Sabtu, 22 November 2008

SYNDROME SEKULARISASI TAUHID



SYNDROME SEKULARISASI TAUHID
M. Rohmat, S.Pd.I

(Pemerhati masalah politik dan sossial keagamaan)


Sudah sekian lama sekularisme atau paham yang memisahkan urusan kedunian dari kehidupan beragamaa dikutuk oleh Islam sebagai kebudayaan setan yang akan membawa manusia pada malapetaka kehidupan. Para ulama menyerukan Islam sebagai “way of life” (pedoman hidup), sebagai “hudan li kulli syai’in” (petunjuk bagi persoalan apa saja), Islam ya’lu wala yu’la alaihi. Tidak ada sistem yang tepat selain Islam. Maka kiranya perlu telaah histories uantuk membuktikan apakah keunggulan-keunggulan Islam tersebut punya kesaktian ataukah sekedar slogan, yel-yel yang tidak bunyi ketika dibenturakan pada persoalan kemasyarakatan.


Di keseharian Negara-negara dunia ketiga, termasuk juga Indonesia banyak dijumpai persoalan kemanusiaan yang mengundang keperihatinan: ada pedagang kecil yang diobarak-abrik oleh polisi pamong peraja, ada buruh yang di tindas undang-undang tanaga kerja, ada warga yang digusur kampungnya tanpa mendapatkan ganti rugi yang sepantasnya, ada pasar tradisional yang bakar kemudian dibangun mall dan di jual pada pemilik modal besar dan masih banyak persoalan kemanusiaan lainnya. Atas semua itu tentunya Islam harus mempunyai solusi tatanan yang sempurna. Islam harus punya strategi penyelesaian kalau mengaku sebagai sistem yang tidak mendikotomikan urusan dunia dari kehidupan beragama. Islam melalui ormas-ormasnya dan lembaga keulama’annya mestinya hadir memberikan klarifikasi bahkan pembelaan kemanusiaan. Namun yang terjadi tidak demikian. Banyak kedzaliman yang dilakukan penguasa diatas kekuatan-kekuatan Islam justru “abasa wa tawalla” (berpaling dan tidak perduli).


Contoh kecil dua tahun yang lalu dalam kasus penggusuran rumah warga Cakrawala Timur Semarang Barat yang berjumlah sembilan puluh kepala keluarga terjadi proses yang sangat menyudutkan warga. LSM dan aktivis mahasiswa bermaksud menggandeng intitusi-institusi Islam untuk melakukan advokasi atau pembelaan, akan tetapi agen-agen Islam itu menolak turut serta dengan alasan bahwa penggusuran bukan persoalan agama. Menurut mereka urusan agama adalah sholat, wiridan, istighosah, ngaji dan mujahadah, sementara urusan keadilan hukum, pemerataan ekonomi, persamaan hak politik dan demokrasi termasuk urusan dunia yang tidak ada hubungannya dengan Tuhan. Rupanya sekularisme yang selama ini dikutuk oleh Islam kini dipeluk oleh para agen agama (baca: kiai) sebagai agama baru. Para agen agama itu sudah merasa dekat dengan Tuhan kalau sholatnya sudah genap. Merasa shalih kalau sudah banyak acara pengajian istighosah. Merasa sakti kalau sudah pakai serban. Bahkan merasa punya hak mengancam orang lain dengan neraka. Walhasil paradhu’afa di negeri ini menjadi seperti anak yatim yang tidak punya pelindung, walau sebenarnya mereka punya kiai-kiai yang duduk did DPR, punya ketua NU, ketua Muhammadiyah dan seterusnya. Ironisnya yang bersedia memberi perlindungan pada mereka justru para pastur dan pendeta. Maka rasa terima kasih marilah kita sampaikan kepada pastur dan pak pendeta sebab berkat pertolongan mereka saudara-saudara kita yang mustadh’afin sudah meninggalkan Islam. Seandainya pak pastur taidak datang menolong mungkin saudara-saudara kita itu sudah mengikuti Nietzhe yang mengatakan “god is death”. Tuhan telah mati.


Fenomena seperti ini barang kali yang di maksud “al Islamu mah jubun bil muslimin”. Kebaikan Islam mengajarkan “addunya mazra’at al akhirat”, urusan dunia adalah lapangan akhirat. Ini menunjukan bahwa Islam tidak mengenal di kotomi antara urusan dunia dan urusan agama. Persoalan keadilan hukum, sinergi ekonomi, politik, lingkungan hidup. Pendidikan dan seterusnya adalah persoalan dunia yang kelak di pertanggung jawabkan kepada Tuhan di akhirat. Pengingkaran atas lapangan dunia itu sendiri adalah pengingkaran atas perintah Tuhan untuk melakukan kebaikan yang dalam bahasa agama di sebut “amilu al shalihat”. Sikap ingkar bahwa arabnya adalah kafir.


Mungkin terlalu ekstrim menyebut penginkaran dengan “kafir”. Maka baiklah, anggap saja muslim tapi dengan pertanyaan “apakah termasuk mu’min?”, sebab iman adalah al Qur’an digandengakan dengan “amilu al shalihat”. Sikap aktif melakukan kebaikan-kebaikan. Pengakuan “la ilaha illa allah”, seorang mu’min akan terwujud dalam sikap aktif berupa “tahrirun nas min ibadatil ‘ibad ilaa ‘ibadatillah”. Membebaskan manusia dari menghamba kepada sesamam manusia kepada menghamba hanya kepada Allah semata. Tauhid dalam bentuk pembebasan manusia itulah yang dulu dicontohkan oleh para nabi. Para nabi diutus dengan misi utama membebaskan manusia dari para tiran (penguasa). Nabi Ibrahim membebaskan kaumnya dari raja Namrud, nabi Musa membebaskan bani Israel dari tindasan fir’aun, nabi Muhammad hadir membebaskan para budak dari penguasa jahiliyah Qura’is. Maka kalau seorang muslim ingin mempraktekan tauhid hendaklah ia menjadi seorang mu’min yang melindungi iman saudara-saudaranya dari keterdesakan ekonomi dan penghambaan para penguasa.

0 komentar:

sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com