Senin, 24 November 2008

diplomasi wanita jawa


Dipolmasi Wanita Jawa

Afi'dah*


Ketika membincang persoalan kese-teraan gender, kebanyakan orang cenderung melihat Barat sebagai kiblat. Padahal di belahan Timur dunia, tak jauh di depan mata, banyak fenomena kesetaraan gender yang luput dari perhatian kita.
Di Asia saja, terdapat sederet nama yang menjadi pemimpin masyarakat. Entah itu presiden, perdana menteri, maupun yang menjadi menteri-menteri. Sebut saja diantaranya (alm.) Benazir Butho (Pakistan), Gloria Macapagal Arroyo (Filiphina) dan Megawati Soekarno Puteri (Indonesia). Nama-nama ini belum terhi-tung wanita-wanita yang menduduki jabatan penting di cabinet, legislative maupun organisasi social kemasya-rakatan. Dalam tulisan ini, penulis lebih cenderung menyebut "wanita" dan bukan "perempuan". Karena dalam falsafah Jawa, wanita mengandung kedalaman makna.
Wanita berarti wani ditata (berani diatur) dan juga berani bertapa (tirakat/-berani menderita). Potensi inilah yang menjadikan "wanita" memiliki derajat tinggi. Sementara perempuan sebatas memiliki makna yang berkonotasi pada biologis-seksualitas semata.


Kepemimpinan Wanita
Amerika yang dianggap sebagai "Negara percontohan" demokratisasi di dunia, belum pernah satu pun menem-patkan wanita sebagai presden (pemim-pin) Negara Paman Sam tersebut. Ini berbeda dengan Negara-negara (ber-kembang) yang justru lebih menghormati harkat dan martabat perempuan, de-ngan memberikan kesempatan yang sa-ma dalam kepemimpinan. Indonesia pernah seorang presiden berjenis kela-min wanita, yaitu Megawati Soekarno Puteri. Jauh sebe-lum Megawati, ada RA Kartini yang menjadi ikon feminis modern di Indonesia.
Di Pakistan, (alm.) Benazir Butho meski hidupnya berakhir dengan tragis karena ditembah oleh pembunuh gelap namun pernah menempatkan wanita meme-gang kendali pemerintahan di negeri tersebut. Hal sama terjadi di Filiphina. Dimana Gloria Macapagal Arroyo, alum-nus Harvard University ini, mampu menyi-ta perhatian public di sana, hingga akhir-nya dia pun dipercaya menjadi pemim-pin Negara.
Yang ingin penulis sampaikan di sini adalah, bahwa wanita itu bila diberi kesempatan yang sama dengan laki-laki, bisa berperan sebagaimana kaum Adam tersebut. Artinya, bahwa keseta-raan gender yang kita gembar-gembor-kan selama ini, sudah mencapai pada aras yang cukup menggem-birakan. Yang perlu dipertanykana justru Negara semacam Amerika Serikat. Di mana di alam demokrasi modern seperti sekarang ini, belum pernah satu pemim-pin wanita lahir di sana.


Wanita Jawa
Melihat fenomena wanita Jawa yang merupakan masyarakat Timur, adalah hal yang sangat menarik. Satu sisi, wanita Jawa sering dianggap tidak berdaya. Padahal di sisi lain, wanita Jawa mem-punyai peranan yang tak terperikan da-lam kepemimpinan, tidak hanya dalam realitas masyarakat modern sekarang ini, bahkan jauh sebelum Indonesia menjadi Negara merdeka.
Wanita Jawa yang sering disebut kanca wingking dalam tradisi budaya Jawa, dimana sebutan tersebut memiliki makna negative, yakni ketidakberda-yaan, tetapi wanita tertulis dalam tinta emas dalam sejarah baik pada zaman Majapahit maupun Mataram.
Anehnya, selama ini masyarakat masih memandang wajah wanita jawa dengan wajah ketertindasan. Kaum feminis umumnya melihat kultur Jawa tidak memberi ruang kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.
Sementara dunia Barat, sekalipun masih mendapat mendapat protes dari kaum feminis, tetapi dianggap jauh lebih toleran dan memberi posisi yang baik bagi wanitanya.
Benarkah Barat lebih memberi posisi setara pada wanita, atau sebenarnya wanita sengaja dikondisikan untuk beker-ja, dimana dalam revolusi industri, untuk menekan modal karena upah wanita lebih murah.
Jika melihat relasi kuasa, wanita melayu (dalam konteks ini Asia Tenggara) tak terkecuali Jawa, terlihat bahwa kekua-saan bisa lahir dari ketakberdayaan.
Teori kontradiktif dikemukakan Fou-cault. Di mana dalam pandangannya, di dalam teori fisika juga dapat ditemukan teori metafisika, pun dalam puisi, dapat ditemukan dari rumus-rumus mate-matika.
Artinya, sesuatu itu bisa dihasilkan dari sesuatu yang kontradiktif. Dan realitas berbicara, di mana dalam kultur Jawa, sebagaimana riset yang dilakukan Ardhian Novianto dan christina Handayani terha-dap beberapa desa di Gunung Kidul, Yogyakarta, sebagaimana tertulis dalam buku yang diberi titel "Kuasa Wanita Jawa."
Dalam pandangan kedua peneliti tersebut, wanita Jawa tidak perlu menjadi maskulin untuk mendapatkan kekuasaan. Ia justru harus memanfaatkan watak feminis yang melekat padanya.
Kita bisa membuktikannya dengan melihat realitas terdekat, bahkan di rumah kita sendiri dengan melihat sosok Ibu, yang merupakan repesentasi wanita yang berperan nyata di area domestic sekaligus publik.
Banyaknya ibu-ibu yang berdagang di pasar atau membuka warung di rumah, yang menegaskan bahwa ia telah berperan dalam kegiatan pereko-nomian, yang tentu saja telah berperan di area publik karenanya. Inilah yang dimaksdu Diplomasi Wanita Jawa. Di mana dengan kekuatan akal-pikiran serta tenaganya, wanita mencari solusi atas problem-problem yang ada.
Sebuah pekerjaan yang maha berat. Karena selain itu, para wanita masih memiliki beban menjaga anak dan "mengabdi" kepada suaminya. Sebagai seorang ibu, wanita Jawa bukanlah sosok yang ambisius untuk mendapatkan kedudukan public tertentu. Melainkan ia memosisikan diri sebagai support untuk keberhasilan sang suami.
Mengedepankan rasa dan bukan emosi dalam menyelesaikan sebuah permasalahan, juga merupakan kelebihan yang belum tentu bisa dilakukan seorang laki-laki. Ini sekaligus menjadi penegas, bahwa wanita memiliki kecerdasan dan bisa mengelola sebuah persoalan dengan pikiran (kecerdasan) dan rasa tersebut.
Dengan berbagai hal di atas, rasanya tidak sesuatu yang berlebihan jika dikatakan bahwa wanita Jawa adalah wanita dengan segenap kelebihan yang harus diapresiasi karenanya. Bukankah demikian ?
*Aktif di Surat kabar mahasiswa "AMANAT" IAIN Walisongo Semarang

0 komentar:

sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com