Kamis, 02 Januari 2014

Refleksi M. Chaeron tentang HMI

*(disunting oleh: Noor Rochman, Direktur Lapmi HMI Cabang Semarang)

Dikabari saudara saya di Jakarta mengenai kericuhan yang terjadi di forum Kongres ke 28 HMI (Dipo) di Pondok Gede saat ini saya tidak heran dan tidak menanggapi karena sudah mahfum akan hal yang biasa terjadi di forum HMI. Tapi dikabari mengenai adanya banyak kerusakan dan anarchisme yang terjadi serta dugaan banyaknya uang yang beredar di (panitia) Kongres HMI saat ini pikiranku “tersentak” terpancing untuk komentar dan tanganku jadi gatal untuk segera menulis (padahal saya tidak bisa menulis dan tanganku masih sakit) lalu mengirimkannya via messenger kepada orang yang mengabari saya tentang peristiwa yang terjadi di Kongres HMI (Dipo) saat ini. (Berikut ini akan saya kirimkan tembusan jawaban-jawabanku mudah-mudahan dapat diinventarisir sebagai bahan diskusi/kajian),1.
HMI Hendak dibawa Kemana?
Firman Tuhan dalam Alqur’an Surah Al Inshiroh (Alamnasroh) berbunyi “Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan” (diterjemahkan oleh Depag “dibalik kesulitan ada kemudahan”) bagi saya mengandung makna pula (sebaliknya) bahwa “bersama kemudahan itu ada kesulitan (ujian) nya”, atau dapat pula dimaknai “pada kelebihan seseorang (sesuatu) itu tentu ada kekurangan/kelemahannya”. Data tekstual (ayat Qouliyah) ini jika dipahami dalam sudut pandang kader HMI, bagi saya, faktualnya (ayat Kauniyah) justru dijumpai (terbaca) pada kenyataan heterogenitas keanggotaan/kader HMI. Yaitu bahwa raw material input perkaderan (keanggotaan) HMI yang sangat beragam latar belakangnya (pendidikan, pemahaman keagamaan, sosial, ekonomi, politik, budaya, dan sebagainya) adalah kelebihan (kekayaan resourch dan khasanah pemikiran) HMI namun sekaligus merupakan kelemahannya (potensi/sumber/ konflik/perpecahan/adu domba).
Itulah fakta keberadaan (fitrah, potensi) HMI. Akan menjadi apa/dijadikan apa kemudian/kedepannya fakta itu, tergantung orientasi orang yang melihatnya/memandang fakta itu. Kalau ia berorientasi pada KEWAJIBAN maka akan lahir (muncul sikap dan perbuatan yang ber) tanggung jawab untuk mengelola fakta itu menjadi kekuatan yang mendukung tercapainya tujuan/misi HMI. Implikasinya: heterogenitas menjadi alasan/modal untuk saling memberi (mengamankan dan mengawal konstitusi organisasi), dan hasilnya adalah kehidupan yang harmonis (perbedaan menjadi rahmat). Sebaliknya apabila orang yang melihatnya (memandang fakta heterogenitas itu) berangkat dari sudut pandang dan beroirentasi kepada HAK maka yang akan muncul adalah (lahirlah) kepentingan orang itu yang berimplikasi pada lahirnya sikap dan perbuatan saling menuntut (mengakali, mencari dan menggali serta mengamankan HAKnya sendiri, kepentingan sendiri) dan buntutnya adalah perpecahan/perceraian. (perbedaan menjadi laknat).
Kader HMI yang taat asas (konsisten dan konsekuen) harus wajib memandang fakta-fakta dan kejadian yang ada/terjadi (khususnya di HMI) berdasar pandangan yang berorientasi kepada kewajiban (bukan orientasi kepada hak). Kewajiban apa? Kewajiban dirinya (kader) untuk memenuhi janji/menepati sumpah/menjalankan bai’ah sebagai Muslim/anggota HMI yang telah diikrarkannya pada saat dilantik menjadi anggota  HMI, sebagai “insan cita” yang bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridloi Allah SWT.
Sekali lagi wajib berorientasi kepada kewajiban (sikap bertanggung-jawab) bukan orientasi kepada hak (kepentingan). Karena dengan berorientasi kepada kewajiban (mengutamakan/mendahulukan kewajiban tidak berarti meninggalkan hak), justru akan menjamin terpenuhinya hak-hak anggota dan terpeliharanya konstitusi organisasi. Dengan berorientasi pada kewajiban maka situasi konflik dan perbedaan pendapat setajam apapun akan tetap disikapi secara bertanggungjawab dan dipandang sebagai bagian dari dinamika dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Dan oleh karena itu muara penyelesaiannya pasti tetap melalui konstitusi/mekanisme organisasi yang telah disepakati.
Tindakan Harry Azhar Azis, Cs (PB HMI hasil kongres 15 di Medan). Mengganti asas organisasi (merubah pasal AD HMI) di luar Kongres HMI, apapun alasannya, ditinjau dari sudut pandang konstitusi/mekanisme organisasi, adalah salah (inkonstitusional, curang/tidak amanah). Karena perubahan pasal-pasal AD HMI (terlebih mengenai hal yang prinsip, asas) hanya boleh/bisa dilakukan oleh dan di dalam pleno Kongres HMI, adapun tugas dan tanggungjawab PB HMI adalah melaksanakan apa yang telah ditetapkan dan diputuskan oleh Kongres itu (mengemban amanah, bukan merubahnya). Tetapi mengapa sampai terjadi penggantian pasal AD organisasi di luar Kongres HMI?
Apakah PB HMI tidak tau/tidak paham kontitusi organisasi? Tentu tidak demikian! Melainkan karena PB HMI telah salah orientasi! PB HMI tidak berorientasi pada kewajiban (memenuhi tanggungjawab menjalankan putusan/hasil kongres) tetapi berorientasi pada kepentingan, atau mengamankan kepentingan tertentu. Itu bisa dibuktikan dari keterangan resmi Ketum PB HMI baik yang disampaikan melalui media masa (press release) maupun forum-forum HMI, bahwa “apa yang telah diputuskan dalam rapat Pleno IV PB HMI di Ciloto (perubahan atau penggantian pasal 3 AD tentang asas HMI) adalah merupakan langkah taktis (istilah Harry: langkah cerdas) dan kebijakan politik PB HMI”, adalah bukti nyata bahwa PB HMI telah menformat/setidaknya memperlakukan organisasi sosial ini (yang didirikan atas motive kepedulian dan tanggungjawab sosial) menjadi organisasi politik (yang didirikan atas motif kepentingan, vested oriented, orientasi pada hak).
Maka bukan suatu kebetulan jika kemudian terjadi semacam “hubungan yang saling menguntungkan” (osimbiose mutualistis) antara kepentingan external diluar HMI dengan kepentingan internal PB HMI, di tengah ranah yang disebut “kebijakan politik”,2. Celakanya pernyataan Harry mengenai adanya kebijakan politik PB HMI itu didengar oleh publik (khususnya segmen interest) seolah sebagai pengumuman resmi bahwa telah dibukanya “ruang bermain” di dalam HMI, maka mulailah para “pencari peluang” itu (di luar maupun di dalam HMI) mencari celah atau pintu masuknya ke “ruang bermain” itu. Hasilnya nyata, tidak lama sesudah itu dari kongres ke kongres selalu terdengar berita bahwa politik uang telah mewarnai proses pemilihan Ketum PB HMI. Misi politik berhasil, kebijakan politik PB HMI telah melahirkan konvensi organisasi. Adik-adik kader HMI mulai ikut (latihan?) bermain di ruang yang telah dibangun oleh kakaknya sendiri. Apa yang semula tabu (terlarang) sekarang diperebutkan secara terbuka (bertemu di ranah kebijakan).
Hari ini Kongres 28 HMI (Dipo) di Pondok Gede telah mencatat sebanyak 30 orang kandidat calon Ketum PB HMI. Hebat HMI, punya banyak stock kader calon pemimpin. Tapi tunggu dulu, coba renungkan, gejala apa itu? Dulu, sebelum masa astung, mencari calon ketum begitu susahnya, konon karena mengemban amanah itu betapa beratnya dan Nabi SAW melarang memberikan jabatan kepada orang yang minta, kok sekarang kandidat ketum begitu banyaknya? Apakah karena tugas pemegang amanat kongres HMI sekarang itu lebih enteng/begitu ringannya, artinya kalo terasa berat gampang diubah/boleh direvisi seperti yang dicontohkan Harry (konvensi organisasi). Atau apakah banyaknya calon Ketum itu ada hubungannya dengan jumlah uang yang ditengarai banyak beredar di sekitar kongres HMI saat ini? Jika benar, maka siapa yang bermain di ranah ini? Mari kita teliti dan kita kaji .....

                                                                                                                                                      
Catatan:
1 Kutipan contoh dialog massanger:
Kalau Pilkada  Bupati misalnya, kandidat stap dengan dananya milyaran. Lha kalau kandidat Ketum HMI kok ya sama, kok ya mahasiswa kaya-kaya ya. Uang yang beredar di Kongres juga miliyaran. We lha masa depan Indonesia mau jadi apa? Terus masa depan pemimpin Islam kayak apa?. Ini jawaban saya atas sms saudara saya tadi: wah saya sudah tidak bisa komentar mengenai hal itu. Kayaknya hal yang sama dipikirkan pak Lafran, dkk. saat menghadapi sekulerisasi di perguruan tinggi, makanya beliau dirikan  HMI (Harapan Masyarakat Indonesia). Tapi kalo HMInya saja sudah begitu, ya mau bilang apa? Independensi sebagai menivestasi sikap tauhid yang dijadikan ciri HMI, sebagai benteng pertahanan, sudah dijebol, sudah tergadaikan (sejak) kepemimpinan Harry Azhar Azis (yang akhirnya ditiru adik-adiknya, menjadi konvensi, hingga sekarang, maka saya tidak heran dengan kelakukan kader-kader HMI astung saat ini); saya sudah coba ingatkan dengan berkata “tidak” pada tahun 80-an (tentu ada resikonya, diuber uber intel, kegiatannya dilarang, ditahan Korem dan Laksus dan sebagainya, sementara itu Harry disekolahkan ke Amerika sampai Doktor dan ditampung Golkar terus jadi Ketua Banggar DPR RI). Terus mau gimana lagi? Lagipula itu domain publik (fardlu kifayah), ya tawakkal saja, biar Tuhan yang “turun tangan”.
Dalam proses pencarian jati diri (subyektifus genetifus) kader HMI tentu melewati fase identifikasi diri (penokohan) dimana contoh yang terdekat adalah seniornya (alumni). Nah, ketika dilihatnya mantan-mantan Ketum PB HMI rata-rata hidupnya mentereng, rumahnya besar-besar, kursinya tinggi-tinggi dan empuk, dan sebagainya, tentu yang dipikirnya adalah jabatan Ketum PB itulah tiket gratis menuju kehidupan yang penuh gemerlapan itu ..... lain lagi (coba dibandingkan) jika rata-rata kehidupan mantan Ketum PB seperti bang Dullah Hehamahua? (dikejar rejim yang berkuasa sampai kabur ke Malaysia, hidup pas-pasan). Maka cuma kader yang mewakafkan diri yang bersedia dicalonkan menjadi Ketum PB HMI. (tidak bakal nyampe jumlah 30 orang). Wallohu’a’lam…

2 Kutipan rekaman forum Simposium Nasional Tafsir-tafsir HMI, di Mataram, 1986:
Memang tidak mudah mengambil keputusan dalam situasi sulit, mental tertekan/tidak merdeka (tidak independen) seperti yang konon dialami oleh PBHMI (Harry Azhar Azis, Cs) pada saat menghadapi kebijakan pemerintah orde baru terkait UU No. 8/1985 mengenai asas tunggal Pancasila (katanya ada tekanan dari pihak eksternal HMI).
Dalam situasi seperti itu (jika benar demikian) orang cenderung ingin cepat-cepat keluar dari masalah yang sedang dihadapi, tidak mau/tidak mampu berfikir panjang-panjang apalagi njlimet menghitung dampak yang kecil-kecil. Itu tampak dari pernyataan PBHMI di forum Simposium Nasional Tafsir-tafsir HMI di Mataram, 1986, (paska penerimaan astung oleh PBHMI dalam Pleno IV di Ciloto), yang kabarnya forum simposium tersebut sedianya akan dijadikan media bagi PBHMI untuk mensosialisir kebijakan politik PBHMI agar Cabang-cabang HMI beraklamasi mendukung kebijakan politik PB HMI mengenai astung, namun gagal karena ketika PBHMI ditanya :"bagaimana konsep/sistem penjelasan PBHMI dalam mengelola HMI sebagai organisasi kader dan perjuangan islam dengan asas PS?, bagaimana menyusun sistem perkaderan dan strategi perjuangan bagi organisasi mahasiswa islam dalam wadah yang tidak berlandaskan Islam? Atau, bagaimana men-derivasi Pancasila sebagai asas organisasi dalam sistem perkaderan dan perjuangan bagi organisasi islam seperti HMI?", PBHMI tidak bisa menjawab, kecuali (setelah didesak berkali-kali, baru kemudian dijawab oleh Yamin Tawari, Kabid Kader PBHMI) bahwa PBHMI belum melakukan kajian sejauh itu, seperti yang dipertanyakan cabang Yogya, tapi baru sebatas kajian politik dan taktik menghadapi UU keormasan".
Mendengar penjelasan PB HMI seperti itu forum yang dihadiri pimpinan Cabang HMI dari berbagai daerah di Indonesia itu menjadi resah dan kecewa, karena ternyata PBHMI sama sekali belum memikirkan/tidak mau (atau tidak mampu?) menghitung atau setidaknya menyadari dampak atau implikasi-implikasi apa yang bakal terjadi (terutama ke dalam sistem-sistem internal organisasi) atas putusannya itu. Artinya PBHMI semata hanya mau amannya sendiri (mau cepet-cepet melepaskan amanah Kongres), tanpa menghitung keamanan dan keselamatan wadah dan isi organisasi secara keseluruhan dalam jangka panjang. Melihat situasi forum yang kritis saat itu maka spontan Ketua Delegasi HMI Cabang Yogya maju ke forum untuk mempresentasikan konsep KHITTAH Perjuangan HMI yang memuat sistem penjelasan yang integreted antara (tafsir): Asas, Tujuan dan Independensi (sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan) sebagai alternatif sistem penjelasan atau kerangka ideologi HMI. Bahwa sikap independensi tiada lain harus ditafsirkan dan dilaksanakan dalam rangka asas dan tujuan, tidak bisa ditefsirkan lain dan dijalankan sendiri-sendiri secara terpisah, melainkan harus konsisten dan integreted.
Makalah HMI Cabang Yogya tidak dibantah, bahkan mengundang simpati forum, akhirnya forum simposium deadlock karena diskusi berubah menjadi sikap dukung mendukung antara kebijakan politik PBHMI dengan pemikiran cabang-cabang seperti yang dipresentasikan oleh delegasi HMI Cabang Yogya. PBHMI gusar, forum yang dipimpin oleh Yassin Kara (kabid aparat PBHMI) serta merta menawarkan opsi kepada peserta: “siapa yang setuju kepada kebijakan politik PBHMI dipersilakan tetap tinggal didalam forum ini, dan siapa yang tidak setuju dengan kebijakan politik PBHMI dipersilakan meninggalkan forum ini”. Spontan forum bubar, para peserta meninggalkan forum kecuali yang tinggal hanya beberapa peserta delegasi Cabang HMI termasuk Cabang Mataram selaku tuan rumah.
Peserta (para delegasi) bersedia masuk forum kembali setalah dinegosiasi dan disetujui tuntutannya oleh PBHMI bahwa untuk menjaga keselamatan dan keutuhan organisasi maka PBHMI harus bersedia masuk forum kembali setelah dinegosiasi dan disetujui tuntutannya oleh PBHMI bahwa untuk menjaga keselamatan dan keutuhan organisasi maka PBHMI harus bersedia/berjanji mempertemukan pimpinan cabang HMI seluruh Indonesia sebelum pelaksanaan Kongres 16 yang direncanakan di Padang, guna mendengar aspirasi mereka terkait astung. Janji mana tidak pernah ditepati oleh PBHMI, sebaliknya PBHMI malah “membekukan” cabang-cabang yang tidak sependapat dengan kebijakan politik PBHMI, dengan cara membentuk pengurus cabang transitip HMI.
Berdasar kenyataan-kenyataan demikian maka wajar jika kemudian muncul sikap keprihatian dan keberatan dari para pimpinan Cabang HMI yang kemudian membentuk forum yang disebut Majelis Penyelamat Organisasi (MPO) HMI dengan SKB (Surat Keputusan Bersama) yang ditandatangani oleh 9 Pimpinan Cabang besar HMI (Cabang: Yogayakarta, Semarang, Jakarta, Bandung, Bogor, Purwokerto, Pekalongan, Bandarlampung, Ujung Pandang).

*Tulisan pernah dimuat di Majalah "BerSUARA" Lapmi Cabang Semarang Edisi XXV Oktober 2013/1434


PROFIL


H. MOHAMMAD CHAERON, S.H.

·         Lahir : Tanjungsari-Kajen-Kab. Pekalongan, 23 September 1959
·         Keluarga : 1 istri, 7 anak
·         Pendidikan : Sarjana Hukum Ketatanegaraan, Fakultas Hukum UGM
·         Training di HMI yang pernah diikuti:
-          Basic Training/LK I tahun 1980
-          Intermediate Training/LK II tahun 1983
-          Senior Course tahun 1984
-          Advance Training/LK III tahun 1984
-          Training Pers Lapmi
-          Training Kebendaharaan tahun 1981
-          Training Kesekretariatan tahun 1982
-          Lokakarya Pengader Nasional di Purwokerto tahun 1984/85
·         Pengalaman Organisasi di HMI:
-          Bendahara Umum HMI Komisariat FH UGM tahun 1981-1982
-          Ketua Umum HMI Komisariat FH UGM tahun 1982-1983
-          Staff Pembinaan Anggota Badko Jabagteng tahun 1984-1985
-          Ketua Umum HMI Cabang Yogyakarta tahun 1985-1986
-          Mejelis Pekerja Kongres PB HMI tahun 1986-1988
-          LPL (Korps Pengader)
-          Tim Perumus Khittah Perjuangan


0 komentar:

sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com