Selasa, 06 April 2010

Resolusi Tata Ruang Kota Semarang antara Kebijakan Pemerintah dan Nasib Kaum Mustadz’afin

Perkembangna konsep dualistik ang terjadi khususnya di negar-negara berkembang
mengalami dinamika ang seringkali menimbulkan permasalahan-permasalahan
dalam negara-negara tersebut, terlebih di perkotaan
(Lincolyn, 1992:208)

Pemanfaatan ruang kota sebagai arah dan pedoman dalam pengembangan dan pembangunan kota mengalami perubahan paradigma, yaitu dari skala keseragaman menuju keberagaman, dari lahan sebagai sekedar wadah aktifitas menjadi bagian dari investasi dan pemberdayaan kandungan lokal. Perubahan paradigma ini memberikan konsekuensi logis bagi kota untuk mengembangkan diri sesuai dengan potensi yang dikandungnya. Lebih dari itu, diperlukan pengembangan antar kawasan yang bertumpu pada keselarasan antar sinergisitas dengan wilayah sekitar. Dengan demikian diharapkan kebijakan tata ruang akan terhindar dari segala benturan kepentingan ego regional masing-masingwilayah pengembangan. Kegiatan pembangunan infrastruktur perkotaan memiliki peran yang sangat signifikan terhadap keberhasilan pemanfaatan ruang. Berpijak pada Perda Nomor 1 Tahun 1999, tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Semarang, konsep dasar pembangunan sarana dan prasarana dasar perkotaan berorientasi pada pemenuhan pelayanan infrastruktur perkotaan yang mampu mendukung terwujudnya pola perkembangan kota metropolitan yang aman, tertib, lancar, asri dan sehat. Implementasi konsep tersebut di atas memiliki banyak tantangan, hal ini disebabkan karena kondisi infrastruktur perkotaan yang terbangun telah mengalami penurunan kualitas dan fungsi yang cukup tajam, sehingga membutuhkan biaya pemeliharaan yang cukup besar.
Untuk menjawab tantangan yang demikian maka diperlukan prioritas program yang proporsional sehingga dapat menciptakan infrastruktur yang berdaya dukung pada segala aktifitas perkotaan secara efektif dan efisien.Disisi lain, sumber daya alam merupakan potensi yang dapat memacu percepatan pembangunan, sebab merupakan sumber daya yang sudah tersedia secara alami. Namun demikian, kuantitas sumber daya alam yang tersedia sangat berbeda satu dengan lainnya, di satu sisi ada yang berlimpah sedang yang lainnya relatif terbatas. Pada sumber daya alam yang relatif terbatas, perlu kajian yang lebih mendalam untuk pemanfaatannya, agar dalam pengembangan potensinya masih tetap dalam ambang batas terciptanya daya dukung lingkungan yang handal. Potensi sumber daya alam yang sangat berlimpah ternyata belum dimanfaatkan secara optimal, contoh sumber daya air, yang karena lemahnya pengelolaan sumber daya tersebut, belum memberikan nilai tambah pada masyarakat seperti untuk kebutuhan air bersih, tetapi justru menjadi masalah yang sangat merepotkan, yaitu dengan adanya bencana banjir dan rob. Terlepas dari keterbatasan dana dan kemampuan pengelolaan, sudah sepantasnya masalah sumber daya air yang berlimpah tersebut diubah sebagai potensi yang menjanjikan bagi perkembangan kota. Oleh karena itu, konsep pemanfaatan sumber daya air sebagai primadona pembangunan kota, mulai patut untuk dikedepankan pada era pembangunan kali ini. Sebagai gambaran permasalahan utama bidang tata ruang, infrastruktur dan sumber daya alam dalam kajian ini adalah sebagai berikut : Kurang konsistennya pengendalian pemanfaatan ruang; Kurang lengkapnya perencanaan tata ruang kawasan (RTRK); Belum optimalnya penanganan perkampungan kumuh, bangunan dan hunian liar; Adanya kesenjangan antara kebutuhan dan ketersediaan rumah layak huni; Belum meratanya penyebaran fasilitas perumahan& lingkungan permukiman (fasum & fasos); Belum optimalnya penanganan banjir dan rob; Kurang optimalnya penanganan kebersihan kota; Belum optimalnya pelayanan infrastruktur dasar kelompok miskin;· Belum optimalnya pelayanan infrastruktur serta sistem transportasi internal dan eksternal perkotaan;· Belum memadainya prasarana transportasi udara, laut & darat yang mendukung fungsi kota metropolitan;· Belum optimalnya pengelolaan dan estetika ruang publik; Kurangnya area hijau kota; Kurang optimalnya pengendalian Air Bawah Tanah; Belum optimalnya pengelolaan irigasi dan Daerah Aliran Sungai (DAS); Lemahnya pengendalian penambangan bahan Galian Golongan dan belum optimalnya pengendalian pencemaran lingkungan.


Arah Kebijakan Kebijakan penataan ruang kota merupakan basis dari segala kebijakan pengembangan fisik kota, sebab hampir semua aspek pemanfaatan ruang kota harus berpijak pada tata ruang kota yang telah ditetapkan. Mengingat strategisnya aspek kebijakan ini bagi perkembangan fisik kota, maka diharapkan kebijakan ini seyogyanya mampu mengakomodasi semua potensi kota baik secara internal maupun eksternal, sehingga arah pembangunan kota tidak meninggalkan elemen potensi dalam setiap tahap pembangunan. Berlandaskan kajian tata ruang kota tahun 1995 & ndash; 2005 makapemanfaatan ruang kota dalam kebijakan tata ruang ini diarahkan: Keselarasan pemanfaatan ruang yang mampu mengembangkan fungsi setiap kawasan; Terciptanya hubungan sinergis antara wilayah kota Semarang dengan wilayah/ daerah sekitar; Pengembangan sumber daya lokal dan berdaya dukung lingkungan yang berkesinambungan.

Problematika utama yang dialami kota Semarang diantaranya adalah cara penanggulangan banjir/rob yang belum menemukan cara yang ideal. Hal ini tidak hanya terjadi di daerah-daerah pinggiran saja melainkan di pusat kota dan di pasar yang notabenenya sebagai pusat terjadinya interaksi sosial dalam bentuk jual beli dalam masarakat. Ini tentu tidak hanya berkaitan dengan drainase saja tetapi juga karena bangunan-bangunan pencakar langit yang semakin banyak ditambah penghijauan mengalami stagnasi apalagi budaya masyarakat ang membuang sampah sembarangan. Ini disinyalir yang menjadi sebab dari tidak terselesaikannya problem banjir hingga memunbulkan isu untuk pemindahan ibu kota jawa tengah ke Yogyakarta karena kondisi semarang yang dirasa sudah tidak representatif untuk jadi ibukota jawa tengah.

Hal yang tidak kalah penting adalah berkaitan dengan pembangungan dan perbaikan pemukiman, prasarana kota, yang tujuan utamannya adalah meningkatkan harkat dan martabat masyarakat sebagai warga kota pantai metropolitan. Prioritas dalam hal ini adalah pemenuhn kebutuhan papanmasyarakat kurang mampu, baik berupa lahan maupun berupa rumah layak huni dan terjangkau. Fasilitas pun menjadi entitas yang tak kalah penting bagi masyarakat luas diantaranya; pengadaan infrastruktur air bersih oleh PDAM, pengadaan MCK umum yang bersih dan sehat, dan masalah yang berkaitan dengan PKL. Keberadaan PKL dapat mendukung kegiatan formal di lokasi tersebut, tetapi kenyataan yang ada justru cenderung termarginalkan baik dari segi lokasi danruang, maupun regulasi/hukum pengaturannya. Fenomena sektor informal pedagang kaki lima ini pada dasarnya merupakan bentukpengkondisian dari pembangunan yang tidak memadai kapasitasnya, baik dari strategi dankebijakan yang diterapkan maupun perlakuan pemerintah sendiri yang tidak sungguh-sungguh memperhatikan sektor ini (Rachbini, 1994: 81). Sampai dengan saat ini, penanganan masalah sektor informal pedagang kaki lima di perkotaan masih belum berubah dari pola lama, yaitu penggusuran demi kebersihan, keamanan, dan kenyamanan kota. Beberapa regulasi mengenaipedagang kali lima dapat dikatakan belum aspiratif karena masih berupa penggusuran penggusuran. Seperti ang sering terjadi, para PKL di sekitar lokasi dagang mereka digusur karena alasan kebersihan dan penertiban dalam rangka menyongsong lomba Adipura misalkan. Parahnya lagi, ternyata dari pihak Pemkot tidak mempunyai rencana lokasi baruuntuk relokasi PKL tersebut. Hal inilah, yang kemudian menimbulkan protes dari pedagang kaki lima tersebut karena merasa diperlakukan tidak adil (Kedaulatan Rakyat, 17 Februari 2006).

Upaya untuk menata visi kebijakan yang pro poor diantaranya dengan penataan bangunan, guna menjembatani kesenjangan antara rencana tata ruang dengan implementasi pemanfaatan ruang. Hal ini disebabkan oleh karena perencanaan tata ruang kota belum mampu sebagai arahan detail dalampemanfaatan ruang. Untuk itu, setiap kawasan strategis kota sudah selayaknya dilengkapi Rencana Tata Bangunan danLingkungan. Perwujudan program ini melalui kegiatan penyusunan Rencana Tata Ruang Kota, Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTRK, RTBL), pengendalian dan evaluasi bangunan. Kemudian upaya ang lain adalah dengan konservasi Lahan Pemenuhan kawasan hijau sebagai media penyelaras akan kecenderungan degradasi ketersediaan udara bersih dan sehat. Dengantersedianya ruang terbuka hijau yang cukup diharapkan mampu menurunkan tingkat polusi udara kota, sekaligus sebagai media resapan air hujan yang pada akhirnya berfungsi sebagai media pencegah bahaya banjir. Implementasi ini dilakukan melalui penyusunan rencana kawasan konservasi dan pengendalian atas implementasi peruntukan lahan serta konservasi lahan kritis.
Tentunya dari realitas yang sudah terlihat, kemudian menjadi jelas langkah mana yang harus dijadikan strategi yang di prioritaskan. Kesejahteraan rakyat lah yang menmpati posisi pertama dalam orientasi penetapan kebijakan, bukan kepada orientasi status quo yang tendensius dengan mengambil hak rakyat secara formal kelembagaan.

Oleh karena itulah melalui agenda pelantikan yang merupakan awal terbentuknya kepengurusan baru ditataran struktural HMI Cabang Semarang, yang nantinya akan kami selenggarakan tersebut nantinya dengan harapan sebagai pengaharapan yang berbenah baik untuk organisasi sendiri maupun untuk konsep semarang kedepan pada umumnya.
TOR SEMINAR DAN PELANTIKAN HMI CABANG SEMARANG

0 komentar:

sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com