Sabtu, 12 April 2014

REFLEKSI HMI DALAM MOMENTUM REFORMASI Oleh : Kanda Mujahid




HMI yang lahir pada tanggal 5 Februari 1947 telah mengalami pasang surut perjuangan dalam memperjuangkan ideologinya mulai dari orde lama, orde baru sampai reformasi sekarang. Ketika orde baru berkuasa ideologi HMI dipecah sedemikian rupa dengan asas tunggal Pancasila sehingga ideologi HMI waktu itu ada yang nasionalis, ada yang menolak asas tunggal, dan ada yang ingin daulah islamiyah. Tetapi, kini setelah reformasi yang mengambil alih kekuasaan orde baru dan menjadikan ideologi dibebaskan justru yang terjadi adalah kekalahan islam, begitu pula HMI yang kehilangan momentum reformasi tidak memanfaatkan atau mengambil alih kekuasaan.

Sebuah kesempatan menjadi sesuatu tidak bermakna ketika umat itu tidak siap, yakni ketika reformasi meskipun perkaderan-perkaderan kita yang kita lakukan sudah cukup panjang, tetapi ternyata hasilnya tidak di dalam kekuasaan kaum muslimin. Karena pengambil alih kekuasaannya tidak seperti yang kita cita-citakan. Momentum reformasi yang terlalu cepat atau kita yang tidak siap, tetapi kemudian kita kehilangan kesempatan untuk merubah tatanan masyarakat melalui ideologi yang dimilikinya. Meskipun ada kesempatan berpartai, dan kalau sudah berpartai berarti sudah tidak mempermasalahkan ideologi negara, karena menganggap sudah final dan tinggal mengisinya, tidak usah berpikiran untuk merubah negara atau merubah dasar negara, kecuali nanti kalau partainya menang.

Ada pelajaran di Mesir, Ikhawanul Muslimin sangat konsisten ingin membangun sebuah negara islam atau daulah islamiyah dengan membentuk suatu partai dengan tujuan kalau menang untuk merubah negara, namun di dalam faktanya tidak berhasil ketika Mursyid menjadi presiden, dia memaksakan diri mengadakan dekrit kemudian gagal, seperti soekarno di Indonesia. Seharusnya, ketika di Mesir tumbangnya rezim Mubarok dilakukan referendum yang intinya merubah undang-undang dasar agar masyarakatnya dan negaranya siap berubah. Saya pernah kumpul dalam kegiatan FKUB (forum kerukunan umat beragama), saya bercerita bahwa sebetulny a kita sudah normal dengan demokrasi, artinya bahwa kalau kita mau memilih sebuah daulah bagaimana dengan metode demokrasi. Iran, alhamdulillah dia merubah negaranya itu dalam jangka panjang, tetapi tidak terjadi gangguan yang prinsipil dari rakyatnya karena membentuk negaranya dengan referendum, artinya dengan sistem yang memang diakui oleh dunia sebagai basic demokrasi, dan waktu itu menang karena memang masyarakatnya sudah disiapkan.

Kalau kembali ke reformasi kita yang terjadi tahun 98, artinya kita kehilangan momentum, dan ketika dikasih kesempatan bahwa bisa berpartai karena waktu itu hebat dan banyak sekali partai setelah reformasi, kader HMI hampir ada dimana-mana kecuali MPO yang tidak dipartai karena bisa dipertanyakan keMPOannya. Pada waktu itu ada partai yang sangat bagus, waktu itu ada orang MPO juga yang disebut partai umat islam, dipimpin oleh alumni HMI, seharusnya partai ini menang secara teoritis karena partai umat islam dan di Indonesia mayoritas umat islam tetapi ternyata kalah, karena umat islam tidak memilih. Kemudian partai islam sekarang tergrogoti, bahkan sekarang hampir ada opini bahwa kalau partai mengenakan simbol islam pasti kalah, dan ketika agak menang malah tersandung masalah dan tinggal nanti lihat ujiannya di 2014. PBB (Partai Bulan Bintang)  partai islam yang selalu sukses karena setiap tahun bisa mengikuti pemilu mudah-mudahan di tahun 2014 penentuannya, kalau tahun ini kalah maka entah bagaimana caranya bisa mengikuti pemilu tahun berikutnya. Artinya kita juga kehilangan kesempatan ketika mewarnai partai pun kita tidak ada. Sehingga dengan buah reformasipun, ideologi islam menjadi sebuah hal yang semakin jauh dari apa yang kita harapkan, dan masih ada kelompok-kelompok yang underground tetapi tidak jelas arahnya, dan kerjaannya hanya ngebom-ngebom dan kemudian musuhnya hanya polisi yang jaga-jaga, yang tidak diketahui arahnya apakah kelompok yang melawan amerika tetapi yang ditembaki adalah polisi.

Kondisi kekinian, idelogi islam menjadi sebuah hal yang jauh, tentu hal ini juga merembet pada organisasi HMI. Seperti yang saya temui ketika mengajar mahasiswa umum, ada sebuah perubahan kultur yang sangat jauh. Saya teringat ketika memberi pengantar kuliah pertama tidak ada satu mahasiswa pun yang menanyakan literaturnya, dan ada penurunan terhadap keilmuan. Waktu saya tanyakan ke dosen-dosen yang lain merasakan juga seperti itu. Hal ini berbeda dengan jaman saya kuliah dulu, suasana diskusi, suasana pendalaman kajian sangat menjadi kebutuhan mahasiswa. Sekarang tidak demikian, ketika ditanya tentang referensi mahasiswa hanya satu yaitu google, karena semuanya ada. Sehingga, kekinian ini menjadi tantangan yang sangat berat bagi organisasi kemahasiswaan dengan terjadi akulturasi kultur yang berbeda ini, agar mampu menciptakan kader-kader yang berideolog, apalagi sekarang ideologi di masyarakat cenderung pragmatis yang sangat praktis dan hedonis.

Efek dari sebuah budaya pragmatis, seseorang mengukur sesuatu dengan materialistis, dalam hal ini perkaderan yang dilakukan kawan-kawan kita menjadi sangat sulit. Sekarang ini kalau kita mengajak orang berbicara sebuah ide seperti negara islam dan yang idealis maka dinilai orang sebagai hal yang utopis, padahal dalam dunia perkaderan harus berbicara idealis, karena idealisme inilah yang  menjadi daya tarik, dari waktu ke waktu ketika menjadi kader HMI dikenal idealis karena selalu berdiskusi tentang idealisme, kalau tidak idealis dan pesimistis namanya bukan kader. Saat ini budaya diskusi sudah berkurang karena orang dengan teknologi sekarang yang ada, maka bisa menjauhkan yang dekat dan mendekatkan yang jauh hal ini bisa dilihat ketika menggunakan bbm dan sms sehinggabisa dekat dengan orang yang jauh, tetapi sekarang dekat menjadi jauh karena berkurangnya budaya ngobrol, orang sudah sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri, tidak ada lagi orang ngobrol-ngobrol di terminal dan di bus misalnya.

Dengan tantangan yang dihadapi  apakah 10 tahun apalagi 20 tahun mendatang  HMI masih ada? Menurut saya, selama perguruan tinggi masih ada, masih ada yang namanya mahasiswa, islam juga masih ada maka HMI harus tetap ada, meskipun bentuknya lain. Tetapi kalau kita berbicara ideologi tidak akan ada habisnya karena persoalan nilai, budaya menjadi sebuah persoalan kemanusiaan yang tidak ada habisnya. Allah SWT akan tetap merekayasa makhluknya atau hambanya, hukum newton juga berlaku kalau ada aksi maka akan ada reaksi artinya bahwa kebatilan dan kebenaran akan selalu ada di muka bumi, kalau kemudian sebuah ideologi dicita-citakan maka ideologi tidak akan selesai dan menjadi kebutuhan yang akan datang hanya kelemahannya adalah yang menjadi sebuah tantangan apakah dengan perkembangan budaya sekarang ini HMI masih bisa ditawarkan untuk kemajuan yang akan datang dan tidak ketahui.

Di arab dulu adalah negara-negara yang established dan atau status quo ternyata juga terjadi reformasi, revolusi dan pergolakan yang tidak diperkirakan. Disitulah pergerakan masih menjadi sebuah kebutuhan. Dalam konteks pergerakan dan ideologi maka HMI seperti sekarang ini tetap menjadi sebuah hal yang harus dipertahankan dan diperlukan karena kita tetap membutuhkan orang-orang yang baik, meskipun sekarang ada kampanye hitam terhadap HMI karena yang dilihat adalah kakanda atau mas Anas Urbaningrum. Persoalannya HMI bukan individual semata, kalau ada umat islam yang terkena kasus maka islam tidak lantas jatuh. Jadi, hal yang perlu didiskusikan adalah apakah kita masih tetap komitmen terhadap ideologi yang akan kita bawa dan perjuangkan sehingga sampai kapanpun akan menjadi sebuah tantangan. Kalau saya bertemu dengan kawan-kawan yang masih di HMI, selalu saya sampaikan bahwa saya sepakat kalau HMI tetap sebagai organisasi perkaderan dan perjuangan artinya bahwa harus mengkader yang banyak dan yang baik. Dulu waktu sempat berdiskusi dengan mas Suharsono, ketika ada ide untuk menjadikan HMI sebagai organisasi masyarakat kita tidak sepakat karena HMI tidak punya pandangan lengkap terhadap islam, ushuludin atau fiqih HMI juga tidak jelas karena di HMI ada yang dari muhammadiyah, NU, sehingga ushuludin dan fiqih HMI juga heterogen, yang berbeda dengan organisasi seperti muhammadiyah yang homogen, sehingga sulit untuk membangun HMI sebagai ormas, atau sebuah oraganisasi gerakan yang panjang karena tidak mempunyai basic ajaran yang tetap. Oleh karena itu HMI sampai kapanpun tetap menjadi organisasi kader, hanya pe
rtanyaannya apakah HMI tetap bisa menghasilkan kader-kader spesial yang bermanfaat bagi masyarakat ke depan yang sesuai dengan kebutuhan zamannya, inilah yang menjadi tantangan.

Kalau dulu organisasi yang bisa menghasilkan kader yang baik yakni militer dan HMI, sekarang kita harus sadar ada organisasi-organisasi lain yang juga menjadi pelahir-pelahir kader sehingga kita jangan seperti katak dalam tempurung artinya jangan merasa sudah cukup karena dunianya kecil tetapi begitu tempurungnya dibuka ternyata dunia lebih luas, kita jangan merasa hebat di dalam lingkungan organisasi kita sendiri tetapi begitu keluar ternyata kita belum apa-apa. Dulu ada aksi sosial antara lain PRD yang merupakan didikan orang-orang sosialis ternyata ada kelebihan ketika bisa menguasai masa dengan mengadakan advokasi dan sebagainya sehingga setelah reformasi mereka menjadi sebuah hal yang dibutuhkan oleh masyarakat. Hal inilah yang menjadi tantangan HMI agar perkaderannya bisa menjawab permasalahan yang akan datang sehingga mahasiswa tertarik dengan HMI. Satu hal yang bisa dilakukan survei kenapa mahasiswa sekarang tidak tertarik dengan organisasi? 

Kedepan hal yang paling mendasar adalah apakah kita masih punya cita-cita yang idealis atau tidak, kalau kita masih idealis seperti dalam ajaran agama islam yang mengajarkan kita sampai kapanpun harus bercita-cita idealis, karena islam itu ya'lu wala yu'la alaih “unggul dan tak ada yang lebih unggul darinya”. Sesuai dengan tujuan HMI “terbinanya mahasiswa islam menjadi insan ulul albab yang turut bertanggungjawab atas terwujudnya tatanan masyarakat yang diridhoi Allah Subhanahu Wata’ala” maka masyarakat yang diridhoi Allah harus menjadi sebuah ending yang harus didefenitifkan dan menjadi tanggungjwab kita bersama karena masyarakat yang sekarang makin jauh dari ridho Allah, padahal masyarakat yang diridhoi Allah satu-satunya adalah daulah islamiyah. Hal ini akan menjadi tantangan yang masih terus berjalan sesuai dengan prinsip kebathilan dan kebenaran akan selalu bertarung sampai kapanpun hingga yaumul kiyamah, sehingga kita akan mengalami masa kejayaan islam .

0 komentar:

sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com