Rabu, 19 November 2008


Kohati Itu Seksis
Oleh: Roni Hidayat*


Pada suatu hari saya membaca sebuah artikel bahasa di sebuah koran Nasional. Kurang ingat siapa yang menulis. Tapi poinnya adalah begini: tulisan itu menggarisbawahi bahwa Bahasa Indonesia itu cenderung tidak seksis seperti beberapa bahasa lain di dunia, Bahasa Perancis atau Bahasa Arab misalnya.
Beberapa waktu yang lalu saya membaca sebuah surat usang yang tercecer di sekretariat PB dengan kop surat yang di tulis dengan font besar: KOHATI. Dan dibawahnya ada tertulis dengan font yang lebih kecil: Korp HMI-Wati.

Kohati? HMI-Wati?
Semula saya mengabaikannya. Tanpa saya duga sebelumnya tiba-tiba menyeruak rombongan pertanyaan di hati saya. Mereka menyampaikan aspirasinya. Pertanyaan yang agak beringasan menggedor, mendorong-dorong kesadaran saya mencari perhatian macam demonstran di gerbang gedung wakil rakyat. Mereka tidak kunjung diam apalagi menghentikan aksi meskipun sudah berulangkali saya tegaskan,” Sudah tenang. Itu bukan wewenang saya!.” Tapi mereka tetap tidak peduli. Mereka terus beraksi. Suasana memanas.
Tulisan ini saya dedikasikan kepada mereka yang sedang demonstrasi di hati saya.
Baik, kita mulai saja. Saya tidak berpretensi untuk menjelaskan aspek paradigma, pandangan dunia, problem organisatoris dan lain sebagainya yang rumit-rumit. Karena saya cukup tahu diri bahwa saya tidak cukup banyak tahu tentang seluk beluk Kohati, baik institusi apalagi pribadi-pribadinya. Saya hanya tahu sedikit, itupun berasal dari tulisan-tulisan di beberapa koran lokal di kota Semarang, Jawa Tengah tempat saya berasal.
Setelah saya pikir-pikir. Ada persoalan tersendiri mengenai perihal penggunaan istilah HMI-Wati itu sendiri. Karena Kohati sejauh ini adalah organisasi yang mewadahi para wati-wati atau akhwat HMI maka pertanyaannya adalah apakah di HMI itu anggotanya dibagi menjadi dua HMI yang ikhwan dan HMI yang akhwat. Kalau iya lalu kenapa kita tidak mengenal yang namanya Kohawan?Korp HMI- wan?
Secara prinsip saya sepakat bahwa Bahasa Indonesia itu tidak seksis alias tidak diskriminatif dalam penggunaan kata. Satu untuk semua. Meskipun memang belakangan ada kecenderungan Bahasa Indonesia menjadi seksis atau setidak-tidaknya bernuansa seksis ketika dimunculkan istilah mahasiswi, pemudi dsb. Padahal Bahasa Indonesia hanya mengenal sejarawan, ilmuwan, dermawan. Kita tidak mengenal sejarawati, ilmuwati, dan dermawati. Sejarawan, ilmuwan, dan dermawan meliputi yang berjenis laki-laki dan yang perempuan. Dan dalam sejarah kita juga tidak menulis sumpah pemudi atau aksi-aksi yang dimotori gerakan mahasiswi. Tidak. Saya kira ini bukan karena sejarah kita bias gender tapi memang bahasa kita tidak mengenal pembedaan jenis kelamin dalam pilihan kata. Bahasa Indonesia tidak seksis!
Introdusir istilah HMI-Wati dalam panggung sejarah HMI membawa persoalan bahasa yang berimplikasi kepada kekacauan semantis. Apakah ini menimbulkan kekacauan organisatoris? Saya tidak bisa menjawab pertanyaan itu karena sejauh pengalaman saya ber-HMI belum pernah ada persoalan terkait dengan keberadaan Kohati. Karena di Semarang tidak ada institusi Kohati, setidaknya selama satu dekade terakhir.
Selain itu HMI-Wati terdengar tidak “islami”. Kalau mau lebih islami mestinya Kohati itu singkatan dari Korp HMI-Ukhti. Agak maksa sih tapi menurut saya itu lebih “islami”. Karena wati sejauh pengetahuan saya adalah istilah yang banyak muncul di kebudayaan India, Hindu dan Budha yang memang banyak diserap sebagai nama anak perempuan di kebudayaan Jawa. Bahkan beberapa dasawarasa terakhir meluas di banyak belahan Indonesia. Itu bukanya tanpa alasan. Karena memang sudah diakui sejarah Jawa dan Nusantara adalah bagian penting penyebaran kebudayaan India di dunia. Selain banyak juga yang menuding ini adalah bagian politik jawanisasi Suharto.
Saya sendiri tidak tahu Kohati dan sejarah Kohati itu sendiri, apalagi secara detail. Saya lebih banyak mendengar kabar-kabar dari luar daripada mendalaminya secara serius. Karena mungkin ini benar-benar bukti paling konkrit dari kemalasan saya untuk membaca tapi ini bisa jadi bentuk suatu cerminan alienasi Kohati dari komunitas HMI. Dan yang saya yakini adalah saya tidak sendiri. Mungkin lebih banyak anggota HMI yang ikhwan atau bahkan yang akhwat juga tidak lebih baik dari saya perihal pengetahuan tentang Kohati.
Dalam rangka menghindari kekacauan semantis dan ketidak konsistenan bahasa maka ada baiknya kita menjernihkan ini. Kalau saya boleh usul saya lebih sepakat kalau kata Kohati itu tidak usah dipakai sebagai singkatan Korp HMI-wati. Karena ya itu tadi terlalu banyak pertanyaan dan kekacauan yang ditimbulkan dari kata HMI-Wati itu sendiri. Apalagi kalau ada yang memandangnya dari sudut feminisme. HMI-Wati bisa jadi dituduh biang bias gender. Kohati ya Kohati begitu saja.
Saya cinta Kohati. Dan mendukung kohati tetap ada meskipun memang saya sepakat dengan mereka yang mengusulkan agar Kohati mesti memperjelas posisioning dan identifikasinya. Kohati mau fokus di subyek garap atau obyek garap. Kalau di subyek garap berarti memang Kohati itu mesti anggota yang putri-putri, yang ukhti-ukhti, yang waati-wati. Sementara kalau pada bidang garap maka Kohati itu milik siapa saja. Artinya setiap anggota HMI, seperti saya yang ikhwan apalagi yang akhwat mempunyai hak yang sama untuk terlibat dalam Kohati. Jadi kalau pilihan kedua yang ditetapkan maka bisa jadi ketua Kohati adalah seorang ikhwan(!?).
Saya memiliki kedekatan emosional yang khas dengan Kohati. Karena bagi saya yang berasal dari suku jawa kata Kohati itu memiliki makna yang dalam. Bahasa jawa mengenal yang disebut kerata basa, satu kata yang tersusun dari beberapa kata. Jadi bisa jadi dulu pengusul nama Kohati adalah anggota HMI yang berasal dari suku jawa. Kohati berasal dari kata ko dan hati.Ko bisa berasal dari kata saka (baca: soko) atau seka (baca: seko) yang bermakna dari , dan ko juga bisa berasal dari kata saka (baca: soko) yang berarti pilar. Sedangkan hati berasal dari kata (h)ati yang artinya sama dengan Bahasa Indonesia; hati. Jadi kohati dari analisis kerata basa tadi mengandung arti dari hati atau pilar hati.
Saya tidak berani dan memang tidak bisa meyakinkan anda semua untuk menerima ini dengan hati puas. Apalagi jika ditanya validitasnya. Referensinya apa? Karena ya itu tadi, ini tidak lepas dari subyektivitas saya sebagai seorang jawa. Juga keterbatasan pengetahuan dan wawasan saya tentang Kohati itu sendiri. Serta terkait dengan penghayatan saya sebagai seorang HMI yang menerima takdir sebagai seorang laki-laki, dan sekaligus seorang Jawa. Yang jelas ketika menyebut Kohati selalu dua makna itu yang menyentuh hati saya.
Kohati berarti dari hati. Kohati berarti pilar hati.
Sekian dan semoga dengan ini demonstrasi di hati saya tidak menjadi-jadi.
(Mabes Poltangan, Muharram 1429 H)

*Ketua KPN (Korp Pengader Nasional) PB HMI

0 komentar:

sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com