Sabtu, 18 Januari 2014

BUDAYA ISLAM DAN ISLAMISASI BUDAYA NUSANTARA


Wawancara dengan Kanda Supardi tentang Budaya Islam dan Islamisasi Budaya Nusantara*

 

Budaya Islam di Nusantara khususnya di Jawa adalah budaya  yang unik. Maka untuk memperdalam kajian tentang Budaya Islam dan Islamisasi Budaya di Nusantara khususnya di Jawa, redaksi Majalah Bersuara, melakukan wawancara, serta diskusi secara mendalam terkait tema tersebut dengan Narasumber utama yakni Kanda Supardi pada 3/12/2013 lalu. Berikut petikan wawancara kami dengan beliau.


Apakah ada budaya islam yang otentik di Nusantara?
Tidak ada budaya islam di nusantara yang otentik, seperti budaya islam di timur tengah juga merupakan asimilasi dari budaya paganisme yang berkembang di masyarakat arab sebelum masuknya islam. Islam di nusantara adalah pertemuan dua budaya islam yakni islam timur tengah dan islam china. Islam timur tengah adalah islam syariah berdasarkan hukum dan akal, sedangkan islam china adalah islam tasawuf berdasarkan hati. Islam masuk di nusantara melalui jalur perdagangan atau yang disebut jalur sutra, yakni jalur sutra darat dan jalur sutra laut. Jalur sutra darat berawal dari budaya islam timur tengah kemudian mendarat sampai ke china, sedangkan jalur sutra laut adalah jalur masuknya islam ke nusantara melalui laut yang berasal dari timur tengah dan islam yang berasal dari china masuk ke nusantara. Islam timur tengah masuk lewat bagian barat nusantara, sedangkan islam china masuk lewat bagian timur indonesia. Pertemuan antara islam timur tengah dan islam china berpusat di Jawa, maka islam Jawa disebut sebagai islam yang unik.

Apakah budaya wayang, gamelan, peringatan 1 suro (muharram) di nusantara adalah budaya islam atau islamisasi budaya yang ada di indonesia?
Untuk mengatakan budaya islam atau islamisasi budaya harus bisa membedakan antara simbol dan nilai dalam budaya tersebut. Budaya selalu terdiri simbol dan nilai. Kalau berbicara budaya islam berdasarkan konteks/simbolnya, sedangkan islamisasi budaya berdasarkan nilainya.Budaya Jawa seperti wayang, gamelan, dll. hanya merupakan simbol yang sudah ada sebelum masuknya islam di nusantara, yang kemudian simbol tersebut tetap digunakan oleh para wali untuk menanamkan nilai-nilai islam. Budaya islam Jawa lahir pada abad ke 15 pada masa kepemimpinan sultan agung dari mataram. Pada masa Sultan Agung tersebut budaya islam mulai berkembang dan kemudian bertemu dengan budaya Jawa, untuk menghindari benturan dua budaya tersebut, dan untuk menjaga agar “orang Jawa tidak kehilangan Jawanya” maka Sultan Agung memadukan islam dengan budaya Jawa sebagai upaya pemersatu rakyat mataram yang pada waktu sudah banyak yang beralih ke islam maka kemudian tercipta budaya Jawa islam seperi kalender Jawa islam yang dipadukan dari kalender hijriyah dengan kalender saka saat itu masih dipakai. Artinya tetap mempertahankan simbol budaya Jawa tetapi nilainya adalah nilai islam.

Apa yang dimaksud orang Jawa kehilangan keJawaannya?
Kata kanjeng sultan HB IX “wong jowo ilang Jawane” maksudnya “wong jowo wes ora islami” seperti yang dikatakan muhammad abduh, “aku melihat mesir itu islam, tetapi tidak islami, sebaliknya saya melihat di perancis itu islami walaupun bukan islam”. Wong jowo ilang islami, orang Jawa sudah ndak islami, artinya lebih mengarah pada nilai bukan simbol. Islam itu nilai, kata islam itu simbol sedang kata islami itu nilai. Di mesir muslim mayoritas tetapi tidak islami, sementara di perancis islami tetapi tidak muslim. Wong jowo ilang islame, maka jangan mengaku orang Jawa kalau ndak islami.

Tetapi masyarakat umum, menganggap jika ingin memperdalam islam maka hilangkan Jawanya, bagaimana?
Itu salah, masyarakat awan menganggap ada dikotomi antara islam dan Jawa, itu dikotomi face to face atau bipolar yang bertolakbelakang. Islam itu Jawa, Jawa itu islam. Lebih utama mana, islamisasi Jawa atau Jawanisasi islam? Jawabannya bukan seperti itu, Jawa dan islam ibarat mata uang tidak bisa pisah. Dalam sisi mata uang, islam itu Jawa, Jawa itu islam. Saya juga pengagum budaya Jawa karena bagi saya itu juga islami. Sang hyang sidojati, sebutan tuhan yang maha, dalam istilah Jawa sedangkan dalam islam itu disebut esa dalam bahasa arab itu Allah. Kata “Jawa” itu dari kata “dJawa dwipara” kemudian orang dulu menyebutnya “dJawa dwipa” dari kata yahuwa, ehad, atau dari bahasa ibrani jahuva, ehaq, yahuweh, itu artinya tuhan. Yahuweh, bahasa arabnya yahuwa atau ahad, sedangkan bahasa Jawanya jahuwa dwipara. Istilah sederhana, Jawa juga berasal dari ojo nanggo howo atau jangan pakai nafsu artinya tansah eling. Berarti antara kata Jawa, islam, ibrani atau arab satu rumpun, artinya Jawa tidak mungkin pisah dengan islam karena akar katanya saja sama dari kajian semantik. Orang dulu menyebut tanah Jawa dengan istilah dJawa dwipa. Jadi, jika Jawa dilepaskan dari islam itu mau memutus akar sejarah, kemudian nanti akan ada missing link, pemutusan tali, nantinya bisa menjadi tuna budaya.

Aneh, jika ada kelompok-kelompok ingin memutus atau mengarabkan Jawa karena dia tidak paham akar sejarahnya. Contohnya di kraton surakarta ada tradisi mengikuti kebo kyai slamet (kerbau bule) itu karena orang dulu pingin ibtida’ nabi, sama seperti waktu dulu nabi masuk kota madinah nabi ingin mencari tempat tinggal yang dilakukan adalah mengikuti unta. Masyarakat madinah pada saat itu berlomba-lomba untuk minta disinggahi rasulullah untuk tinggal ditempat mereka. Kemudian nabi menyerahkan kepada unta untuk memilih tempat tinggalnya, dengan cara nabi mengikuti unta, dimana dia berhenti disitulah tempat tinggalnya, keputusan dilakukan agar tidak ada pihak yang kecewa. Hal itu kemudian diasimilasi orang Jawa yaitu sekarang mengikuti kerbau, tetapi kemudian ada anggapan salah yang mengkafirkan dan dibid’ahkan yang tidak mengerti alur logika orang Jawa. Kerbau adalah simbol yang digunakan masyarakat Jawa untuk mengikuti sunah nabi. Karena di Jawa tidak ada unta, maka disimbolkan dengan kerbau, tetapi nilainya adalah untuk ibtida’ nabi. 

Apakah dalam simbol huruf aksara Jawa ada nilai ketuhanan atau islam?
Pusatnya huruf Jawa atau aksara Jawa itu ada di huruf “dha”, maka tidak aneh jika orang, wujudnya sami’na watho’na, dha itu artinya dhawuh atau sendiko dhawuh artinya menghamba. Maka secara naluriah orang Jawa itu, suka mengabdi kepada yang agung artinya mengabdi kepada tuhan, maka dengan sendirinya orang Jawa itu ahli ibadah. Orang Jawa menyebut “aku” saja tidak berani, tetapi menyebutnya dengan kulo, kawulo atau dhalem yang artinya budak. Jadi, selalu melihat diri sendiri itu budak, artinya orang Jawa itu tidak berani untuk merendahkan orang lain karena selalu melihat diri sendiri sebagai budak. Dari bahasa saja orang Jawa itu halus, selalu menghormati orang dengan menyebut diri sebagai kulo atau aku olo artinya saya jelek, maka tidak berani untuk merendahkan orang lain. Semua yang ada dihadapan orang Jawa itu majikan dan orang Jawa menyembut dirinya budak, maka yang dia lakukan akan selalu menjunjung menghormati mengangkat derajat apa yang ada hadapan. Makanya di Jawa ada istilah hamewayu hayuning jagad bawono, hamewayu itu memayungi, jagad bawono itu jagat dunia, karena sebagai budak harus memayungi alam, atau dalam bahasa arab disebut khalifah, sedangkan di Jawa namanya hamengku bumi atau hamengku bowono, mangku negoro, paku alam, samaratungga, atau tribuana tungga dewi, sebagai nama raja di Jawa yang mengagungkan jagat, penyangga dunia atau sangga buwana. Jadi pusatnya islam itu adalah ibadah, mengabdi seperti dalam Al Quran “wa ma khalaqna al-jinna wa al-insa illa liya`budun”, sesungguhnya tidak Ku ciptakan jin dan manusia selain untuk beribadah, begitupula pusatnya di Jawa mengabdi juga “dhawuh”. 

Mengapa raja-raja Jawa sangat menaruh perhatian pada jagat dunia? Karena dari faktor penghayatan orang-orang dulu, maka mereka sudah memahami peta kosmologis, karena gelarnya pun hamengku buwono maka mereka memahami peta jagat. Coba lihat peta dunia centrumnya adalah di Jawa, di peta dunia centrumnya terletak di asia tenggara, asia tenggara paling ujung itu nusantara, sedangakan nusantara paling ujung di Jawa. Dalam teori geologi bahwa ternyata jagat ini ada benturan, antara lapisan austronesia dan eurosia, maka wilayah Afrika, India, Jawa pasti akan ada gempa karena ada pertemuan dua lapisan yang setiap tahun selalu maju 7cm. Lapisan austronesia dan eurosia maju terus setiap tahun, entah pada tahun berapa terjadi benturan gempa, gempa paling ujung selatan itu Jawa laut samudra india Jawa artinya dari geologi saja ternyata memangku jagat, Jawa melindungi eropa dan asia maka ndak aneh ada hamengku buwono. Artinya yang pertama melawan benturan dengan australia itu Jawa. Dari geologis sangat logis kenapa Jawa dijadikan pusat. Peradaban-peradaban yang lahir seperti di Eropa ada Yunani, peradaban Islam di Timur Tengah, peradaban Cina dan India karena mereka tidak terkena benturan langsung. Peradaban besar ada di Arab, India, Cina juga tidak ada di Australia, karena ternyata yang memangku jagat atau yang memangku peradaban besar ini Jawa, maka simbolnya keraton-keraton Jawa itu menghadap ke utara, artinya raja Jawa itu menghadap ke utara, disimbolkan seolah-olah memandang jagat, karena peradaban-peradaban besar itu di utara. Posisi Raja Jawa adalah memangku, hamewayu hayuning jagad, khalifatullah fil ardh, disimbolkan di Jawa, maka untuk menyebut kerajaan Jawa itu bukan kerajaan tetapi keraton dari kata keratuan bukan raja, dan orang Jawa cenderung feminim bukan maskulin seperti Eropa. Khalifatullah fil ardh di timur tengah diwujudkan di Jawa dengan sistem hamewayu hayuning jagad  yang diistilahkan khilafah di Jawa. Raja-raja Jawa adalah model islamisasi, walaupun ada raja yang namanya “hayam wuruk” berasal dari kata “hayam warok” artinya prihatin, maka Raja Hayam Wuruk itu gambarannya orangnya kecil karena prihatin, walaupun hindu tetapi islami karena nilainya islam. Ratu Shima, juga dianggap sebagai hindu tetapi islami, dia memperlakukan hukum qishas, pencurian yang dipotong tangan. Contoh lain, Raja Purnawarman, mengorbankan 1000 ekor sapi kepada ulama, dapat dikatakan islami karena berlawanan dengan ajaran hindu yang melarang memotong sapi. Jadi kalau kita mengkaji Jawa, maka tujuan akhirnya adalah islam dalam artian nilai-nilainya. Kalau mempelajari candi-candi borobudur juga menunjukkan relief-relief yang islami, disana ada gambaran perahu, ada gambaran ratu bilqis, ratu saba yang diceritakan dalam quran. Kesimpulannya ternyata kalau kita mempelajari Jawapun tujuannya kita mendalami islam.

Tulisan dimuat dalam Majalah Ber-SUARA LAPMI Cabang Semarang Edisi XXVI Desember 2013M/1435 H

Info & Berlangganan : 085640281855

0 komentar:

sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com