Rabu, 05 Mei 2010

PERNYATAAN SIKAP HMI CABANG SEMARANG Menyambut Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2010 “ KEMBALIKAN RUH PENDIDIKAN SEBAGAI PENCERDAS BANGSA”


Semua bangsa di dunia pasti menempatkan pendidikan pada posisi yang tinggi. Nyaris tak ada suatu bangsa yang melecehkan pendidikan bagi bangsanya sendiri. Mereka sangat menyadari kemajuan bangsa ditentukan oleh kepandaian generasi baru dari bangsa itu sendiri. Pendidikan dalam pandangan kontemporer seharusnya diartikan sebagai sebagai tulang punggung (read:sistem nilai) bangsa dan negara untuk mencapai visi besar bangsa. Demikian pula dengan Indonesia yang pada dasarnya menempatkan pendidikan di level tinggi, Hal ini terbukti bahwa bangsa ini secara teoritis menempatkan pendidikan sebagai alat ideal mencapai tujuan bangsa. Kita bisa melihat makna dalam UU SISDIKNAS No.20 tahun 2003 pasal 1 yakni “untuk mengembangkan peserta didik secara aktif dalam mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual kegamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta kerampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan bangsa”. Jelas sekali paradigma pendidikan (read:ruh) kita menggambarkan betapa esensi pendidikan merupakan entitas yang sangat komprehensif menyangkut berbagai dimensi perkembangan individu dalam kaitannya dengan kehidupan berbangsa dan bernegara.Realitas yang terjadi di masyarakat, seharusnya menempatkan hubungan yang serasi antara pemerintah, pelaku pendidikan dan objek pendidikan. Dalam hal ini dibuktikan dengan keseriusan pemerintah dalam menyelesaikan problematika pendidikan yang selama ini sudah menjamur dengan menghadirkan solusi yang tepat, pelaku pendidikan dengan menyelenggarakan pendidikan berdasarkan sebagaimana tertuang dalam pasal 19 ayat (1) PP 19/2005 tentang Standar Nasional pendidikan, dan peserta didik berlomba-lomba dalam peningkatan mutu. Dalam budaya akademik modern pun mestinya ada tiga hal penting yang harus diperhatikan. Pertama, ku-rikulum program studi harus berbasis mutu dan silabus dari kurikulum tersebut harus terus dikaji apakah sudah sesuai dengan kebutuhan dunia kerja atau belum. Kedua, proses pembelajaran yang terkendali. Ketiga, standar output yang terjamin.
Dinamika ini mestinya menjadi refleksi pendidikan sehingga membuat kita mampu menilai potret pendidikan nasional kita, semakin mendekati visi/ tujuan nasional pendidikan atau bahkan keluar jalu pendidikan nasional. Pertama, UU BHP telah diputuskan oleh MK dengan dasar bertentangan dengan UUD 1945 karena ketentuan-ketentuan yang diatur UU BHP yang dinilainya merupakan penyeragaman bentuk tata kelola, Penyeragaman itu terjadi karena UU BHP membuat penyelenggara pendidikan harus berbentuk BHP. Hal ini yang sejak awal terbentuknya ditentang mahasiswa, baru terealisasi kemarin dan bahkan belum disiapkan konsep ideal penggantinya. Kedua Kapitalisasi perguruan tinggi sebagai cara baru (read:neo liberalisme) yang dirasakan dunia pendidikan sekarang ini adalah terjadinya pengurangan subsidi pendidikan. Perguruan tinggi negeri harus menjadi badan yang mandiri. Subsidi yang dulu dilakukan terhadap SPP mahasiswa semakin berkurang. Subsidi dan campur tangan pemerintah di hampir semua sektor memang tidak disukai neoliberal akhirnya Beberapa PTN favorit untuk kepentingan penggalian sumber dananya dengan membukaj alur non -SPMB dengan menetapkan sumbangan puluhan juta sebanyak-banyaknya yang artinya pula sumber pendapatannya banyak. Kemudian yang terjadi terjadi privatisasi sekolah dan universitas. Itu sangat sesuai dengan semangat neoliberal persaingan bebas yang dalam hal ini pemerintah tutupi dengan menurunkan 20% APBD untuk pendidikan, namun realisasinya tidak jelas.Ketiga profesionalisme tenaga kependidikan berpegang pada idealisme dan progresifitas menuju tercipanya nuansa pndidikan yang harmonis, menyediakan sumber belajar, membenahi guru dan tenaga kependidikan lainnya dengan tetap mewujudkan manajemen pendidikan yang proffesional, penyelenggaraan evaluasi pendidikan baik proses maupun hasil secara obyektif, komprehensif, dan berkesinambungan. Keempat problematika UN yang menjadi satu-satunya indikator mutu (read:kelulusan) telah menunjukan kgagalannya, Dengan kata lain, UN tidak mampu meningkatkan kinerja pendidikan dalam konteks makna pendidikan atau terjadi simplifikasi kinerja pendidikan. Dalam konteks proses pembelajaran, UN telah mereduksi makna pembelajaran dari situasi pembelajaran yang seharusnya terwujud dalam pendidikan. Tentu saja cara makna pendidikan yang sesungguhnya yakni proses perwujudan pendidikan menyeluruh menjadi terreduksi, menyempitkan makna pendidikan dan dapat mengarah kepada suatu pola pikir intelektual-elitis, yaitu memandang kesuksesan dari sudut in-telektual/kognitif dengan alat ukur UN an sich. Kelima belum meratanya orang-orang yang merasakan pendidikan, apalagi kaum miskin. Kesempatan orang kaya memilih perguruan tinggi memang selalu lebih banyak dari pada orang miskin. Dengan adanya model seleksi yang target sebenarnya adalah mendapatkan sumber dana sebesar-besarnya, maka mereka yang berasal dari keluarga kaya meskipun prestasi akademiknya tidak bagus memiliki kesempatan yang besar, sedangkan yang dari keluarga miskin meskipun kecerdasannya mumpuni, tetap saja terpenjara dalam kemiskinannya.
Sesuai dengan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Departemen Pendidikan Nasional berkewajiban mencapai visi pendidikan nasional sebagai berikut. "Ter wujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah".
Diharapkan, ada kebijakan baru dalam menangani problematika pendidikan. Pertama, ini diawali dengan dibentuknya komitmen politik yang kuat dan tangguh dari pemerintah untuk menengok dan memedulikan persoalan pendidikan sampai akar rumput. Kedua, keseriusan pemerintah pusat maupun daerah untuk merealisasikan anggaran pendidikan minimal 20%, baik dari APBN maupun APBD, bukan hanya di atas kertas, melainkan dalam bentuk kerja nyata. Ketiga, perlunya dibentuk aparatus pendidikan di elite pemerintahan yang berjiwa bersih, suci, dan jujur demi pemenuhan pendidikan murah meriah dan gratis bagi rakyat miskin. Ini sangat menjadi pijakan utama agar pemerintah mampu mempermudah dilahir-kannya kebijakan-kebijakan pendidikan pro rakyat miskin.
Oleh karena itu HMI Cabang Semarang mengambil sikap :
1.Segera tentukan sistem ideal pendidikan tinggi sebagai pengganti BHP
2.Hapus UN sebagai alat penentu kelulusan tunggal
3.Realisasikan pemerataan yang proporsional untuk fasilitas pendidikan berdasar pengembangan keilmuan dan pengetahuan di sekolah negeri maupun swasta
4.Tetapkan UMR bagi GTT sebagai bukti keseriusan perhatian pemerintah secara adil terhadap nasib guru
5.Maksimalkan anggaran 20% APBD pendidikan dan sosialisasikan transparansinya
6.Wujudkan pendidikan murah bagi rakyat miskin dengan tetap bervisi kualitas
7.Optimalkan caracter building di semua sektor pendidikan
8.Optimalisasi sistem sertifikasi sebagai indikator kualitas pendidik







Sindi Setiyadi
Ketua HMI Cabang Semarang

0 komentar:

sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com