sebelumnya. Akibatnya, benturan antarnorma tak dapat dielakkan. Dalam suasana transisi ini—yang bisa memakan waktu selama 1-2 generasi—dimana norma baru belum diakui, sementara norma lama mulai goyah, maka terbukalah kesempatan orang untuk berbuat semaunya tanpa legitimasi dari kedua macam norma tersebut. Tindakan amoral korupsi, tumbuh leluasa di luar kontrol dua norma yang sedang berbenturan itu.
Kedua, dibukanya sektor industri yang memunculkan sumber-sumber kekayaan baru. Masuknya modal asing berdampak pada terciptanya relasi jembatan emas untuk menjalin kerjasama antara pemilik “kekuasaaan politik tapi miskin harta” dengan pemilik “harta tapi miskin kekuasaan”. Akhirnya, “hubungan gelap” di antara kedua pihak tersebut muncul, untuk berbagi kuasa dan kekayaan.
Ketiga, pada masa transisi, biasanya negara membuat banyak lembaga maupun undang-undang yang baru. Efek sampingnya, terjadilah “negosiasi” antara penegak hukum dengan mereka yang menjadi sasaran hukum. Dengan demikian, pemerintahan yang sedang melakukan perbaikan (reformasi) sistem politiknya, di saat yang sama juga akan membengkakkan jumlah tindak korupsi. Perseteruan KPK-Polri-Kejaksaan, adalah contoh konkretnya masalah ini.
Ditegaskan juga oleh Harvey Cox dalam The Secular City, korupsi akan kian tak terkendali jika negara tersebut terdiri dari berbagai suku yang amat plural. Ikatan primordial dan nepotisme yang masih kuat, akan memberi iklim kondusif untuk berbuat korupsi. Cox pun menambahkan, bahwa korupsi sulit diberantas karena korupsi melibatkan banyak pihak. Sehingga sesiapa yang coba melacaknya, malah justru terjebak di dalamnya.
Apa yang diulas Huntington dan Cox, kini sedang terjadi di Indonesia. Reformasi sebagai masa transisi sosial-politik, tak hanya melahirkan semangat baru, namun juga di arah yang berbeda, telah nenambah kronisnya hambatan-hambatan bagi reformasi itu sendiri. Jalan reformasi terganjal oleh pihak-pihak yang ingin memupuk kekayaan, dengan memanfaatkan kesempatan masa transisi yang labil.
Di luar kacamata sosiologi-politik, kita juga bisa merujuknya dari 2 aliran filsafat yang berbeda; cara pandang fungsionalis dan strukturalis. Dalam filsafat fungsionalis, tindak korupsi disebabkan oleh watak. Artinya, korupsi hanya sanggup diberantas ketika watak korup pelakunya bisa diperbaiki. Filsafat strukturalisme justru melihatnya dari sudut yang berseberangan. Korupsi bukanlah watak yang ajeg. Sifat manusia tumbuh di bawah pengaruh struktur sistem di luar dirinya. Sistem yang baik akan menciptakan manusia yang baik, demikian sebaliknya; sistem yang korup niscaya menciptakan manusia yang korup.
Dua filsafat tersebut memiliki proporsi kebenaran yang sama. Ini berarti, sinergisitas antara perbaikan sistem dan perbaikan moral, harus terus dikuatkan.

Strategi Memerangi Korupsi
Ada beberapa agenda strategis yang dapat ditempuh dalam rangka memerangi korupsi sistemik di negara ini.
Pertama, melakukan sterilisasi terhadap institusi-institusi kenegaraan—terutama institusi penegak hukum (seperti Polri, MA, dan Kejaksaaan)—dari peluang berlaku korup. Untuk itu perlu dilakukan seleksi ulang Hakim Agung dengan memperkuat posisi Komisi Yudisial (KY). Selain itu, KY harus di-support dengan efektifitas hadirnya Komisi Pengawas Kejaksaan, dalam mengawasi kinerja para jaksa di pusat sampai daerah.
Untuk institusi kepolisian, langkah yang bisa ditempuh adalah dengan cara melakukan perubahan sistem internalnya. Secara garis besar, 3 aspek sistem yang bermasalah ini adalah: Aspek instrumental (paradigma dan kerangka filsafat); aspek struktural (desain kelembagaan dalam hubungannya dengan lembaga-lembaga lain); dan aspek kultural (operasional sehari-hari, baik itu masalah manajemen ofisial maupun kinerja polisi di lapangan).
Otoritas kepolisian juga harus dinormalisasi: Kewenangannya tak boleh terlalu besar seperti saat ini. Otoritas polisi dapat didistribusikan ke berbagai institusi pemerintahan. Dalam konteks ini, kita bisa belajar dari Amerika Serikat; yang telah meletakkan depositioning polisi di bawah sejumlah departemen.
Selain itu, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dan Indonesia-Police Wacth (IPW) patut diberdayakan secara optimal. Dua lembaga pengawas ini harus diposisikan independen, baik secara struktural maupun kultural.
Kedua, membangun mekanisme peradilan korupsi yang efektif. Perlu dibuat khusus satu lembaga peradilan korupsi. Semua kasus korupsi prosesnya dilaksanakan dalam lembaga khusus ini, bukan oleh pengadilan umum (PN) atau pengadilan Ad Hoc. Ini penting dibuat guna meminimalisir terjadinya praktik suap di PN dan KPK.
Ketiga, mengelola kasus-kasus korupsi dengan transparan agar tak ada politik dagang sapi (judicial coruption) dalam proses pengadilan. Transparansi ini bisa disusun dengan memanfaatkan teknologi informasi (e-court) untuk pelayanan publik.
Keempat, melakukan eksaminasi (pengujian) publik atas putusan perkara korupsi. Jika terjadi kontroversi atas putusan tersebut, maka publik (kalangan akademisi dan penggiat hukum) dapat melakukan kontrol hukum dengan semangat yang lebih objektif (Riewanto, 2007).
Kelima, lebih membudayakan sikap antikorupsi di seluruh lapisan masyarakat. Banyak hal strategis maupun taktis yang mampu kita perbuat untuk memberantas korupsi. Itikad bersama yang kuat adalah kuncinya.
* * *
Tiada yang sulit untuk memerangi kejahatan korupsi. Selama masih ada political will yang kokoh dari seluruh stakeholders negara maupun masyarakat, korupsi pasti bisa dilumpuhkan.
Selamat merayakan Hari Antikorupsi, selamat berperang melawan korupsi!


Lukman Wibowo—Buruh bangunan;
Aktivis kebudayaan;
Tinggal di pinggiran kota Semarang

0 komentar:

sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com