Rabu, 19 November 2008

KEMBALI MEMERDEKAKAN INDONESIA


KEMBALI MEMERDEKAKAN INDONESIA
Oleh: Hendri Teja*




Pada dini hari 17 Agustus 1945, Mayjend Nishimura, Kepala Staf Urusan Umum Tentara Jepang, merah wajahnya. Nasionalisme Indonesia menggelinding sudah. PPKI pun sudah terbentuk. Tapi lacur, Jepang kalah dalam Perang Pasifik, dan Sekutu menetapkan status quo bagi Indonesia. Tentara Jepang di Indonesia diperintahkan untuk berperan hanya sebagai alat keamanan.
Impotensi Jepang atas pemenuhan janji politiknya membikin Soekarno naik pitam. Trlontarlah kalimat kecaman dari pemimpin besar revolusi Indonesia itu. Kalimat yang menjadi landasan filoshophi perjuangan bangsa ini di masa depan :
Kami hendak merebut kemerdekaan dengan kekerasan… kami tidak ingin diserahkan kepada sekutu sebagai inventaris. Dengan pertimbangan yang masak kami bermaksud meneruskan usaha sebagaimana telah dijanjikan Tenno Haika[1].
Bila ditelisik lebih dalam, pernyataan Soekarno tersebut mengandung beberapa makna penting bagi arah bagi pergerakan pembangunan bangsa ini. Pertama, kemerdekaan adalah harga mati, yang mesti diwujudkan bahkan dengan tindakan kekerasan. Soekarno dikenal sebagai figur yang cenderung kooperatif. Melalui desakan Soekarno, tokoh-tokoh nasional akhir sepakat untuk berkumpul dalam naungan PPPKI – yang notabene merupakan produk pemerintah Jepang untuk menarik dukungan masyarakat Indonesia. Lalu kenapa Soekarno nekad menggelontorkan istilah “merebut dengan kekerasan”? Jawabannya adalah karena masalah pemindahan kekuasaan dari Jepang kepada Sekutu, kemudian dari Sekutu kepada Belanda, merupakan persoalan substansial dan fundamental bagi perkembangan bangsa ini. Persoalan serupa itu tidak memadai untuk diselesaikan dalam kaidah politik baku
Kemerdekaan suatu bangsa dapat dimaknai sebagai kehendak bebas dari suatu bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri. Kemerdekaan adalah otoritas dari suatu bangsa untuk membentuk pemerintahannya sendiri, dalam kaitan untuk melaksanakan harapan dan keinginan luhur masyarakatnya, tanpa ada tekanan dari bangsa-bangsa manapun.Kehendak bebas adalah fitrah manusia. Dan bila kehendak bebas tersebut dipadukan maka akan terbentuk kehendak bebas kolektif. Kehendak bebas suatu bangsa. Kehendak bebas adalah hasrat dan keinginan yang kemudian menjadi motivasi bagi pemiliknya untuk melakukan aktivitas produktif. Ketiadaan kehendak bebas akan membikin manusia tergerus menjadi basyar[2].
Perjuangan mewujudkan masyarakat adil makmur tidak akan terwujud bila masyarakatnya masih bermental, berpikir, dan bersikap seperti budak. Perjuangan itu hanya akan terwujud bila bertumpu pada semangat kolektif dan partisipasi aktif dari setiap individu yang bernaung dalam masyarakat tersebut. Dengan kemerdekaan maka bumi, air, tanah dan segala kekayaan yang tergantung di dalamnya menjadi hak masyarakat tersebut, dan pengelolaannya pun bertujuan untuk mensejahterakan pemiliknya.
Konsepsi itu pernah ditegaskan Soekarno dengan pernyataan sebagai berikut :
“imperialisme berbuahkan negeri-negeri madat, daerah pengaruh… yang di dalam sifatnya menaklukkan negeri orang lain, membuahkan negeri jajahan… syarat yang amat penting untuk perbaikan kembali semua susunan pergaulan hidup Indonesia itu ialah Kemerdekaan Nasional…”[3]
Karena itu, kemerdekaan Indonesia merupakan sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Jangankan terpaksa melakukan tindak kekerasan, bahkan bila perlu nyawapun akan dikorbankan demi pencapaian tujuan tersebut. Bukankah semboyan “merdeka atau mati” begitu menguat di masa-masa itu. Harga kemerdekaan memang mahal, tapi itu masih lebih baik ketimbang hidup tertindas, terjajah dan menderita.
Kedua, kemerdekaan Indonesia adalah persoalan martabat bangsa. Soekarno sadar betul kalau sejak penjajahan VOC sampai Jepang minggir, bukan hanya kekayaan negeri ini yang dikuras. Harga diri bangsa Indonesia pun diinjak-injak. Bukan hanya masyarakat kalangan akar-rumput mengalami politik dehumanisasi penjajah. Bahkan tokoh-tokoh bangsa Indonesia yang sekolah ke Belanda pun acap merasa minder di hadapan para bule itu. Dan apalagi yang balik tepat untuk menjadi puncak penghinaan itu kalau bukan menjadikan Indonesia selayak sandal jepit atau sabun mandi yang bisa diwariskan kepemilikannya?
Dengan kondisi perekonomian penjajah yang morat-marit, pembangunan Indonesia ke depan jelas akan sangat tergantung kepada sumber daya alam dan manusianya. Indonesia masih sangat kekuarangan para teknokrat. Dan dengan anjloknya martabat bangsa, maka Indonesia jelas akan serupa bola yang disepak para atlit internasional di pasar dunia.
Ketiga, kemerdekaan Indonesia adalah ketidakberhinggaan kerja keras. Indonesia ibarat seorang gadis yang terlalu jelita untuk menerima kata talaq. Tidak ada bangsa penjajah manapun yang akan rela melepas Indonesia. Bayangkan saja, kemerdekaan Indonesia bermakna Belanda kehilangan sekitar £ 500.000.000 karena penyusutan sampai tiga perempat pendapatan kaum buruhnya[4]. Politik etis Belanda jangan pernah dimaknai sebagai politik balas budi. Kebijakan itu hanya benteng dari tekanan kalangan sosialis di negeri kincir angin, tetapi implementasinya tak lebih dari sekolah untuk para jongos keresidenan Belanda.
Bahkan, kalangan sosialis internasional pun berpendapat kalau tanah jajahan memang budak yang wajib menghasilkan keuntungan bagi penguasanya. Kongres Sosialis Internasional pada tahun 1925, memutuskan kalau Indonesia tidak boleh merdeka. Indonesia hanya diizinkan membentuk pemerintahan sendiri dalam persekutuan kemakmuaran Belanda. Penjajah Jepang juga tak jauh beda. Persatuan Asia Raya tak lebih dari candu yang membikin para pemuda berbondong-bondong mati konyol diterjang peluru bedil sekutu –demi mimpi Indonesia yang mendeka
Kemerdekaan Indonesia adalah ketidakberhingga kerja keras dan pertimbangan yang masak. Kemerdekaan Indonesia murni merupakan cucuran darah, keringat dan air mata dari entitas-entitas pembentuknya. Mulai dari perjuangan tradisionil-primordial sampai modern-kebangsaan, semua aktor sama-sama bergerak menuju tanah air yang masyarakatnya memiliki kehendak bebas.
Kaum-kaum terpelajar yang tercerahkan akan nasib bangsanya kemudian berlarat-larat melakukan perdebatan, diskusi dan bergerak untuk menyusun skenario kemerdekaan Indonesia. Mereka bergerilya untuk membangkitkan rasa cinta pada tanah air dan semangat patriotik rakyat Indonesia. Proses itu berkelindan dalam ruang refresif penjajah, sampai terbentuknya berbagai organisasi pergerakan dan kesepakatan gerakan tingkat nasional.
Kemerdekaan Indonesia memang erat kaitannya dengan hasil akhir PD II. Tetapi ibarat tanah yang subur, tak akan rimbun tetanaman di atasnya bila sang petani tak cerdas menggarap lahan. Desakan Sorkarno Hatta adalah faktor kunci lelehnya Tenno Haika sehingga janji kemerdekaan Indoensia paska 23 Agustus 1945 pun terucap. Bahkan Syahrir, untuk menghindari kecurigaan Sekutu kalau kemerdekaan Indonesia adalah rekayasa Jepang, sampai menyerukan founding father’s untuk meninggalkan PPPKI. Soekarno Hatta sebenarnya sepakat. Tetapi terpaksa membatalkan niat tersebut setelah mempertimbangkan persatuan bangsa karena tokoh-tokoh tua yang duduk di PPPKI saat itu dianggap merupakan perwakilan semua daerah.
Pemuda pun turut berpartisipasi aktif. Dengan cerdas mereka menyadap siaran radio berita kekalahan Jepang. Bahkan sampai kurang ajar, mendikte Soekarno Hatta untuk memproklamasikan kemerdekaan RI secepat mungkin.

Kemerdekaan Indonesia Dewasa Ini.
Beberapa bulan terakhir, media massa ramai mewacanakan kalau Indonesia yang sekarang belum dapat dikatakan merdeka. Sebab nilai-nilai luhur dari kemerdekaan tersebut, faktanya belum diadopsi penuh oleh negara, pemerintah dan rakyat Indonesia sendiri. Perlu ada perjuangan baru merebut kemerdekaan Indonesia yang hakiki. Disebut perjuangan baru karena perjuangan kali ini masih meniti pada seutas tali kegaliban musuh bersama, entah itu elit penguasa, kapitalis domestik, maupun aktor transnasional.
Pola perjuangan masa silam setidaknya bisa dipertimbangkan dalam penyusunan skenario perlawanan tersebut. Pertama, meskipun metode perjuangan bersifat konvensional, tetapi ketika situasi kondisi menuntut metode radikal progresif, maka aktor tidak selayaknya menutup mata. Mulanya pergerakan kemerdekaan Indonesia juga bersifat primordial, tetapi para intelektual produk politik etis kemudian menggagas pola baru perjuangan kemerdekaan yaitu nasionalis kebangsaan, penggorganisiran dalam organisasi tertentu, dan mulai mengedepankan aspek politik ketimbang gerakan bersenjata. Soekarno pun tak terlepas dari pola ini. Pendudukan Indonesia oleh tentara Jepang, mengubah strategi politik Soekarno dari non cooperative menjadi cooperative. Dan ketika Jepang melanggar perjanjian, Soekarno adalah salah satu tokoh yang pertama mengibarkan bendera perang terbuka dengan pasukan Tenno Haika.

Kedua, perjuangan kemerdekaan memerlukan sinergi antara ketiga pelakunya, yaitu aktor utama, elit dan rakyat. Ketiganya adalah tritunggal dengan peran masing-masing. Penguatan kapasitas ketiganya adalah hal yang penting, sementara pengkebirian peran dan penghegemonian ruang gerak kepada seluruh atau salah satunya akan memperlemah gerakan tersebut.
Ketiga, pemetaaan common enemy. Sebelum mencambuk mental budak rakyat Indonesia akan pentingnya kemerdekaan, para founding father’s, secara tidak disengaja, sukses bersama-sama menjabarkan wujud konkrit dari musuh bersama tersebut. Pengkonkritan common enemy membantu rakyat untuk memfokuskan energi perlawanannya dengan efektif dan efisien. Keempat, gerakan mesti dijiwai oleh sinergi antar pelaku, berorientasi kesejahteraan bersama, kerja keras dan keberanian, serta pemikiran cerdas dan kreatif.

*penulis adalah Direktur YASIN-Padang/ Mantan Wasekum HMI Cab Padang














[1] Handayani, Ines, Sekali PPKI Tetap Merdeka, Tempo Edisi 19 Agustus 2001
[2] Mamalia yang tegak dengan dua kaki (Syariati Ali, Tugas Cendikiawan Muslim, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 1995.
[3] Soekarno, Pledooi di Pengadilan Bandung : Indonesia Menggugat, 1930
[4] Hatta, Socialist Internationaal dan Kemerdekaan Indonesia, Soeloeh Indonesia Moeda, Edisi 10 September 1928

0 komentar:

sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com